• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Pura Gunung Kawi dan Raja Udayana

Samwatsarikamaptaisca
rastra
daharayebhalim
syaccamnayaparo
loko
warteta
pitrivanrsu.
(Manawa Dharmasastra.VII.80).
Maksudnya:
Supaya
pendapatan negara yang diperoleh dari kerajaan, dikumpulkan oleh pejabat kepercayaan dan digunakan mengikuti aturan kitab suci dalam memberikan kesejahteraan yang adil pada rakyat seperti seorang ayah kepada putra.



candi.JPG


RAJA
bagaikan seorang ayah mengayomi kehidupan rakyatnya mendapatkan rasa aman dan kesejahteraan secara adil akan dihormati oleh rakyatnya sampai sang raja menjadi roh suci atau Dewa Pitara. Penghormatan pemimpin bagaikan menghormati ayah kandung seperti itu karena rakyat benar-benar merasa mendapatkan perlindungan dari pemimpinnya seperti anak mendapatkan perlindungan dari ayahnya sendiri.


Demikianlah Raja Udayana dihormati oleh rakyatnya di Pura Gunung Kawi. Pura ini merupakan Pura Padharman dari Raja Udayana. Artinya, pura ini untuk menstanakan roh suci atau Dewa Pitara keluarga Raja Udayana. Mengapa pura ini disebut Gunung Kawi. Karena yang dikawi atau yang diukir adalah lereng gunung di Sungai Pakerisan.


Kata ''kawi'' berarti mengarang kalau kata-kata bijak yang dirangkai menjadi syair yang indah dan penuh makna. Kalau lereng bukit yang dikawi maka kata ''kawi'' itu berarti mengukir. Konon yang mengukir lereng bukit Sungai Pakerisan itu menjadi candi adalah Kebo Iwa, tokoh ahli bangunan atau arsitek pada zaman pemerintahan keluarga Raja Udayana. Kebo Iwa membuat ukiran candi sampai menjadi Pura Gunung Kawi dengan menggunakan kukunya. Demikian dinyatakan dalam buku hasil sejarah penelitian pura oleh IHD (sekarang Unhi).


Proses menstanakan roh suci atau Dewa Pitara itu dalam kitab Negara Kertagama disebut Dinarma atau Dharmakan. Dalam Lontar Purwa Bumi Kamulan disebut Ngalinggihang Dewa Pitara. Menstanakan Dewa Pitara ini sebagai sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena dalam Sarasamuscaya 250 dinyatakan bahwa orang yang sungguh-sungguh berbakti pada leluhurnya dijanjikan empat pahala mulia. Empat pahala itu adalah Kirti (sejahtra). Bala (kuat fisik), Yusa (umur panjang) dan Yasa (dapat berbuat jasa dalam hidup ini).


Raja Udayana adalah raja dari Wamsa Warmadewa. Raja ini memerintah Bali bersama dengan permaisurinya bernama Mahendradata dengan gelar Gunapriya Dharma Patni yang berasal dari Jawa Timur. Sejak pemerintahan suami-istri pada abad XI ini prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja di Bali tidak lagi hanya menggunakan bahasa Bali, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Ini artinya pengaruh Hindu Jawa telah masuk ke Bali. Kesusastraan Hindu Jawa pun mulai semakin kuat mempengaruhi kesusastraan Bali.


Sejak itulah secara pelan-pelan penduduk Hindu di Bali mengenal yang namanya ''sekar alit, sekar madia dan sekar agung''. Kesusastraan Jawa Kuna dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata mulai masuk lebih intensif dari Jawa ke Bali. Demikian pula istilah pura masuk dan digunakan di Bali meskipun saat itu belum digunakan untuk menamakan tempat suci.


Istilah pura saat itu baru digunakan untuk menyebutkan ibu kota kerajaan. Karena itu ada sebutan Linggarsa Pura, Sweca Pura dan Smara Pura. Pada abad ke-16 Masehi istilah pura baru digunakan sebagai sebutan tempat pemujaan. Sejak itulah baru ada istilah Pura Kahyangan untuk menyebutkan tempat pemujaan Hindu.
Pura Gunung Kawi dalam wujud candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Marakata, putra Raja Udayana, yaitu Prasasti Songan Tambahan dinyatakan: Sang Hyang Katyagan ing Pakerisan mengaran ring ambarawati. Kemungkinan nama itu adalah nama Candi Pura Gunung Kawi saat itu. Sedangkan nama Gunung Kawi mungkin muncul belakangan.


