• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Candi Penataran

132.JPG

RIWAYAT PENEMUAN

Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit yang kemudian di susul dengan masuknya agama Islam, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu / Budha begitu saja di tinggalkan oleh masyarakat penganutnya. Lama-lama bangunan-bangunan suci yang tidak lagi dipergunakan itu di lupakan orang-orang karena masyarakat sebagian besar telah berganti kepercayaan. Akibatnya bangunan tersebut menjadi terlantar tidak ada lagi yang mengurusnya, pada akhirnya tertimbun longsoran tanah dan semak semak belukar. Yang nampak adalah puing - puing berserakan di sana sini. Ketika daerah ini berkembang menjadi pemukiman keadaannya menjadi lebih parah lagi. Batu - batu candinya di bingkar orang dari susunannya untuk keperluaan alas bangunan rumah atau pengeras jalan, sedangkan batu bata yang di tumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu-batu berhias dan juga arca-arca di ambil oleh sinder - sinder perkebunan. Keadaan yang menyedihkan ini berlangsung cukup lama, sampai datangnya para peneliti pada sekitar permulaan abad XIX. Dengan keahlian yang dimilikinya mulailah para peneliti itu mengadakan rekonstruksi dan pemugaran.

Demikian juga keadaan komplek percandian Panataran dimasa lalu. Candi Penataran di temukan pada tahun 1815 tetapi sampai tahun 1850 belum banyak di kenal. Penemunya adalah Sir Thomas Stamfort Raffles (1781 - 1826), letnan gubernur jendral kolonial Inggris yang berkuasa di negara kita pada waktu itu.

Raffles bersama dengan Dr. Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Penataran, hasil kunjungannya di bukukan dalam bukunya yang cukup terkenal “History of Java” yang terbit dalam dua jilid. Jejak raffles ini kemudian di ikuti oleh para peneliti lainnya: J. Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya van meeteren Brouwer (1828), Junghun (1844), Jonathan Rigg (1848) dan N.W. Hoepermans yang pada tahun 1866 mengadakan inventarisasi di komplek percandiaan Penataran. Pada tahun 1867 Andre de la Porte bersama dengan J. Knebel seorang asisten residen mengadakan penelitian atas Candi Panataran dan hasil penelitian di bukukan dalam bukunya yang terbit 1900 yang berjudul “De ruines van Panataran”.
Dengan berdirinya badan resmi kepurbakalaan yang pada waktu itu bersama Oudheidkundige Dienst (biasa di singkat OD) pada tanggal 14 - 06 - 1913 maka penanganan atas candi Penataran menjadi lebih intensif. Pada saat ini bersama dengan peninggalan kuno yang lainyang berada di Jawa Timur, Pemeliharaan, Perlindungan, Pemugaran dan sebagainya atas Candi Penataran berada di tangan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang berkantor pusat di Trowulan, Mojokerto.
 
Pura Pucak Sangkur

Pendakian Spiritual, Temukan Kedamaian

Pura Pucak Sangkur atau Pura Pucak Resi merupakan Pura Kahyangan Jagat yang terletak di kawasan Desa Pakraman Kembang Merta, Candikuning, Tabanan. Pura ini terletak di Bukit Pucak Resi yang merupakan kawasan hutan lindung, sehingga suasana alami dan indahnya pemandangan Danau Beratan dari ketinggian dapat dinikmati di sini. Untuk mencapai pura ini, pemedek harus berjalan kaki mendaki bukit sejauh sekitar 400 meter. Dari objek wisata Danau Beratan, pemedek harus menempuh perjalanan sekitar 2 km dengan melewati rumah penduduk dan ladang-ladang sayur. Pura yang kisah awalnya sebagai tempat pertapaan Rsi Segening ini sering diidentikkan sebagai tempat bermohon bagi seseorang yang ingin menjadi pejabat ataupun ingin mendapatkan taksu Bali bagi kepemimpinan. Apa filosofi di balik bangunan Pura Pucak Sangkur itu?

==================================

Saat bulan purnama merupakan waktu yang biasanya ramai dikunjungi oleh pemedek, baik untuk tujuan spiritual maupun dengan tujuan permohonan tertentu. Keheningan dan kedamaian serta keindahan alam dapat ditemui di sini. Sebab, pura ini jauh dari suara bising kendaraan atau aktivitas manusia lainnya.

Selain itu, kondisi alam yang sejuk yang biasanya berada pada kisaran suhu 18-22 C sangat mendukung bagi beragam aktivitas spiritual. Getaran spiritual dan keindahan rasa benar-benar dapat dinikmati dan dihayati di pura yang berdiri di atas tanah berukuran 25 are ini.

Siwa Pasupati merupakan Dewa yang khusus dipuja di pura yang piodalan-nya jatuh pada Buda Kliwon Sinta ini. Pada pelinggih utama ditemukan patung Siwa-Pasupati yang berbusana kuning. Pelinggih yang persis terletak di bawah pohon bunut merupakan pelinggih yang pertama ditemukan di pura ini. Pembangunan dan rehab telah dilakukan beberapa kali oleh pengempon pura yakni Desa Pakraman Kembang Merta dan Antapan. Di bagian lain juga terdapat pelinggih pengabeh yakni Pelinggih Ratu Bagus Sakti dan Dalem Penerangan.

Sementara bangunan lain yakni berupa bale gong belum kelar pengerjaannya. Klian Dinas Kembang Merta Dewa Putu Adnyana mengatakan, beberapa bangunan seperti sarana MCK sangat mendesak diperlukan mengingat lokasi yang tinggi. Ia bersama pengempon pura lainnya berencana untuk membangun MCK agar mudah dijangkau oleh pemedek. Namun, pembangunannya belum terlaksana mengingat masih terbatasnya dana.

Pura ini termasuk ke dalam 10 pengider bagi Pura Penataran Beratan yang terletak di tepi Danau Beratan. Sembilan pura lainnya yang masih ada hubungan adalah Pura Pucak Mangu, Pura Manik Umawang (Ulun Danu), Pura Rejeng Besi, Pura Pucak Candi Mas, Pura Teratai Bang, Pura Batu Meringgit, Pura Pucak Pungangan, Pura Pucak Sari dan Pura Kayu Sugih.
Legenda Juuk Linglang

Hal yang unik dan menarik dari kawasan ini adalah keberadaan juuk linglang (sejenis jeruk) yang terletak di utama mandala. Jeruk yang konon keberadaannya telah ratusan tahun ini memiliki cerita tersendiri. Untuk saat ini juuk linglang hanya menjadi legenda yang sering diceritakan dalam drama gong. Namun, legenda itu dianggap nyata oleh masyarakat setempat.
Sebelum dilakukan rehab pura sekitar tahun 2004-2005 lalu, jeruk dengan ukuran batang besar ini berada persis di tebing pada bagian samping lokasi pura yang saat itu masih sempit. Namun, ketika dilakukan penimbunan timbul pawisik agar jeruk ini tidak dimatikan. Akhirnya dibuatkan lubang yang bertrali agar jeruk ini dapat terus tumbuh. Uniknya batang kecil yang muncul sering hilang dan timbul kembali pada waktu tertentu.

Masyarakat sangat meyakini juuk linglang memiliki khasiat tertentu yang sifatnya ajaib. Dari buah, daun hingga kulit batang diyakini ampuh menyembuhkan berbagai penyakit, baik medis maupun nonmedis. Penanganan penyakit nonmedis paling banyak. Namun buah dari jeruk ini sukar untuk didapatkan dan konon tidak semua orang bisa mendapatkan sebagaimana halnya memetik buah jeruk biasa. Diyakini orang yang bisa memiliki buah jeruk ini merupakan orang pilihan.

Para pemedek biasanya merasa sangat beruntung ketika melihat batang kecil dengan beberapa helai daun menyembul ke permukaan. Sebab, tidak semua pemedek beruntung melihat keberadaannya yang sering hilang tersebut. Masyarakat setempat yang sering mengamati keberadaannya pada mulanya merasa heran ketika jeruk itu hilang.

IGN Budana Arta, Ketua Pengelola Objek Wisata Penataran Beratan, menyatakan saat tertentu jeruk ini menghilang dan dalam waktu yang sulit diketahui muncul kembali dengan posisi dan kondisi yang sama ketika menghilang. (upi)
 
Pura Pucak Panulisan

Hawa dingin menulang merajam tubuh siang itu, di kawasan Kintamani. Kabut tipis mulai turun, menyaputi pepohonan. Seorang pengendara sepeda motor menuju arah Tejakula, Buleleng Timur, berhenti di sebelah kanan jalan menuju Desa Sukawana-Singaraja-Kintamani. Wanita yang dibonceng turun, diam sejenak sebelum akhirnya menuju tempat suci di sebelah kanan jalan. Itulah Pura Puncak Panulisan. “Kami terbiasa bila pulang ke Buleleng lewat Kintamani, berhenti sejenak di sini,” tutur Luh Putu Agustini, ibu dua putri dari Desa Pacung, Tejakula, itu.

Pura Pucak Panulisan di Desa Sukawana, Kintamani, Bangli, memang kerap disinggahi orang-orang. Tak sebatas orang Bali, juga tetamu asing yang berkunjung ke Bali.

Tempat suci berjarak kira-kira 70 km dari Denpasar ini memiliki banyak sebutan. Ada menamakan Pura Panarajon, ada pula menamai Pura Tegeh Koripan. Karena letaknya di Bukit Panulisan, orang-orang pun kebanyakan menyebut Pura Pucak Panulisan.

Secara garis besar kompleks pura ini menghadap ke selatan, kecuali pura utama yang mengarah ke barat. Pada halaman utama (jeroan) tersimpan tinggalan-tinggalan dari masa prasejarah hingga Bali Kuno.

Berpijak dari struktur bangunan, pura ini menganut perpaduan dua konsep. Pertama dari masa megalitik yang tercermin lewat konsep Gunung Suci dan terealisasikan dari wujud bangunan teras piramida, bertingkat-tingkat. Konsep kedua tergambar dalam Sapta Loka, tampak dari struktur tingkatan pura, terdiri dari tujuh tingkatan teras utama yang dihubungkan anak-anak tangga. Pada tingkat ketiga yaitu pada tingkat Swah Loka, terdapat dua palinggih kecil, Pura Dana dan Pura Taman Dana. Pada tingkat keempat, di bagian Maya Loka, di sebelah timur jalan, ditempatkan Pura Ratu Penyarikan, dan di sebelah barat terdapat pemujaan keluarga Dadya Bujangga.

Tingkatan keenam, Tapa Loka, berdiri Pura Ratu Daha Tua. Adapun tingkatan ketujuh (Sunya Loka) merupakan pucak Pura Tegeh Koripan. Di sini ada palinggih pangaruman, piyasan, serta gedong sebagai tempat menyimpan benda-benda purbakala.

Belum jelas, kapan sejatinya pura ini mulai dibangun. Tim Universitas Udayana yang meneliti pura ini tahun 1992 tak mendapatkan kebenderangan sejarah awal pendirian pura. Benda-benda purbakala yang tersimpan di sana tak satu pun menjelaskan perihal sejarah awal pendirian pura ini, termasuk nama Panarajon ataupun Koripan. Para peneliti hanya menyimpulkan kesamaan kata pucak, tegeh, dan panarajon yang disebut berasal dari kata tuju, berarti tinggi.

