• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Pura Luhur Gede Batupanes

Aham rudrebhir vasubhis caramy
Aham adityair uta visvadevaih
Aham mitravarunobha bibharmy
Aham indragni aham asvinobha.
(Rgved X. 125.1)

BATU3.JPG

Maksudnya: Tuhan gerakkan kekuatan alam menjadi tenaga dan kekayaan. Tuhan bercahaya dan kekuatan yang cemerlang. Tuhan menyangga sumber kekuatan alam berupa air dan cahaya. Tuhan adalah pusat energi, cahaya, dan kehidupan yang bersumber dari matahari, udara, api, dan semua kekuatan alam yang bermanfaat.

PURA Luhur Gede Batupanes adalah pura tempat pemujaan pada Tuhan sebagai media untuk memohon terpadunya sumber-sumber daya alam secara harmoni. Dengan terpadunya sumber-sumber daya alam secara alam akan terciptalah iklim yang memberikan kehidupan pada makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan terutama manusia.

Pura Luhur Gede Gede Batupanes ini berada di Desa Adat Belulang Desa Mangesta Kecamatan Penebel, Tabanan. Pura ini terletak di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Di sekitar pura ini ditemukan banyak sumber mata air panas. Di Pura Luhur Batupanes ini debit air panas 40 liter per detik dengan derajat kepanasan 47,5 Celsius. Mata air panas ini merupakan beji atau pasiraman Ida Batara Luhur Gede Batupanes.


Dari ceritra rakyat yang sudah turun-temurun diceritakan keberadaan Pura Luhur Gede Batupanes tersebut yang bersifat mitologi. Pada mulanya Pura Luhur Gede Batupanes ini hanya merupakan onggokan batu sebagai peninggalan zaman batu atau megalitikum. Pada suatu waktu Ida Batara Luhur Batukaru melasti ke Pura Luhur Pakerisan. Upacara melasti tersebut melalui daerah Belulang Batupanes. Semestinya prosesi upacara melasti tersebut disertai dengan prosesi Ida Batara masanekan atau singgah di Belulang Batupanes. Tatapi secara niskala Ida Batara Luhur Batukaru macecingak (meninjau) dari Pura Puseh Batu Aya sebagai salah satu pura pasanakan Pura Luhur Batukaru yang terkecil.


Mengapa Ida Batara Luhur Batukaru tidak mau masanekan di Batupanes karena Ida Batara Luhur Gede Batupanes adalah keturunan dari Ida Batara Bukit Makudus (Ida Batara di Gunung Agung). Ida Batara Luhur Batukaru tidak kuat dengan panasnya daerah Belulang Batupanes tersebut. Agar prosesi melasti menjadi berjalan sesuai dengan urutan yang semestinya maka di Pura Luhur Batupanes sekarang dibangunlah pura di tempat yang lembab dengan dikelilingi oleh talaga dengan air yang mengalir. Sejak itulah prosesi melasti Ida Batara Luhur Batukaru selalu masanekan di Pura Luhur Gede Batupanes. Keadaan panas tersebut menjadi hangat setelah dikelilingi telaga dengan air yang dingin.


Pelinggih di Utama Mandala atau jeroan Pura Luhur Gede Batupanes adalah Candi Gunung sebagai tempat pemujaan Ida Batara Luhur Gede Batupanes. Candi Gunung ini baru dibuat sebagai pengganti bentuk onggokan batu sebagai pelinggih dengan gaya magalitikum pada tahun 1974. Pada mulanya bentuk pelinggih seperti sistem pemujaan Hindu dewasa ini belum ada. Yang ada hanyalah bentuk pemujaan dengan batu arca dengan gaya kebudayaan megalitikum atau zaman batu. Bentuk arca seperti itu menunjukkan zaman kekayaan Hindu sekte Siwa Pasupata.


Bukti lain adalah dijumpainya arca batu berbentuk Lingga yang berisi tulisan. Namun tulisan di arca Lingga tersebut sampai saat ini belum bisa berbaca karena tulisannya sudah kabur. Ada juga tahta atau pelinggih batu dengan gaya megalitik yang disebut sebagai stana Jero Wayan, Jero Made dan Jero Ngoman. Apa mungkin yang dimaksud itu adalah Ratu Wayan Teba, Ratu Made Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pegadangan dan juga Ratu Ketut Petung, sebutan yang dipuja dalam ajaran Kandapat yang merupakan konsep pemujaan yang mungkin benar-benar asli Bali dalam arti belum ada pengaruh Hindunya.


Di Pura Luhur Gede Batupanes ini juga dijumpai beberapa peninggalan purbakala. Di sebelah kanan dari Candi Gunung ini ada Pelinggih Gedong sebagai pasimpangan Ida Batara Batukaru. Di sebelah kiri Candi Gunung agak ke timur terdapat empat pelinggih Padma berjejer masing-masing stana Jero Wayan, pasimpangan Ida Batara Luhur Petali, untuk Jero Sedahan dan Jero Nyoman.


Di barat daya terdapat Balai Agung. Di bagian timur jeroan pura berjejer dari utara ke selatan ada Pelinggih Gedong Tumpang Kalih sebagai pasimpangan Ida Batara Luhur Besikalung. Ada Gedong Bata tumpang satu sabagai pelinggih Pasimpangan Ida Batara Bukit Makudus (Ida Batara Gunung Agung).


Di sebelah tenggara jeroan pura ada pelinggih yang disebut Bale Kembar. Sedangkan di jaba pura ada beberapa bangunan pelengkap, seperti bale kulkul, dua buah bale gong, dapur suci, bale pakemitan dan jineng. Upacara Piodalan di Pura Luhur Gede Batupanes ini pada hari Budha Kliwon Gumbreg setiap enam bulan wuku.


Yang cukup menarik adalah adanya bangunan yang mungkin menurut anggapan umum tidak begitu penting yaitu Pelinggih Bale Kembar. Bangunan Bale Kembar ini ada di beberapa pura di Bali. Sangat mungkin fungsi bangunan ini sebagai suatu simbol untuk mengingatkan umat membangun sikap hidup yang seimbang antara kehidupan sekala dan niskala. Seperti Pura Besakih dan Pura Batur sebagai pura rwa bhineda yaitu untuk seimbang membina kehidupan spiritual atau kehidupan kejiwaan (Purusa) dan kehidupan keduniaan atau kehidupan Predana.


Hal ini membuktikan bahwa ajaran Hindu bukanlah ajaran agama yang hanya mengajarkan agar hidup ini hanya untuk memikirkan soal-soal sorga semata. Agama Hindu mengajarkan untuk mencapai sorga kelak dengan cara menata hidup di dunia ini sebaik mungkin sesuai dengan konsep Rta dan Dharma. Agama Hindu tidak mengajarkan umatnya untuk hidup dengan melupakan dunia. Dengan menata hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya itulah sebagai tangga menuju sorga.


Karena itu sesungguhnya tempat pemujaan umat Hindu di Bali senantiasa memuat simbol-simbol keagamaan untuk memotivasi umat Hindu agar dapat membangun sikap hidup yang seimbang antara kehidupan rohani dan duniawi. Demikian juga seimbang menjaga kelestarian alam dan keharmonisan sosial.

* I Ketut Gobyah
source: B
 
bro goesdun, desa saya adalah desa pekraman piling. letaknya di desa mengesta, kecamatan penebel tabanan. jadi ga enak hati nich, ternyata bli tau banyak tentang pura2 yang ada di daerah saya.

menurut pemuka2 desa piling, desa kami ditunjuk oleh keluarga Jero subamia untuk melakukan persembahan ke pura Pucak kedaton dan pura2 peninggalan keluarga jero subamia yang ada di hutan di sekitar gunung batukaru. dan dengan itu desa kami dibebaskan untuk tidak ngayah ke pura2 besar di wilayah kecamatan penebel yang termasuk jajar kemiri pura batukaru.

kewajiban dari desa piling sendiri adalah melaksanakan aci (piodalan) di pura2 sebagai berikut :
1. yang paling bawah adalah pura Jero Tengah. pura ini terletak di perbatasan 3 desa yaitu wongaya gede, jatiluwih dan desa mengesta sendiri tempat desa pekraman piling berada.piodalan sendiri diadakan pada buda manis wuku tambir
2. diatasnya ada pura Ningar Sari. lokasinya di barat laut Pura Petali. Menurut pemangku, disini dipuja Ratu Betara Bima Sakti. di pura ini sendiri pelinggihnya semuanya masih terbuat dari batu2 besar yang bertumpuk. dan meskipun sudah ada renovasi pelinggih aslinya masih dipertahankan seperti bentuk aslinya.
3. di baratlautnya adalah Pura Manik Slaka. piodalan di pura ini bersamaan dengan piodalan di pura batukaru.informasi mengenai pura ini agak minim. mungkin karena semua peninggalan pura disimpan di Jero subamia dan hanya dibawa ke pura pada waktu piodalan saja.
4. tentu saja pura pucak kedaton yang berada di puncak gunung batukaru. di pucak gunungnya sendiri ada beberapa tempat suci yang berbeda beda pemangkunya, ada namanya Song baret dengan jalan sempitnya yang mungkin merupakan analogi dari titi ugal agil di, ada Tegal wangi yang mungkin merupakan persamaan dari tegal penangsaran. yaitu jalan menuju surga. ada juga pelinggih peroman, yang ini saya tidak tau pungsinya mungkin peroman ini berasal dari kata paruman CMIIW. pelinggih peroman berada di sisi barat areal inti puncak kedaton diluar areal itu sendiri masih ada pelinggih2 yang dibangun oleh pengemong pura di sisi barat yaitu warga betungsel, pupuan CMIIW. piodalan di pura pucak kedaton sendiri berlangsung pada purnama kapat. dimana dua hari sebelum purnama warga dari desa kami maupun dari desa sisi barat melakukan piodalan di pura pucak kedaton dan kemudian ida betara diiring menuju pura puseh/baleagung untuk piodalan yang lebih besar. upacara piodalan 2 hari sebelumnya sering disebut nuwur ida betara.

mengenai sejarahnya (cerita dari mulut kemulut) berikut saya sampaikan,
dahulu kala saat raja tabanan menderita sakit diutuslah patih kerajaan yang saat itu dari Jero Subamia untuk mencari Obat ke pura pucak kedaton. di perjalanan beliau beberapa kali istirahat, beliau memilih tempat2 beristirahat yang memancarkan aura suci. dan setelah itu beliau meletakkan batu sebagi pengingat bahwa tempat itu merupakan tempat yang suci. pertama kali beliau beristirahat di tempat berdirinya pura jero tengah, kemudian pura Ningar sari. dan dari tempat ini(pura ningar sari) dilihatlah oleh beliau suatu cahaya dari arah barat laut. kemudian beliau terus mencari kearah sinar tersebut sampai kemudian didekati yang ternyata adalah sebuah selaka yang bersinar. ditempat beliau menemukan selaka inilah beliau beristirahat. karena cuaca buruk dan angin kencang akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke kota kerajaan. ditempat ditemukannya itu kemudian didirikan pura yang di beri nama Pura Manik Selaka.

waduh maaf beli goes, saya taunya cuma segitu. mungkin pada odalan berikutnya saya akan mengorek lagi informasinya dari pemangku maupun dari penglingsir jero subamia mungkin jika beliau bersedia. untuk sementara segitu dulu bli, karena hanya segitu yang saya ketahui.. he he he. jika ada yang keliru mhoon dikoreksi..
 
