• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Panca Bali Krama Pura Agung Besakih 2009

titiyang

IndoForum Newbie F
No. Urut
61690
Sejak
16 Jan 2009
Pesan
12
Nilai reaksi
0
Poin
1
2087090162_1a7f13a20c_m.jpg

Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh 2009 di Pura Agung Besakih sudah kian dekat. Rangkaian pertama bahkan telah dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 2008 lalu berupa upacara Ngaku Agem atau pernyataan secara spiritual kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa bahwa umat Hindu telah menetapkan tekad untuk melaksanakan upacara Karya Agung Panca Bali Krama 2009 di Pura Agung Besakih.
Pelaksanaan upacara 10 tahunan Panca Bali Krama 2009 (PBK 2009) yang dilaksanakan pada Tilem Kasanga ini (25 Maret 2009) akan berlanjut dirangkai dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh (juga di Pura Agung Besakih) pada Purnama Kadasa, 9 April 2009.
Sedikit catatan, upacara Bhatara Turun Kabeh (BTK 2009) tanggal 9 April 2009 ini ternyata bersamaan dengan Pemilihan Legislatif. Bila tidak disikapi dengan bijak oleh KPUD Bali diduga tidak sedikit krama Bali yang "terpaksa golput" karena pada Purnama Kadasa adalah hari baik menyelenggarakan upacara.
Untuk memberi gambaran tentang upacara 10 tahunan PBK 2009, berikut adalah kutipan tuntunan susastra yang secara resmi telah diterbitkan berupa Buku Yasa Kerti Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh 2009 di Pura Agung Besakih.

Dalam rangka menyongsong Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih sesuai dengan Keputusan Paruman Sulinggih Provinsi Bali Tanggal 26 Juni 2008, dan berdasarkan sumber-sumber sastra indik Panca Bali Krama, setiap sepuluh tahun sekali yaitu pada Tilem Caitra (Tilem Kasanga) Tahun Saka berakhir dengan nol ( Rah Windu ), dilaksanakan Karya Agung Panca Bali Krama. Upacara besar tersebut untuk tahun Saka 1930 jatuh pada hari Buda Paing Kuningan, Tanggal 25 Maret 2009.
Berkenaan dengan hal itu, untuk mendukung kesucian dan suksesnya pelaksanaan Karya Agung tersebut patut dilaksanakan Yasa Kerti oleh seluruh umat Hindu, baik dalam sikap dan prilaku maupun dalam bentuk upacara dan upakaranya sebagai berikut :

I. Yasa Kirti dalam bentuk prilaku.
Untuk menyongsong Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih sebagaimana halnya dalam pelaksanaan setiap yadnya lebih-lebih yadnya yang besar, perlu didukung dengan pengendalian diri yang baik, sikap dan prilaku yang ikhlas, yang dilandasi dengan kesucian pikiran, perkataan dan perbuatan, sesuai dengan lontar Indik Panca Bali Krama :
Kayatnakna, aywa saula-ulah lumaku, ngulah subal, yan tan hana bener anut linging aji. Nirgawe pwaranya kawalik purihnya ika, amrih ayu byakta atemahan hala. Mangkana wenang ika kaparatyaksa de sang anukangi, sang adiksani lan sang adrewe karya, ika katiga wenang atunggalan panglaksana nira among saraja karya.
Aywa kasingsal, apan ring yadnya tan wenang kacacaban, kacampuhan manah weci, ambek branta, sabda parusya.
Ikang manah stithi jati nirmala juga maka sidhaning karya, marganing amanggih sadya rahayu, kasidhaning panuju mangkana kengetakna. Estu phalanya
.​
Maksudnya :
Waspadalah, jangan sembarangan melangkah asal jalan saja, apabila tidak benar sesuai dengan ucap sastra agama. Pekerjaan sia-sia itu namanya, akan berbaliklah harapan yang diperoleh, berharap kebaikan, tetapi nyatanya menjadi tidak baik (buruk). Demikianlah patut selalu waspada bagi Tapini, Yajamana dan orang yang memiliki yadnya, ketiganya itu patut menyatukan pandangan dan langkah dalam mengendalikan semua pekerjaan (yadnya).
Janganlah saling bertentangan, sebab dalam pelaksanaan yadnya tidak boleh ternodai, dicampuri oleh pikiran kotor, pikiran bimbang, kata-kata kasar. Pikiran yang suci dan tidak ternoda jualah yang mengantarkan keberhasilan suatu yadnya, sebagai jalan menemukan keberhasilan dan keselamatan, berhasil mencapai tujuan, demikianlah selalu diingat, semoga mendapatkan pahalanya.

Klik disini untuk info lebih lanjut.
 
Ngiring sareng sareng, ngaturang Bakti ring Besakih
 
Nice info....

Pelaksanaan upacara 10 tahunan (Panca Bali Krama 2009 : 25/3/2009) dan berlanjut dirangkai dengan upacara tahunan Bhatara Turun Kabeh pada Purnama Kadasa, 9 April 2009.

Tentunya walaupun bertepatan dengan kalender bernegara "politik dan Pemilihan Legislatif", jangan sampai ada imbauan yang bersifat melarang/bahkan meniadakan rangkaian upacara agama dengan alasan keamanan atau alasan lain, karena saat ini ada kecendrungan ke arah seperti itu, seolah2 umat tidak bisa memisahkan mana urusan agama dan mana urusan bernegara.
 
Pemilu bukan halangan untuk melakukan Yadnya.
 
Pileg di Purnama Kadasa

Panitia Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh Pura Agung Besakih dan para pengayah (termasuk tityang) sepakat mengajukan permintaan kepada KPUD Bali untuk membuat mobile TPS di Besakih agar dharma agama seiring dengan dharma negara.
KPU Pusat kecil kemungkinan menggeser hari pemilihan (sudah pernah disosialisasikan oleh KPU Pusat... duh..padahal ada orang Bali IGP Artha di KPU Pusat, kok lewat ya ?:(), solusinya adalah memperpanjang batas waktu hingga sore atau ya.... mobile TPS itulah.
Sekedar info nih...upacara besar di Bali saat Purnama Kedasa tanggal 9 April 2009 adalah Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih, Ngusaba Kedasa di Pura Ulun Danu Batur, Pujawali di Pura Menjangan. Umat yang pedek ke Besakih, biasanya (yang saya tahu) langsung ke Batur. Bila dihitung dengan kemacetan-kemacetan di dua tempat itu maka nyaris seharian baru bisa balik ke rumah... nah! belum lagi upacara di rumah masing-masing, lalu kapan "nyotreng caleg" ?
Selain upacara di pura kahyangan jagat lainnya, pura di desa pakraman, dadya dan pamerajan umumnya juga mengambil hari purnama kedasa (purnama yang paling kedas, bersih dan terang) sebagai hari piodalan.
Wah makin mumet aja, ribuan suara bakal lenyap. Moga ada jalan keluar seperti harapan sameton duncan dan goesdun.
 