Prasasti Sukawana A-1 berangka tahun 804 Saka (882 M) yang telah dibaca arkeolog R Goris pun dinilai tak memberikan kepastian perihal Pura Pucak Panulisan ini. Prasasti ini memang menyebutkan bahwa di Bukit Cintamani (Kintamani) ada bangunan suci bernama Ulan kurang mendapat perhatian dan sering dijadikan tempat persinggahan, peristirahatan anak atar (para pengalu). Bangunan tersebut mendapat perhatian khusus penguasa Bali kala itu, lalu ditugaskanlah Senapati Danda yang dijabat Kumpi Marodaya dibantu beberapa bhiksu, yakni Siwakangcita, Siwanirmmala, dan Siwaprajna membangun kembali tempat suci ini.

Dalam buku Keadaan Pura-pura di Bali, Goris juga menyinggung kehadiran Pura Pucak Panulisan. Ilmuwan Belanda yang meninggal di Bali ini menyebutkan pusat kerajaan pada zaman Bali Kuna terletak di Bedulu, Pejeng. Sebagai Pura Panataran sekaligus pemujaan awal terjadinya kehidupan di Bali, Goris menunjuk Pura Penataran Sasih di Intaran, Pejeng, Gianyar. Pura tempat memuja roh suci leluhur adalah Pura Pucak Panulisan, di Kintamani, Bangli, sedangkan sebagai pura laut kemungkinan berlokasi di Desa Pejeng berupa Pura Puser Tasik.

Menilik lokasi pura di atas bukit dengan sistematika teras piramida ditambah dengan tinggalan-tinggalan megalitik, dapat diduga kuat dari dulu pura ini menjadi tempat pemujaan bagi warga desa-desa Bali Aga di Kintamani, selain sebagai tempat pemujaan roh leluhur, terutama raja-raja Bali Kuna. Ini dibuktikan dengan arca-arca perwujudan, seperti Arca Bhatari Mandul yang merupakan perwujudan Raja Anak Wungsu. “Ada beragam cerita terkait keberadaan Pura Pucak Panulisan. Tapi saya sendiri belum mendapatkan kepastian mana yang benar,” urai Jero Kubayan Kiwa, Kubayan di Pura Pucak Panulisan.

Pernah ada yang menghubungkan keberadaan pura ini dengan Pura Batukaru di Tabanan. Konon, Ida Batara di Pucak Panulisan dengan Pura Batukaru bersaudara. Semula dibangun sad kahyangan di Pucak Sukawana ini, setelah rajeg di Panulisan baru membangun di Pucak Batukaru. Di kedua pura ini wewenang spiritual paling tinggi memang dipegang “pejabat” yang dinamakan Jero Kubayan. Termasuk saat berlangsung upacara besar, tak mempergunakan pandita atau sulinggih layaknya di beberapa pura sad kahyangan di Bali.

Khusus di Pura Pucak Panulisan ada dua Kubayan, yakni Kubayan Kiwa dan Kubayan Mucuk. Keduanya bertugas mengantarkan bakti krama yang menghaturkan sembah. Jero Kubayan ini memiliki senjata berwujud golok dipergunakan sebagai alat saat ngendag, mulai memotong lis waktu digelar upacara. Saat menghaturkan bakti mempergunakan mantra, dinamakan puja sana.

Dalam struktur kemasyarakatan Sukawana, yang disebut ulu apad, kubayan adalah jabatan tertinggi. Di bawahnya ada krama panglanan, naka, nyingguk, dan kabau. Jabatan kubayan dipilih masyarakat dan hanya diganti bila yang bersangkutan sudah punya kumpi (cicit). Bila tak berketurunan, seperi Kubayan Kiwa kini, jabatan kubayan akan dipegang sampai meninggal. Mereka tak punya luputan (dispensasi) khusus, terkecuali saat pamadegan, pelantikan secara niskala, sepenuhnya jadi tanggung jawab warga Desa Sukawana.

Arca Ida Batara di Pucak Panulisan kini tersimpan di Pura Bale Agung Sukawana, pada Meru Tumpang Lima. Langkah ini diambil tak lepas dari upaya krama Sukawana mencegah terjadinya pencurian, mengingat lokasi pura dengan tempat tinggal warga amat berjauhan. “Setelah warga kami mohonkan secara niskala ke hadapan Ida Batara, diizinkan disimpan di Desa Sukawana,” tambah Jero Kubayan Istri Kiwa.
Arca ini akan diusung ke Pura Pucak saban sepuluh tahun sekali, saat digelar upacara pacaruan agung bersaranakan empat kerbau dan seekor kijang. Ida Batara distanakan di pangaruman. Adapun tiap tahun, bertepatan dengan Purnama Kapat, hanya digelar upacara bertingkat alit, sederhana, dengan binatang kurban seekor kijang dan kerbau.
Yang bertanggung jawab terhadap segala kegiatan upacara adalah warga gebug domas. Terbagi atas 200 kepala keluarga (KK) dari Sukawana, Kintamani 200, Selulung 200, dan Desa Bantang 200. Masing-masing anggota gebug domas membawahi beberapa desa yang bila dikumpulkan seluruhnya mencapai 30 desa. Sebagai pamucuk, penanggung jawab inti, tetap krama Desa Sukawana. Manakala ada kekurangan sarana upacara merekalah yang melengkapi.

Dulu, bila upacara hanya bersaranakan kijang, penanggung jawab cukup dari warga Sukawana. Desa lain hanya mabakti. Bila upacara besar sepuluh tahun sekali barulah warga gebug domas turun semua.

Sejak tahun 1950-an ada pergeseran. Mungkin karena rasa bakti warga yang semakin tebal ditambah keinginan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan piodalan bertambah tinggi, maka tiap kali ada piodalan di Pura Pucak krama gebung domas ikut terlibat langsung. Mereka mengeluarkan urunan dana dan rerampe-reramon disesuaikan dengan kekayaan di desa masing-masing. Desa Selulung, misalkan, banyak punya bambu, maka masyarakatnya menghaturkan bambu.

Dulu, sebut Jero Kubayan Kiwa, piodalan yang digelar tiap tahun hanya menghaturkan seekor kijang. Sejak tahun 1950-an selain kijang juga dikurbankan seekor kerbau. “Itu boleh saja asalkan dengan keyakinan penuh dan sesuai kemampuan. Jangan sampai upacara dengan kurban besar justru keyakinan pada kebesaran Hyang Widhi melorot. Percuma jadinya,” Jero Kubayan mengingatkan.

Saat upacara ngebo papat juga dilaksanakan upacara pakelem bebek putih dan ayam putih di Pura Pucak Panulisan. Bebek dilengkapi kalung uang kepeng 22 keping, sedangkan ayam 11 keping. Leher bebek juga dikalungi surat yang menyatakan Desa Sukawana melaksanakan wali Ida Batara nyatur muka. Pakelem dilaksanakan di depan palinggih, pada tempat khusus berupa lesung.

“Ada kalanya lubang lesung kelihatan, ada kalanya tidak. Meskipun kecil, tapi bisa menampung semua sarana upacara yang akan dijadikan pakelem. Ini sulit dicerna akal sehat, memang,” tutur Kubayan Kiwa. I Wayan Sucipta

Lingga Purba, Siwa, Ganesa

Pura Pucak Panulisan tak hanya berfungsi sebagai tempat memuja keagungan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa Natha. Dari lokasi berketinggian 1.745 m dari permukaan laut ini orang bisa mengetahui jejak sejarah Bali tempo dulu.

Di tempat ini tersimpan ratusan peninggalan purbakala, artefak arkeologis.yang mampu memberikan gambaran apa dan bagaimana Bali dalam beberapa periode. Mulai dari zaman prasejarah hingga era pengaruh Hindu. Ini peninggalan para moyang yang memikat minat para peneliti, sejarawan, arkeolog dalam dan luar negeri. Mereka mencoba mengungkap berbagai ‘misteri’ di balik arti benda-benda bersejarah tersebut.

Beberapa peninggalan yang hingga kini tersimpan rapi di Puncak Panulisan, di antaranya batu peninggalan masa megalitik, satu batu berhiaskan bulan dan matahari, sebuah perwujudan Batara Brahma, tiga arca berpasangan, dua lingga perwujudan berpasangan, satu arca Ganesa, beberapa miniatur candi sebagai simbolis gunung tempat berstana para dewa atau roh suci.

Tersimpan pula ratusan lingga tak berpasangan dengan bentuk berbeda-beda. Ada utuh, tak jarang tinggal beberapa bagian tubuh saja. Secara keseluruhan lingga-lingga itu merupakan simbol Siwa. Tinggalan kuno ini saban malam dijaga warga dari Sukawana yang makemit bergilir di pura.

Berbagai kesimpulan mencuat dari para ilmuwan dalam maupun luar negeri perihal tinggalan purbakala di Pucak Panulisan. Dr WF Sturterheim dalam buku Oudheden Van Bali I-II tahun 1929-1930 menyebutkan, peninggalan purbakala yang tersimpan di Pucak Panulisan berasal dari era jayanya kerajaan Bali Kuno. Ini dihubungkan dengan ditemukan beberapa prasasti yang berhubungan dengan kehidupan Bali masa itu. Sebut, misalkan, prasasti berangka tahun 999 saka (1077 M) dan tahun 1352 Saka (1436 M).

Kebenaran tersebut diperkuat lagi dengan ditemukannya arca laki perempuan yang di belakangnya terdapat prasasti sebagai pratista Raja Udayana Warmadewa dengan Gunapriyadarmapatni. Raja ini menduduki tahta kerajaan di Bali sekitar tahun 911-933 Saka. Sedangkan arca wanita dengan sikap berdiri di belakangnya menyebut nama Batari Mandul, diperkirakan sebagai pratista permaisuri Raja Anak Wungsu yang tak berputra.
Tim Peneliti Fakultas Sastra Unud tahun 1922 menemukan, arca berpasangan (laki-perempuan) bermahkota karanda makuta dan memakai anting-anting berbentuk pilinan rambut, bertinggi 92 cm. Di bagian bawah ada prasasti bertuliskan angka tahun 933 Saka (1026 M), yang dipahat Mpu Bga pada hari pasar wijaya manggala. Berdasarkan angka tahun yang tertuang pada prasasti serta dikaitkan dengan persamaan unsur badaniahnya, maka peninggalan ini termasuk dalam periode Bali Kuno (abad ke-11).
Kemudian ada arca wanita berdiri dengan tinggi 154 cm yang terbuat dari batu padas. Pada bagian belakang sandaran ada terpahat prasasti menggunakan huruf Kadiri Kuadarat. Prasasti tersebut menyebut Batarai Mandul dan angka tahun 999 Saka (1077 M). Langgam serta angka tahun prasasti ini masuk periode Bali Kuno (abad ke-11).
Ada pula arca laki-laki berdiri dengan sikap tangan kanan dijulurkan ke bawah sejajar badan dan tangan kiri ditekuk ke depan. Arca ini oleh peneliti Unud diperkirakan terbuat pada masa Bali Madya (abad ke-13).
Selain arca Batari Mandul, di sini juga terdapat arca perwujudan Dewa Brahma, dengan atribut empat muka, atau caturmuka. Dewa yang kerap dihubungkan dengan caturmuka memang Dewa Brahma. Arca ini juga membawa kuncup bunga yang merupakan benda pelepasan. Ciri badaniah serta karakter agak kekaku-kakuan ini diperkirkan terbuat era Bali Madya (abad ke-13).
Di Pucak Panulisan juga tersimpan arca Dewa Ganesa dengan ciri berkepala gajah, berbadan manusia dengan perut buncit, bertangan empat, dan memiliki satu taring. Di belakang kepala Ganesa terpahat hiasan dedaunan. Dari ciri badaniah yang dimiliki, diperkirakan arca Ganesa ini tergolong ke dalam periode Bali Madya (abad ke-13).