Pura Dukuh Sakti

Pura Dukuh Sakti Catur Lawa Pura Besakih

Sakti ngarania ikang sarwa jnyana
Sakti
ngarania ikang sarwa jnyana
lawan
sarwakarta (Wrehaspati Tattwa.14)

Maksudnya:
Sakti
namanya adalah yang banyak ilmu pengetahuan (sarwa jnyaya) dan banyak melakukan karya berdasarkan ilmu tersebut (sarwa karta).

MENURUT Pustaka Purana Besakih, bahwa Pura Dukuh Sakti di sebelah utara Pura Penataran Agung Besakih tergolong Pura Catur Lawa. Pura Catur Lawa lainnya adalah Pura Pasek, Pura Pande, dan Pura Penyarikan. Di samping ada Pura Catur Lawa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Pura Agung Besakih terdapat pula Pura Catur Dala atau Pura Catur Loka Pala yaitu empat kompleks pura yang menjadi unsur utama dari Pura Besakih.

BESAKIH.JPG

Pura
Catur Loka Pala ini berada di empat penjuru angin dengan Pura Penataran Agung Besakih sebagai sentralnya di tengah-tengah. Pura Catur Dala atau Pura Catur Loka Pala ini adalah Pura Batu Madeg media pemujaan Batara Wisnu di utara Pura Penataran Agung Besakih. Pura Gelap media pemujaan Batara Iswara di arah timur. Pura Kiduling Kreteg media pemujaan Batara Brahma di arah selatan. Sedangkan di arah barat Pura Ulun Kulkul. Pura Besakih disimbolkan bagaikan bunga padma sakral. Pura Penataran Agung ibarat sari bunga padma.

Pura Catur Dala itu ibarat empat kelopak daun bunga padma tersebut. Dalam berbagai Puja Stawa bunga padma disimbolkan sebagai Bhuwana Agung stana Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan menurut kepercayaan Hindu ada di mana-mana meresap di seluruh bagian Bhuwana Agung maupun Bhuwana Alit. Bahkan Tuhan berada di luar alam semesta yang tiada terhingga. Demikian jugalah halnya Pura Besakih dengan seluruh komplekanya sebagai simbol sakral Bhuwana Agung sebagai Padma stana Tuhan Yang Maha Esa.

Empat
pura yang disebut Pura Catur Lawa itu memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam mengeksistensikan berbagai kegiatan ritual dan spiritual di Pura Besakih. Tetapi perbedaan-perbedaan fungsi Pura Catur Lawa itu sebagai pembagian tugas untuk menyukseskan tujuan mulia upacara di Pura Besakih yaitu harmonisnya hubungan umat manusia dengan alam lingkungannya, dengan sesama manusia dan harmonis yang tertinggi adalah dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pura Pasek menyediakan dan menata berbagai keperluan upakara, Pura Pande menata segala peralatannya. Pura Penyarikan menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur. Sedangkan Pura Dukuh Sakti sebagai penata berbagai keperluan sandang pangan, baik yang sakral maupun yang biasa yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kegiatan ritual dan spiritual di Pura Besakih.

Masing-masing Pura Catur Lawa itu memiliki pangempon tersendiri. Pangempon dalam hal ini berarti yang mengurusi segala sesuatunya agar pura tersebut dapat difungsikan dengan sebaik-baiknya oleh umat panyungsung. Artinya pangempon pura ini bukan berarti hanya warga pangempon saja yang boleh menggunakan pura ini sebagai sarana untuk menyelenggarakan kehidupan beragama Hindu.
Demikianlah Pura Dukuh Sakti ini sebagai Pura Catur Lawa dan sebagai pangempon-nya adalah warga Dukuh Sagening. Pura Dukuh Sakti ini bukanlah semata-mata sebagai Pura Padharman Warga Dukuh Sagening. Yang lebih menonjol sebagai Pura Catur Lawa Pura Agung Besakih.

Sekarang untuk mencapai Pura Dukuh Sakti ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, baik mobil maupun sepeda motor lewat Pura Peninjoan. Di Pura Dukuh Sakti ini terdapat pelinggih utama berupa Meru Tumpang Lima sebagai pemujaan Hyang Sangkul Putih. Beliau ini adalah orang suci yang memiliki jasa besar untuk mengatur berbagai kegiatan upacara yadnya di Pura Besakih.

Pura Dukuh Sakti ini nampaknya sebagai pasraman tempat belajar dan latihan bertapa dengan Sangkul Putih sebagai penuntun spiritual. Istilah Dukuh sesungguhnya sebutan Dwijati. Ia tidak keliling menjumpai umat memberikan tuntunan rohani. Dukuh adalah Dwijati yang menetap di asramanya. Umat yang membutuhkan tuntunanlah yang datang ke asrama sang Dukuh.

Hak inilah yang dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan bahwa pandita sebagai sang Patirthan. Maksudnya salah satu fungsi pandita di suatu paguyuban umat sebagai tempat untuk memohon penyucian diri. Pura Dukuh Sakti inilah sebagai media pasraman sang guru suci untuk melayani umat yang mohon tuntunan penyucian diri kepada sang pandita. Dwijati yang demikian itulah yang disebut Dukuh.

BESAKIH1.JPG

Mengapa
Pura Catur Lawa itu disebut Pura Dukuh Sakti. Sakti menurut pengertian Pustaka Wrehaspadi Tattwa 14 dalam ulasan bahasa Jawa Kunonya yang dikutip di atas itu adalah sebagai sebutan mereka yang sudah memiliki banyak ilmu atau sarwa. Jnyana dan juga sudah banyak melakukan kerja nyata sebagai upaya mewujudkan ilmu yang dimiliki. Di Pura Dukuh Sakti ini berstana Sang Hyang Sangkul Putih yang memang sakti.

Kesaktian
Sangkul Putih itu sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Werehaspati Tattwa 14. Artinya beliau Sangkul Putih itu benar-benar dwijati yang memiliki banyak ilmu atau

Samiajnyanam atau memiliki Para Widia dan Apara Widia. Maksudnya memiliki ilmu tentang kerohanian dan tentang ilmu dunia nyata ini yang disebut Apara Widya. Menurut Prasasti Penataran Agung A. Putra, Pura Dukuh Sakti ini didirikan pada abad ke-15 Masehi saat Dalem Waturenggong sebagai Raja di Klungkung.

Tentunya keberadaan fisik Pura Dukuh Sakti saat itu tidak seperti sekarang. Keadaan fisik Pura Dukuh Sakti sekarang sudah banyak mendapatkan perhatian umat dan Pemda Bali dengan berbagai perbaikan pelinggih yang sudah rusak. Pujawali di Pura Dukuh Sakti ini setiap tahun sekali berdasarkan Chandra Premana yaitu pada Purnamaning Sasih Kapat. Di pura ini terdapat juga pelinggih bebaturan sebagai pertanda zaman kejayaan Hindu Siwa Pasupata.

Meskipun sampai saat ini Hindu di Bali berada di bawah Hindu Siwa Sidhanta, peninggalan-peninggalan Siwa Pasupata tetap dipelihara dan amat dihormati. Demikian juga di Pura Dukuh Sakti ini didirikan juga Pelinggih Manjangan Saluwang yang mengingatkan kita pada kejayaan Mpu Kuturan mendampingi raja menata kehidupan umat dalam mengamalkan ajaran agama Hindu di Bali. Karena jasa-jasa Mpu Kuturan itulah diperingati dengan suatu bentuk pelinggih yang amat khas yang disebut Pelinggih Manjangan Saluwang. Pelinggih untuk mengingat jasa-jasa Mpu Kuturan banyak di Pura Dewa Pratistha dan Atma Pratistha. * I Ketut Gobyah
source: balipost
 
Umbul Kendat, Situs Hindu di Boyolali yang Terlupakan

Sejarah menunjukkan bahwa tanah Jawa merupakan pusat perkembangan agama Hindu Nusantara di masa lalu. Kejayaan imperium Majapahit dan Kerajaan Mataram Hindu Kuno, dipastikan memiliki bentangan wilayah kekuasaan di seluruh tanah Jawa dari ujung barat sampai timur. Karena itulah tidak bisa dimungkiri, kalau sesungguhnya di tanah Jawa terdapat banyak sekali situs milik umat Hindu yang keberadaannya saat ini masih terkubur baik oleh bencana alam atau memang sengaja dihancurkan dan disembunyikan. Salah satunya adalah situs Umbul Kendat yang ada di daerah Pengging, Boyolali, Jawa Tengah.

Umbul Kendat tepatnya terletak di Desa Plumputan Kecamatan Pengging Kabupaten Boyolali dan merupakan petilasan di mana Dyah Ayu Retna Kedaton, salah satu putri dari Kerthabumi atau Brawijaya V (Raja terakhir Majapahit) melakukan moksa.

Umbul Kendat terdiri atas dua bagian utama. Yang pertama berupa petilasan yang strukturnya berbentuk makam dan satunya lagi berupa pemandian dengan dua sumber mata air.

Menurut RMT Andi Mulyono Kusumonugroho, umat Hindu yang memulai melaksanakan ritual menurut cara Hindu di Umbul Kendat, situs peninggalan Hindu ini belum banyak diketahui masyarakat khususnya umat Hindu. Bahkan, sebelum dirinya mulai melakukan ritual Hindu, masyarakat setempat yang sebagian besar memeluk Islam menggunakan situs ini untuk melakukan tradisi dengan warna Islami seperti pembacaan ayat-ayat Alquran.

''Dulu, sebelum saya memulai menyelenggarakan ritual secara Hindu, masyarakat di sini sering melakukan tirakatan atau melek-an (begadang semalam suntuk-red),'' kata Andi yang merupakan wareng (keturunan V) Sunan Pakubuwono IX (Raja Surakarta tahun 1861-1893). Meski demikian, masyarakat setempat sesungguhnya mengetahui bahwa situs tersebut merupakan peninggalan pemeluk Hindu.

Hal ini dilakukan masyarakat setempat karena mereka meyakini bahwa tempat tersebut memiliki aura magis yang sangat tinggi. Di samping untuk memohon penyembuhan dari berbagai penyakit, Umbul Kendat juga sering menjadi tempat memohon berkah dan keselamatan. Hal ini dibuktikan langsung oleh Andi yang sering memberikan pertolongan kepada sesama yang memohon kesembuhan atas penyakit yang diderita.