Yasa Kerti (lanjutan1)

Dengan landasan sikap dan prilaku seperti tersebut diatas, sebagaimana dijelaskan pada Yasa Kerti dalam bentuk perilaku, demi tertib dan lancarnya karya dimaksud, kepada setiap umat yang akan maturan sangat diharapkan :
  • Agar dengan tertib, sabar dan tenang menunggu giliran sembahyang terutama pada saat-saat sedang padatnya pemedek.
  • Para Pemangku maupun masyarakat yang ingin ngaturang ayah agar terlebih dahulu melapor kepada Panitia serta mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan.
  • Untuk menghindari padatnya pemedek pada hari-hari tertentu, dianjurkan kepada umat dari Kabupaten/Kota untuk ngaturang bakti bersama-sama pada saat giliran kabupaten/Kota yang bersangkutan ngaturang “penganyar”.
  • Berpakaian yang pantas (bersih,rapi dan sopan) serta tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan.
  • Ikut menjaga kebersihan dengan jalan mengumpulkan dan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.
  • Ikut menjaga ketertiban dalam perjalanan dengan mematuhi semua aturan yang berlaku termasuk aturan lalu lintas dan parkir sehingga tercipta suasana yang aman, tertib, tenang dan hikmat.
 
Mungkin yang masih bisa disesuikan jadwal2 kampanye dan pada tawur kesanga bila memungkinkan semua atribut parti diturunkan !.

mobile TPS..semoga berjalan sesuai harapan..krn jadwal pemilu tidak mungkin dirubah lagi...hal ini tentu akan menjadi catatan untuk agenda pemilu selanjutnya, harus memperhatikan kalender kegiatan keagamaan.
 
Yasa Kerti (lanjutan 2)

II. Yasa Kirti dalam bentuk upacara dan upakara.
Untuk mendukung Karya Agung Panca Bali Krama dan Betara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih tahun 2009, pada rangkaian kegiatan upacara yang tertentu, patut dilaksanakan yasa kerti dalam bentuk upacara dan upakara yang dipersembahkan di pura Kahyangan desa, masing-masing keluarga sebagai berikut :

A.Hari : Sukra Wage Wayang (Purnamaning Sasih Kanem)
Tanggal : Tanggal 12 Desember 2008.
Upacara : Ngaku Agem.
Tempat : Pura Penataran Agung Besakih.

Upacara ini dimaksudkan sebagai permakluman (Atur Piuning) bahwa umat Hindu berketetapan hati akan melaksanakan Upacara Panca Bali Krama sekaligus mohon perkenan serta tuntunan agar upacara itu nanti dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa suatu halangan apapun.

Yasa Kirti di masing-masing Desa Pakraman dan rumah tangga sebagai berikut :
Bersamaan dengan upacara tersebut diatas agar di masing-masing tempat suci lainnya seperti Merajan, Panti, Dadia, Paibon, dan Kahyangan Desa, Dhangkahyangan dan Kahyangan Jagat juga menghaturkan upacara atur piuning yang disesuaikan dengan tingkat upacaranya sebagai berikut :

  1. Di Merajan, Panti, Dadia,Paibon, dan sejenisnya, Mengharturkan :
    Sodan Putih Kuning serta canang sari dan canang yasa, diiringi doa seperti tersebut diatas.
  2. Di Pura Kahyangan Desa, Dhangkahyangan, Sad Kahyangan dan Pura lainnya termasuk di luar daerah Bali menghaturkan :
    Daksina Pejati, sodan Putih Kuning, canang sari dan canang yasa beserta kelengkapannya. Upacara ini diantarkan oleh pemangku dan umat Hindu penyungsung masing-masing Pura tersebut ikut sembahyang mendoakan agar Karya Agung Panca Bali Krama yang akan dilaksanakan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
    Mulai saat ini seluruh umat Hindu ikut Ngertiang karya dengan yasa kirti terutama bentuk kesiapan mental kesucian hati serta senantiasa menampilkan pikiran, perkataan dan perbuatan yang suci, menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan yang tidak terpuji serta menodai kesucian dan kelancaran pelaksanaan karya Agung Panca Bali Krama.

B.Batas waktu pelaksanaan upacara pengabenan :
Guna mendukung kesucian karya ini dianjurkan sepanjang memungkinkan untuk melaksanakan pengabenan bagi yang punya sawa mependem, dengan batas waktu untuk pengabenan masal/ngewangun selambat-lambatnya sampai dengan tgl. 13 Pebruari 2009 sudah selesai dilaksanakan. Sedangkan bagi yang meninggal setelah batas waktu tersebut masih diberikan kesempatan pelaksanaan “pengabenan kedadak” hingga batas waktu selambat-lambatnya tanggal 20 Pebruari 2009. Setelah tanggal 20 Pebruari 2009 sampai dengan selesainya upacara mejauman tanggal 27 April 2009, hendaknya tidak melaksanakan kegiatan pembakaran mayat baik dalam bentuk upacara pengabenan maupun “makingsan di geni”.
Bila ada yang meninggal setelah tanggal 20 Pebruari 2009 diatur sebagai berikut :
a. Bila dimungkinkan untuk “dipendem” (dikubur) hendaknya secepatnya melaksanakan upacara penguburan. Perjalanan ke setra dilaksanakan pada sore hari setelah matahari terbenam. Tata cara dan upacara mendem sawa mulai dari nyiramang dan seterusnya mulai berlaku sebagaimana biasa. Hanya saja tidak menyuarakan kentongan banjar, dengan maksud agar krama banjar tidak ikut terkena cuntaka. Anggota keluarga terdekat serta tetangga bersebelahan serta orang-orang lain yang ikut aktif dalam melaksanakan upacara mendem sawa tersebut terkena cuntaka. Batas waktu cuntaka sesuai dengan dresta setempat. Setelah berakhirnya batas waktu cuntaka diperkenankan untuk ikut dalam rangkaian Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh, dengan terlebih dahulu melaksanakan upacara pebersihan diri (metirtha).
b. Bila yang meninggal adalah Sulinggih (dwijati), Pemangku atau mereka yang menurut dresta tidak boleh dipendem, diperkenankan untuk “nyekeh sawa” di rumah masing-masing. Tata cara nyekeh sawa pada dasarnya dilaksanakan sebagaimana biasa dengan ketentuan : bagi yang masih berstatus welaka tidak sampai munggah Tumpang Salu. Sedangkan bagi Sulinggih (dwijati) dapat dilanjutkan sampai munggah Tumpang Salu.


C. Hari : Buda Wage Warigadean
Tanggal : 25 Pebruari 2009
Upacara : Nuwasen Karya dan nunas Tirta Paklukatan Pabersihan.
Tempat : Di Pura Dalem Puri Besakih.