I Gusti Ngurah Agung Wiratemaja, dalam karya tulis Pura Tegeh Koripan, Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Bangli (Kajian Kosepsi) menyebutkan, ada satu ciri kental yang menunjukkan tokoh yang digambarkan ini merupakan keluarga Dewa Siwa. Terbukti dengan adanya mata ketiga di antara kening, selain adanya beberapa lingga tunggal maupun lingga berpasangan sebagai simbol Dewa Siwa yang tersimpan di Pura Puncak Panulisan. WS
Source : Majalah Sarad
 
Pura Penataran Beratan

Keindahan Alam dan Manisnya Madu Spiritual

pelinggih%20penataran.JPG


Pura Dangkahyangan Penataran Beratan atau disingkat Pura Penataran Beratan adalah sebuah tempat suci yang terletak di tepi Danau Beratan, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan. Keindahan alam yang terdiri atas air danau yang tenang dan sejuk serta hijau pepohonan di sekitarnya menjadi ciri khas dari pura ini.
Dari Kota Denpasar, untuk mencapai pura ini harus menempuh jarak sekitar 51 km. Udara pegunungan yang dingin akan menyapa setiap pengunjung yang memasuki kawasan Candikuning. Pura yang terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut ini memang terkenal memiliki suhu yang sangat nyaman yakni berada pada kisaran 18-22 derajat Celsius. Sangat berbeda dengan suhu udara di tempat lainnya yang rata-rata lebih tinggi. Selain itu kabut tipis yang menyelimuti daerah pegunungan ini menjadi pesona tersendiri. Daerah Bedugul, Baturiti memang terkenal dengan pesona alamnya, terutama berasal dari pemandangan Danau Beratan. Daerah ini sangat subur dan sentra penanaman sayur dan tanaman hias.
Jika pemedek memasuki areal pura ini, pesona indahnya alam dan getaran spiritual sangat terasa. Di samping karena hawanya yang sangat sejuk, air Danau Beratan yang tenang dan sejuk seolah mengingatkan manusia pada keagungan spiritual. Bagi para pemedek Pura Penataran Beratan menjadi salah satu tujuan tirtayatra yang sangat bermakna. Sedangkan bagi para pelancong, areal pura yang tergabung dalam objek wisata Danau Beratan ini mampu memberikan rasa terang, senang dan damai dengan pelukan pesona keindahan alamnya.

Di pura yang diperkirakan dibangun pada zaman kerajaan di Bali ini, ada sesuatu keindahan yang sukar untuk diterjemahkan ke dalam kata-kata.
Banyak pengunjung yang menyatakan sebagai suatu keindahan yang menyentuh rasa terdalam, semacam nektar (madu) spiritual. Sejauh mata memandang, hijau pegunungan dan jernihnya air laut akan menggugah perasaan terdalam manusia, yang mengingatkan pada keagungan ciptaan Tuhan yang harus dirawat dan dijaga oleh manusia. Bisa menikmati alam yang indah ini merupakan satu kesempatan yang indah yang mungkin akan terus terbayang sepanjang perjalanan hidup.

barang%20kuno.JPG

Pura pertama yang ditemui ketika memasuki areal ini adalah Pelinggih Pande. Di sini dapat ditemui peninggalan prasejarah yang berupa sarkopagus, alat-alat rumah tangga dan benda-benda peninggalan kuno lainnya. Benda-benda ini dibuatkan pelinggih sederhana di areal pura yang sempit itu. Pura ini bersebelahan dengan pohon beringin besar yang telah berusia lebih dari seratus tahun. Setiap hari tertentu, para pasemetonan Pande sering melakukan pemujaan di tempat ini. Selain itu persis di depan Pura Penataran terdapat Pura Dalem Purwa.


Pura Penataran Beratan merupakan pura utama yang terdiri atas beberapa pelinggih dan meru.
Areal utama mandala dari pura ini juga merupakan daerah yang terluas dari beberapa pura yang ada. Selain pintu utama, pemedek dapat memasuki pura melalui dua pintu bagian depan dan satu pintu yang tembus persis di tepi danau. Aturan di pura ini sangat ketat, di utama mandala hanya dapat dimasuki oleh mereka yang melakukan persembahyangan saja dan berpakaian adat. Suasana di dalam pura terasa sangat berbeda dengan di luar. Di situ lebih tenang dan lebih khidmat, tanpa ada wisatawan yang lalu-lalang, apalagi ditambah dengan bau dupa yang semerbak. Umat yang masuk ke dalam pura ini benar-benar bermaksud untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sayang sekali, kondisi pura ini memprihatinkan karena banyak bangunan yang mulai lapuk serta keropos.
tumpang%2011%20dan%20Dewi%20Danu.JPG

Sementara itu, selain Pura Penataran, pura yang terletak pada danau yakni pura dengan meru tumpang 11 dan meru tumpang 3 menjadi sorotan lensa para pengunjung. Pura dengan meru tumpang 11 merupakan penghayatan terhadap Batara Pucak Mangu dan tumpang 3 merupakan pemujaan Dewi Danu. Dua pura yang terletak di danau terutama saat air danau penuh menjadi pemandangan tersendiri. Pura Dewi Danu merupakan penghayatan akan kesejahteraan bumi, di mana air merupakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan jagat. Dengan melakukan pemujaan terhadap Dewi Danu, diharapkan kesejahteraan masyarakat
Bali semakin meningkat dan kesadaran manusia untuk memelihara sumber-sumber alam semakin meningkat.Sebab, mata air merupakan sumber kehidupan bagi manusia.

Keunikan lain dari areal pura ini adalah adanya sejenis pagoda yang terdapat arca Buddha. Banyak pengunjung yang mengira bahwa tempat ini khusus dibangun untuk memuja Sang Buddha, tetapi konon bangunan ini justru dibangun oleh umat Hindu.
Akan tetapi hingga kini masyarakat Hindu jarang melakukan pemujaan di tempat ini, hanya ada beberapa umat Buddha yang melakukan sembah bakti.


Hampir setiap hari banyak pemedek dari berbagai daerah berdatangan untuk tujuan tertentu di antaranya upacara yang berhubungan dengan pitra yadnya maupun dewa yadnya.
Selain itu, pura ini diyakini sebagai tempat untuk memohon kemakmuran dan rezeki.

10 Pengider

Terdapat 10 pura pengider pada Pura Penataran Beratan. Masing-masing dewa yang distanakan pada pura pengider ini berbeda. Kesepuluh pura pengider itu adalah Pura Pucak Mangu, Pura Manik Umawang (Ulun Danu), Pura Rejeng Besi, Pura Pucak Resi Sangkur, Pura Pucak Candi Mas, Pura Teratai Bang, terletak di lokasi Kebun Raya. Pura Batu Meringgit terletak di lokasi Kebun Raya, Pura Pucak Pungangan, Pura Pucak Sari, dan Pura Kayu Sugih.

Pada saat piodalan yang jatuh pada Anggarkasih Julungwangi ini, kesepuluh Batara yang berstana di masing-masing pura pengider distanakan dan dipuja selama piodalan berlangsung.
Namun, dalam keseharian Tri Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa merupakan fokus pemujaan di pura ini.

Menurut beberapa sumber pemujaan Tri Murti di pura ini merupakan suatu bentuk pencarian spiritual yang seimbang dan selaras atau sesuai dengan masyarakat Bali.
Pura ini di-empon oleh empat satakan, yang merupakan pengempon secara turun-temurun. Satakan Candikuning sebagai pekandel dari pura ini yang terdiri atas lima desa pakraman, Satakan Bangah, Satakan Baturiti dan Satakan Antapan. Keempat satakan ini bekerja bahu-membahu dalam pelaksanaan piodalan maupun perawatan dari pura ini. Sementara Puri Marga merupakan penganceng, sedangkan Puri Mengwi, Belayu dan Perean sebagai pengabeh.

Ketua Badan Pengelola Objek Wisata Penataran Beratan IGN Budana Arta menyatakan sejak 30 tahun terakhir Pura Penataran ini tidak pernah direhab, sehingga kondisinya banyak yang sudah lapuk. Menurutnya, sebagai suatu tempat pemujaan, kelayakan pura ini patut dipertimbangkan. Sedangkan sebagai tempat wisata keunikan berupa kekunoan sering dianggap alami merupakan satu daya tarik tersendiri.
Akan tetapi sebagai tempat pemujaan dianggap sangat layak untuk dilakukan rehab.


Artha menyatakan sejak Maret lalu telah dilakukan rehab tahap I yang terdiri atas tujuh pelinggih yang sudah keropos. Dana yang dibutuhkan untuk hal ini sebesar Rp 600 juta. Sedangkan untuk tahap II nanti, pihaknya merencanakan akan melakukan rehab pagar, candi dan bangunan lainnya yang diperkirakan menelan dana sebesar Rp 2 milyar.


Kesepuluh pura pengider ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Baturiti, bahkan Pura Pucak Sangkur sering dikaitkan dengan tempat memohon bagi para pejabat di lingkungan Propinsi Bali.
Pada saat bulan purnama banyak pemedek yang tangkil baik dengan tujuan peningkatan spiritual maupun keinginan duniawi. Alamnya yang teduh dan tenang di pura ini sering dijadikan sebagai tempat meditasi banyak penekun spiritual.

Suatu kekeliruan yang telah meluas terjadi bahwa Pura Penataran ini sering disebut Pura Ulun Danu.
Menurut Artha, setelah dilakukan rembuk antartokoh-tokoh ternyata yang benar merupakan Pura Penataran. Sedangkan yang dinyatakan sebagai Pura Ulun Danu adalah Pura Manik Umawang yang letaknya memang di daerah hulu dari danau. Nama Ulun Danu terus melekat dengan belum digantinya pelang nama objek wisata Ulun Danu di pintu masuk areal ini. untuk hal tersebut, Artha mengaku akan segera mengganti papan nama tersebut dengan nama pura yang sebenarnya. Selain itu, sejarah pembangunan pura yang belum tercatat akan diupayakan untuk dikumpulkan sumber-sumbernya yang selanjutnya akan dibukukan.