Banyak orang yang sudah sembuh setelah memohon di Umbul Kendat. Demikian juga dengan mereka yang ingin mendapatkan keselamatan banyak yang mengunjungi Umbul Kendat. Andi menceritakan, pernah satu kompi pasukan dari TNI melakukan Yoga Tirta (berdoa sambil berendam-red) di Umbul Kendat sebelum mereka ditugaskan ke Aceh.

''Mereka memohon agar diberikan keselamatan waktu dan di saat menjalankan tugas di Aceh,'' kata Andi bercerita.

Biasanya mereka yang melakukan persembahyangan di tempat ini terlebih dahulu melakukan pelukatan dengan yoga tirta. Dalam proses ini, umat melafalkan gayatri mantram sambil menyampaikan permohonan. Kesejukan air di Umbul Kendat ini akan membuat badan dan pikiran menjadi segar. Setelah melakukan Yoga Tirta, umat mengganti pakaian untuk selanjutnya melakukan persembahyangan di dalam patilasan.

Gigih

Diselenggarakannya ritual menurut Hindu di Umbul Kendat ini, kata Andi, sampai saat ini tidak mengalami kendala dari masyarakat. Secara perlahan masyarakat setempat mulai bisa menerima bahwa yang dipuja di tempat tersebut memang kekuatan dari zaman Hindu. Kedatangan beberapa umat Hindu ke Umbul Kendat ini juga sudah dianggap sebagai hal yang biasa.

Andi yang merupakan pegawai negeri sipil di pemerintah Propinsi Jawa Tengah ini bisa dikatakan cukup gigih untuk terus memperkenalkan keberadaan Umbul Kendat ini. ''Saya sering mengajak umat Hindu baik yang dari Bali maupun Jakarta untuk melakukan persembahyangan di Umbul Kendat,'' katanya.

Hal ini dilakukannya agar umat Hindu di berbagai daerah mengetahui bahwa Umbul Kendat merupakan salah satu tempat pemujaan milik umat Hindu. Misi ini, menurut Andi, juga tidak lepas dari keinginannya agar umat Hindu tidak kehilangan jejak para leluhurnya di Tanah Jawa.

Di samping itu, misi penyelamatan situs Hindu dari klaim pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan merugikan perkembangan Hindu di Jawa. Dengan dikenalnya Umbul Kendat, Andi yang beristrikan gadis dari Gianyar, Bali ini berharap muncul kepedulian untuk menjaga dan melakukan perawatan secara fisik.

Terlebih lagi dalam konteks menjaga kesuciannya. Sebelum dibangun cungkup atau bangunan permanen untuk petilasan seperti yang bisa dilihat saat ini, masyarakat yang mengunjungi Umbul Kendat sering bersikap seenaknya. ''Mereka makan dan minum atau ganti baju basah setelah berendam di dekat petilasan,'' kata Andi. Ini jelas membuat kesucian menjadi berkurang.

Selanjutnya, Andi berniat memasukkan nilai-nilai Hindu dalam ritual ''Paingan'' yang biasanya digelar setiap Kamis Paing oleh masyarakat setempat. * winata
source: BP
 
Mohon Rasa Aman di Pura Pucak Jati

Indriyani parany ahur
indriyebhyah param manah,
manasas tu para buddhir.
yo buddheh paratas tu sah.
(Bhagawad Gita III,42)

Maksudnya:
Kuatkanlah indria itu, tetapi yang lebih kuat adalah pikiran, yang lebih dikuatkan adalah kesadaran buddhi, yang lebih kuat dari kesadaran buddhi adalah kesucian Atman.

MAKNA kutipan sloka Bhagawad Gita tersebut adalah sebagai amanat hidup untuk mendapatkan rasa aman sebagai awal untuk membangun hidup sejahtera. Orang yang mampu menyelenggarakan hidupnya untuk membangun indria yang kuat harus berada di bawah kendali pikiran atau manah. Pikiran yang kuat berada di bawah kesadaran buddhi. Keadaan manusia seperti itulah akan dapat menjadi media untuk mewujudkan kesucian Atman. Atman itu tiada lain adalah wujud Brahman dalam diri setiap makhluk hidup.

Kalau kesucian Atman sebagai unsur tersuci dalam diri manusia tak terhalangi dinamakanya mengendalikan kesadaran buddhi, kekuatan pikiran dan indria, maka perilaku manusia akan senantiasa berada pada jalan Dharma. Kalau perilaku berada pada jalan Dharma musuh yang menyerang dari empat penjuru akan berubah menjadi sahabat dari segala penjuru.

Kekuatan Atman dalam mencerahkan kesadaran buddhi, kecerdasan pikiran dan kekuatan indra akan terjadi apabila ada dinamika bakti pada Brahman yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Bakti akan berhasil meraih kesucian Brahman apabila dilakukan dengan Jnyana dan karma baik dan benar.

Keberadaan Pura Pucak Jati di Bukit Pengukur-ukuran di Desa Timuhun Kecamatan Banjarangkan, Klungkung adalah sebagai media untuk mendorong bakti umat pada Tuhan dalam menguatkan diri dalam memperoleh rasa aman sebagai awal untuk mengupayakan hidup yang sejahtera lahir batin.

Di pura ini terdapat beberapa jenis pelinggih untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai penuntun untuk umat yang bakti mendapatkan kekuatan diri membangun hidup yang aman dan sejahtera (raksanam dan dhanam). Dalam sebutan lokal Tuhan sebagai penuntun untuk mendapatkan rasa aman ini disebut Ida Batara Mas Mayun.

Dalam sistem pemujaan Hindu manifestasi Tuhan sebagai dewa penuntun rasa aman adalah Dewa Ganesha. Amat besar kemungkinannya yang disebut Ida Batara Mas Mayun itu adalah Dewa Ganesha dalam sebutan lokal Bali. Hal ini sangat beralasan karena saat upacara piodalan pada hari raya atau rerahinan Tumpek Landep, Ida Batara dipuja di Pelinggih Bebaturan yang memiliki ruang terbuka menghadap ke semua penjuru. Ini artinya dari arah mana pun musuh datang dapat diatasi dengan senjata kasihnya Dewa Ganesha.

Peralatan senjata yang dimohonkan pasupati oleh umat yang datang ke Pura Pucak Jati itu bertujuan agar senjata itu bertuah sebagai pelindung diri dalam menghadapi marabahaya. Peralatan yang paling permanen dalam diri manusia adalah indria, pikiran dan intelektual atau kesadaran buddhi. Unsur-unsur diri itulah yang semestinya diperkuat sebagai kelanjutan dari pasupati berbagai peralatan senjata yang dimohonkan tuahnya di Pura Pucak Jati di Desa Timuhun itu.

Apalagi upacara piodalannya pada hari raya Tumpek Landep. Hal ini amat jelas pemujaan Tuhan di Pura Pucak Jati tersebut sebagai media untuk mempertajam berbagai peralatan yang ada dalam diri manusia.

Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan bahwa Tumpek Landep: pinaka lancipaning idep. Yang dipertajam saat Tumpek Landep itu adalah idep yang merupakan senjata yang ada dalam diri manusia. Kata 'hidup' dalam bahasa Jawa Kuno artinya pikiran, kesadaran budhi, kecerdasan. Ini artinya saat Tumpek Landep itu sebagai media untuk mengingatkan umat manusia agar terus-menerus mempertajam kesadaran dirinya dalam mengarungi hidup ini.

Manusia yang hidup tanpa kesadaran diri yang kuat akan mudah diterkam oleh musuh. Musuh yang paling berbahaya adalah musuh yang disebut Sad Ripu itu. Dalam kehidupan ritual keagamaan Hindu di Bali, Tumpek Landep itu dirayakan dengan mengupacarai berbagai peralatan hidup yang tajam dan yang dari besi atau logam lainnya termasuk mobil, TV dan alat-alat elektronik lainnya. Hal tersebut tidaklah salah bahkan sangat tepat. Yang penting harus dipahami adalah tujuan mengupacarai berbagai peralatan tersebut.

Upaya memiliki berbagai peralatan hidup itu bukan untuk mengeksistensikan gengsi diri agar menjadi terhormat dan terpandang dalam masyarakat. Mengupacarai peralatan hidup itu adalah untuk mempertajam kesadaran diri kita dalam mengadakan semua peralatan hidup tersebut agar berfungsi meningkatkan mutu hidup mencapai rasa aman dan sejahtera.

Saat Tumpek Landep, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Pasupati. Pasu artinya hewan dan pati artinya menguasai. Pasupati adalah pemujaan pada Tuhan agar manusia dapat menguasai sifat-sifat kehewanannya atau Asuri Sampad-nya. Kalau manusia dapat menguasai sifat-sifat yang negatif itu maka munculloah kecenderungan yang disebut Dewi Sampad.

Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Pasupati adalah untuk memunculkan kecenderungan kedewaan. Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan itu adalah ekspresi Atman menjadikan kesadaran buddhi, kecerdasan pikiran dan kekuatan indria untuk mewujudkan kesucian Atman dalam perbuatan nyata. Dengan demikian pemujaan Sang Hyang Pasupati sebagai upaya agar manusia dalam memiliki dan menggunakan berbagai peralatan hidup itu untuk difungsikan dengan tepat guna dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Hidup yang berkualitas itu adalah hidup yang aman damai dan sejahtera.

Di Pura Pucak Jati ini sarana upakara tidak diperkenankan menggunakan daging sapi. Hal ini memang amat sesuai dengan tradisi Weda. Makan daging sapi amat dilarang oleh ajaran suci Weda. Sapi itu adalah simbol Kamadhenu yaitu Lembu Nandini Wahana Dewa Siwa.

Kamadhenu adalah simbol bumi. Tidak menggunakan daging sapi dimaksudkan untuk mendidik umat agar jangan merusak bumi ini. Susunya boleh diminum, artinya yang boleh dimakan atau dimanfaatkan adalah hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan itulah penghuni bumi ini yang dapat terbarukan terus-menerus. Ida Batara Mas Mayun di Pura Pucak Jati ini menolak orang yang hidupnya merusak bumi. Persenjataan atau peralatan hidupnya tidak akan diberikan tuah Pasupati kalau masih merusak bumi ini. Itulah maknanya mengapa orang yang masih makan daging sapi ditolak di Pura Pucak Jati ini. * I Ketut Gobyah
source: BaliPost
 
Pura Segara Penimbangan di Desa Panji

Api ced asi papebhyah
sarvebhyah papakrttamah.
Sarvam jnanaplavenai'va
Vrijinam samtarisyasi.
(Bhagawad Gita IV.36).

Maksudnya:
Meskipun engkau adalah yang paling berdosa di antara semua orang berdosa. Dengan perahu ilmu pengetahuan lautan dosa itu akan engkau seberangi.

PURA Segara Penimbangan di Desa Panji Kecamatan Sukasada, Buleleng bukanlah Pura Segara seperti Pura Segara pada umumnya yang fokusnya memuja Tuhan sebagai Batara Baruna -- Tuhan sebagai penguasa samudera. Pura Segara Penimbangan di samping sebagai Pura Segara pada umumnya juga sebagai pura yang memiliki kaitan dengan sejarah Ki Gusti Anglurah Panji Sakti.