Sebagai usaha untuk menjaga kesucian karya, pada hari ini akan dilaksanakan upacara “Nunas Tirtha Pemarisudha” bertempat di pura Dalem Puri Besakih, selanjutnya dibagikan kepada seluruh umat Hindu yang ada di daerah Bali khususnya. Tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :

a. Kurang lebih jam : 10.00 Wita, perwakilan dari masing-masing desa Pakraman/Kecamatan/Kabupaten/Kota datang ke pura Dalem Puri Besakih, dengan membawa upakara berupa Peras Pejati, Canang sari dan Segehan, lengkap dengan Bumbung bambu sebagai tempat tirtha yang telah dihias dengan daun andong, kain putih kuning, andel-andel dan tedung.

b. Setelah tiba di tempat masing-masing, tirtha dipendak dengan segehan, kemudian dilinggihkan di pura Dalem. Untuk mencukupi semua umat di wilayah itu, tirtha dapat ditambahi dengan air bersih secukupnya.
c. Masing-masing umat Hindu yang ada di wilayah tersebut mohon tirtha “Pemarisudha” sampai di pura Dalem dengan menghaturkan canang sari, untuk dipercikkan di sanggah/merajan, pekarangan rumah dan semua anggota keluarga.
d. Bagi yang masih memiliki jenasah yang belum di aben, agar memercikkan pula tirtha Pemarisudha tersebut di setra/tempat jenasah dikubur, dengan terlebih dahulu menghaturkan upacara :
  1. Di pura Dalem dan Prajapati : menghaturkan sodan putih kuning dan canang sari, dengan permohonan agar Ida Betara Dalem dan Prajapati berkenan menganugrahkan kesucian dan pemarisudha sehingga tidak menodai kesucian karya yanga akan dilaksanakan.
  2. Di setra/tempat jenasah dikuburkan menghaturkan tipat pesor, nasi angkeb, pangkonan putih kuning asagi. Dengan permohonan agar sang pitara tidak mengganggu jalannya upacara yang akan dilaksanakan.
    Batas waktu untuk nyiratang tirtha “pemarisudha” ini selambat-lambatnya tanggal 28 Pebruari 2009 sudah selesai dilaksanakan.
Bagi umat Hindu di luar daerah Bali.
Permohonan tirtha pemarisudha tersebut dapat dilakukan melalui tempat suci yang ada di wilayah masing-masing. Dengan sarana upacara berupa peras pejati. Pemangku mohon tirtha pemarisudha dihadapan pelinggih yang ada, kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam Ista Dewatanya sebagai Betara Siwa. Selanjuitnya dibagikan kepada seluruh umat dengan tata cara seperti tersebut diatas, dan bentuk upakaranya dapat disesuaikan dengan kondisi setempat.

D. Hari : Anggara Wage Dungulan,
Tanggal : 17 Maret 2009,
Upacara : Memasang Penjor

Seluruh umat Hindu diharapkan untuk memasang penjor Galungan dan sekaligus untuk penjor karya Panca Bali Krama, dengan ketentuan pembuatan penjor dengan bahan dan hiasan yang bersifat alami, tidak menggunakan tali maupun hiasan lainnya yang terbuat dari unsur plastic. Bambunya dikerik, dilengkapi pula dengan plawa, pala bungkah pala gantung, jajan, tebu dan kain putih kuning.
Catacan :
Upakara di sanggah penjor pada saat hari raya Galungan sama seperti Galungan biasa. Upakara tersebut diperbaharui dengan upakara yang sama pada puncak Karya Panca Bali Krama, Buda paing Kuningan, tanggal 25 maret 2009. Penjor ini dicabut setelah selesainya semua rangkaian Karya, Sukra Paing Pahang, tanggal 24 April 2009.

Semua pura yang ada yaitu pura Sad Kahyangan, pura Kahyangan desa dan pura lainnya seperti pura masceti, pura Subak, pura Melanting, agar pada hari ini juga memasang penjor lengkap dengan upakara seperti tersebut diatas.
Pura pedharman yang ada di lingkungan pura Besakih mulai hari ini diharapkan menghias (masang busana).

E. Hari : Wrapati Umanis Dungulan
Tanggal : 19 Maret 2009.
Upacara : Nuwur Tirta di Pura Kahyangan Jagat.
Pada Hari ini dilakukan nuwur tirta di Pura kahyangan Jagat Gunung Rinjani (Lombok), Gunung Semeru (Jawa Timur) dan Pura Sad Kahyangan di Bali.

F.Hari : Sukra Paing Dungulan

Tanggal : 20 Maret 2009.
Upacara : Nedunang Ida Bhatara.

Pada hari ini pura padharman yang ada di lingkungan Besakih, diharapkan bersama-sama nedunang Ida Betara, sepanjang memungkinkan agar ikut melasti dan nyejer sampai dengan Sukra Paing Pahang, tanggal 24 April 2009. Bila tidak memungkinkan selama itu agar diusahakan nyejer sampai dengan selesainya upacara pengeremekan Karya Betara Turun Kabeh.

G. Hari : Saniscara Pon Dungulan - Soma Kliwon Kuningan
Tanggal : 21- 23 Maret 2009.
Upacara : Melasti
Tempat : Segara Watu Klotok Klungkung

Untuk pelaksanaan upacara melasti di masing-masing desa adat agar dilaksanakan sebagaimana telah berlaku sebelumnya.
Upacara pelelastian di segara berlaku sebagaimana mestinya, juga dilengkapi dengan pekelem.
Khusus bagi desa-desa yang akan dilalui dalam perjalanan melasti menuju Segara Klotok sampai kembali ke pura Besakih, diharapkan agar mempersiapkan aturan bakti pemendak di tempat-tempat yang telah ditetapkan (sebagaimana halnya pada waktu karya Panca Bali Krama sebelumnya).
Disamping itu sangat diharapkan pula agar dapat diatur secara bergiliran untuk ngayah mundut Ida Betara.

H. Hari : Anggara Umanis Kuningan,
Tanggal : 24 Maret 2009,
Upacara : Mepepada tawur dan Upacara Pemenben.

Pada hari ini seluruh wewalungan disufat/ disucikan untuk dijadikan bahan upakara. Upacara ini sebagai permohonan agar semua binatang yang akan dijadikan upakara itu disucikan dan rohnya dianugrahi peningkatan dalam kelahiran berikutnya.

I. Hari : Buda Paing Kuningan,
Tanggal : 25 Maret 2009,
Upacara : Puncak Karya Panca Bali Krama.

Bersamaan dengan puncak Karya Panca Bali Krama di Besakih, seluruh umat Hindu patut ikut mensukseskan pelaksanaan karaya tersebut, dan Yasa kerti yang patut dilaksanakan pada hari ini adalah :

a. Nunas Tirtha dan Nasi Tawur.
Perwakilan dari masing-masing desa adat//kecamatan agar datang ke pura Besakih sekitar jam 10.00 Wita, dengan membawa sujang untuk tempat tirtha tawur serta canang sari dan perlengkapan persembahyangan seperlunya, guna mohon nasi tawur dan tirtha tawur untuk disebarkan dan dipercikkan di wilayah masing-masing.

b. Pecaruan/Tawur di masing-masing wilayah.
Masing-masing wilayah juga melaksanakan Pecaruan/Tawur kesanga sebagaimana biasa pelaksanaan Tawur kesanga, dengan waktu pelaksanaan diatur sebagai berikut :
  1. Di tingkat Provinsi dan kabupaten/Kota dilaksanakan pada siang hari jam 12.00 Wita.
  2. Di tingkat desa dan banjar agar dilaksanakan pada sore hari jam 18.00 Wita. Tingkat upacara Pecaruan/Tawur di wilayah tersebut diatas berlaku sebagaimana biasa (sesuai dengan dresta).