Selain melakukan rehab terhadap pura yang ada di areal objek wisata Beratan, menurut Artha, tugas berat lainnya yang harus dilakukannya bersama seluruh komponen masyarakat Bali adalah menjaga kelestarian tempat tersebut. Seluruh masyarakat
Bali hendaknya menjaga sumber alam ini dengan bijak. Sebab, jika terjadi penyusutan volume air yang diakibatkan oleh perilaku manusia, kesuburan dan keindahan alam Bali akan terancam. Sebab, danau merupakan sumber kesuburan jagat. * surpi
source: Balipost

 
Pura Goa Raja Di Besakih

PURA.JPG

Purnat purnam udacati
Purnam purnena sicyate.
(Atharvaveda X.8.29).

Maksudnya:
Alam semesta sempurna adanya dari Tuhan Yang Mahasempurna. Atas takdir Tuhan Yang Mahasempurna alam semesta yang sempurna ini menjadi sumber makanan semua makhluk.

Tuhan Yang Maha Esa-lah sebagai pencipta bumi yang secara umum dibangun dari tanah, air dan udara. Sinergi unsur-unsur alam tersebut kalau bersinergi secara alami akan menjadi sumber makanan yang tiada habis-habisnya di bumi ini. Kalau sinergi tanah atau zat padat, air dan udara di bumi ini terganggu maka akan terganggu pula munculnya bahan makanan dari bumi ini.

Bagaimana sinergi unsur-unsur alam tersebut tidak terganggu oleh manusia maka di Pura Goa Raja -- salah satu pura di kompleks Pura Besakih -- Tuhan dipuja untuk menegakkan sinergi unsur-unsur alam tersebut.

Yang terkait secara langsung dengan Pura Basukian adalah Pura Goa Raja dan Pura Rambut Sedhana. Pura Goa Raja ini terletak di pinggir sungai turun di sebelah kanan jalan menuju Pura Penataran Agung. Di pinggir sungai ini ada sebuah goa yang cukup lebar. Di mulut goa inilah terdapat pelinggih dengan patung tiga ekor naga. Dalam Lontar Kusuma Dewa disebut ''Kahyangan Pesamuan Naga Tiga''. Kata Naga dalam bahasa Sansekerta di samping berarti ular besar juga berarti bumi. Bumi itu dibangun oleh zat padat, zat cair dan udara.

Tuhan sebagai dewanya zat padat atau pertiwi disebut Naga Ananta Bhoga yang dipuja di Pura Bangun Sakti. Sedangkan sebagai zat cair dipuja sebagai Sang Hyang Basuki di Pura Basukian. Sementara sebagai dewannya udara disebut Sang Hyang Naga Taksaka dipuja di Pura Pengubengan kira-kira satu setengah kilometer mendaki ke atas dari Pura Penataran Agung.

Jadi, dewa dari udara, air dan tanah dipuja di tiga pura dengan sebutan Sang Hyang Naga Taksaka, Naga Basuki dan Naga Ananta Bhoga. Ketiga naga itu disatukan dalam Pura Goa Raja dengan sebutan ''Pesamuhan Naga Tiga''. Pemujaan di Pura Goa Raja ini sebagai suatu prosesi untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa menjaga kelestarian dan keterpaduan tiga sumber alam itu.

Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan ada seorang raja yang bertabiat buruk bernama Raja Cengker dari Kerajaan Medang Kamulan. Tabiat buruk sang raja menyebabkan manusia memakan manusia. Dalam lontar disebutkan: wong amangan wong. Hal itu menyebabkan keadaan di jagat Jambudwipa -- sebutan Pulau Bali -- di masa lampau menjadi kacau. Untuk mengatasi itu Dewa Siwa kasihan pada rakyat. Diutuslah Dewa Tri Murti turun ke bumi.

Dewa Brahma turun dengan kendaraan Naga Ananta Bhoga terus menyusup ke bumi, Dewa Wisnu turun dengan mengendarai Naga Basuki terus meresap ke air dan Dewa Iswara mengendarai Naga Taksaka dan meresap ke udara. Tiga Dewa itu memberi kekuatan niskala atau kekuatan rokhani pada tiga sumber alam itu. Dengan demikian kekuatan Raja Cengker menjadi sirna.

Mitologi ini memberikan arahan dengan cara yang sangat halus kepada umat manusia agar senantiasa menjaga kemurnian tiga sumber alam tersebut. Kalau tiga sumber alam itu tidak diganggu kelestariannya maka tiga sumber alam itu akan bersinergi menjadi sumber penghidupan umat manusia yang tiada habis-habisnya.

Dewa Siwa di samping menugaskan Dewa Tri Murti menyusup ke bumi, air dan udara juga agar mengajarkan rakyat membuat pemujaan dengan ''beban''. Bebali itu adalah Banten sebagai sarana upacara pemujaan pada para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Makna persembahan banten itu menurut Lontar Yadnya Prakerti ada tiga yaitu sebagai sarana mendekatkan diri pada alam berdasarkan kasih.

Sebagai sarana membenahi diri sendiri untuk mampu berbuat pada sesama berdasarkan punia atau pengabdian. Yang ketiga sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhan berdasarkan bakti. Hal itulah disebut ajaran Tri Para Artha sebagai pengejawantahan Tri Hita Karana.

Letak Pura Goa Raja itu konon tembus ke bawah sampai ke Pura Goa Lawah di timur kota Klungkung. Sedangkan lubang goa ke atas tembus sampai ke puncak Gunung Agung. Akibat sering diterjang gempa keadaan goa itu sudah tertimbun sehingga keadaan tembus ke Pura Goa Lawah dan ke puncak Gunung Agung itu tidak ada lagi. Keadaan fisik goa itu boleh berubah karena perubahan alam. Yang harus tetap kita pegang adalah konsep spiritual dari keberadaan Pura Goa Raja tersebut.

Konsep spiritual Pura Goa Raja itu seharusnya diimplementasikan lebih aktual dan kontekstual dengan kebutuhan zaman saat ini dan di masa yang akan datang. Aktualisasi konsep spiritual Pura Goa Raja itu dapat dituangkan ke dalam konsep pembangunan hidup individual dan kehidupan sosial. Dalam kehidupan individual untuk membangun sikap hidup individu untuk membangun sikap hidup yang tidak berbuat yang merusak kesuburan tanah, kebersihan air dan membuat udara tidak penuh polusi.

Sikap hidup individu seperti itu dapat dirumuskan lebih detail. Misalnya tidak membuang sampah ke sungai, tidak merusak tanah dengan limbah detergen. Tidak melepaskan asap mesin ke udara secara berlebihan.

Dalam kehidupan sosial dapat dilakukan secara bersama-sama membuat program terpadu untuk memelihara kelestarian hutan, kebersihan lingkungan alam dan menciptakan tata ruang yang mampu menciptakan udara segar tanpa polusi. Program penyelamatan tanah, air dan udara dari pencemaran dari perilaku manusia dapat dirumuskan lebih rinci sehingga lebih mudah diwujudkanyatakan dalam masyarakat.

Pemujaan Tuhan di Pura Goa Raja janganlah berhenti pada tingkat ritual sakral saja. Pemujaan dengan ritual sakral di Pura Goa Raja itu hendaknya dilanjutkan dengan menguatkan daya spiritual umat agar tumbuh keyakinan bahwa dengan menjaga kelestarian tanah, air dan udara sebagai wujud bakti pada Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Naga Ananta Bhoga, Sang Hyang Naga Basuki dan Sang Hyang Naga Taksaka. Sebutan pada Tuhan itu semata pemberian para Vipra.* I Ketut Gobyah
source: BaliPost
 
@ goesdun

bro goesdun punya info tentang Pura Batupageh?
kalo ad tolong diposting di thread ini ya...thank u..
 
@ goesdun

bro goesdun punya info tentang Pura Batupageh?
kalo ad tolong diposting di thread ini ya...thank u..

Pura Batupageh unggasan ya bro?

Kalau itu yang dimaksud berarti memiliki Kesakralan supranatural yang setara dengan Goa Gong, Goa Selonding, Goa Batumetandal.

Di sebuah gua di Pura Batu Pageh dan Gua Gong beliau juga disebutkan pernah melakukan yoga samadhi.

Di kawasan Bukit ini pula Dang Hyang Nirartha mengakhiri perjalanan sucinya menyebarkan ajaran agama Hindu, tepatnya di Pura Luhur Uluwatu.

Dalam sejumlah kakawin yang digubah di kawasan pantai selatan Bali, Mpu Nirartha memang begitu mendalam terpesona oleh keindahan pesisir Bali berpasir putih ini. Panorama alam berupa pohon sawo kecik, deburan ombak berbuih putih, kokokan ayam hutan, lekuk-liku kelokan teluk, onggokan batu karang berketinggian curam, hingga bongkahan-bongkahan daratan pulau-pulau alit kerap dibayangkan dan dimaknai sebagai ritus diri sang pendeta manakala melakukan pemujaan dengan samadi kehadapan Hyang Mahasuci.

Purohita Kerajaan Gelgel ini memang kerap disebut-sebut berjalan menyusuri pesisir Bali, dari ujung barat ke selatan, sampai ke timur, dan juga utara. Dalam perjalanannya sang pendeta gemar menyinggahi pura. Beberapa di antaranya yang kini termasuk wilayah Kabupaten Badung, antara lain: Pura Uluwatu, Goa Gong, Batu Pageh, Bukit Payung, dan Goa Batu Matandal. Kemudian Pura Petitenget di Kuta, Pura Sada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, serta Pura Pucak Tedung di Desa Sulangai, Kecamatan Petang.


Info selengkapnya coba saya cari, thanks.
 
Pura Sada


pura%20sada1.JPG


Terdapat Prasada, Pemujaan Siwa Guru

Salah satu pura kahyangan jagat yang terkenal di Desa Kapal, Mengwi, Badung adalah Pura Sada. Terletak di daerah pemukiman di Banjar Pemebetan Desa Kapal, Mengwi, Badung, lokasi pura ini mudah ditemukan. Masuk beberapa meter dari jalan utama jurusan Denpasar-Tabanan, umat sudah dapat melihat keberadaan pura yang konon dibangun tahun 830 Masehi itu. Lokasinya sekitar 15 km dari Denpasar. Salah satu pelinggih yang memiliki ciri khas tersendiri di utama mandala pura itu yakni Prasada. Bahkan, prasada dan candi bentar di pura ini diakui sebagai situs cagar budaya yang mesti dilindungi. Baru-baru ini prosesi upacara yang cukup besar sempat diselenggarakan di pura ini. Bagaimana sejarah Pura Sada?
===========================================================
Menurut beberapa sumber, nama pura ini kemungkinan diambil dari pelinggih prasada yang terdapat di utamaning mandala. Prasada itu pelinggih yang berbentuk pejal bertingkat-tingkat seperti limas berundak. Di Bali bentuk candi seperti itu dikenal dengan Candi Raras.

Prasada itu tingginya mencapai 16 meter dengan atapnya bertingkat sebelas.

Di pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sanga. Delapan arca dewa distanakan di delapan arah pada atap pertama. Sedangkan arca Siwa diletakkan pada atap kedua di arah barat di atas arca Mahadewa.