Orang terkenal ini memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menerapkan ilmu pengetahuan dalam menolong sesama yang sedang kesusahan. Ki Gusti Anglurah Panji Sakti yang sebelumnya bernama Ki Barak Panji menolong mereka yang sedang kesusahan dengan menggunakan ilmu pengetahuannya yang telah memperkuat dirinya secara lahir batin. Ilmu yang mampu diterapkan seperti itulah yang dapat membuat orang kuat dan hebat. Kuat dalam bahasa Sansekertanya disebut ''sakti''.

Keberadaan Pura Segara Penimbangan ini dibangun atas dua hal yaitu sebagai Pura Segara untuk memuja Batara Segara yang tiada lain adalah Batara Baruna dan sebagai memuja roh suci (Dewa Pitara) Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Sebagai orang yang memiliki kemampuan mendayagunakan ilmunya untuk menolong orang lain.

Ki Gusti Anglurah Panji Sakti sendiri tidak menggunakan ilmunya untuk tujuan yang sempit, seperti menyombongkan diri, cari kekayaan yang tidak sah atau dijadian media untuk mengumbar hawa nafsu. Ki Gusti Anglurah Panji Sakti telah mampu menjadi contoh masyarakat luas bahwa memang demikianlah seseorang dalam menggunakan ilmunya itu.

Umat yang merasakan pertolongan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti itulah yang mungkin menambahkan fungsi Pura Segara Penimbangan ini menjadi media pemujaan Ki Gusti Anglurah Panji Sakti. Dalam statusnya yang sudah mencapai Dewa Pitara dan dipuja oleh masyarakat, ini berarti Pura Segara Penimbangan di samping sebagai pura untuk memuja Tuhan di Bhur Loka sebagai Batara Baruna juga sebagai pemujaan orang sakti yang telah berhasil menggunakan ilmunya untuk menolong mereka yang sedang kesusahan.

Keberadaan Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak konon konsep pemujaan Tuhan di Tri Loka yaitu di Pura Segara untuk Bhur loka, Pura Penataran untuk Bhuwah Loka dan Pura Puncak untuk Swah Loka. Tiga pemujaan tersebut konon sudah ada sebelum Mpu Kuturan mengajarkan tentang pendirian Pura Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman.

Dengan demikian sangat besar kemungkinannya Pura Segara Penimbangan di Desa Panji Kecamatan Sukasada itu sudah ada sebelum ada pelinggih untuk memuja Ki Gusti Anglurah Panji Sakti dalam statusnya yang sudah mencapai Dewa Pitara atau Siddha Dewata. Roh suci atau Dewa Pitara dari Ki Gusti Anglurah Panji Sakti itu distanakan di sudut barat laut Pura Segara Penimbangan dengan sebutan Dewa Taksu Bungkah Kaang.

Pelinggih tersebut sebagai pelinggih yang menyebabkan Pura Segara Penimbangan ini memiliki ciri yang khusus dan berbeda dengan Pura Segara yang lainnya di Bali. Pelinggih-pelinggih yang lainnya merupakan pelinggih utama seperti Padmasana dan beberapa Pelinggih Penyawangan seperti Penyawangan ke Ulun Danu, Dewa Ayu Putering Segara sebagai manifestasi Ida Batara Segara (Dewa Baruna). Dewa Ngurah Pasek karena Ki Gusti Anglurah Panji Sakti ibunya Si Luh Pasek.

Ada juga Penyawangan untuk Dewa Ngurah Majapahit. Ki Gusti Anglurah Panji Sakti adalah putra dari Dalem Sagening dengan istri penawing atau selir Si Luh Pasek berkuasa di Bali atas jasa-jasa Raja Majapahit, karena itu ada juga penyungsungan kepada roh suci Raja Majapahit.

Nama-nama pelinggih di Pura Segara Penimbangan itu umumnya sudah menggunakan sebutan masyarakat pada umumnya. Menurut budaya Bali menyebutkan nama seseorang yang dihormati secara langsung pada zaman dahulu amat tabu atau tidak dibolehkan. Kalaupun menyebutkan nama secara langsung harus didahului dengan ucapan ''tabe pakulun'', baru nama yang akan dituju boleh disebutkan. Kalau menyebutkan nama seseorang yang dihormati secara langsung tanpa menyebutkan terlebih dahulu ucapan ''tabe pakulun'' menurut keyakinan orang Bali Hindu, orang tersebut akan ''tulah'' atau disebut kewalat.

Keyakinan tersebutlah yang menyebabkan sebutan-sebutan yang dipuja di setiap pelinggih itu agak sulit melacak menurut sistem pemujaan sistem pantheon Dewa-dewa Hindu. Yang jelas Pura Segara Penimbangan ini terkait dengan konsep pelestarian alam dan masyarakat yang dituangkan dalam ajaran Sad Kerti sebagaimana diajarkan dalam Lontar Purana Bali.

Salah satu dari Sad Kerti itu adalah Samudeara Kerti yaitu ajaran untuk mengingatkan umat Hindu untuk senantiasa menjaga kelestarian samudera. Pendirian Pura Segara di beberapa pantai di Bali salah satu tujuannya adalah pemujaan kepada Tuhan untuk memohon agar umat termotivasi secara spiritual untuk senantiasa memperhatikan kelestarian samudera.

Dari samudera itulah air menguap menjadi mendung. Mendung yang turun menjadi hujan ditampung oleh hutan. Hutan yang menampung air itu terus menjadi sumber terwujudnya danau. Di Pura Segara Penimbangan terdapat Pelinggih Dewa Ngurah Ulun Danu. Pemujaan di Pelinggih Ulun Danu inilah umat dimotivasi secara spiritual agar menjaga kelestarian danau.

Dalam ajaran Sad Kerti terdapat unsur Danu Kerti sebagai amanat kitab suci untuk menjaga secara baik agar danau itu tidak rusak tercemar perilaku yang tidak terpuji pada sumber air sebagai unsur alam yang paling menentukan kehidupan di bumi ini. Pura Segara juga betujuan untuk menanamkan wawasan kelautan atau wawasan maritim kepada umat Hindu bahwa laut itu memegang peranan yang strategis dalam kehidupan di bumi ini. * I Ketut Gobyah
source: BaliPost
 
Filosofi di balik nama Pura Batu Pageh (Unggasan) menurut piteket Sesuhunan :

Pura >> benteng kesucian / tempat suci.
Batu >> keras, susah dihancurin.
Pageh >> tegar, gak bisa digeser-geser dan gak bisa dipengaruhi.

Pura Batu Pageh >> "dalam menjaga kesucian diri, keras saja tidak cukup..tetapi jg harus tegar gak bisa digeser. Keras dan teguh dlm menjaga kesucian.."

KEREEEEEEEEEEEEEEEEEEENNNNNNNNNNNN !!!!
 
Pura Bukit Mentik di Danau Batur

Tasyarthe Sarvabhutanam
goptaram dharmamat majam.
Brahma tejomayam dandam
Asrjat purva isvarah.
(Manawa Dharmasastra VII.14).

Maksudnya:
Demi untuk patuhnya masyarakat pada norma hidup yang baik, Tuhan telah menciptakan dharma sebagai anaknya untuk melindungi semua makhluk, itulah bentuk kejayaan dari dari Brahman.

bukitmentiktemple3.jpg


TUHAN menciptakan alam seperti bumi ini dengan segala isinya serta menciptakan tuntunan suci yang disebut dharma untuk menuntun kehidupan semua makhluk di bumi ini. Alam dan aturan suci itu sesungguhnya ciptaan dan milik Tuhan. Pura Bukit Mentik dekat Danau Batur terdapat dua Meru Tumpang Tiga berada di sebelah kiri Meru Tumpang Lima yang merupakan pelinggih utama di Pura Bukit Mentik.

Di Meru Tumpang Lima itu dipuja Dewa Danuh yang di Pura Bukit Mentik disebut Ida Ratu Ayu Sembah Suhun. Demikian Jero Mangku Jenaka atau Jero Mengku Pupul menjelaskan. Dua Meru Tumpang Tiga di sebelah kiri Meru Tumpang Lima pelinggih utama di Pura Bukit Mentik itu adalah sebagai stana Ida Ratu Maduwe Gumi dan Ida Ratu Maduwe Gama. Dua Meru Tumpang Tiga di sisi kiri Pelinggih Utama Meru Tumpang Tiga ini memberikan suatu visualisasi untuk memotivasi umat Hindu agar menumbuhkan keyakinan bahwa Tuhan itulah yang memiliki bumi yang diciptakan-Nya. Ini juga sebagai tempat umat manusia hidup dan mengembangkan kehidupannya mewujudkan cita-citanya.

Meru Tumpang Lima stana Dewi Danu yang diberi sebutan Ida Ratu Ayu Sembah Suwun tiada lain adalah pemujaan Tuhan yang bercorak Waisnawa untuk memotivasi umat manusia memahami bahwa air sebagai pelindung dan pemelihara hidup dan kehidupan semua makhluk hidup di bumi ini. Air sebagai Ratna Permata Bumi adalah ciptaan Tuhan yang merupakan unsur mutlak harus ada dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Di setiap pemukiman. Hal ini dinyatakan dalam Chanakya Nitisastra 1.9.

Demikian juga di dalam pemelihara dan perlindungan mata air seperti danau dan sungai ciptaan Tuhan itu merupakan salah satu unsur Sad Kerti yang wajib untuk melindungi bagi manusia yang mendambakan hidup sejahtera. Air akan selalu ada dan terus eksis memberikan hidup dan kehidupan umat manusia apabila bumi yang juga ciptaan Tuhan dipelihara dengan baik sebagai suatu wujud bakti pada Tuhan.

Pedoman untuk memelihara bumi sumber air itu, Tuhan telah menurunkan dharma. Nampaknya konsep hidup dalam memuja Tuhan seperti itulah yang divisualisasikan secara sakral di Pura Bukit Mentik di dekat Danau Batur, Kintamani. Di depan Meru Tumpang Lima terdapat Balai Pesamuan sebagai media yang memvisualisasikan saat Ida Ratu Ayu di Meru Tumpang Lima itu tedun menerima persembahan umat saat ada upacara umum setiap hari raya keagamaan Hindu dan terutama saat ada upacara Pujawali.

Ini artinya saat Ida Ratu Sembah Suhun di alam Suksma atau Sunia Loka disimbolkan berstana di Meru Tumpang Lima. Sedangkan saat beliau ke bumi di alam Wahya dilukiskan di Pelinggih Balai Pesamuan. Karena itu upacara Masineb atau Ngeluhur beliau kembali di Pelinggih Meru Tumpang Lima. Karena Meru itu lambang Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.

Tumpang-tumpang Meru pinaka uriping bhuwana muah patalaing bhuwana. Artinya tumpang-tumpang Meru itu lambang jiwa alam semesta dan juga lambang lapisan alam semesta. Bumi adalah alam yang paling dekat dengan manusia. Bumi ini akan menjadi tempat hidup untuk mengembangkan kehidupan mulia apabila dipelihara dengan spiritual agama sabda Tuhan dan ilmu hasil pengembangan para ahli seperti para Resi.