Pura Candi Gunung Kawi dibagi menjadi empat kelompok. Ada kelompok lima candi dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan. Kelima candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada tulisan yang berbunyi ''haji lumah ing jalu''. Kemungkinan candi yang paling utara untuk stana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang lain-lainnya adalah stana anak-anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu serta permaisurinya.
Di pintu masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan ''rwa anakira''. Artinya, dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk stana putra Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu.


Sementara di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat empat kelompok candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari utara keselatan menghadap ke timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah sebagai padharman empat permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi terletak di tebing barat daya Sungai Pakerisan.


Di candi itu ada tulisan dengan bunyi ''rakryan''. Kemungkinan candi ini sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan raja. Karena itulah diletakkan di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi kelompok lima terdapat wihara berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana dengan permaisurinya berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih menekankan pada ke-Budha-an, sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih menekankan pada sistem kerohanian Siwa. Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu di Bali disebut Agama Siwa Budha.


Keberadaan Pura Candi Gunung Kawi ini yang menempatkan dua sistem keagamaan Hindu yaitu sistem Siwa dan sistem Budha sebagai suatu hal yang sangat baik untuk direnungkan demi kemajuan beragama Hindu ke depan. Di samping itu Raja Udayana sangat menerima baik adanya unsur luar yang positif untuk menguatkan budaya Bali saat itu. Seandainya Raja Udayana saat itu menolak apa yang datang dari luar Bali tentunya umat Hindu di Bali tidak mengenal kesusastraan Hindu seperti sekarang ini.
Misalnya ada berbagai jenis karya sastra Parwa dan Kekawin dalam bahasa Jawa Kuno dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya sastra Jawa Kuno ini amat besar jasanya dalam memperkaya kebudayaan Hindu di Bali sehingga Bali memiliki kebudayaan yang sangat tinggi sampai sekarang. Semua unsur itu dipadukan dengan budaya Bali yang telah ada sebelumnya. Demikianlah bijaknya Raja Udayana pada zaman dahulu. * I Ketut Gobyah
source : BaliPost
 
Pura Ponjok Batu

Pura Ponjok Batu, Penyeimbang Bali Utara



ponjokbatu%202.JPG

Pura
Ponjok Batu merupakan salah satu Penyungsungan Jagat atau Pura Dang Kahyangan, selain Pura Pulaki di Desa Banyupoh, Gerokgak. Pura ini terletak di Desa Julah, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Memang tidak ada data pasti mengenai awal keberadaan pura ini. Namun yang diketahui, keberadaan pura ini tak bisa lepas dari sejarah kedatangan Pendeta Siwa Sidanta yaitu Danghyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) pada abad ke-15, saat masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali.
===========================================================
P1030009.jpg


Pura ini memiliki rekaman sejarah yang panjang dan unik. Hal tersebut ditelusuri lewat temuan arkeologi, efigrafi dan folklore (cerita rakyat) yang hidup di tengah masyarakat Julah dan sekitarnya.

Berdasarkan kajian arkeologis, saat penggalian di lokasi perbaikan pura tahun 1995 ditemukan sarkopah/sarkopagus. Kini sarkopah itu disimpan bersama sarkopah lainnya di halaman depan Pura Duhur Desa Kayuputih, Banjar. Sarkopah (peti mayat) terbuat dari batu cadas, banyak ditemukan di beberapa daerah di Bali.

Sistem penguburan menggunakan sarkopah berlangsung sejak zaman perundagian di Bali tahun 2500-3000 SM, atau sekitar 5.000 tahun lalu. Berarti di sekitar kawasan Pura Ponjok Batu pernah dihuni masyarakat yang mendukung budaya sarkopah. Sarkopah merupakan tempat disemayamkannya jasad orang yang dihormati masyarakat. Pada zaman perundagian, masyarakat percaya pemujaan roh nenek moyang dan orang-orang yang dihormati, seperti kepala suku atau ketua adat. Seperti halnya tradisi pembuatan mumi di Mesir, Babilonia, Siria dan lainnya.