Kapan pura ini dibangun, masih beragam versi. Berdasarkan bentuk prasada dan juga candi bentarnya yang memiliki kesamaan dengan langgam bangunan candi di Jawa Timur. Demikian juga bentuk bangunannya yang tinggi ramping serta kalamakara-nya tidak berahang di bawah, diperkirakan pura ini dibangun pada permulaan abad ke-16 Masehi. Tetapi, ada yang memperkirakan didirikan pada abad ke-12 Masehi dan 16 Masehi.


Namun, menurut analisis penekun lontar asal Kapal Ketut Sudarsana, pura ini dibangun pada kisaran tahun 830 Masehi.

Kata Sudarsana dan Nyoman Nuada -- salah seorang keluarga pemangku Pura Sada -- pura ini juga sering disebut Purusadha. Pura artinya tempat suci dan sada berarti bumi.

Pura Sada, kata Sudarsana, merupakan tempat pemujaan Siwa Guru. Dalam sastra agama disebutkan, Hyang Siwa memiliki tujuh orang murid. Murid yang paling pintar adalah Rsi Banu. Karena kepintarannya, Rsi Banu dianugerahkan gelar Aditya atau Raditya atau Siwa Guru.

Siwa Guru inilah yang dipuja di pura ini.

Rehab

Berdasarkan catatan sejarah, prasada ini sempat mengalami kerusakan akibat terjadi gempa dahsyat pada tahun 1917 di Bali. Akibat gempa, bangunan itu sempat mengalami kerusakan yang berat, tinggal dasarnya saja. Pada tahun 1949, prasada itu dibangun kembali.

Tetapi, menurut Sudarsana dan Nuada, pura ini sempat direhab beberapa kali. Pada tahun 1260 Isaka, pura ini direhab pada masa pemerintahan Dhalem Bali Mula dengan rajanya bergelar Asta Sura Ratna Bumi Banten. Raja yang naik tahta pada tahun 1324 Masehi ini merupakan pemimpin Bali yang arif dan bijaksana. Perhatiannya terhadap kahyangan-kahyangan yang menjadi sungsungan umat di Bali cukup tinggi.

Nah, ketika Pura Sada diangap perlu direhab ketika itu, diutuslah Kebo Wayu Pawarangan atau Kebo Taruna untuk datang ke Kapal guna memperbaiki pura tersebut. Bahkan, seusai menjalankan tugasnya merehab Pura Sada, Kebo Iwa (Karang Buncing), kata Nyoman Nuada, sempat membuat tempat pemujaan atau dharma pengastulan di sebelah tenggara Pura Sada. Dharma pengastulan ini sebagai tempat pemujaan warih atau pertisentana Karang Buncing se-wewidangan sebelah barat Tukad Yeh Ayung.

Pura Sada juga direhab tahun 1400 Masehi pada zaman Kerajaan Pangeran Kapal-Beringkit. Rehab berikutnya berlangsung pada tahun 1600-an. Pada tahun 1949 juga sempat direhab besar-besaran.


Tri Mandala

Seperti halnya Pura-pura yang lain di Bali, Pura Sada memiliki Tri Mandala yaitu utamaning mandala (jeroan), madianing utama (halaman tengah) dan nistaning mandala (jaba sisi). Di antara halaman tengah dan halaman utama terdapat candi kurung, sedangkan antara halaman tengah dengan jaba sisi terdapat candi bentar.
Di utamaning mandala terdapat pelinggih Padmasana, Pesimpangan Batara Gunung Batur, Pesimpangan Gunung Agung, Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Batara Manik Galih, Pelinggih Batara di Pura Sakenan, pelinggih atau candi Prasada, bale penyimpenan, bale pesambyangan, pawedan, bale piyasan, pelinggih Tri Murti, pesimpangan I Gusti Ngurah Celuk, Pesimpangan Ratu Made -- Ratu Made Sakti Blambangan, pesimpangan Ratu Ngurah Panji Sakti, bale piyasan, pesimpangan Pura Teratai Bang dan sebagainya.

Pelinggih yang khas di pura ini adalah Prasada. Prasada itu merupakan pelinggih Ida Batara Pasupati atau Siwa Guru atau Sang Hyang Lingga Buwana atau Sang Hyang Druwaresi.


Sementara di madianing mandala terdapat gedong pererepan, bale sumanggen, bale gong. Biasanya sesuhunan di Pura Natar Sari Apuan-Tabanan, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti dan Pura Pucak Padangdawa Desa Bangli-Baturiti Tabanan tatkala lunga ke jaba jero serangkaian pujawali, marerepan di pura ini dan kalinggihang di sebuah pelinggih di madianing mandala. Selanjutnya mengikuti prosesi upacara di jeroan.


Sementara di jaba sisi terdapat pelinggih Ratu Made Sedahan.

Piodalan di Pura Sada dilaksanakan tiap enam bulan sekali setiap Tumpek Kuningan dan nyejer selama tiga hari.

Pengemponnya warga masyarakat Desa Kapal yang terdiri atas 10 banjar adat yaitu Panglan Baleran, Panglan Delodan, Basang Tamiang, Banjar Uma, Cepaka, Celuk, Titih, Pemebetan, Gangga Sari, Peken Baleran, Peken Delodan, Langon, Muncan, Tambaksari, Gegadon, Tegal Saat Baleran, Tegal Saat Delodan dan Banjar Belulang. Saat ini warga Desa Kapal berpenduduk sekitar 10.646 jiwa dengan luas wilayah mencapai 6,62 km2. Sedangkan penyiwi-nya dari berbagai daerah di Bali.
* subrata


64 Pelinggih Satya
PURA SADA, tempat suci Hindu yang memiliki peninggalan arkeologi. Karena itu Pura Sada Kapal salah satu pura yang termasuk cagar budaya.
Menurut Lontar Purwa Kandha Purana Kahyangan Purusada yang dipuja di Pura Sada adalah Sang Hyang Siwa Pasupati dan Dewi Manik Galih. Isi lontar itu kurang lebih berbunyi, ''Wangunan Candi sane dahat agung maluhur, pinaka linggih manira Sang Hyang Siwa Pasupati sareng Dewi Manik Galih.'' Lontar itu juga menceritakan asal-usul Desa Kapal.
Selain pelinggih prasada di pura ini terdapat pelinggih satya yang jumlahnya 64 buah. Tiga buah di antaranya berukuran besar. Selebihnya, kecil-kecil. Pelinggih-pelinggih satya itu menghadap semua penjuru.
Bangun Sakti
Kata penekun lontar asal Desa Kapal Ketut Sudarsana, Pura Sada memiliki keterkaitan dengan Pura Dhalem Bangun Sakti yang juga berada di Desa Kapal. Misalnya jika Ida Batara di Pura Dhalem Bangun Sakti lunga ke Bale Agung, terlebih dulu mesti mendak Ida Batara di Pura Sada. Hal ini sudah menjadi keyakinan masyarakat secara turun-temurun. Jika di keluarga pemangku mengalami kacuntakan, ketika tapakan Ida Batara Pura Sada lunga ke Bale Agung maka pemangku di Pura Dhalem Sakti yang diperbolehkan nedunang pralingga Ida Batara Pura Sada. Demikian pula sebaliknya. (lun)

source: BaliPost
 
Situs Arkeologi di Perbukitan Karst Jimbaran - Kuta Selatan

Ancaman Kerusakan Situs Arkeologi di Perbukitan Karst Jimbaran - Kuta Selatan

Ancaman Kerusakan Situs Arkeologi di Perbukitan Karst Jimbaran - Kuta SelatanKawasan Perbukitan Jimbaran Kuta Selatan merupakan daerah kapur (karst) yang memiliki perkembangan pesat karena dijadikannya daerah tersebut sebagai pengembangan alternatif dari pariwisata dan pemukiman. Perbukitan Jimbaran merupakan kawasan penyangga pariwisata daerah Nusa Dua dan Kuta. Adanya pengembangan kedua daerah wisata tersebut, maka Perbukitan Jimbaran semakin berkembang menjadi daerah yang lebih maju. Kemajuan pengembangan pariwisata alternatif yang berada di kawasan Perbukitan Kapur Kuta Selatan antara lain Pura Luhur Uluwatu, Pantai Dreamland, Pantai Balangan, Pantai Labuhan Sait, Pantai Padang-padang, Pantai Suluban, Pantai Timbis, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pantai Love, Pantai Sepi, Pantai Geger, dll. Adanya tempat tersebut memunculkan penunjang pariwisata yang lain di kawasan Jimbaran seperti hotel dan vila yang bertaraf internasional, antara lain: Hotel Four Season, Hotel Ritz Carlton, Mimpi Resort, Hotel Nikko Bali, Hotel Bali Cliff, Bali Hill Resort, The Bale, Amanusa, dll. Juga penginapan-penginapan sederhana milik masyarakat setempat mengalami perkembangan yang pesat.

Perkembangan pemukiman juga mengalami kemajuan yang pesat dengan adanya kantong-kantong perumahan atau pemukiman baru selain perkampungan-perkampungan lama yang sudah ada seperti Desa Jimbaran, Desa Ungasan, Desa Pecatu, dan Desa Benoa. Pemukiman baru yang dibangun di kawasan Perbukitan Jimbaran antara lain Bali Pecatu Graha, Pasraman Udayana, Perumahan Ciputra, Royal Jimbaran Bay, Perumahan Puri Gading, Taman Griya Jimbaran, dll. Kantong-kantong pemukiman baru tersebut membawa dampak langsung terhadap kondisi yang kondusif untuk mengembangkan area tersebut menjadi daerah yang maju. Pada akhirnya pemilik-pemiik lahan yang dulunya tidak berkeinginan tinggal di daerah tersebut kemudian berubah pikiran untuk menempati lahannya menjadi pemukiman.

Walaupun perkembangan tersebut mampu mengubah daerah yang dulunya tandus dan kering menjadi daerah yang maju, tetapi banyak hal yang harus dicermati oleh semua pihak. Sebagian besar dari investor yang menanamkan modalnya di bidang perumahan dan perhotelan selalu mengincar daerah pantai, jurang, tebing ataupun tempat tinggi dengan jarak pandangan yang luas. Hampir sebagian besar daerah-daerah tersebut sudah dikuasai oleh investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Hanya tersisa daerah-daerah pedalaman yang tidak memiliki kriteria tersebut.

Eksploitasi besar-besaran terhadap wilayah Kuta Selatan menjadi ancaman tersendiri bagi situs-situs arkeologi, terutama gua dan pura kuna yang ada di wilayah tersebut. Sebut saja Situs Gua Pondok Pemuda, Situs Gua Saka, Situs Gua Gong, Situs Gua Tegalwangi, Pura Uluwatu, Pura Bukit Payung, Pura Batu Madeg, Pura Geger, dan masih banyak lagi. Sudah menjadi kecenderungan umum bahwa gua-gua alam dan pura banyak ditemukan di tebing-tebing karang yang sekarang sudah dikuasai investor. Di antara gua-gua alam tersebut ternyata juga pernah difungsikan sebagai hunian manusia purba pada beberapa ribu tahun silam. Kondisi ini menjadi kekawatiran tersendiri bagi kalangan arkeolog karena belum ada kesadaran dari masyarakat, atau pemerintah terlebih lagi pihak investor.