c. Upakara di parhyangan.
Disemua Kahyangan seperti Pura kahyangan desa, pura Swa Gina (Masceti, Subak, melanting dan sejenisnya) pura keluarga (kawitan, dadia, panti, paibon dan sejenisnya), pada hari ini agar ikut melaksanakan upacara ngertiang kerahayuan jagat dengan jalan di pelinggih menghaturkan Daksina Pejati, sodan Putih Kuning, canang sari dan canang yasa beserta kelengkapannya.

d. Upakara di masing-masing rumah tangga :
1. Di pelinggih kemulan/rong tiga menghaturkan :
Daksina Pejati
Canang sari
Soda putih kuning dan tipat kelanan​
2. Dihalaman/natar merajan menghaturkan ;
Segehan mancawarna maiwak bawang jahe.
3. Dihalaman rumah menghaturkan :
Segehan mancawarna maulam bawang jahe
4. Dihalaman luar, jaba/lebuh :
Mendirikan sanggah cucuk diletakkan di sebelah kanan pintu keluar, banten munggah di sanggah cucuk seperti perayaan hari Tawur kesanga biasa.
Dibawah sanggah cucuk menghaturkan :​
Segehan manca warna 9 tanding, ulamnya olahan ayam brumbun lengkap dengan tetabuhan, dihaturkan kehadapan Sang Bhuta Raja dan Sang kala Raja.
Segehan cacahan 108, ulamnya jejeron matah, disertai dengan segehan agung 1 tanding, tetabuhan tuak, arak, berem, air dihaturkan kehadapan Sang Bhuta bala dan Kala Bala.
Segehan sapunjung, iwak bawi ingolah lembat asem.​

Catatan :
Upakara Daksina Pejati yang munggah di Pelinggih paryangan dan Pelinggih Rong Tiga tersebut diatas “Nyejer” sampai panyineban upacara panca Bali Krama, dan setiap harinya agar menghaturkan canang sari ngertiyang karya nunas kerahayuan jagat.

J. Hari : Sukra Paing Pahang,
Tanggal : 24 April 2009.
Upacara :
a. Nunas Tirtha Panglebar ring Pura Dalem Puri,
b. Panyineban.​
a. Upacara Nunas Tirtha Pangenduh/Panglebar.
Upacara ini dilaksanakan di pura Dalem Puri Besakih. Kalau pada awal akan mulainya persiapan Karya Panca Bali Krama telah dilaksanakan upacara nunas Tirtha Pengandeg, maka pada saat akhir upacara dilaksanakanlah upacara nunas Tirtha Penglebar ini. Dengan maksud mohon kehadapan Ida Betara agar berkenan menganugrahi bahwa sejak saat itu pelaksanaan upacara Pengabenan maupun upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian dapat dilaksanakan sebagaimana biasa. Pada saat ini daiharapkan perwakilan dari masing-masing Desa Adat/Kecamatan untuk nunas tirtha penglebar dimaksud dengan sarana upakara peras pejati, katur di pura Dalem Puri Besakih.
b. Daksina Pejati yang sudah dilinggihkan sejak tanggal 25 Maret 2009, di masing-masing sanggar hari ini dilebar kemudian digeseng, dengan terlebih dahulu menghaturkan soda putih kuning dan canang yasa serta segehan.
Demikian pula penjor pada hari ini bisa di cabut. Sisa-sisa upakara dikumpulkan dan dibakar kemudian abunya dimasukkan pada bungkak nyuh gading dan ditanam, abu sisa di merajan ditanam di merajan (dibelakang peligih rong tiga), demikian pula abu sisa upakara di halaman rumah dan di lebuh ditanam di lebuh, disertai dengan canang sari 1 pasang.

Selanjutnya pada hari Soma Kliwon Klurut, tanggal 27 April 2009, dilaksanakan upacara Mejauman di seluruh tempat nuwur tirtha.
 
Hari ini, Rabu, Buda wage Warigadean tanggal 25 Februari 2009 merupakan rangkaian kedua dari 43 acara Karya Agung Panca Bali Krama di Pura Agung Besakih warsa 2009 dan juga rangkaian pertama yang secara langsung melibatkan seluruh Desa Pakraman yang ada di Bali. Sebagaimana ditulis dalam buku Yasa Kerti Karya Agung Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh Pura Agung Besakih 2009, terdapat 4 jenis upacara yang dilaksanakan pada hari ini, yaitu:
08.00 wita, Ngaturang Pamiut dilaksanakan di Pura Penataran Agung Besakih
09.00 wita, Nuwasen Karya lan Pengalang Sasih dilaksanakan di Pura Penataran Agung Besakih
10.00 wita, Nunas Tirta Panglukatan lan Pamarisudha dilaksanakan di Pura Dalem Puri Besakih
13.00 wita, Nyuci Beras, Negtegang lan Ngunggahan Sunari dilaksanakan di Suci Pura Agung Besakih.
Atas berbagai pertimbangan terutama pengayah yang telah siap di masing-masing amongan (tugas), 4 rangkaian upacara tersebut dilaksanakan hampir bersamaan di 3 tempat, Pura Penataran Agung Besakih, Pura Dalem Puri Besakih dan Suci Pura Agung Besakih.
Dengan pelaksanaan 4 rangkaian upacara pada hari ini, Buda Wage Warigadean – Rabu 25 Februari 2009, seluruh rangkaian persiapan sarana upacara telah mulai dilakukan di Suci Pura Agung Besakih dengan bimbingan, pengawasan dan tanggung jawab Sang Tapini (Ida Pedanda Istri). Penyebaran Tirta Panglukatan dan Pamarisudha ke seluruh wilayah Bali dan luar Bali (nunas tirta di pura setempat) hingga ke masing-masing keluarga memberi gambaran bahwa jagat dipandang suci dalam rangka pelaksanaan Karya Agung Panca Bali Krama Pura Agung Besakih warsa 2009.
Catatan detail dan foto bisa dilihat http://purabesakih.blogspot.com
 
Semoga dengan ditetapkanya hari baik untuk memulai karya Panca Bali Krama Pura Agung Besakih 2009 (Nuwasen Karya), umat sedharma menjalankan "Yasa Kerti" dengan kesiapan mental, suci hati melalui perbuatan Tri Kaya Parisudha (Manacika/berpikir suci, Wakcika/berkata-kata benar dan Kayika/berbuat yang baik/terpuji) guna menjaga kesucian dan pelaksanaan Karya Pancaq Bali Krama 2009.
 