Sementara menurut kajian efigrafi atau prasasti, Desa Julah sebagai pemukiman sangat ramai. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan raja-raja dari Dinasti Warmadewa, masing-masing masa pemerintahan Raja Sang Sri Aji Ugrasena (tahun 923 M), Raja Sri Aji Tabanendra Warmadewa (955 M), Raja Sri Janasadhu Warmadewa (975 M), Raja Sri Dharma Udayana Warmadewa (1011 M), Raja Putri Sang Adnyadewi, Prabu Marakatta (1022-1026 M), Raja Sri Paduka Anak Wungsu dan Raja Sri Prabu Jayapangus (1181 M).

Raja-raja yang pernah berkuasa itu hampir semuanya pernah mengeluarkan prasasti tentang keberadaan Desa Julah. Di sana disebutkan pula bahwa tugasnya menjaga sebaik-baiknya semua pura yang ada di wilayah Desa Julah. Kendati tidak disebutkan dengan jelas tentang Pura Ponjok Batu, tetapi dipastikan Pura Ponjok Batu merupakan salah satu pura yang ikut dirawat. Di pura itu juga ditemukan beberapa patung, di antaranya patung Dewa Siwa, Nandini dan Ganesa. Ini merupakan petunjuk bahwa perhatian raja Dinasti Warmadewa terhadap Pura Ponjok Batu sangat besar.

Masa kekuasaan Warmadewa berlangsung sampai 1343, ditandai dengan jatuhnya Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit. Selanjutnya pemerintahan di Bali dipegang Dinasti Kepakisan yang berpusat di Samprangan, lalu pindah ke Gelgel. Sampai kekuasaan Dalem Waturenggong, mulai ada perhatian terhadap Pura-pura di Bali

Utara/Denbukit. Diawali dengan kedatangan Danghyang Nirartha. Saat itu Pura-pura yang ada di Bali Utara mendapat kunjungan kembali dalam bentuk dharma yatra, mulai dari Pura Pulaki dan pura lainnya, termasuk Ponjok Batu.

Danghyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanannya ke Lombok, setelah menolong seorang bendega atau awak perahu asal Lombok, yang sedang karam di sekitar pantai Ponjok Batu. Dikisahkan, awak perahu itu melihat batu bersinar di tengah laut. Batu didatangi, dibelah. Tetapi kemudian mereka tidak bisa berangkat sampai datang pertolongan dari Danghyang Nirartha. Batu itu hingga kini masih ada di pantai Ponjok Batu.

Sejak kedatangan Danghyang Nirartha, nilai spiritual tempat suci kembali bangkit. Pura Ponjok Batu mulai memancarkan sinar secara terus-menerus, walaupun Danghyang Nirartha telah meninggalkan tempat itu menuju ke Lombok, seperti terungkap dalam lontar Dwijendra Tattwa.

Sementara berdasarkan folklore, Pura Ponjok Batu berasal dari cerita Ida Batara di Bali yang menimbang beratnya Bali Utara dari Pura Penimbangan di Desa Panji. Ternyata Bali Utara bagian timur lebih ringan. Maka Ida Batara menambah tumpukan batu di bagian timur Bali Utara sehingga timbangan itu menjadi seimbang.

P1020979.jpg

Pura Ponjok Batu telah beberapa kali dipugar. Pemugaran terakhir dimulai 1994 hingga dilakukannya upacara Ngenteg Linggih pada Saniscara Wayang Karo, 8 Agustus 1998. Pura ini terbuat dari batu hitam yang didesain sedemikian rupa agar keberadaannya tetap kuat. Saat ini, pelinggih yang ada di Pura Ponjok Batu meliputi:
1. Padmasana
2. Pelinggih Dang Hyang Nirartha
3. Pelinggih Ciwa
4. Pelinggih Ganesa
5. Pelinggih Batara Baruna
6. Pelinggih Seluang
7. Pelinggih Ratu Ayu Pangenter
8. Pelinggih Taksu (Dewa Gede Ngurah)
9. Pelinggih Ratu Bagus Mas Pengukiran
10. Pelinggih Ratu Bagus Mas Subandar
11. Pelinggih Taksu (Ratu Bagus Penyarikan)
12. Bale Pesandekan
13. Bale Paselang
14. Bale Ongkara
15. Bale Gegitaan
16. Bale Reringgitan
17. Bale Kulkul
18. Bale Pegat
19. Bale Paninjoan