Ancaman kerusakan situs gua hunian juga dialami daerah lain di Indonesia tetapi sebagian besar ancaman tersebut karena ditambang sebagai bahan baku pembuatan semen. Sebut saja daerah Citatah di Bandung, pegunungan kapur di Tuban Jawa Timur ataupun pegunungan kapur di Sulawesi Selatan. Atau penambangan fosfat pada beberapa Gua di Pegunungan Seribu Pulau Jawa. Ancaman ini akhirnya menghancurkan situs dan tidak menampakkan keberadaan situs tersebut.

Berbeda dengan ancaman di Bali terutama Perbukitan Kapur Kuta Selatan. Kerusakan situs lebih banyak karena menguasaan daerah tersebut menjadi daerah tertutup (private area) yang biasanya disesuaikan dengan selera pemiliknya atau penghancuran untuk pengembangan perumahan. Ancaman yang lain juga dijumpai, yaitu sebagai daerah tambang galian C yang batuannya digunakan sebagai pemadat (pondasi) untuk konstruksi rumah ataupun jalan di seluruh wilayah Kabupaten Badung, Denpasar, Gianyar dan Tabanan. Hampir setiap hari berpuluh-puluh truk hilir mudik mengangkut bahan galian kapur tersebut.

Perlu kesadaran kita bersama untuk menyelamatkan daerah kapur Kuta Selatan terutama daerah-daerah pantai, jurang, dan tebing dari kerusakan terlebih gua-gua yang diperkirakan sebagai situs gua hunian manusia purba. Marilah kita sisakan (walaupun sedikit) ruang pengetahuan untuk anak cucu kita yang merupakan pewaris bangsa ini sehingga mereka tidak akan kehilangan sejarah dan jatidiri bangsanya.
source: Arkeologi Indonesia
 
Pura Ulun Swi - Jimbaran

Pura.jpg


Para Ulun Swi di Desa Jimbaran adalah sebagai pusat Pura Ulun Swi di Bali. Pura Ulun Swi di Jimbaran itu memiliki beberapa pasimpangan utama yaitu Pasimpangan Pura Ulun Swi di Desa Seseh. Pura Pasimpangan Ulun Swi di Desa Seseh ini didirikan karena saat ada ketegangan hubungan antara Kerajaan Badung (Pemecutan) dan Kerajaan Mengwi maka Raja dan rakyat Mengwi sulit pergi ke Pura Ulun Swi Pusat di Desa Jimbaran. Karena itu Raja Mengwi mendirikan Pura Pasimpangan di Desa Sesetan, Kecamatan Mengwi. Pura Pasimpangan Ulun Swi juga terdapat di Klungkung, di Pura Sri Jong di perbatasan Tabanan dan Jembrana dan di Pura Pakendungan,
Kediri, Kabupaten Tabanan.
----------------------------------

Dalam
diklat kumpulan hasil penelitian sejarah pura ada beberapa kutipan lontar yang dikemukakan tentang Pura Ulun Swi. Kutipan Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul menyatakan: Ikang aneng negara krama, ikang Sad Kahyangan puput nyamulih maring Ulun Swi, rumaksa uriping sawah kabeh, ikang pwa dharma Ulun Swidadi bandaning wong Bali .

Artinya, adapun yang ada di masyarakat, Sad Kahyangan itu kumpulnya kembali di Ulun Swi menjadi jiwanya semua sawah. Adapun Pura Ulun Swi itu menjadi pemersatu orang Bali.

Fungsi Pura Ulun Swi sebagai jiwanya semua sawah juga dinyatakan dalam Lontar Usaha Dewa. Dalam Lontar tersebut dinyatakan: Sang Hyang Bhakabumi anyeneng ring Ulun Swi ika maka uriping sawah kabeh. Artinya, Sang Hyang Bhakabumi berstana di Ulun Swi beliau itu sebagai jiwanya semua sawah. Mengenai yang dipuja di Pura Ulun Swi ini antara Lontar Usana Dewa dengan Lontar Sri Purana. Kalau Lontar Usana Dewa menyatakan bahwa yang dipuja di Ulun Swi itu adalah Batara Bhakabumi. Sedangkan dalam Lontar Sri Purana menyatakan juga yang berstana di Pura Ulun Swi itu Batara Bhakabumi. Tetapi di bagian lain lontar tersebut menyatakan bahwa yang berstana Pura Ulun Swi adalah Batara Indra Bhumi. Dua nama dewa itu mungkin sebutan pada kemahakuasaan Tuhan untuk menyuburkan ibu pertiwi atau bumi.

Karena dalam pantheon Hindu, Dewa Indra itu adalah dewa hujan. Pura Ulun Swi itu sebagai pura untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa hujan. Karena hujan yang teratur turun pada musimnyalah yang akan menjadikan sawah dan ladang itu berjiwa atau dapat menghasilkan tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan.

Dalam Lontar Babad Jimbaran dinyatakan bahwa ada kesatria bernama Dalem Petak Jingga yang sangat dimuliakan oleh rakyat Desa Jimbaran. Dalem Petak Jingga terus mendirikan Meru Tumpang Solas dan dinamailah pura itu sebagai Pura Ulun Swi. Ada keturunan I Gusti Ngurah Tegeh Kori, karena sangat bakti pada Dalem Petak Jingga, maka keturunan I Gusti Ngurah Tegeh Kori itulah yang ditunjuk sebagai pemangku di Pura Ulun Swi itu.

Dalam buku diktat kumpulan hasil penelitian sejarah pura dinyatakan bahwa Dalem Petak Jingga itu tiada lain adalah I Gusti Agung Dimade yang mengungsi dari Gelgel karena ada selisih paham dengan raja yang berkuasa saat itu. Ketika ada hubungan yang harmonis antara Kerajaan Mengwi dan Badung (Pemecutan) perawatan fisik dan ritual dari Pura Ulun Swi diserahkan kepada Kerajaan Badung. Pura Luhur Uluwatu kepada Puri Jero Kuta dan Pura Sakenan kepada Puri Kesiman.

Upacara piodalan di Pura Ulun Swi di Desa Jimbaran ini dilakukan pada Purnamaning Sasih Kapat. Kalau upacara dalam tingkatan yang besar menurut ketentuan beberapa lontar menggunakan kerbau cemeng atau hitam. Ini lambang memohon kesuburan sawah dan ladang.

Menurut Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul koleksi Geria Mandara Munggu menyatakan bahwa bila lalai melakukan upacara di Pura Ulun Swi maka akan menimbulkan ketidakberhasilan panen di sawah. Panenan akan hampa di periuk, sampai hampa dalam perut. Hal itu terjadi karena sari dari hasil sawah itu diambil kembali oleh Ida Batara Gunung Agung. Hama wereng pun akan merajalela sampai ke tanaman yang lainnya akan terserang berbagai jenis hama.

Lontar Usana Dewa juga menyatakan bahwa jika tidak dilakukan upacara di Pura Ulun Swi, Pura Masceti, Pura Rambut Sadhana maka ibu pertiwi tidak berhasil memberikan hasil yang baik. Hasil bumi semuanya akan hampa tidak ada amertha-nya atau tidak memberikan daya hidup. Hama akan merajalela. Demikian dinyatakan dalam beberapa lontar tentang Pura Ulun Swi itu. Hal itu pada zaman modern ini patut ditafsir ulang dengan daya nalar yang lebih dalam dan luas.

Dalam konsep beragama Hindu, ritual itu bukanlah sesuatu yang selesai. Ritual adalah langkah awal untuk melakukan bakti kepada Tuhan. Setelah ritual ada hal-hal yang dipesan dalam ritual itu untuk dilanjutkan dalam perbuatan nyata. Prosesi ritual sebagai suatu proses untuk menajamkan kekuatan spiritual sebagai jiwa dari suatu perbuatan. Berbuat tanpa dasar kekuatan spiritual akan mudah goyah. Karena itu apa yang dimaksudkan dalam lontar tentang upacara di Pura Ulun Swi harus diartikan sebagai suatu hal yang harus kita lakukan secara utuh dari ritual sebagai proses menguatkan daya spiritual, kuatnya daya spiritual itulah yang dijadikan landasan untuk diaktualkan secara kontekstual.

Dengan demikian, untuk menjaga agar sawah dan ladang tetap berjiwa memberikan hasil bumi yang melimpah sebagai sadhana atau sarana hidup yang tumbuh bagaikan rambut tak terhitung jumlahnya memberikan kemakmuran pada rakyat banyak. Karena apa yang dinyatakan dalam lontar itu sebagai dasar melakukan langkah niskala dan sekala untuk menjiwai sawah dan ladang. (wn)

--
Pura Ulun Swi, Dalem Petak Jingga dan I Gst. Agung Maruti
Berdasarkan prasasti Sira Dalem Kembar Mijiling Watu Dalem Petak Dalem Ireng di Grya Satrya Denpasar, babad Dalem Mijiling Watu milik Bp. Gde Arka di Belayu, kemudian membandingkan dengan sumber lain seperti; babad Dalem Ireng, purana Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti, babad Dalem Batu Kuwub, serta berbagai babad lain, dinyatakan bahwa Dalem Petak/Putih Jimbaran juga disebut Dalem Uluwatu. Beliaulah Dalem Balangan penguasa Jimbaran, berpuri di Puri Pesalakan, sisi tenggara Pura Ulun Swi. Putranya yang bernama Dalem Petak Jingga mendirikan Pura Ulun Swi (menunjuk juru sapuhnya dari keturunan Tegeh Kori), Pura Kahyangan Tiga, Pura Dalem Setra (juru sapuhnya keturunan Arya Celuk), dan Pura Padukuhan (diserahkan kepada keturunan Dukuh Kusamba).

Dalem Petak Jingga mengangkat putra bernama Ida Wayan Petung Gading untuk memegang kekuasaan berikutnya. Dalem Petak moksah di Pura Prasida (sekarang Pura Sada, Jl. Sadsari) daerah selatan Kuta.

Tahun 1677 M, Ida Wayan Petung Gading melindungi kelompok keluarga I Gst. Agung Maruti dan I Gst. Pt. Kaler yang mengungsi bersama 1200 orang pengikutnya ke Jimbaran. Oleh karena itu Dalem I Dewa Agung Jambe membhisama keduanya menjadi satu keluarga Pesalahan, dipersalahkan melindungi orang-orang salah. Sebutan Pesalahan, kini berkembang menjadi Pesalakan.

Sesuai sumber di atas, Pura Ulun Swi telah dibangun pada abad XV M, 1 generasi di atas kedatangan I Gst. Agung Maruti. Selama di Jimbaran, I Gst, Agung Maruti selalu memohon keselamatan di Pura ini yang awalnya berfungsi sebagai hulun penyiwian Kawitan keturunan Dalem Petak/Putih Jimbaran dan pemberi kemakmuran masyarakat Jimbaran. Setelah adanya bhisama direnovasi menjadi 2 rong bermakna dua arah orientasi Kawitan yang dipersatukan; darah Dalem Sri Krsna Kepakisan (Raja Bali penugasan Majapahit) dan darah Nararya Krsna Kepakisan (keturunan Raja Kediri. Jawa Timur) pada satu bangunan meru tumpang sebelas. Setelah berdirinya Puri Keramas dan Puri Mengwi, rong selatan merupakan sthana dari Dalem Putih Jimbaran, tetap menjadi amongan Puri Pesalakan, rong utara di-among oleh keturunan I Gst. Agung Maruti di Puri Mengwi. Hal ini sesuai arah utara/selatan wilayahnya.