Oleh karena itu ada Meru Tumpang Tiga di sebelah kiri Meru Tumpang Lima sebagai stana Ida Ratu Maduwe Gama. Ini berarti untuk menata bumi ini hendaknya didasarkan pada petunjuk-petunjuk agama yang dikembangkan menjadi berbagai ilmu oleh para Vipra atau orang-orang bijaksana. Kalau dua hal itu terpadu maka perbukitan yang ada di sekitar Gunung Batur itu akan tumbuh menjadi sumber pengembangan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar.

Hal inilah yang mungkin mengapa pura tersebut diberi nama Pura Bukit Mentik atau pura untuk menumbuhkan bukit itu menjadi bukit yang subur makmur. Pura Bukit Mentik ini sebagaimana Pura-pura Kahyangan Jagat lainnya juga memiliki Pura-pura Jajar Kemiri atau Pura Prasanak. Menurut Nyoman Lasteng dan Guru Nengah Suarta sebagai Paduluan Pura Bukit Mentik, ada sepuluh Pura Prasanak Pura Bukit Mentik yang ada di sekitar pura tersebut.

Pura Prasanak tersebut adalah Pura Ratu Gede Pemapas. Pura ini sebagai awal pemujaan untuk menuju Pura Bukit Mentik. Pura ini kemungkinan sebagai pemujaan Batara Gana sebagai Dewa Wighna-ghna tempat mohon Tirtha Pengelukatan agar jangan mendapatkan halangan dalam pejalanan menuju Pura Bukit Mentik sebagai puncak pemujaan.

Seterusnya Pura Belong stana Batara Ratu Mas Magelung. Pura Pandan Harus stana Masula Masuli, selanjutnya Pura Gua yang terletak di sebuah goa terbuka dengan wujud pelinggih mirip Lingga stana Sang Hyang Pasupati. Pemujaan Sang Hyang Pasupati sebagai media memuja Batara Siwa untuk menguasai sifat-sifat yang disebut Asuri Sampad agar sifat-sifat Dewi Sampad agar eksis mengendalikan hidup ini menuju pengembangan sifat-sifat kedewataan. Karena kecenderungan yang disebut Dewi Sampad dalam Bhagawad Gita akan membawa manusia berlaku mulia bagaikan Dewata.

Pura Prasanak selanjutnya adalah Pura Batu Kembang tempat pemujaan Ratu Mas Melanting dan Ratu Mas Muncar. Selanjutnya Pura Taru Alit sebagai stana Ratu Aji Luwih. Pura Jati sebagai stana Bujanggan Ida Batara. Juga sebagai Prasanak adalah Pura Ratu Subandar sebagai tempat pemujaan umat yang berprofesi sebagai pedagang. Pemujaan selanjutnya barulah menuju pemujaan puncak ke Pura Bukit Mentik.

Upacara Pujawali di Pura Bukit Mentik setiap Sasih Kapat. Sasih Kapat ini adalah sasih di mana alam menghadirkan musim untuk menumbuhkan (mentikan) berbagai tumbuh-tumbuhan bahan makanan, obat-obatan dan juga untuk memelihara tumbuhan yang disebut tanem tuwuh. Tumbuhan hutan sebagai pengayom lingkungan yang memiliki fungsi yang amat luas. Tumbuhan Tanem Tuwuh itu juga dibutuhkan ada di pusat-pusat pemukiman untuk mengurangi polusi udara. * I Ketut Gobyah
 
Good

Bli boleh minta semua artikel tentang pura dan candi??kalo copy dari sini kelamaan..kirim email ya [email protected]
kami di gorontalo umat hindu agak bermasalah dengan penganut pura khayangan tige dan pura khayanga tunggal. sampe2 mereka berantem mengungkapkan kkalo mereka masing2 benar.
matur suksme
 
Pura Terate Bang

Pemujaan Dewa Brahma di Pura Terate Bang

Yasya sarve samarambhah
kamasamkalpavarjitah]
managnidagdhakarmanam
tam ahuh panditam budhah

(Bhagavad Gita, IV.19)

Maksudnya:
Orang yang berbuat dengan tidak mengharapkan hasilnya (niskama karma), perbuatan tersebut dilakukan karena dinyatakan oleh sinar ilmu pengetahuan (Jnyana Agni), orang yang demikian itu diberikan gelar pandita oleh orang-orang bijaksana.

PELINGGIH Gedong di Pura Terate Bang adalah sebagai pelinggih utama. Di Pelinggih Gedong ini sebagai media pemujaan Batara Brahma manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta. Dewa Brahma adalah Dewa pertama dari Dewa Tri Murti manifestasi Tuhan dalam tiga fungsinya. Dewa Brahma dalam sistem pantheon Hindu adalah manifestasi Tuhan sebagai pencipta yang disebut Utpati.

Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan Tuhan dan Dewa Iswara sebagai pamralina atau yang mengakhiri segala ciptaan Tuhan. Pura Terate Bang di Desa Pakraman Bukit Catu Desa Candikuning di Kecamatan Baturiti ini menggunakan warna serba merah untuk berbagai perlengkapan pura. Warna merah ini simbol Brahma.

Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Brahma adalah pemujaan Tuhan sebagai pencipta agni. Karena dari agnilah sebagai awal terciptanya seluruh alam ini beserta dengan isinya.

Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Brahma tidak semata-mata karena Tuhan sebagai pencipta alam dengan segala isinya. Pemujaan Dewa Brahma memiliki makna yang lebih luas dari itu. Salah satu ciri hidup manusia adalah berdinamika dalam sistem Tri Kona.

Hidup adalah untuk menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Hidup juga memelihara yang seyogianya dipelihara dan meniadakan sesuatu yang sepatutnya sudah waktunya ditiadakan. Untuk mengikuti proses hidup dengan siklus Tri Kona itu dengan baik dibutuhkan tuntunan spiritual yang mantap. Hal inilah yang menjadi latar belakang timbulnya pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti. Pura Terate Bang ini khusus untuk memuja Dewa Brahma untuk menguatkan motivasi spiritual dalam melakukan proses kreativitas dalam melakukan upaya penciptaan.

Inti ajaran yang terkandung dalam kitab suci Weda sabda Tuhan itu adalah Sanatana Dharma yaitu kebenaran yang kekal abadi. Tetapi pengamalannya selalu melalui proses Nutana. Artinya, selalu diremajakan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena dalam proses membangun tradisi Weda itu selalu didasarkan pada lima dasar pertimbangan yaitu Iksha, Sakti, Desa, Kala tetapi tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau Sanatana Dharma itu sendiri.

Iksha artinya pandangan masyarakat yang berbeda-beda dari zaman ke zaman atau dari satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Sakti artinya kemampuan. Kemampuan manusia itu berbeda-beda juga satu dengan yang lainnya. Desa artinya tuntunan rohani yang berlaku dalam suatu lingkungan pemukiman juga berbeda-beda. Kala artinya waktu itu berbeda-beda. Ada zaman Kerta, Treta, Dwapara dan Kali Yuga. Ada waktu pagi, siang dan malam yang disebut Satvika Kala, Rajasika Kala dan Tamasika Kala.

Demikian pula jenis manusia yang hidup di bumi ini sangat beraneka ragam. Oleh karena itu amat dibutuhkan kreativitas yang amat tinggi dan dinamis dalam melakukan upaya penciptaan. Tanpa demikian maka Sanatana Dharma atau kebenaran abadi intisari kitab suci Weda tidak akan merata teramalkan dalam menuntun hidup umat manusia yang meyakininya.

Untuk membangun manusia yang kreatif dalam menciptakan berbagai hal untuk mengamalkan intisari Weda itulah dibutuhkan pemujaan Dewa Brahma. Pura Terate Bang ini salah satu pura sebagai media memuja Dewa Brahma baik sebagai Dewa Agni maupun sebagai Tuhan Maha Pencipta. Sebagai Dewa Agni, Dewa Brahma sumber inspirasi membangun semangat hidup untuk terus berkreasi menciptakan berbagai hal sehingga terjadi berbagai inovasi positif dalam mengamalkan Sanatana Dharma tersebut.

Inovasi akan selalu membawa dampak positif apabila inovasi itu berdasarkan ilmu pengetahuan. Karena itu Dewa Brahma saktinya Dewi Saraswati yaitu dewinya ilmu pengetahuan. Mengapa Dewi Saraswati sebagai manifestasi Tuhan dalam bidang ilmu pengetahuan? Karena ilmu pengetahuan itu dapat membuat manusia mabuk.
Mendapatkan ilmu dan mengamalkan ilmu hendaknya disertai dengan rasa Ketuhanan yang kuat.

Untuk itulah umat Hindu memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati. Mahatma Gandi menyatakan ilmu tanpa kemanusiaan dapat menimbulkan dosa sosial. Pemujaan Dewa Brahma dengan Dewi Saraswati agar manusia terus berkreasi menciptakan sesuatu yang patut diciptakan untuk menguatkan pengamalan Sanatana Dharma.

Di samping itu pemujaan Dewa Brahma dengan Dewi Saraswati untuk menjaga kreativitas itu dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan sehingga kreasi itu selalu ilmiah, logis dan senantiasa mengacu pada sumber sastranya dalam pustaka suci. Kreasi tidaklah sembarang kreasi untuk sekadar berubah. Kreasi untuk menguatkan tradisi yang bersumber dari visi dan misi kitab suci.

Manawa Dharmasastra XII,95 menyatakan bahwa tradisi yang tidak berdasarkan ajaran suci atau kitab suci akan membawa masyarakat pada kehidupan yang gelap. Ilmu pengetahuan yang disebut Jnyana Agni dalam Bhagawad Gita IV, 19 itu. Hidup yang disinari oleh apinya ilmu pengetahuan (Jnyana Agni) itu akan menjadikan orang untuk aktif berbuat tetapi sepinya pamerih. Perbuatan dengan sepiing pamerih itu tidak mementingkan hasil dalam berbuat. Orang yang jiwanya sudah disinari oleh Jnyana Agni itu amat yakin akan ajaran Karmaphala itu.

Setiap perbuatan akan membawa hasil. Berbuat baik hasilnya pasti baik. Berbuat buruk pasti hasilnya buruk. Kedalaman dan keluasan dimensi ajaran Karmaphala ini sudah amat diyakini. Untuk apa memikirkan hasil karena hasil itu sudah ada dalam setiap perbuatan. Karena itu yang wajib dipikirkan dalam berbuat adalah mengupayakan akar selalu dapat berbuat baik dan benar.