Sementara menurut pemangku di Pura Ponjok Batu Jro Mangku Ketut Ludri (50) dan Jro Mangku Nengah Widi (37), piodalan di Pura ini dilaksanakan dua kali setahun masing-masing saat Purnama Desta dan Sasih Kasa Purnama Kasa, Pangelong Ping Tiga (sasih gemuh) yang jatuh 13 Juli 2006. Sedangkan piodalan Purnama Desta nanti pada 12 Mei 2006. Menurut Jro Mangku, pada piodalan Purnama Desta, diikuti pangempon pura ini yaitu warga Desa Adat Bangkah, Tejakula. Sedangkan pada saat piodalan Sasih Kasa, diikuti warga se-Kecamatan Tejakula. Saat odalan atau Purnama Tilem, banyak warga pedek tangkil ke pura ini, termasuk para pejabat. "Biasanya banyak yang nunas tamba, melukat dan nunas keselamatan," ujar Jro Mangku Nengah Widi.

Konsep Nyegara Gunung
Ada tradisi yang ada hingga sekarang dan masih berjalan di wilayah Pura Ponjok Batu. Pura ini memiliki hubungan dengan Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kubutambahan. Setiap ada upacara melasti Ida Batara di Pura Bukit Sinunggal dan Pura-pura lain di Tajun, upacara pemelastian selalu diselenggarkan di Pura Ponjok Batu karena di sana terdapat sumber air tawar yang memiliki kesucian dan dikatakan sebagai air campuhan antara air darat dan laut.

Hubungan antara Pura Ponjok Batu dan Pura Bukit Sinunggal sangat erat. Pura Ponjok Batu sebagai zenit bawah dan Pura Bukit Sinunggak di Tajun sebagai zenit atas. Ini membuktikan adanya keserasian yang kekal antara segara dan gunung. Bali punya nilai spiritual sangat tinggi karena sepanjang pantai Bali Utara, jarak pantai dan gunung sangat berdekatan, sehingga tingkat kesucian segara sama dengan kesucian daerah pegunungan. Karena itu, upacara nyegara gunung dalam upacara pitra yadnya sangat penting dilaksanakan. (ari)

source : BaliPost
 
Pura Suranadi di Lombok Barat

Satu-satunya Pura dengan Lima Mata Air

6-1.JPG


Hari Raya Galungan dan Kuningan baru saja berlalu. Dalam rangkaian hari-hari raya itu, umat Hindu melaksanakan persembahyangan di sanggah atau merajan masing-masing. Kemudian, banyak yang melanjutkan kegiatan ritual tersebut ke pura terdekat. Pura memiliki fungsi khas sebagai suatu wujud arsitektural yang mewadahi kegiatan beribadat bagi umat Hindu. Sekaligus sebagai tempat menyatukan sujud bakti nan tulus ikhlas ke hadapan Tuhan Sang Maha Pencipta, dengan segenap manifestasinya. Mari disimak sekilas tentang arsitektur Pura Suranadi di Lombok Barat. Pura yang memiliki lima sumber mata air yang disakralkan ini, menyimpan nilai historis, aura spiritual, kenangan, maupun keunikan tatanan arsitekturnya, yang disesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan sekitarnya.

PURA Suranadi merupakan salah satu dari banyak pura yang ada di Lombok Barat. Sebagai sarana aktivitas ritual keagamaan, ia tidak saja dikelilingi oleh alam yang masih lestari -- seperti adanya Taman Wisata Alam serta fasilitas penginapannya. Namun, juga memiliki pura pura berpola menyebar, sesuai dengan keberadaan sumber mata air yang terdapat di kawasan setempat. Lokasi pura, terkait dengan keberadaan sumber tersebut. Kendati secara fisik terkesan terpisah (terpencar), tetapi dari segi rangkaian kegiatan ritual merupakan satu kesatuan.