Sameton Goesdun, dahat suksma sampun prasida ngunggahang Dudonan Karya PBK 2009.
Kini, setelah Nuwasen Karya 25 Februari 2009 yang lalu, makin hari kian padat umat ngaturang ayah di Besakih. Para pengayah istri tertampung di Suci Pura Agung Besakih membantu Ida Pedanda Istri dan Tukang banten menyiapkan sarana upakara, namun pengayah lanang belum segiat wanita karena pekerjaan lelaki belum banyak dimulai. Penyanggra Karya di Besakih sepanan mengatur karena sebagian besar bahan belum tersedia. Pekerjaan para lelaki baru akan meningkat setelah tanggal 6 Maret 2009 sesudah upacara Nyukat Genah Tawur dan Ngawit Mekarya Wewarungan.
Sekedar info: bagi krama Hindu Indoforum atau rekan-rekan sameton yang berniat ngayah / tangkil ke Pura Besakih (sebaiknya berkelomok) dapatkan informasi dari Panitia. Hubungi panitia di 0366-5300888 (telp flexi ini punia dari Telkom). Suksma
 
Ngayah di Besakih

Minggu, 1 Maret 2009, Lebih 1000 Orang Ngayah di Besakih.
Minggu 1 Maret 2009 Pura Agung Besakih kembali “diserbu" ratusan pengayah dari berbagai kelompok. Pengayah yang terdaftar hari sebelumnya sebanyak 12 kelompok terdiri dari sekitar 500 orang, hingga siang hari terus bertambah menjadi 19 kelompok terdiri dari 971 orang. Bila ditambah dengan pengayah perorangan dan kelompok kecil yang tidak terdaftar maka diperkirakan lebih dari 1000 orang hadir ngayah di Besakih hari Minggu lalu.
Pengayah istri sepenuhnya membantu Sang Tapini dan Tukang Banten membuat berbagai kelengkapan upakara atau bahan-bahan untuk banten dan membuat berbagai jenis kue (jaja catur) di areal Suci Pura Agung Besakih dengan pengawasan penuh dari 5 orang Ida Pedanda Istri Tapini. Pengayah lanang bekerja mareresik (kebersihan) dan membuat klatkat (anyaman bambu sarana upakara) di natar jeroan Pura Penataran Agung Besakih.
Selain ngayah (kerja bakti dan pelayanan kesehatan) kelompok Media Bali Post juga menyerahkan punia berupa saperadeg (seperangkat) busana kepada para pinandita Pura Agung Besakih. Selain itu, tercatat pula kelompok pengayah dari Rumah Sakit Indera Denpasar memberikan pelayanan kesehatan mata kepada para pemangku Pura Agung Besakih.

Paruman Penyanggra Karya
Terkait dengan semakin dekatnya pelaksanaan puncak Karya Agung Panca Bali Krama, jam 17.00 sore 1 Maret 2009 diselenggarakan paruman para koordinator Penyanggra Karya (panitia lokal Besakih) untuk memantapkan persiapan masing-masing bidang. Dilanjutkan pada sore 2 Maret 2009 diselenggarakan rapat pleno panitia lokal Besakih dan 4 Maret 2009 hari ini diselenggarakan rapat dengan pemaksan pura Pedharman sajebag Pura Agung Besakih terkait dengan kesertaan pralingga Ida Bhatara seluruh Pedharman dalam prosesi Palelastian yang akan berlangsung selama 3 hari, 21 hingga 23 Maret 2009.

Wanita Tertua di Bali (Ida Pedanda Istri Mas - 108 tahun) Ngayah di Besakih
Salah satu unsur penting dalam ritus Panca Bali Krama adalah upakara atau sesajen yang rumit dalam pandangan awam. "Sutradara" upakara itu adalah wanita tertua di Bali, Ida Pedanda Istri Mas, yang tahun ini berusia 108 tahun.
Ida Pedanda Istri Mas, bersama 4 orang Pedanda Istri lainnya yang disebut Sang Tapini, tiap hari memimpin dan membimbing ratusan pengayah istri dalam menyiapkan seluruh sesajen. Tanpa kacamata dan alat bantu dengar, tangan rentanya cekatan menata adonan tepung menjadi bagian-bagian Jaja Catur berbentuk senjata pangider yang rumit sembari berbincang dengan pengayah sekitarnya.
Ida Pedanda Istri Mas, telah ikut menjadi arsitek banten pada upacara besar di Besakih sejak Eka Dasa Rudra Paneregteg (1963), Eka Dasa Rudra (1979), Panca Bali Krama (1989),Tri Bhuwana, Candi Narmada lan Panca Bali Krama ring Danu (1993), Eka Bhuwana (1996), Panca Bali Krama (1999) dan kini Panca Bali Krama (2009).
"Bahagia..", sesederhana itu jawaban Ida Pedanda Istri Mas ketika saya tanya perihal rentang puluhan tahun ngayah pada beberapa Karya Agung di Besakih. Memang benar, seperti dikatakan Ida Pedanda Istri Mas, bahwa tak banyak orang yang beruntung dapat menyaksikan serentetan upacara besar di Besakih dalam rentang pelaksanaan puluhan hingga ratusan tahun, terlebih berperan langsung ngayah dalam upacara itu.
Sejak 25 Februari 2009 lalu, Ida Pedanda Istri Mas dan Ida Pedanda Istri lainnya bermukim dan bersahabat dengan dinginnya pasraman Tapini di kaki gunung Agung, Besakih.
 
“ngayah” dengan kesadaran penuh semoga menjadi "nadi" mencapai konsentrasi kesadaran spiritual penuh, membahagiakan jiwa dan alam semesta.
 
Besakih 6 Maret 2009

Nyukat Genah Tawur, 6 Maret 2009
Di titik ruang kosong bancingah agung kawasan ambal-ambal Pura Agung Besakih persembahan dan pemujaan Tawur agung Panca Bali Krama akan digelar pada hari terpilih Tilem Kasanga, 25 Maret 2009. Kendati dipandang sebagai ruang sakral, pembuatan sarana penunjang upacara Tawur Agung Panca Bali Krama, wewangunan misalnya, tetap dilaksanakan atas dasar tuntunan susastra termasuk penetapan tata letak bangunan-bangunan sarana upacara. Jumat 6 Maret 2009 jam 10.15 pagi dilaksanakan upacara Nyukat Genah Tawur di Bancingah Agung Pura Agung Besakih yang dipimpin oleh Yajamana Karya Ida Pedanda Gede Putra Tembau dari Griya Aan dibantu oleh puluhan pemangku dan pengayah. Kegiatan pokok, secara fisik, adalah melakukan penetapan luas areal tempat pelaksanaan upacara tawur dan tata letak bangunan-bangunan yang dipergunakan dalam upacara tersebut seperti misalnya, Sanggar Tawang, Sanggar Pawedaan, Bale Pedanan dan bangunan penunjang lainnya. Bangunan-bangunan tersebut dikelompokkan menjadi 4 dalam posisi nyatur dan 1 di tengah sehingga merupakan kelompok bangunan typical/sejenis di lima titik: kaja-kelod, kangin-kauh dan tengah. Posisi ini, antara lain, diturunkan dari filosofi pemujaan Panca Bali Krama (berbeda dengan Eka Dasa Rudra – upacara seratus tahunan - yang mengambil 8 arah penjuru dan 3 di tengah sehingga jumlahnya sebelas menyajikan simbol Eka Dasa Rudra).
Di lima titik sanggar pemujaan inilah nanti, pada puncak upacara tawur, Ida Pedanda akan melakukan pemujaan secara bersamaan memuja kekuatan dan kemuliaan Ida Hyang Widhi Wasa kemudian menggabungkan kekuatan puja dalam wujud tirta tawur dan nasi tawur yang selanjutnya oleh perwakilan desa pakraman seluruh Bali akan dibagikan kepada seluruh warga desa sebagai sarana upacara di masing-masing rumah.
Pemujaan kemuliaan dan kekuatan Ida Hyang Widhi Wasa pada saat bersamaan, hari itu - 25 Maret 2006, akan menyebar ke seluruh wilayah Bali. Keesokan harinya, 26 Maret 2009, secara bersamaan pula wilayah Bali akan hening, amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan, Nyepi.