Dengan demikian sangatlah jelas bahwa Dalem Petak Jingga sebagai pendiri Pura Ulun Swi, sosok individu berbeda dengan I Gst. Agung Maruti. Bhisama dipersaudarakan dua darah yang berbeda tersebut muncul pada fase putra Dalem Petak Jingga yaitu Ida Wayan Petung Gading (awal abad XVI M), yang kemudian melatarbelakang renovasi gedong sebagaimana terwarisi kini. Penamaan Krsna sebagai Kawitan Dalem Petak yaitu Dalem Sri Krsna Kepakisan ditinjau dari pewayangan adalah titisan Dewa Wisnu.

Kawitan Sri Nararya Krsna Kepakitan juga disebut dengan Wisnu Wangsa. Dalam penyatuan linggasthana pada bangunan suci Meru dengan 2 rong bertumpang sebelas tersebut Dewa Wisnulah yang dihulukan. Sebagai pemujaan Dewa Wisnu, Pura Ulun Swi adalah sebagai Pura Kahyangan Jagat, tempat memohon kemakmuran masyarakat. Di sinilah pusat spirit pemberi kemakmuran dan hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan kepada seluruh masyarakat di Bali itu berada.

Kini Pura Ulun Swi yang disungsung oleh berbagai lapisan masyarakat, menjadikan perkembangan status pura pun lebih luas sebagai Kahyangan Jagat, hulu dari Pura Ulun Swi yang ada di Bali. *Gde Kurnia Satyawan
source: Balipost
 
Pura Watu Klotok

Sira Hyang Jayakrtta jumujug mareng kidul wetan panepi samudra, hana ring ujung silojong ''watu klotok'', pasanggahaning wwang, adharma kahyang: pageh mang raksa rame prakerti, kalanduhaning jawuh umulinikang walana, mawa mrtaning sarwa tumuwuh, sarwa tinandur, maka uriping rat bhuwana kabeh.

(Kutipan Lontar Dewa Purana Bangsul).

Maksudnya:
Beliau Hyang Jayakrtta datang ke pinggir laut tenggara yaitu berada di ujung yang bernama Silojong Watu Klotok, demikian orang menyebutnya. Mendirikan pura, agar dengan kuat menjaga upaya untuk melindungi danau, mendatangkan hujan lebat, mengalirkan air, untuk membawa kehidupan semua tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman sebagai sumber kehidupan masyarakat dan alam semuanya.


PANTAI Watu Klotok adalah pantai tempat umat Hindu melangsungkan upacara Melasti saat ada upacara besar di Pura Besakih. Di pantai tempat melasti inilah Pura Watu Klotok dibangun. Watu Klotok itu adalah pantai selatan kota Klungkung, tempatnya di Banjar Lebah Desa Tojan Kecamatan Klungkung.

Tujuan utama pendirian Pura Watu Klotok menurut Lontar Dewa Purana Bangsul, koleksi IHD (Unhi) Denpasar, adalah untuk melindungi danau agar jangan kekeringan. Kalau danau kekeringan tentunya sungai-sungai akan ikut kekeringan. Danau akan selalu penuh dengan air dan sungai-sungai terus-menerus mengalirkan air ke sawah ladang rakyat apabila tumbuh-tumbuhan yang disebut tanem tuwuh selalu terjaga kerimbunannya.

Dengan demikian, kebun dan sawah penduduk pun akan selalu dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang disebut sarwa tinandur. Tumbuhy-tumbuhan sarwa tinandur itu adalah tumbuh-tumbuhan yang memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari. Flora yang disebut tanem tuwuh dan sarwa tinandur, itulah sumber kehidupan alam dan manusia di bumi.

Yang perlu dipahami mengapa untuk menjaga danau untuk mengalirkan air demi tumbuh-tumbuhan itu justru yang dibangun pura. Tempat pemujaan yang disebut pura itu tidaklah semata-mata sebagai tempat bersembahyang dan melangsungkan upacara keagamaan saja. Pura juga sebagai media untuk menanamkan gagas-gagasan mulia kepada seluruh umat lewat media keagamaan.

Dalam ajaran Hindu memang diajarkan untuk menjaga alam ini baik sebagai badan wadagnya Tuhan juga sebagai sarana kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Gagasan mulia yang melatarbelakangi pendirian Pura Watu Klotok itulah yang wajib kita wujudkan dalam perilaku sehari-hari sebagai umat Hindu. Jadikanlah pemujaan Tuhan di Pura Watu Klotok itu sebagai media sakral untuk menguatkan daya spiritual untuk diaktualkan dalam kehidupan bersama menjaga sumber-sumber air, sungai-sungai dan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan dan kebutuhan lainnya dalam hidup ini.

Lewat keberadaan Pura Watu Klotok itu kita tanamkan kepada umat prosesi alam menurut hukum Rta. Air laut menguap menjadi mendung. Karena proses alam mendung itu turun menjadi hujan. Kalau gunung dan daratan di mana hujan itu turun dalam keadaan lebat dan rimbun serta menjadi daerah resapan air, maka air pun akan tertampung dengan baik. Air yang tertampung secara alami itu akan menjadi air tanah dan juga akan mengalir ke danau dan sungai-sungai menyuburkan areal hutan, wilayah pertanian dan perkebunan.

Areal Pura Watu Klotok itu pada awalnya mungkin hanyalah sebuah Pelinggih Bebaturan sebagai media pemujaan Tuhan sebagai Dewa Kesuburan. Generasi demi generasi mengembangkan Pura Watu Klotok itu sampai kini pura tersebut memiliki Tri Mandala. Ada Utama, Madia dan Nista Mandala. Di Utama Mandala inilah letak Pelinggih Utama dalam wujud sebuah Pelinggih Bebaturan yang disebut sebagai media pemujaan Batara di Watu Klotok. Sebelah kiri ada Meru Tumpang 5 pasimpangan Batara Masceti.

Pura Masceti di Gianyar itu sebagai media untuk memohon untuk mengatasi hama pertanian. Di kiri Pasimpangan Masceti terdapat Gedong Pingit, menurut pemangku pura sebagai Panyungsungan Raja Badung (Pemecutan). Di sudut timur laut terdapat Pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Tuhan Yang Mahaesa.

Sebelah kini Sanggar Agung terdapat Pelinggih Sapta Patala sebagai pemujaan Tuhan dalam wujud Hyang Ananta Bhoga penjelmaan Dewa Brahma. Di deretan timur paling selatan terdapat Pelinggih Batara Sapuh Jagat. Di pelinggih inilah Tuhan dipuja sebagai pembasmi hama untuk keselamatan tanaman di sawah dan ladang. Di jaba paling luar terdapat Pelinggih Batara Segara sebagai media pemujaan Tuhan sebagai Dewa Samudra, itulah pelinggih-pelinggih utama di Pura Watu Klotok.

Upacara di Pura Watu Klotok di samping hari-hari raya keagamaan Hindu umumnya ada dua upacara utama yaitu upacara pujawali atau piodalan setiap enam bulan wuku pada hari Anggara Kliwon Julung Wangi dan upacara Ngusabha setiap tahun pada Sasih Kelima. Pura ini tergolong Pura Swagina untuk memohon keselamatan pertanian. Kalau krama subak akan mohon Tirtha Pakuluh di Pura Watu Klotok apabila sawah mereka terserang hama. Di samping itu ada upacara maceti sebagai upacara untuk memohon kesubuhan tanam-tanam mereka di sawah.

Weda Wakya

Isya vasyam
Idam sarvam.
Jagat yat kim ca
Jagatya jagat.

(Yajurveda XXXX,1)

Maksudnya: Tuhan berstana di alam semesta (bhuwana agung) baik pada yang bergerak maupun pada yang tidak bergerak.

MANTRA Veda ini memberikan kita pemahaman bahwa stana Tuhan yang sebenarnya adalah pada alam semesta yang disebut Bhuwana Agung dengan segala isinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Ini artinya tidak ada bagian alam ini tanpa kehadiran Tuhan. Pura adalah tempat memuja Tuhan yang esa dan yang berstana di alam raya ini. Kalau demikian halnya apakah pura itu bukan stana Tuhan. Karena menurut keyakinan Hindu sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Veda ini bahwa Tuhan ada di mana-mana tentunya termasuk di pura.

Apa bedanya di pura dan tidak di pura? Pura adalah simbol atau replika dari Bhuwana Agung ini. Seperti dinyatakan dalam Lontar Dharma Surya baha Meru itu lambang gunung dan gunung lambang Bhuwana. Tumpah-tumpang Meru pinaka uriping bhuwana, pinaka pataling bhuwana. Demikian juga pelinggih pura lainnya adalah lambang bhuwana. Pura adalah media memuja Tuhan. Ini artinya bukan pura yang berwujud fisik itu yang disembah oleh umat Hindu. Pura hanya media memuja Tuhan. Memuja Tuhan menurut keyakinan Hindu bukanlah sekadar memuja. Memuja Tuhan untuk didayagunakan membenahi kehidupan individual dan sosial umat manusia di dunia ini.

Sebelum Mpu Kuturan mendampingi raja menata kehidupan umat Hindu di Bali sudah dikenal adanya tiga pura di setiap kerajaan yaitu Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak. Tiga pura itu simbol atau media memuja Tuhan yang berada di Bhur, Bhuwah dan Swah Loka. Pura Watu Klotok yang berada di tepi pantai selatan kota Klungkung tergolong Pura Segara. Konon Pura Segara Watu Klotok inilah sebagai sentra seluruh Pura Segara yang ada di Bali. Fungsi Pura Segara sebagai simbol alam Bhur Loka dalam konsepsi Tri Loka dan sebagai simbol predana dalam konsepsi rwa bhineda. Gunung atau wukir simbol purusa, sedangkan segara simbol predana. Memuja mengusahakan keseimbangan hidup lahir batin di dunia ini. Memuja Tuhan yang menjiwai Tri Loka sebagai simbol untuk mendayagunakan makna pemujaan itu mewujudkan kesucian Tri Loka tersebut. Terbukti perilaku buruk manusia di bumi ini juga dapat merusak keadaan di ruang angkasa. Seperti penggunaan freon yaitu zat yang digunakan dalam air condition dapat merusak lapisan ozon. Dengan terganggunya lapisan ozon itu sinar matahari menjadi terganggu juga fungsinya sebagai sumber kehidupan di planet bumi ini.

Pembuangan asap mesin yang mengandung CO2 secara berlebihan ke udara dapat menimbulkan efek rumah kaca di ruang angkasa. Efek rumah kaca itu menimbulkan pemanasan global, sehingga suhu di bumi ini makin meningkat. Pemujaan Tuhan di Pura Segara Watu Klotok sebagai simbol penjabaran perbuatan suci di Bhur Loka ini sehingga tidak merusak Tri Loka ini.