Ditinjau dari sisi kosakatanya, Suranadi berasal dari kata sura yang berarti dewa, dan nadi memiliki arti sungai. Konon, Suranadi juga mengandung arti "kahyangan" dalam kamus bahasa Jawa Kuno. Berjarak sekitar 15 km dari pusat Kota Mataram, Pura Suranadi terletak di Dusun Suranadi, Desa Selat, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok-Barat. Dapat dicapai dengan segala jenis kendaraan, roda dua maupun roda empat, melalui dua jalur jalan, seperti jalan raya Narmada, atau lewat jalan Gora - Lingsar.

Areal Pura Suranadi yang luas dan asri memiliki 5 (lima) buah mata air yang dikenal dengan nama Panca Tirtha atau Pancaksara. Air tersebut dianggap sakral dan diyakini sebagai syarat kelengkapan di dalam menjalankan upacara keagamaan -- untuk keperluan upacara yang dilakukan sehari-hari maupun untuk upacara-upacara lain yang bersifat khusus.

Kelima macam mata air itu yaitu (1) toya tabah adalah toya untuk pemuput upacara pitra yadnya yang di Bali dikenal sebagai toya penembak, (2) pabersihan sebagai tirta untuk upacara sawa (jenazah) sebelum diberikan tirta pangentas, (3) panglukatan, tirta prayascita untuk pembersihan diri, dipergunakan dalam upacara dewa yadnya, manusa yadnya, dan bhuta yadnya, (4) tirta, dipergunakan saat puncak upacara, sebagai prasadam dan diberikan kepada peserta upacara sebagai tirta wasuh paddya, (5) pangentas, diberikan kepada sawa sebelum dikubur atau dibakar. Dekat area tirta pangentas ini terdapat pula sebuah tempat pembuangan air tirta pangentas yang disebut tirta permandian kerbau, yang dipergunakan untuk memerciki/membersihkan hewan yang akan disembelih sebagai sesaji upacara.

Konon keberadaan Pura Suranadi terkait dengan perjalanan Danghyang Dwijendra -- dikenal pula dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh -- menuju Sasak (Lombok) untuk kedua kalinya. Di Lombok, beliau dijuluki juga sebagai Pangeran Sangupati. Guna menjaga agar umat Hindu yang ditinggalkan bisa melakukan tertib upacara menurut ajaran agama yang telah ditentukan, lantas beliau dengan "puja mantera"-nya memunculkan pancatirtha (lima macam tirta) di Suranadi.

Selain itu, ada pula versi lain yang menyebutkan, Pura Suranadi dibangun atas gagasan raja Pagesangan bernama AA Nyoman Karang pada 1720 Masehi. Seorang pendeta dari Bali -- cucu Danghyang Dwijendra -- bernama Pedanda Sakti Abah, dipanggil oleh raja Pagesangan guna melaksanakan panca yadnya, yakni lima macam pengorbanan suci menurut ajaran agama Hindu. Guna kelangsungan kegiatan ritual secara berkelanjutan itulah, dipilih Suranadi sebagai tempatnya.

Air dan Arsitektur Pura
Manusia Bali, di mana pun berada, sangat menghormati air dalam kehidupan sehari-hari. Segenap prosesi ritual Hindu (selaku agama yang dianutnya) senantiasa diawali dan diakhiri dengan air. Dalam kegiatan upacara persembahyangan, umat senantiasa menerima percikan air di pengujung atau akhir upacara ritual keagamaan. Konon di zaman silam, orang-orang pernah menyebut agama di Hindu sebagai "agama tirta".


Air juga disimbolkan sebagai amerta.
Bagi umat Hindu, air sangat disakralkan untuk kegiatan beribadat. Umumnya, diawali dari pembersihan fisik ragawi dengan kegiatan mandi jasmani, sebagai pembersihan bagian yang kasat mata. Dilanjutkan kemudian dengan tahapan awal pembersihan rohani, dimulai dari percikan tirta di jaba tengah pura (depan gerbang) sebelum mulai persembahyangan di jeroan pura. Usai persembahyangan, umat menerima percikan air tirta dari sulinggih atau pendeta, dan meraupnya melalui susunan kedua telapak tangan serta membasuh wajah masing-masing.