Perihal Tawur Kesanga (tahunan), Panca Bali Krama (sepuluh tahunan), Eka Dasa Rudra (seratus tahunan) dan bahkan ada pula menyebut keberadaan Baligia Marebu Bhumi (seribu tahunan), sesungguhnya masih peteng dedet di benak saya. Mohon pencerahan sameton Goesdun dan sameton lainnya agar pemahaman kita tentang misteri 0 (windu) ini jadi lebih terang. Suksma.
 
Makna panca wali krama

Purwaka

Pada hari rabu, 25 Maret 2009 (Budha Pahing Kuningan) umat Hindu di Indonesia kembali menyelenggarakan Karya Agung Panca Bali (Wali) Krama sebagai salah satu rangkaian siklus upacara Bhuta Yadnya dalam agama Hindu yang berhubungan dengan Ekadasa Rudra. Apabila Ekadasa Rudra diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra saat tahun Saka berakhir dengan 00 atau rah windu tenggek windu atau windu turas (setiap seratus tahun sekali), maka Panca Bali Krama diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra saat tahun Saka berakhir dengan 0 atau rah windu (setiap sepuluh tahun sekali) seperti tersurat di dalam lontar Indik Ngekadasa Rudra. Landasan yang digunakan sebagai dasar terselenggaranya Karya Agung Panca Bali Krama tersurat di dalam kitab suci Veda, Samhita, Brahmana, Aranyaka, Upanisad, dan kitab-kitab Purana.
Sebagai salah satu rangkaian siklus Panca Maha Yajnya,Bhuta Yadnya tidak terpisahkan dengan rangkaian Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusa Yajnya karena merupakan satu kesatuan yang utuh. Kata yajnya memiliki makna yang dalam karena dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Tidak hanya dalam bentuk pelaksanaan upacara, namun dapat berbentuk berbagai aktivitas kerja. Dalam kitab suci Veda, uraian tentang yajnya dan karma (kerja) diuraikan dalam satu kesatuan. Kitab Bhagawad Gita misalnya, tidak hanya menguraikan tentang ethos kerja tetapi juga hakikat kerja. Yajnya dan karma adalah jalan pembebasan, jalan pembebasan diri dari belenggu materialisme.

Karya Agung Ekadasa Rudra telah diselenggarakan di Bali pada Tilem Caitra Saka 1900 (Maret 1979) sebagai rangkaian siklus Bhuta Yadnya, dilanjutkan dengan Karya Agung Panca Bali Krama setiap sepuluh tahun sekali. Terakhir, Panca Bali Krama diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra (Tilem Kasanga) Saka 1920, tanggal 17 Maret 19999 yang dipusatkan di Bancingah Agung Pura Panataran Agung Besakih, di kaki Gunung Agung.

Selain diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu, Panca Bali Krama juga diadakan pada saat-saat tertentu sesuai keperluan. Menurut teks lontar Bali, tercatat ada beberapa jenis Panca Bali Krama sebagai berikut:
a. Panca Bali Krama yang diadakan pada saat tahun Saka berakhir dengan 0 (rah windu) atau menjelang pasalin rah tunggal, misalnya tahun Saka 1910, 1920, dan seterusnya.
b. Panca Bali Krama Panregteg diadakan tidak terikat dengan rah windu, tetapi dilaksanakan karena Panca Bali Krama sudah lama tidak diadakan.

c. Panca Bali Krama yang diadakan di Pura Panataran Agung Besakih karena terjadi bencana alam yang bertubi-tubi, seperti desa-desa hilang tersapu banjir, desa-desa ditelan bumi karena gempa dahsyat, gunung meletus disertai hujan abu yang menyebabkan bumi gelap gulita, hama merajalela, umur manusia pendek, orang jahat dikira baik, sebaliknya orang baik dikira jahat, dan lain-lain.

d. Panca Bali Krama yang diadakan di tempat-tempat tertentu di luar Pura Panataran Agung Besakih, misalnya di pusat kerajaan (sekarang kabupaten/kota atau propinsi) untuk menyucikan wilayah tertentu. Di masa lalu, pernah diadakan di Denpasar dan Mengwi.

e. Panca Bali Krama Ring Danu, ialah Panca Bali Krama yang diadakan di danau (biasanya dipilih danau yang terbesar) serangkaian dengan upacara Candi Narmada di samudra (laut). Upacara itu seharusnya dilaksanakan sebelum diadakan Karya Agung Ekadasa Rudra. .

Panca Bali Krama: Bhuta Yajna dan Dewa Yajna

Yadnya, yang telah dan akan dilakukan oleh umat Hindu merupakan kewajiban yang patut dilaksanakan. Keseluruhan rangkaian yadnya diklasifikasikan dalam Panca Maha Yajna yang terdiri atas Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, seperti disuratkan dalam kitab suci Veda dan secara eksplisit ditegaskan dalam Kitab Satapata Brahmana maupun Manawa Dharmasastra (III, , 68, 69, 70, 71 dan 72) (lihat Die Religionen Indies I, Veda und ulterer Hinduismus, Kohlhamer, 1960). Dengan demikian, pelaksanaan yajna sesungguhnya berlandaskan ajaran kitab suci Veda.
Bhuta Yadnya merupakan persembahan kepada bhuta yang merupakan unsur-unsur yang membangun alam semesta (bhuwana alit maupun bhuwana agung atau segala bentuk material di alam raya ini), disebut panca maha bhuta, terdiri atas prethiwi (unsur tanah), apah (unsur air), teja (unsur sinar), vayu (unsur angin) dan akasa (ether), yang dibentuk oleh lima unsur lebih halus, disebut panca tan matra yang tediri atas gandha (unsur bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa) dan sabda (suara).

Semua unsur tersebut berstruktur dan bersistem dalam harmoni. Namun dalam perjalanan waktu, karena tindakan dan perbuatan manusia, kadangkala mengalami disharmoni. Oleh karena itu dalam kurun waktu tertentu diadakan upacara untuk mengharmoniskannya dengan upacara Bhuta Yajna dan upakara bali, berupa caru atau tawur. Harapan yang ingin dicapai ialah Bhuta Hita atau Jagat Hita maupun Sarwa Prani Hita, keharmonisan yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya.

Bhuta Yajna diadakan di tempat dan pada waktu terpilih (pangaladesa, subhadiwasa), yaitu pada Tilem Caitra (Tilem Kasanga), ketika matahari berada di atas khatulistiwa dan ketika bumi, bulan dan matahari dalam posisi tegak lurus. Posisi Bhuwana Agung pada saat ini (terlebih pada saat sandhya-kala) dipandang sebagai posisi yang tepat untuk mengadakan Bhuta Yajna. Penyelenggaraannya dilakukan di sebuah tempat yang secara simbolis dianggap sebagai madhyanikang bhuwana (tengahnya dunia), di sebuah natar (lebhuh, pempatan) di mana prethiwi (bumi, tanah) dan akasa (langit) bersemuka.