Pura Segara Watu Klotok sebagai tempat melangsungkan upacara Melasti terutama saat ada upacara besar di Pura Besakih. Misalnya upacara Manca Wali Krama, Eka Dasa Rudra, Meligia Marebu Bumi, dll. Tujuan utama dari Melasti menurut Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala sangatlah universal. Tujuan utama tersebut yaitu untuk menguatkan sradha dan bakti umat kepada Tuhan dan semua manifestasi-Nya. Dengan kuatnya sradha dan bakti umat kepada Tuhan, umat dapat mengentaskan masyarakat dari penderitaan.

Upacara Melasti juga mengandung nilai agar didahului dengan melakukan penguatan individual dengan menghilangkan papa klesa, sebagaimana dinyatakan dalam lontar. Klesa itu sumber kepapaan individual. Klesa terdiri atas lima yaitu: Awidya artinya kegelapan hati nurani, Asmita sifat mementingkan diri sendiri (egois), Raga artinya hidup dengan mengumbar hawa nafsu, Dwesa artinya dikuasai oleh nafsu benci dan dendam dan Abhiniwesa artinya hidup yang selalu diliputi oleh rasa takut.

Tujuan Melasti yang selanjutnya adalah untuk menanamkan niat suci untuk selalu menghindari kerusakan alam lingkungan. Jadinya peningkatan sradha dan bakti itu harus mampu mendorong munculnya kegiatan hidup untuk mensejahterakan kehidupan sosial, penguatan individual dan pelestarian alam secara nyata. Sehingga fungsi Pura Segara Watu Klotok sebagai pusat Pura Segara di Bali sangatlah mulia dan universal.


*Ketut Gobyah
source : BaliPost
 
om, punya informasi tentang Pura pucak kedaton ga ?
puranya sich ada di puncak gunung batukaru, tp saya belum bernah mendengar tentang sejarah maupun asal usul pura tsb. bisa dibantu ga om

terima kasih
 
om, punya informasi tentang Pura pucak kedaton ga ?
puranya sich ada di puncak gunung batukaru, tp saya belum bernah mendengar tentang sejarah maupun asal usul pura tsb. bisa dibantu ga om

terima kasih

Mari sama-sama cari informasi detailnya.

Kesatuan itu meliputi Pura Luhur Muncaksari dan ke bawahnya Pura Tamba Waras yang terletak di sebelah kanan Pura Luhur Batukaru.

Sementara di sebelah kiri terdapat Pura Patali dan Pura Besikalung.

Kesempurnaan antara kedua sisi ini dapat memperkuat alam semesta.

Merupakan satu kekuatan penyangga keutamaan fungsi Ida Batara Sang Hyang Tumuwuh yang berstana di Luhur Batukaru dan Ida Batara Lingsir Putus di Pucak Kedaton Batukaru.

Gunung Batukaru dengan puncaknya Kedaton merupakan bentuk manifestasi Hyang Widhi sebagai pelindung kehidupan sarwa prani, dengan menganugerahkan pangurip gumi serta kesatuan yang membangun kekuatan.
 
thank you bos, aku cari dimana mana tapi kayaknya informasinya minim banget.
 
tangkil dah sering. dah 5 kali, tapi pemangku maupun pengemong puranya pada irit informasinya. maklum disana dingin bangetttttt
 
tangkil dah sering. dah 5 kali, tapi pemangku maupun pengemong puranya pada irit informasinya. maklum disana dingin bangetttttt

Kalau begitu coba ceritakan kondisi saat ini, serta bagaiamana menempuh perjalanan menuju Pura Pucak Kedaton.
 
kalo mo ke pura pucak kedaton yang saya tahu ada 3 jalannya. dan yang medannya paling bagus(ringan) dari pupuan. bisa juga dari pura batukaru(medan agak berat) yang ketiga dari pura Petali.
kalo aku baru mendaki dari pura petali aja. medannya dibilang ini yang terberat dan terjauh. orang2 banjar saya selalu menggunakan jalur ini karena di jalur ini banyak pura2 yang juga ada hubungannya dengan pura pucak kedaton dan merupakan sungsungan dari desa saya. di pertengahan perjalanan juga ada beji, yang airnya tidak tentu keluarnya tergantung jodoh. di dekat puncaknya sendiri juga ada jalan sempit kira2 lebarnya 25 cm. yang disebut song baret. disini tempat sembahyang juga. abis itu dataran namanya tegal wangi. disini juga orang2 desa saya menghaturkan aci. setelah itu baru memasuki wilayah puncak (pura pucak kedaton). di pusat puranya sendiri adalah dataran yang lumayan luas. kira 10 X 20 meteran lah. puranya sendiri ada di bagian timur menghadap kebarat. pelinggihnya berupa batu besar. dengan penyengker tumbuh2an. dibagian selatan penyengker atau disamping selatan ada cekungan tempat medalnya air tempat memohon tirta. dan inipun tergantung jodoh untuk bisa melihat medalnya tirta tersebut. saya sendiri 5 kali kesana baru 1 kali melihat medalnya tirta tsb.

terima kasih
 
Pendakian penuh perjuangan /thx
Untuk memperoleh Tirta ternyata tidak mudah, walaupun Pucak Kedaton selalu diselimuti awan hampir sepanjang tahun. Untuk mencapai Pucak Kedaton tentu harus melalui perjalanan yang sangat menantang, karena medan pasti melalui hutan basah / pasti banyak pacet.

Desa @radbus sebagai penyungsung / bala putra Pura Pucak Kedaton, tentu mempunyai cerita dari para tokoh sepuh setempat atau Pemangku Pura, serta petirtanya di Pura Pucak Kedaton kapan dilakukan?
 
Pura Luhur Besikalung

Pura Luhur Besikalung berlokasi di daerah pegunungan di lereng gunung bagian selatan Gunung Batukaru.

Secara teritorial wilayah ini termasuk wilayah Jatiluwih.

Tapi yang menjadi pengempon pura berada di wilayah Desa Adat Ulu, Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

Lokasi pura jika ditempuh dari Denpasar mencapai kurang lebih 50 km menuju Gunung Batukaru sisi selatan.


Meskipun tak banyak sumber yang dapat dijadikan sebagai sebuah pegangan mengenai sejarah berdirinya Pura ini, tapi ada beberapa informasi yang dapat digunakan sebagai alternatif tentang asal-usul Pura.


Sumber pertama:

Prasasti Babahan I yang bertahun caka 839 (917 M) yang tersimpan di Pura Puseh Jambelangu Desa Adat Bolangan menyantumkan kalimat yang berbunyi ‘….. Cala Silunglung Kaklungan Pangulumbigyan….’.

Dimana kata ini dapat diartikan, Bale suci (Cala Silunglung), kaklungan dan upacara pembersihan (Pangulumbigyan).

Dari kalimat itu sangat dimungkinkan bahwa nama Besi Kalung berasal dari kata ‘Cala Silunglung’ yang berubah penyebutannya menjadi ‘Sikalung’ kemudian kembali mengalami perubahan ‘Besikalung’.

Sumber Kedua :

Sedangkan sumber kedua berasal dari adanya peninggalan Lingga yang ada pada palinggih pokok (agung).

Dan menurut Jero Pemangku Agung bila lingga itu dipukul maka akan mengeluarkan suara nyaring seperti besi.

Bentuk lingga itu bulat panjang dan pada bagian atasnya dihiasai dengan lingkaran seperti kalung, yang melingkarinya.

Kemudian dari lingga yang seperti berkalung tersebutlah akhirnya Pura ini disebut dengan Pura Luhur Besikalung.

Kenapa nama Pura ini didepannya berisi kata luhur karena letaknya yang ada di atas perbukitan.

“Kata Besikalung juga dihubungkan dengan kata Pagerwesi yang berarti berpagar besi melingkar,” ujar Jero Mangku Agung Luhur Besikalung, I Gede Sukayasa.

Hari Raya Pagerwesi, jatuh setiap Budha Kliwon Sinta bertepatan dengan Piodalan di Pura ini.

Budha kliwon Pagerwesi menurut lontar Sunari gama sebagai pemujaan/ payogan Sang Hyang Pramesti Guru salah satu astek kemahakuasaan Ciwa sebagai Guru yang Agung yang dihormati oleh para Dewa dan semua makhluk hidup.

Sedangkan Ida Bhatara malingga di Palinggih Pokok (Agung) menurut lontar Druwen Pura hal 185-186 disebutkan ‘Sang Hyang Ciwa Sakti’ dengan segala astek kemahakuasaan-Nya.

Berdasarkan sumber yang disebutkan tadi dan sesuai denga peninggalan bersejarah berupa benda kepurbakalaan dapat diperkirakan bahwa Pura Luhur Besikalung telah berdiri sejak abad IX-XII M.

Dapat dilihat pula dari struktur bangunan palinggih yang berupa bebaturan yang dalam kepurbakalaan disebut Tat Batu berundak-undak.

Yang menandakan bahwa pura ini merupakan peninggalan jaman megalitikum (jaman batu besar).

Karakteristik pemujaan pada jaman ini merupakan perpaduan pemujaan roh suci leluhur atau mereka yang dihormati dengan konsepsi-konsepsi ke-Tuhan-an Hindu yang datangnya dri India melalui Jawa.

Jaman ini juga disebut juga dengan jaman Apaniaga yaitu peralihan dari jaman Bali Aga menuju jaman pengaruh-pengaruh kebudayaan Jawa dengan tatanan upacara Hindu Klasik.

Berdasarkan Prasasti Babahan I yang ditemukan di Pura Puseh Jambelangu mengisahkan perjalanan Raja Sri Ugracena ke Bali Utara dan sempat singgah pada pertapaan (pesraman) Rsi Pita Maha di Petung Bang Hyang Sidhi, beliau juga disebut dengan Bhiku Dharmeswara.

Raja Sri Ugracena memberikan titah dan kewenangan pada Rsi Pita Maha untuk menyelesaikan upacara keagamaan bagi mereka yang meninggal salah pati, angulah pati.

Hal inilah yang merupakan keistimewaan dan kekhususan Prasasti Babahan I yang dapat dikatakan sebagai satu-satunya Prasasti Bali yang memuat upacara Salah pati, Angulah Pati.

Bang Hyang Sidhi yang disebut didalam prasasti Babahan I kini disebut Bangkyang Sidem terletak persis di sebelah timur Pura Luhur Besi kalung hanya dipisah kan oleh sungai (Yeh Ho).

Di Pura subak Bangkyang Sidem sebagai situs kepurbakalaan terdapat 2 unit pura yang kecil diperkirakan sebagai tempat tinggal Sang Rsi dan yang satunya lagi terletak di bagian selatan agak di bawah diperkirakan sebagai tempat pemujaan harian beliau.

Berdasarkan hipotesa ini maka ada kemungkinan Pura Luhur Besi kalung didirikan oleh Rsi Pita Maha pada masa pemerintahan Raja Ugracena yang bertahta atau memerintah pada caka 837 -864 atau sekitar 915-942 M. Mengingat prasasti Babahan I bertahun Caka 839 (917 M).

source: artikelbali
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.