Air perlambang kesucian, karena dalam kehidupan sehari-hari air merupakan sebagai sarana pembersih dan pembasuh nan utama. Air kerap menjadi kiasan bagi karakter manusia, seperti sifat tenang, jernih, damai, dan sebagainya. Mata air yang muncul dari perut bumi, sebagai simbol spirit hidup, kebeningan, kesejukan dan kemurnian yang bermakna membebaskan diri dari pencemaran dan "kedekilan". Sumber mata air menjadi simbol "pelebur" yang luhur pembasmi keletehan, untuk meluhurkan sifat-sifat manusia menjadi lebih manusiawi, menuju pencerahan hati nurani. ari kepercayaan umat Hindu, air dijaga Dewa Wisnu, pemberi kesuburan pelbagai sumber hayati, makhluk hidup maupun tetumbuhan di alam semesta.

Maka, mata air merupakan suatu anugerah bagi umat manusia. Namun, rahmat yang diberikan oleh Sang Maha Agung itu, patut dipelihara, mesti dirawat dan diberi tempat secara terhormat, disertai rasa tulus bakti kepada-Nya. Agar "kehadiran" maha sumber-Nya tak lekang oleh kekeringan dan tidak membiakkan dahaga bertengger dalam kehidupan. Kehadirannya diharapkan tercurah ke muka bumi terus menerus, dari generasi ke generasi. Suatu pelapisan makna ini hendaknya menyemesta di setiap denyut kehidupan manusia, peri kehidupan setiap umat.

Kehadiran mata air turut berperan membentuk ruang, sebagai bagian dari unsur rancangan arsitektur. Mata air yang ada merupakan bagian penting dari gubahan wujud ruang arsitektural tempat suci, dalam mensyukuri akan kebesaran-Nya. Ia telah memberikan sumber pembening raga dan jiwa melalui maha cipta-Nya. Rasa bakti nan tulus itu mendorong tetua umat Hindu zaman dulu membangun tempat peribadatan, sekaligus menata tempat sumber-sumber mata air di Suranadi. Bukan untuk kehidupan sesaat, namun bagi kesinambungan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi umat secara berkelanjutan.

Tiga Macam Pura
Di Suranadi terdapat tiga buah kelompok pura. Masing-masing diberi nama sesuai dengan fungsi sumber air yang ada di dalamnya. Pun tiap-tiap pura itu memiliki zona (area) jaba sisi, jaba tengah, jeroan (tri mandala). Ketiga pura tersebut adalah sbb.:

. Pura Ulon/Gaduh, terletak di ujung timur laut, berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam. Di halaman pura ini terdapat mata air petirtan dan panglukatan. Beberapa palinggih dan perlengkapan upacara yang ada di dalamnya adalah (a) padmasana, (b) linggih Batara Gde Lingsar, (c) linggih Batara Bagus Gunung Rinjani, (d) linggih Batara Surya Ngelurah, (e) gedong penyimpenan, (f) padma petirtan, (g) bale pelik/pengaruman, (h) padma penglukatan, (i) bale pamangku, (j) linggih Majapahit, (k) palinggih tirta, (l) kemaliq, (m) bale banten, (n) bale pawedan, (o) bale pererenan/pakemitan, (p) bale gong, dan (q) bale kulkul. Kedua terakhir ini (p dan q) terletak di seberang jalan. 2. Pura Pangentas, terletak beberapa puluh meter dari Pura Ulon, ke arah barat daya. Memasuki pura ini, mesti melalui jalan setapak. Memiliki dua palinggih, pura ini secara fisik memiliki luasan yang terkecil dan paling sederhana di antara ketiga pura yang ada di Suranadi.

Memiliki mata air pangentas, mata air tabah/penembak dan tirta mapepada. Pura ini berfungsi sebagai tempat mengambil air untuk upacara pitra yadnya semata, yakni toya tabah dan pangentas. Maka bisa dipahami bahwa di dalamnya tidak banyak dibangun sarana penunjang sebagaimana yang ada pada pura lainnya. 3. Pura Pabersihan, berkedudukan sekitar 300 meter dari Pura Ulon. Di pura ini terdapat hanya satu mata air yakni pabersihan, dengan beberapa macam palinggih dan bangunan pelengkap upacara seperti (a) padmasari, (b) ngelurah, (c) tapasanu, (d) linggih Ida Betara Gde Lingsar, (e) genah Mangku ngastawa, (f) bale banten, (g) bale pawedan, (h) bale pakemitan, dan (i) gedong penyimpenan. Mata air dari pura pabersihan bermuara pada sebuah permandian umum (menempel dengan tembok panyengker pura), di sebelah selatan pura pabersihan.