Setelah upacara Bhuta Yajna dilaksanakanlah upacara Dewa Yajna sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Ketika bulan sempurna di langit (purnama) diselenggarakanlah Dewa Yajna. Purnama kadasa (juga Purnama Kartika) adalah purnama yang dianggap paling “sempurna”, karena saat itu bulan purnama berada paling dekat dengan garis khatulistiwa. Inilah yang dipandang sebagai “subhadiwasa” untuk melaksanakan Dewa Yajna.

Oleh karena itu, upacara Ngusaba Kadasa yang disebut juga Bhatara Turun Kabeh.
Menurut pandangan Agama Hindu, manusia hidup “di antara” Bhuta dan Dewa, maka dengan melaksanakan Bhuta Yajna dan Dewa Yajna diharapkan manusia menyadari dirinya yang pada hakikatnya adalah “Cahaya Tuhan” yang berasal dari dan akan kembali kepada “Sang Maha Cahaya”. Bukan sebaliknya ‘jatuh” ke dalam kegelapan (bhuta).

Tetapi bhuta perlu dijaga keharmonisannya (somya) dengan berbagai upaya sebagaimana diajarkan dalam ajaran Agama Hindu. Bhuta Yajna juga diselenggarakan karena manusia menjadikan bhuta (juga tan matra) sebagai obyek indrianya. Obyek indria diupayakan dalam keadaan bhuta hita sehinga dengan demikian kerahayuan hidup akan dapat dicapai. Setelah bhuta menjadi somya, maka Hyang Bhutapati yang juga adalah Hyang Pasupati atau Hyang Jagatpati distanakan lalu dipuja. Dengan demikian, Panca Bali Krama di samping sebagai Bhuta Yajna, pada dasarnya juga adalah Dewa Yajna, pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Panca Bali Krama dan Panca Brahma

Kitab Wrehaspati Tattwa menyuratkan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa disebut sebagai Sadasiwa dengan singgasana Padmasana (singgasana teratai) yang memancar ke arah empat penjuru alam semesta. Secara antrophomorfis diwujudkan dalam empat Kemahakuasaan yang maha gaib sebagai empat Dewa yang menjadi Penguasa empat penjuru alam semesta. Saktinya (Kemahakuasaannya) terdiri atas Wibhu Sakti (Maha Ada), Prabhu Sakti (Maha Kuasa), Jnana Sakti (Maha Tahu) dan Kriya Sakti (Maha Pencipta), disebut Cadu Sakti atau Catur Sakti, yakni Empat Kemahakuasaan Hyang Siwa. Hyang Sadasiwa yang berstana di tengah bunga padma adalah mantratma, mantra sebagai wujudNya. Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bhamadewa sebagai badan halus, Sadyojata sebagai wujudNya, Aum. Hyang Sadasiwa (Tuhan Yang Maha Kuasa) wujudnya bening seperti kristal. Kelima wujud itu disebut Panca Brahma atau Panca Dewata, masing-masing denagn bija aksaraNya (aksara suci): SANG, BANG, TANG, ANG, ING. Dalma konsepsi padma bhuwana atau padma mandala masing-masing sebagai:

a. Penguasa penjuru Timur alam semesta (Purwa) adalah Sadyojata denga gelar lain Iswara;
b. Penguasa penjuru Selatan (Daksina) adalah Bhamadewa dengan gelar lain Brahma;
c. PEnguasa penjuru Barat (Pascima) adalah Tatpurusa dengan gelar lain Mahadewa;
d. Penguasa penjuru Utara (Uttara) adalah Aghora dengan gelar lain Wisnu;
e. Penguasa di pusat (Madhya) adalah Siwa sendiri disebut juga ISana, Penguasa Yang Maha Agung.

Panca Brahma (lihat Vasudeva S. Agravala (1984)) adalah penguasa dari Panca Maha Bhuta dan Panca Tanmatra. Sadyojata penguasa Pratiwi (tanah) dan gandha (bau), Bhamadewa penguasa apah (air) dan rasa (rasa), Aghora penguasa teja (api) dan sparsa (cahaya, warna), Tatpurusa penguasa bayu (angin) dan rupa (rupa), Isana adalah penguasa akasa (ether) dan sabda (suara). Panca Brahmajuga menjadi pengendali Panca Jnanendriya atau Panca Bhudindriya. Sebagaimana halnya akasa, Isana juga pengendali srotendriya (indria pendengar), Tatpurusa pengendali twakindriya (indria rasa sentuhan), Aghora (pengendali cakswindriya (indria penglihatan), Bhamadewa pengendali jihwendriya (indria rasa lidah), Sadyojata adalah pengenali ghranendriya (indria penciuman). Seperti diketahui, Panca Tanmatra adalah obyek Panca Jnanendriya, dan Panca Tanmatra adalah unsur dasar yang membangun Panca Maha Bhuta.

Dengan demikian, tampaklah hubungan yang erat antara Panca Brahma dengan Panca Maha Bhuta, Panca Tan Matra, dan Panca Jnanendriya sehingga jelas pulalah makna Karya Agung Panca Bali Krama yang diselenggarakan oleh umat Hindu merupakan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan KekuasaanNya yang membentang ke empat penjuru alam semesta (Bhuta Iswara, Bhutapati) untuk memohon kerahayuan jagat (bhuta hita, jagathita). Bersamaan dengan itu, umat Hindu mengukuhkan kesadarannya tentang hakikat keberadaannya di alam semesta ini, hakikat dirinya yang suci, hakikat tujuan hidupnya untuk manunggal,kembali pada asalnya, Tuhan Yang Maha Suci.

Panca Bali Krama, Panca Giri dan Pura Panataran Agung Besakih

Lontar Tantu Pangelaran menyiratkan bahwa gunung (giri, meru, parwata) memberikan kerahayuan (amreta) kepada manusia yang hidup di kaki dan datarannya. Selain itu, gunung merupakan pusat orientasi kesucian bagi umat Hindu, gunung-gunung dipandang sebagai satu kesatuan sehinga muncul konsepsi panca giri. Kitab-kitab yang mengajarkan ajaran yoga, pertama-tama menguraikan tentang Gunung Mahameru sebagai tempat Sthana Hyang Siwa yang digambarkan sebagai pusat padma dunia raya.

Bagi seorang sadhaka, gunung itu terletak di sahasrara padma, di kepala manusia, tempat Hyang Siwa menurunkan ajaran-ajaranNya yang kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra dan Kitab Tantra dalam bentuk tanya jawab (dialogis catekismus) antara Hyang Siwa dengan SaktiNya Dewi Parwati. Gunung dalam alam sakala maupun niskala sangat penting bagi umat Hindu, dipandang sebagai linga acala, linga yang tidak bergerak.

Karena gunung yang tertinggi (Mahameru, Gunung Agung) dinyatakan berada di pusat padma dunia, maka gunung-gunung yang lain menempati posisi dik widik. Dunia atau wilayah yang lebih kecil digambarkan sebagai bunga padma, disebut padma bhuwana atau padma mandala sehingga dalam konteks Bali, Gunung Agung menempati posisi di tengah padma mandala, Gunung Lempuyang di Timur, Gunung Andakasa di Selatan, Gunung Batukaru di Barat dan Gunung Batur di Utara.