Dalam perbuatan baik, benar dan tepat itulah terdapat hasil yang baik, benar dan tepat itu. Kalau tidak yakin akan hukum Karmaphala, orang akan selalu ragu dalam berbuat, karena antara berbuat dan hasilnya membuat manusia tidak konsentrasi dalam berbuat baik, benar dan tepat. Karena itu ajaran Hindu dalam berbagai pustakanya mengajarkan akan orang hanya memikirkan berbuat baik, benar dan tepat. * I Ketut Gobyah
 
Pembangunan Pura pertama di Eropa

Pada hari raya Kuningan yang jatuh pada tangggal 30 Agustus 2008 yang lalu, umat Hindu Indonesia di Jerman merayakannya secara bersama di Hamburg. Upacara sembahyang dipimpin oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, yang datang dari Bali beberapa hari sebelumnya.

Pada hari Kuningan ini, umat Hindu berdatangan dari segala pelosok negara Jerman, dan bahkan ada yang menempuh jarak 800 km untuk menghadiri hari istimewa ini. Para anggota Nyama Braya Bali membagi tugasnya secara komunal seperti layaknya di Bali. Pembagian tugas dari pembuatan upakara yang dipimpin oleh Nyoman Sukayahadi hingga memimpin Gamelan oleh I Wayan Pica. Semua pihak sibuk berhari-hari untuk menyukseskan acara ini.

Pada kesempatan ini, Bhagawan Dwija memberikan wejangan tentang Tri Hita Karana, keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama , dan dengan Alam. Selain itu sebagai pembimbing Rohani umat Hindu di Jerman, Bhagawan Dwija juga memberi pesan kepada umat Hindu asal Indonesia, agar berterimakasih kepada negara Jerman, dan dapat melanjutkan hubungan baik yang telah ada. Juga menghimbau pada orang Jerman yang banyak hadir di upacara itu, agar dapat diterima sebagai saudara sendiri, sehingga dapat terjalin hubungan persaudaraan di perantauan walau berbeda bangsa.

Selain memimpin upacara hari Kuningan ini, kedatangan Bhagawan Dwija juga untuk melaksanakan upacara „ menanam pedagingan“ suatu upacara dalam rangka perletakan batu pertama pembangunan Pura di Eropa. Pemerintah kota Hamburg melalui Museum für Völkerkunde telah mengijinkan Pura ini dibangun di depan gedung museum yang megah.

Sebelum inisiatif ini, umat Hindu Bali/ Indonesia belum memiliki bangunan suci. Oleh karena itu merasa sangat terharu dan berterimakasih karena tempat suci dalam bentuk Pura Jagad (umum) yang belum pernah ada di benua Eropa, dapat diwujudkan di Hamburg.

Pura ini bisa diraih dengan adanya kerjasama yang baik dari pihak museum di Hamburg, dengan Bali selama bertahun tahun. Selain Pura ini, sejak tahun 2004 museum ini memiliki pameran tetap yang besar dengan tema Bali. Pembiayaan pembangunan Pura ini didanai oleh seorang sponsor Jerman yang tak bersedia disebutkan namanya, yang belum pernah ke Bali tetapi merasa memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan Bali.

Perjuangan dan kerja keras masyarakat Indonesia, khususnya Bali ini di pelopori oleh Luh Gde Wirahmini, yang dengan kerja kerasnya, dengan kegigihan hati semua umat. Akhirnya keinginan ini semakin dekat menjadi kenyataan. Pembangunan Pura ini akan memakan waktu kira-kira setahun, yang dipimpin oleh Undagi I Nyoman Arthana
(Nyama Braya Bali di Jerman)

Info selengkapnya : http://kemoning.info/blogs/?p=670
 
Pada hari raya Kuningan yang jatuh pada tangggal 30 Agustus 2008 yang lalu, umat Hindu Indonesia di Jerman merayakannya secara bersama di Hamburg. Upacara sembahyang dipimpin oleh Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, yang datang dari Bali beberapa hari sebelumnya.

Pada hari Kuningan ini, umat Hindu berdatangan dari segala pelosok negara Jerman, dan bahkan ada yang menempuh jarak 800 km untuk menghadiri hari istimewa ini. Para anggota Nyama Braya Bali membagi tugasnya secara komunal seperti layaknya di Bali. Pembagian tugas dari pembuatan upakara yang dipimpin oleh Nyoman Sukayahadi hingga memimpin Gamelan oleh I Wayan Pica. Semua pihak sibuk berhari-hari untuk menyukseskan acara ini.

Pada kesempatan ini, Bhagawan Dwija memberikan wejangan tentang Tri Hita Karana, keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesama , dan dengan Alam. Selain itu sebagai pembimbing Rohani umat Hindu di Jerman, Bhagawan Dwija juga memberi pesan kepada umat Hindu asal Indonesia, agar berterimakasih kepada negara Jerman, dan dapat melanjutkan hubungan baik yang telah ada. Juga menghimbau pada orang Jerman yang banyak hadir di upacara itu, agar dapat diterima sebagai saudara sendiri, sehingga dapat terjalin hubungan persaudaraan di perantauan walau berbeda bangsa.

Selain memimpin upacara hari Kuningan ini, kedatangan Bhagawan Dwija juga untuk melaksanakan upacara „ menanam pedagingan“ suatu upacara dalam rangka perletakan batu pertama pembangunan Pura di Eropa. Pemerintah kota Hamburg melalui Museum für Völkerkunde telah mengijinkan Pura ini dibangun di depan gedung museum yang megah.

Sebelum inisiatif ini, umat Hindu Bali/ Indonesia belum memiliki bangunan suci. Oleh karena itu merasa sangat terharu dan berterimakasih karena tempat suci dalam bentuk Pura Jagad (umum) yang belum pernah ada di benua Eropa, dapat diwujudkan di Hamburg.

Pura ini bisa diraih dengan adanya kerjasama yang baik dari pihak museum di Hamburg, dengan Bali selama bertahun tahun. Selain Pura ini, sejak tahun 2004 museum ini memiliki pameran tetap yang besar dengan tema Bali. Pembiayaan pembangunan Pura ini didanai oleh seorang sponsor Jerman yang tak bersedia disebutkan namanya, yang belum pernah ke Bali tetapi merasa memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan Bali.

Perjuangan dan kerja keras masyarakat Indonesia, khususnya Bali ini di pelopori oleh Luh Gde Wirahmini, yang dengan kerja kerasnya, dengan kegigihan hati semua umat. Akhirnya keinginan ini semakin dekat menjadi kenyataan. Pembangunan Pura ini akan memakan waktu kira-kira setahun, yang dipimpin oleh Undagi I Nyoman Arthana
(Nyama Braya Bali di Jerman)

Wah Hindu Bali go internasional...semoga umat Hindu di sana tetep menjaga toleransi supaya gak diusir hahaha..tunjukkan keluhuran ajaran agama kita!
 
Pura Tegeh Koripan


Konsep ''Punden Berundak'' di Bukit Penulisan
Ungkapan Citra Gunung Suci, Orientasi Ritual Masyarakat Bali Kuna


Dalam prasasti Bali Kuna, Bukit Penulisan disebut dengan nama Bukit Tunggal. Di atas bukit ini terdapat Pura Tegeh Koripan yang diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-9. Keberadaan Pura Tegeh Koripan ini memperlihatkan tempat suci yang menerapkan konsep asli bangsa Indonesia, yaitu konsep "punden berundak". Dalam konsep ini, sebuah tempat suci ditempatkan di puncak ketinggian gunung atau perbukitan, yang harus dilalui melalui jalan yang bertingkat atau teras-teras. Bagaimana sesungguhnya konsep pembangunan tempat suci di pegunungan seperti ini? Benarkah konsep seperti ini bukan hanya monopoli "karya-karya" suku bangsa di Nusantara?

BUKIT Penulisan berada pada ketinggian 1745 meter di atas permukaan laut. Bukit ini merupakan salah satu puncak pegunungan yang membentang di tengah-tengah pulau Bali, tetapi terpisah dan menyendiri dari deretan pegunungan tersebut. Bukit ini letaknya 6 km di sebelah utara Kintamani, atau sekitar 74 km dari Kota Denpasar dan berada di sisi timur jalur jalan Denpasar - Singaraja.

Di dalam prasasti Bali Kuna, Bukit Penulisan disebut dengan nama Bukit Tunggal. Di atas bukit inilah terdapat Pura Tegeh Koripan yang diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-9. Pengemong pura ini adalah masyarakat Desa Adat Sukawana. Di dalam komplek Pura Tegeh Koripan ini terdapat tempat suci bernama Pura Ratu Daha Tua dan Pura Panarajon. Di kalangan ahli sejarah Bali Kuna, keberadaan pura ini sangat penting karena banyak menyimpan arca, terutama arca raja-raja Bali kuna.

Ketika melakukan ekspedisi militer ke Bali saat menaklukkan kerajaan Bali Kuna (1343), Mahapatih Gajah Mada juga sempat melakukan tirtha yatra di Panarajon. Dan dari hasil penelitian Ketut Ginarsa (Balai Penelitian Bahasa), diketahuilah bahwa di Pura Tegeh Koripan ini pernah dilakukan upacara Srada oleh Raja Dalem Ketut Ngulesir pada tanggal 4 Maret 1430 bagi arwah Raja Sri Astasuraratnabumibhanten, raja Bali Kuna terakhir yang ditaklukkan oleh Majapahit. Kemudian juga dibuatkan patung peringatan dalam wujud patung Bhatara Guru sebagai penghormatan bagi Raja Astasuraratnabumibhanten di Pura Panarajon. Hal ini dilakukan oleh Dalem Ketut Ngulesir demi kepentingan Kerajaan Gelgel, agar penduduk Bali Aga tidak lagi melakukan pemberontakan akibat ketidak-puasan terhadap perwakilan Majapahit di Bali.

Konsep Asli
Keberadaan Pura Tegeh Koripan ini memperlihatkan tempat suci yang menerapkan konsep asli bangsa Indonesia, yaitu konsep "punden berundak". Dalam konsep ini, sebuah tempat suci ditempatkan di puncak ketinggian gunung atau perbukitan, yang harus dilalui melalui jalan yang bertingkat atau teras-teras. Pembangunan tempat suci di pegunungan, sebenarnya bukan hanya monopoli suku-suku bangsa di Nusantara, tetapi juga dilakukan oleh suku-suku bangsa lain di zaman purba. Seperti bangsa Yunani membangun kuil di pegunungan Olimpia, bangsa Mesopotamia (Irak Purba) membangun Zigurat di tanah yang tinggi, bahkan yang menakjubkan adalah suku Bangsa Inka di Manchu (Peru) membangun sebuah pemukiman di puncak gunung yang tinggi. Di samping karena alasan keamanan, pembangunan pemukiman di pegunungan yang tinggi sangat terkait dengan penghayatan religius mereka, yang menempatkan gunung sebagai tempat suci tempat tinggal para dewa.