Tanpa ''Kori Agung''
Adakah keunikan lain lagi dari masing-masing pura tersebut? Pada Pura Ulon, terutama yang berada di halaman dalam (jeroan) ada beberapa palinggih yang memakai cat warna hitam (mirip warna batu candi) seperti padmasana, linggih Ida Batara Bagus Gunung Rinjani (beratap ijuk), dan linggih ngelurah. Palinggih-palinggih tersebut berada pada level lantai (bataran) paling tinggi, dengan sembilan buah anak tangga.


Kemudian gedong penyimpenan dengan ketinggian bataran lebih rendah dari yang disebutkan sebelumnya, yakni memiliki 7 (tujuh) anak tangga (undag).
Padmasana petirtan, bale pelik/pengaruman (beratap ijuk), dan padmasana pangelukatan, berdiri langsung di atas tanah halaman jeroan. Lebih rendah posisi lantainya dari palinggih yang disebutkan sebelumnya. Sedangkan petirtan dan tirta pangelukatan merupakan bangunan terbuka (tanpa atap), dipagari tembok setinggi 70 cm, melingkari batas tepi mata air, dengan lingkaran kolam berdiameter 4 (empat) meter. Jeroan memiliki halaman yang cukup luas, suasana hening dan alami.

Candi Bentar dari Pura Ulon/Gaduh tidak jauh berbeda dengan candi bentar yang ada di Bali. Bedanya hanya terletak pada penyelesaian permukaannya. Jika di Bali, candi bentar umumnya menggunakan bata gosok dikombinasi dengan paras, kemudian diselesaikan dengan bentuk lelengisan maupun ukiran. Namun di Pura Suranadi, penyelesaian akhirnya dengan menggunakan cat yang menyerupai warna bata, paras, warna tanah, atau dengan dengan menggunakan cat tembok berwarna putih. Sedangkan pepalihan atau ukirannya, sebagian besar memakai beton cetak.

Atap-atap bangunan palinggih maupun bangunan pelengkap upacara, terdiri atas atap ijuk (untuk palinggih), atap genteng atau seng untuk bangunan pelengkap ritual.
Lantas, di mana kori agung? Ketiga macam pura yang ada di Suranadi ini ternyata tidak memiliki kori agung, sebagaimana yang dapat dijumpai pada pura pura di Bali, terutama sebelum memasuki halaman pura bagian dalam (jeroan). Umumnya, kori agung dilengkapi dengan betelan (pintu tambahan) di samping kiri dan kanannya. Di Pura Suranadi, semua pintu masuk menuju halaman pura berupa candi bentar.

Namun dari selentingan informasi, kabarnya ada rencana akan dibangun kori agung sebagai pintu masuk dari jaba tengah menuju jeroan Pura Ulon. Sedangkan dari jaba sisi ke jaba tengah akan dibangun candi bentar baru. Hal ini tentu penting, guna memberikan pemaknaan yang tepat, terutama mengenai penempatan pamedal yang benar dan baik, sesuai fungsi dan maknanya.

Pura Suranadi, dengan kelima macam mata airnya, punya kekhasan dalam tampilan arsitekturnya. Boleh jadi, Pura Suranadi merupakan satu-satunya pura di seantero Nusantara, yang memiliki lima sumber mata air (terlengkap), dengan fungsi ritual yang berbeda satu sama lainnya. Konsep meruang dari kelima mata airnya, bertautan dengan masing-masing pura. Citra kesucian dari sumber mata air dan gubahan arsitekturnya, menjadikan Pura Suranadi ini memiliki ciri, nilai dan makna yang cukup unik dan menarik. * i nyoman gde suardana
source : BaliPost
 
Pura Lingsar di Lombok
Dari Petunjuk Gaib, Cermin Kerukunan Umat

Pura Lingsar terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Berjarak sekitar 9,5 km dari kota Mataram, atau lebih kurang 7 km dari Cakranegara. Pura ini punya kekhasan dan keunikan, lantaran memiliki ciri spesifik dalam tatanan arsitekturnya. Hal ini ditandai adanya tempat peribadatan Hindu suku Bali dan tempat pemujaan suku Sasak dalam suatu arena kawasan pura.