Di tempat tersebut didirikan pura atau tempat suci utama, menempati posisi dik, sementara yang menempati posisi widik adalah Pura Gua Lawah di Tenggara, Pura Luhur Uluwatu di Barat Daya, Pura Pucak Mangu di Barat Laut. Pura Agung Besakih juga menempati posisi Timur Laut (Airsanya). Pura yang biasa disebut Sad Kahyangan tersebut merupakan kesatuan, bagaikan sebuah bunga padma dengan delapan helainya (dala) yang menunjuk delapan penjuru, dengan sarinya berada di tengah.

Pada sari bunga padma yang suci itu didirikan Padma Agung (Padma Tiga) yang merupakan Panataran Agung Besakih masih memiliki dala pada posisi dik, masing-masing Pura Gelap (Timur, Sadyojata, atau Iswara). Pura Kiduling Kreteg (Selatan, Bhamadewa atau Brahma), Pura Ulun Kulkul (Barat, Tatpurusa atau Mahadewa), Pura Batu Madeg (Utara, Aghora atau Wisnu) yang disebut Pura Catur Lokaphala atau Catur Dala. Secara holistik, maka Padma Tiga Pura Panataran Agung Besakih, pertama-tama disangga oleh pura catur dala, selanjutnya ditopang lagi oleh pura Sad Kahyangan (pura utama) yang terletak di delapan penjuru Pulau Bali atau asta dala. Pura Kahyangan Jagat yang didirikan di seluruh Nusantara dapat berfungsi sebagai sahasra dala, seribu kelopak bunga padma.

Apabila pelaksanaan upacara besar di Pura Agung Besakih diperhatikan, khususnya upacara Bhatara Turun Kabeh dalam rangka Panca Bali Krama merefleksikan telah diterapkannya konsepsi padma kuncup. Dalam rangkaian upacara Tabuh Gentuh (setiap tahun), Dewata yang disthanakan pada masing-masing pura catur dala, disatukan di tengah (Pura Panataran Agung). Dewata yang disthanakan di pura catur dala yang lebih jauh (Pura Lempuyang Luhur, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur) disatukan di Pura Panataran Agung Besakih, dan akhirnya pada upacara Bhatara Turun Kabeh dalam rangkaian Karya Agung Baligya Marebhu Bhumi (seribu tahun sekali), Dewata yang disthanakan di pura sahasra dala secara simbolis juga disatukan di Pura Panataran Agung Besakih. Begitu pentingnya posisi Pura Agung Besaki (dari kata “basuki” berarti rahayu), pura yang senantiasa dijaga keagungan, keindahan dan kesuciannya, sehingga pada dasarnya merupakan perwujudan ajaran Satyam Siwam Sundaram
Panca Bali Krama, Tahun Saka dan Nyepi

Perhitungan penetapan tahun Saka tidak hanya melihat posisi matahari (surya pramana) tetapi juga posisi bulan (candra pramana) sehingga disebut surya candra pramana. Sistem penetapan Tahun Baru Saka menunjukkan bahwa umat Hindu sangat memperhatikan benda-benda “bersinar” di langit sebagai refleksi senantiasa mengembangkan wawasan kesemestaan, kesejagatan (Brahmanda). Benda-benda “bersinar” di langit, secara langsung dirasakan pengaruhnya pada kehidupan manusia di bumi, khususnya kaitannya dengan perubahan musim. Namun, secara spiritual menunjukkan bahwa agama Hindu berorientasi pada “sinar” (divine) sehingga muncullah kata Dewa (dari div berarti bersinar). Umat Hindu menyadari hakikat dirinya adalah “Cahaya Suci Tuhan Yang Maha Kuasa”, selanjutnya ingin membangun dirinya menjadi divine man, lebih lanjut membangun divine society, manusia dan masyarakat yang memancarkan Sinar Suci Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara etis, manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan atau keraksasaan dalam dirinya (asuri sampat) dan memupuk terus sifat-sifat kedewataan (daivi sampat). Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan jati diri manusia dan peradaban Hindu.

Surya sebagai benda bersinar di langit yang diam dan tidak berubah merupakan pusat orientasi umat Hindu, bukan pada sesuatu yang berubah. Tuhan Yang Maha Kuasa adalah Abadi. Oleh karena itu, Beliau disebut Sangkan Paraning Dumadi (dari mana dan hendak kemana manusia pergi). Oleh karena itu pula, Surya dijadikan simbol sesuatu yang Abadi, Maha Cahaya, lalu dijadikan sthana Tuhan Yang Maha Kuasa, Hyang Siwa Aditya.

Pada saat Surya tegak di atas khatulistiwa, disebut Wiswayana (apabila Surya berada di sebelah selatan khatulistiwa disebut Daksinayana, bila di utara khatulistiwa disebut Uttarayana) dipandang sebagai saat yang tepat untuk melaksanakan upacara penyucian bhuwana dan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, umat Hindu memasuki tahun baru dengan melaksanakan “brata penyepian”. Artinya, dalam mengawali langkahnya memasuki kehidupan yang baru, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya yang terpenting, yaitu tapa, brata, yoga dan samadhi, yang pada intinya berisi pengendalian diri dan pemusatan pikiran kepada Sang Pencipta.

Pada Hari Nyepi, umat hindu berharap dapat memasuki alam sunya, alam yang sempurna, heneng (tenang) dan hening (jernih). Dang Hyang Kamalanatha (Dang Hyang Dwijendra) dalam karyanya Dharma Sunya dan Dharma Putus menekankan bahwa sunya tersebut adalah kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa yang dipuja sebagai Sang Hyang Sakala Atma (jiwa dari segala yang hidup), dan digambarkan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah aho” (Beliau yang tak ubahnya sebagai isi pikiran suci), serta “Sang mawak ring tuturku” (Beliau yang mewujud dalam kesadaranku). Demikianlah alam sunya adalah tujuan tertinggi yang diyakini dapat dicapai dengan latihan yang dilakukan terus menerus. Itulah sebabnya Agama Hindu memberi kedudukan terpenting pada ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi, antara lain dengan jalan melakukannya secara bersama-sama pada hari Nyepi.

Om Nama Siwaya,
Om Shanti, Shanti, Shanti
Om

Sumber :
Lontar Ngekadasa Rudra; Lontar Widhi Widhanan Ing Tawur Ekadasa Rudra; Raja Purana Besakih, Lontar Ekadasa Rudra; Lontar Indik Karya Ekadasa Rudra; Lontar Bhama Krthih; Lontar Candi Narmada (Koleksi Griha Taman Intaran Sanur, Griha Pidada Karangasem; Griha Wanasari; Griha Lod Rurung Riang Gede; Griha Aan Klungkung; dan Yayasan Dharma Sastra), dan buku “Panca Bali Krama” (Penjelasan Singkat) oleh Ida Bagus Gede Agastia, diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Tahun 1998
Dikutif ; KARTA WIDNYANA Darti Sumber Pusata Hindu

source: Karta Widnyana/www.beritakarangasem.blogspot.com
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.