Karena itulah, untuk mencapai Pura Tegeh Koripan di Bukit Penulisan, orang harus melalui beberapa tingkatan teras atau plasa kecil, agar umat yang datang bisa beristirahat dan menarik nafas panjang setelah mendaki perbukitan, sambil menikmati panorama alam hutan pinus. Pura Tegeh Koripan ini memiliki 11 tingkatan halaman atau teras yang harus dilalui melalui beberapa anak tangga terjal. Pada tingkat atau teras ke-6 terdapat Pura Ratu Daha Tua dan pada tingkat atau teras ke-11 terdapat Pura Panarajon yang merupakan puncak Bukit Penulisan. Dari atas puncak Bukit Penulisan, orang akan dapat melihat panorama alam secara bebas di sekitar Kintamani yang memiliki hutan pinus atau panorama alam Danau Batur. Pada saat-saat tertentu, kabut tipis atau tebal sering menyelimuti puncak bukit ini.

Di komplek Pura Panarajon yang ada di puncak Bukit Penulisan inilah akan bisa dilihat sejumlah arca Bali Kuna yang dibuat antara abad ke-10 hingga abad ke-14. Arca-arca ini sebagian dari bahan batu cadas, sebagian ada juga terbuat dari tanah liat. Tulisan-tulisan yang ada di belakang patung atau arca batu tersebut sangat membantu dalam memberi petunjuk data kesejahteraan penting Bali Kuna. Dari bentuk patung dan tulisan-tulisan di balik patung tersebut diketahuilah patung perwujudan Sri Astasuraratnabhumibanten, raja Bali Kuna terakhir yang sangat disegani. Di area pura ini juga diketahui ada patung Raja Jayapangus dan patung Raja Udayana yang berpasangan dengan permaisurinya, yang dibuat oleh Mpu Bega pada abad ke-11.

Gunung Suci
Pura Tegeh Koripan yang ada di Bukit Penulisan, Kintamani - Bangli, dapat dikatakan sebagai Pura Gunung yang menjadi orientasi religi bagi penduduk di zaman kerajaan Bali Kuna. Sehingga di bukit inilah sejumlah raja-raja Bali Kuna di-arca-kan, sebagai "dewa pegunungan" yang sangat dihormati masyarakat Bali Kuna. Sedangkan Pura Pusering Jagat di Desa Pejeng (Gianyar) diperkirakan sebagai pura kerajaan di zaman Bali Kuna.

Pura Pusering Jagat yang memiliki makna sebagai pusar, pusat, atau sentral dari dunia di zaman Bali Kuna, bagaikan tali plasenta (ari-ari) yang berhubungan dengan ibu yang menyalurkan makanan bagi kehidupannya. Hal ini identik dengan hubungan manusia dengan Tuhan, yang secara geografis diidentikkan dengan hubungan manusia yang ada di dataran dengan dewa-dewi manifestasi Tuhan yang ada di pegunungan. Karena itulah Pura Tegeh Koripan yang namanya identik dengan tempat bagi kehidupan yang tinggi dalam arti religi, dapat dikatakan sebagai tempat suci berupa Pura Gunung dan menjadi orientasi religi bagi masyarakat di zaman Bali Kuna.

Dalam kehidupan ini tidak semua tempat memiliki tata nilai yang sama, tetapi memiliki tata nilai hirarkis, dari tempat yang rendah ke tempat yang tinggi. Suatu wilayah diyakini memiliki wilayah energi dan kekuatan-kekuatan gaib dalam konsep ruang (mandala) dan waktunya. Karena itulah orang-orang pada zaman dulu, tata wilayah dan arsitekturnya tidak diutamakan bagi kepentingan estetika bangunannya, tetapi lebih ditekankan bagi kelangsungan hidupnya secara kosmis. Artinya, manusia dan arsitekturnya merupakan bagian dari kosmos atau alam semesta.

Karena itulah pada zaman dulu orang-orang telah membagi dunia ini menjadi tiga lapisan (tri bhuwana). Dunia atas untuk para dewa, dunia tengah untuk kehidupan manusia dan dunia bawah untuk mahluk-mahluk lain. Dalam tata ruang wilayah, ada daerah pegunungan yang memiliki nilai suci, di wilayah dataran untuk area pemukiman, dan wilayah yang rendah untuk area pelayanan. Sedangkan dalam perwujudan arsitektur diwujudkan ke dalam bentuk atap sebagai kepala, badan bangunan dan pondasi sebagai kaki bangunan.

Dengan demikian, pengembangan konsep "punden berundak" di Pura Tegeh Koripan dapat dipahami sebagai pengungkapan citra gunung suci yang menjadi orientasi ritual masyarakat Bali Kuna. Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa India di Himalaya, bangsa Yunani di pegunungan Olimpia, bangsa Iran di Haraberezaiti dan bangsa Palestina di Gerizim. *Gede Mugi Raharja
source : BaliPost
 
bos, bisa sedikit diberikan pencerahan mengenai Pura Taman Pule di Desa Mas.
thanks sebelumnya...
 
Pura Taman Pule - Gianyar

b75f.JPG


Pura Taman Pule terletak di Desa Mas, Kabupaten Gianyar, Piodalannya setiap Saniscara Kliwon Kuningan bersamaan dengan hari Raya Kuningan.

Sepuluh hari setelah Galungan, umat Hindu di Bali merayakan hari raya KUNINGAN yg jatuh pada Saniscara Kliwon Kuningan. Inti hari raya Kuningan sama dengan Galungan sebagai hari kemenangan kebaikan atas kejahatan. Moment Kuningan lebih dipakai sebagai ajang untuk mengheningkan pikiran agar kebenaran kebaikan yg telah didapat bisa tetap langgeng dan bisa dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada Kuningan umat akan melakukan persembahyangan di pura kawitan atau pura keluarga masing-masing, kemudian persembahyangan dilanjutkan ke pura desa. Tua muda, laki perempuan, tidak ketinggalan anak-anak kecil pun dengan sukacita berpakaian adat Bali menuju ke pura.

Bersamaan dengan perayaan Kuningan, pada hari tsb juga dilakukan piodalan Pura Taman Pule, yg merupakan pura Dang Khayangan, yaitu pura-pura yg dikategorikan sebagai pura luhur utama yg pernah disinggahi oleh para pendeta suci penyebar agama Hindu di Bali jaman dahulu.

Pura Dang Khayangan adalah milik seluruh umat Hindu, siapapun berhak bersembahyang disana tanpa memandang garis keturunan, asal muasal ataupun profesi.

Fondasi Pura Dang Khayangan yang ada di Bali dibangun berdasarkan sukat dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maka bila terjadi permohonan sukat baru (misal karena pergeseran mandala) harus dimohonkan di Pura Taman Pule Mas, Gianyar yang melalui prosesi cukup sacral.

Karena pura ini adalah parahyangan Dang Hyang Dwijendra, merupakan Pasraman Pedanda Sakti Wawu Rawuh, berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.

Danghyang Dwijendra sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahaman kini di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif.

Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia ini dengan baik dan benar. Dua ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.

Selama beliau di Desa Mas, beliau banyak memberikan pelajaran dan pengetahuan baik dibidang agama, sosial, seni budaya dan lain-lainnya kepada Mas Wilis.

Setelah Mas Wilis mendalami semua pelajaran dan pengetahuan yang diberikan, lalu diadakan pendiksaan oleh Pedanda Sakti Bawu Rauh dan ia diberi gelar Pangeran Manik Mas. Sebagai bukti bakti untuk menghormati jasa-jasanya, Pangeran Manik Mas membuat pesraman atau Geria dengan segala perlengkapannya untuk Pendanda Sakti Bawu Rauh.

Demikian pula Pedanda Sakti Bawu Rauh untuk memperingati kejadian ini, (sebagai bukti), beliau menancapkan tongkat tangi (pohon tangi) yang masih hidup sampai sekarang yang terletak di jaba tengah Pura Taman Pule Mas. Sejak saat itu beliau memberi nama desa ini Desa Mas.

Disamping itu Pangeran Manik Mas mempersembahkan putrinya yang bernama Ayu Kayuan (Mas Gumitir), dari perkawinannya dengan Mas Gumitir menurunkan Brahmana Mas yang tinggal di Desa Mas sekarang ini.

Danghyang Dwijendra sendiri adalah keturunan dari Mpu Beradah.
Mpu Geni Jaya, leluhur Maha Gotra Sanak Sapta Resi, itu adalah saudara dari Mpu Beradah. Secara logika keturunan Mpu Geni Jaya pun sesungguhnya Brahmana Wangsa.

Mpu Geni Jaya beserta adik-adiknya Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Pradah dan Mpu Gana merupakan panca pandita dari India yang pada suatu ketika menghadap Raja Airlangga di Kediri.
Kedatangan mereka ke Indonesia adalah terutama untuk membina pulau Bali atas perintah Bhatara Paçupati. Yang meneruskan perjalanan ke Bali adalah:
1. Mpu Semeru menetap di Besakih.
2. Mpu Gana di Dasar Bhuwana, Gelgel.
3. Mpu Kuturan di Çilayukti, Padang.

Yang tinggal di Jawa adalah:
1. Mpu Pradah di Pajarakan, Kediri dan
2. Mpu Genijaya.

Berdasarkan babad Bendesa Mas, maka Pura Kawitan para Bendesa Mas adalah Pura Lempuyang Madia, bekas parhyangan Mpu Genijaya.
Di samping itu pula nyungsung ke Pura Gading Wani (Lalanglinggah) dan Pura Taman Pule (Mas). Juga tidak boleh terlupakan Pura Çilayukti (Padang) dan Pura Dasar Bhuwana (Gelgel). *Goesdun
 
Candi Bumi Ayu - Sumatera Selatan

candi4.jpg


Desa Bumi Ayu, Kecamatan Tanah Abang, kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Desa ini terletak kira-kira 300 KM dari kota Palembang.

Bumi Ayu dikenal dengan situs candi-candi peninggalan Hindu dari aliran Siwaisme.

Sampai saat ini sudah diketemukan 11 buah candi yang tersebar di wilayah seluas 76 HA perkebunan karet, yang dikelilingi oleh anak sungai Musi. Dari penggalian para arkeolog, maka komplek candi Bumi Ayu ini merupakan candi-candi Hindu terbesar di luar Jawa, dan dari penemuan tersimpul bahwa candi-candi ini merupakan tiruan Candi Prambanan di Jawa Tengah, didirikan pada tahun 819 Saka atau 897 Masehi.

Usaha pelestarian ini telah dimulai pada tahun 1990 sampai sekarang, dengan didukung oleh dana APBN. Walaupun demikian peran serta Pemerintah Kabupaten Muara Enim cukup besar, antara lain Pembangunan Jalan, Pembebasan Tanah dan Pembangunan Gedung Museum Lapangan. Percandian Bumiayu meliputi lahan seluas 75,56 Ha, dengan batas terluar berupa 7 (tujuh) buah sungai parit yang sebagian sudah mengalami pendangkalan.

Candi Bumi Ayu pada saat ini masih dalam proses pengkajian dan pemugaran, sehingga belum banyak informasi yang dapat diketahui, sedangkan informasi tertulis dari Candi tersebut masih dalam proses dipahami oleh Tim Pengkajian Peninggalan Purbakala Propinsi Sumatera Selatan.

Pada situs Candi, terdapat beragam arca seperti Siwa Mahaguru, Nandi, Agastya dan Narawahana. Juga terdapat peti peripih dan komponen-komponen hiasan candi yang kental dengan simbol Hindu.

Simbol Hindu pada bangunan candi terlihat pada komponen bangunan atapnya yang dinamai ratna.

Pada beberapa arca seperti Siwa Mahadewa, Nandi dan Agastya, simbol Hindu diperlihatkan hiasan yang dinamakan buah keber.
 
Kahyangan Tiga di Desa Pakraman

567542515_bd2b00e729.jpg


YANG mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman adalah Mpu Kuturan kira-kira pada abad ke-11. Pada abad tersebut yang menjadi raja di Bali adalah Raja Udayana yang didampingi oleh permaisurinya dari Jawa bernama Mahendradatta dengan gelar Gunapriya Dharma Patni.

Gagasan Mpu Kuturan mendirikan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman itu diperkirakan muncul saat ada pesamuan besar di Pura Samuan Tiga sekarang yang terletak di Desa Bedulu Kabupaten Gianyar. Ada berbagai pendapat tentang pesamuan agung tersebut. Ada yang menyatakan bahwa pesamuan di Samuan Tiga itu untuk menyatukan sekte-sekte Hindu yang pecah belah pada saat itu. Tetapi banyak guru besar arkeologi yang menyatakan tidak menjumpai bukti-bukti yang mengandung nilai sejarah yang menyatakan bahwa zaman tersebut sekte-sekte Hindu yang ada pecah belah.

Raja Udayana dan permaisurinya saja saat itu beda sekte keagamaannya. Raja Udayana menganut Buddha Mahayana, sedangkan permaisurinya menganut sekte Siwa Pasupata. Pesamuan tersebut nampaknya untuk menetapkan kebijaksanaan dalam meningkatkan daya spiritual masyarakat Bali untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena pendirian Kahyang Tiga di setiap desa pakraman itu untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti sebagaimana dinyatakan dalam Pustaka Bhuana Kosa III. 76.

Tuhanlah yang menciptakan (utpati), melindungi (sthiti) dan mempralayakan (pralaya atau pralina) semua ciptaan-Nya. Kemahakuasaan Tuhan untuk melakukan Utpati, Sthiti dan Pralina ini disebut Tri Kona (dengan lambang Lukisan Segi Tiga, lambang siclus Utpati, Sthiti, Pralina). Dengan pemujaan Tuhan Siwa sebagai Tri Murti mengandung dua konsep pembinaan kehidupan spiritual, yaitu konsep

Tri Kona dan Tri Guna.
Dalam Bhagawata Purana dinyatakan ada tiga kelompok Maha Purana. Ada Satvika Purana dengan Ista Dewatanya Dewa Wisnu. Ada Rajasika Purana dengan Dewa Brahma sebagai Ista Dewatanya dan ada Tamasika Purana dengan Dewa Siwa sebagai Ista Dewatanya. Dengan demikian Tri Murti menurut Bhagawata Purana adalah Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Guna Awatara. Artinya Tuhan-lah yang menjadi sumber pengendali tertinggi tiga dasar sifat manusia yang disebut Tri Guna itu.

Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti di setiap desa pakraman di Bali sebagai media sakral untuk menerapkan konsep untuk menguatkan kehidupan spiritual. Penguatan kehidupan spiritual melalui penguatan sistem pemujaan pada Tuhan, agar umat hidupnya terarah dalam mengarungi dinamika kehidupan di dunia ini.

Untuk mewujudkan empat tujuan hidup mencapai Dharma, Artha, Kama dan Moksha minimal ada dua konsep hidup yang harus dijadikan pegangan untuk mengarahkan dinamika hidup di tingkat desa pakraman.
Dua konsep itu adalah Tri Kona dan Tri Guna.

Dua konsep spiritual tersebut akan membina kehidupan di desa pakraman untuk menuntun umat mewujudkan empat tujuan hidup tersebut sesuai dengan tahapan hidup yang disebut Catur Asrama. Tri Kona sebagai kemahakuasaan Tuhan dijadikan sumber tuntunan tertinggi dalam melakukan tiga dinamika hidup tersebut. Artinya manusia hendaknya menjadikan konsep Tri Kona itu sebagai guide line dalam berperilaku mencipta (utpati), memelihara (sthiti) dan meniadakan (pralina) untuk menegakkan kehidupan yang benar, suci dan harmonis (Satyam, Siwam dan Sundharam).

Ciri hidup yang baik dan benar itu adalah melakukan kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Hal inilah yang disebut Utpati atau Sthiti.
Selanjutnya kreatif untuk memelihara sesuatu yang sepatutnya dipelihara atau Utpati.

Dalam kehidupan ini ada hal-hal yang memang seyogianya ditiadakan agar dinamika hidup ini dengan laju menuju kehidupan yang Jana Hita dan Jagat Hita.

Jana Hita artinya kebahagiaan secara individu dan Jagat Hita adalah kebahagiaan secara bersama-sama.

Inilah yang seyogianya yang dikembangkan oleh umat di desa pakraman.
Melaksanakan ajaran Tri Kona tersebut tidaklah semudah teorinya. Karena itu dalam melakukan upaya penciptaan agar upaya tersebut benar-benar berguna dalam kehidupan ini membutuhkan tuntunan spiritual dengan memuja Batara Brahmana di Pura Desa sebagai unsur Kahyangan Tiga di desa pakraman.

Demikian juga untuk memelihara dan melindungi sesuatu yang baik dan benar yang sepatutnya dilindungi tidaklah mudah.
Melakukan upaya Sthiti ini juga dibutuhkan daya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu.
Dalam hidup juga banyak adanya sesuatu yang menghalangi proses hidup menuju dharma.
Untuk meniadakan sesuatu yang sepatutnya ditiadakan juga membutuhkan daya spiritual yang kuat.
Untuk menguatkan daya spiritual untuk melakukan Pralina itulah Tuhan dipuja sebagai Rudra atau Batara Siwa.

Dinamika hidup dengan landansan Tri Kona inilah yang dapat menciptakan suasana hidup yang dinamis, harmonis dan produktif dalam arti spiritual dan material secara berkesinambungan.
Dari konsep Tri Kona ini sesungguhnya dapat dikembangkan menjadi berbagai kebijakan di desa pakraman.

Betapapun maju suatu zaman yakinlah dapat dikendalikan dengan konsep Tri Kona.

Dengan konsep Tri Kona ini desa pakraman tidak akan pernah kehidupan jati dirinya sebagai lembaga umat Hindu khas Bali.
Kemajuan zaman justru akan menguatkan jati diri kehidupan di desa pakraman.

Karena itulah janganlah sembarangan mempertahankan adat-istiadat. Adat-istiadat itu buatan manusia sebagai sarana menjalankan ajaran agama. Ibarat kendaraan yang memiliki batas waktu.
Ada saatnya sarana itu sedang baik karena baru, ada masa tuanya dan ada masanya berakhir.

Ciptakan adat-istiadat yang dibutuhkan zaman, ada adat-istiadat yang masih baik dan benar agar terus dipelihara dan dipertahankan. Sedangkan adat-istiadat yang sudah usang ketinggalan zaman hendaknya ditinggalkan secara suka rela.

Kalau adat-istiadat yang sudah usang karena bertentangan dengan kebenaran dan kemanusiaan agar ditinggalkan dengan cara-cara yang baik dan benar juga.

Pemujaan Tuhan di Pura Kahyangan Tiga di desa pakraman juga untuk membina tiga dasar sifat manusia yang disebut Tri Guna.

Kalau komposisi Tri Guna tidak ideal maka dari Tri Guna itulah akan muncul sifat-sifat yang tidak sesuai dengan dharma.

Dalam Wrehaspati Tattwa 21 dinyatakan bahwa Guna Sattwam dan Guna Rajah hendaknya seimbang menguasai Citta atau alam pikiran. Guna Sattwam menguatkan manusia untuk mengembangkan niat dan tekad mulia untuk berbuat baik berdasarkan dharma.

Sedangkan Guna Rajah yang kuat seimbang dengan Guna Sattwam akan membangun kemampuan untuk mewujudkan niat dalam perbuatan nyata.

Dalam sastra Hindu banyak sekali ajaran untuk membangun keseimbangan Guna Sattwam dan Guna Rajah.

Pengamalan ajaran Hindu tersebutlah yang semestinya diprogramkan oleh desa pakraman dalam membina umat menjadi SDM yang baik.
 
Candi Jawarombo

Jalan tanah berbatu menuju lereng selatan gunung itu sebenarnya dapat dilintasi kendaraan bermotor.

Akan tetapi bila hujan jalan licin dan berlumpur dan harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Perjalanan makin mendaki saat mendekati lokasi, hingga tampak sosok bangunan batu terlihat samar, diselimuti kabut dingin dan rimbunnya pepohonan.

Penduduk setempat menyebutnya Candi Jawarombo, yang masuk wilayah Desa Mulyoasri, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Bangunan peninggalan masa Hindu-Buddha itu ditemukan penduduk + tahun 1983 dalam keadaan terpendam tanah.

Lokasi situs berada pada posisi 8§ 08' 50,9" Lintang Selatan dan 112§ 53' 21,05" Bujur Timur dengan ketinggian di atas 1.400 m dpl.

Candi ini tinggal bagian batur (alas) berdenah bujur sangkar dengan ukuran 6 X 6 meter dan tinggi 60 cm.

Pada lantai batur terdapat empat umpak batu yang berlubang bagian tengahnya untuk menegakkan tiang. Mungkin bangunan suci ini memakai tiang kayu dengan atap rumbia atau ijuk, karena tidak dijumpai pecahan-pecahan genteng di bawahnya.

Profil kaki candi berupa pelipit setengah lingkaran dan segi empat.
Keempat sisi batur dihiasi relief-relief yang menggambarkan teratai (lotus), pilaster, dan Tapak Dara.

Pada sisi bangunan dihiasi oleh lima teratai, empat Tapak Dara dan 10 pilaster yang ditempatkan berselang-seling.

Pahatan sosok manusia pada relief digambarkan seperti wayang, gaya pahatan seperti relief-relief bangunan candi masa akhir Majapahit.

Ini bisa dilihat pada bangunan-bangunan di lereng G. Penanggungan, di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Situs Candi Jawarombo menghadap puncak G. Mahameru / G. Semeru, gunung tertinggi di Jawa Timur.

Pintu masuk candi ada di selatan dengan adanya sisa-sisa bangunan gapura dari batu.
Dilokasi ini ditemukan arca batu yang memegang gada. Ini adalah cirri arca Dvarapala.

Dvarapala merupakan arca yang ditempatkan di depan pintu atau gerbang menuju bangunan suci candi. Memiliki kekuasaan untuk melindungi dari berbagai serangan kekuatan jahat.
 
Wah jadi inget Baturaden nih bro...

Pintunya rada mirip....:D
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.