PURA Lingsar yang piodalan-nya jatuh pada purnama sasih keenam ini konon dibangun oleh Anak Agung Ketut Karangasem pada akhir abad ke-17 Masehi. Berada di kawasan pura Lingsar, berkesan jauh dari keramaian kota. Menjumpai candi bentar tua pertama yang berukuran kecil dan ketinggiannya sekitar 3,5 meter, ada jalan lurus menuju ke gerbang kedua yang berjarak sekitar 200 meter dari candi bentar tadi. Selanjutnya akan memasuki area parkir, pada halaman sebelah kirinya bisa ditemukan wantilan.


Lebih ke dalam lagi, masuk mesti melalui candi bentar yang berdimensi lebih tinggi dan besar. Di dalamnya ada sepasang telaga, masing-masing memiliki sebuah patung di sisi kolamnya. Kolam-kolam tersebut berada di sisi kiri dan kanan jalan setapak yang menuju ke halaman jaba sisi pura. Halaman yang berlapis-lapis ini menunjukkan hirarki dari spasial yang bersifat profan (di luar), menuju pada spasial yang bersifat sakral dan disucikan (yang paling dalam).

Latar Belakang
Dari sebuah babad Lombok terungkaplah kisah yang mengaitkan sejarah Pura Lingsar dengan kedatangan ekspedisi Anglurah Ketut Karangasem pada 1692 Masehi. Disebutkan, saat Anglurah melakukan semadi secara khusus di Pura Panggung, Lombok Barat, ia memperoleh pawisik petunjuk gaib guna mencari sebuah mata air -- disebut atis toya hengsar -- ke arah timur laut dari tempat tersebut.

Dekat kawasan yang dituju, Anglurah Ketut Karangasem beristirahat dan duduk termenung. Sebelum melanjutkan perjalanan, sontak ia dikejutkan suara gemuruh di sebelah selatan hutan. Di sinilah kemudian ditemukan mata air yang dimaksud. Akhirnya, di tempat ini pula dibangun sebuah pura yang selanjutnya dinamakan Pura Lingsar. Konon nama lingsar berasal dari bahasa Sansekerta -- ling berarti "sabda" dan sar mengandung arti "sah" atau "jelas".


Pada penemuan titik mata air ini kemudian dibangun pura dan pertamanan merupakan juga bagian dari kemunculan bentuk-bentuk dasar orientasi diri waktu itu. Sebuah naluri kodrati di dalam menemukan kepastian untuk kelangsungan hidup manusia, secara jasmaniah maupun spiritual. Penemuan suatu "wilayah" yang bukan hanya dikenal sebagai bentuk geografis semata-mata. Namun lebih dari itu, sebagai bentuk yang mengandung kegaiban dari alam supranatural.

Ulon dan Gaduh
Menurut data buku "Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan NTB" (1997/1998), secara keseluruhan kawasan Pura Lingsar beserta tamannya memiliki luas areal sekitar 26,663 hektar (26.663,46 m2). Dengan pembagian arca (1) komplek "kolam kembar" (bagian paling depan), (2) halaman taman bagian atas, (3) halaman bencingah (bagian bawah depan kemaliq, (4) kelompok bangunan pura (Ulon dan Gaduh) berpagar tembok, (5) kelompok bangunan kemaliq (termasuk pasiraman), (6) telaga ageng (kolam besar dan panjang, terletak di sebelah selatan), dan (7) pancoran sembilan (tempat pemandian) dan sekitarnya. Luasnya tersebut belum termasuk bagian-bagian taman yang sekarang telah berubah menjadi sawah dan kebun.



Dari asal usulnya, pada awalnya dibangun Pura Lingsar Ulon. Menyusul kemudian didirikan Pura Gaduh. Karena itu Pura Lingsar Gaduh disebut juga sebagai duplikasi Pura Lingsar Ulon. Kedua pura tersebut (Ulon dan Gaduh) sama-sama terbagi atas tiga zona -- (1) merupakan mandala paling hulu (area utama), swah loka atau jeroan, tempat pemujaan kepada Sang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Batara Gunung Rinjani, Batara Gde Lingsir, dan Batara Sakti di Bukit, (2) kemaliq yang berasal dari kata maliq (dalam bahasa Sasak berarti "keramat" atau "suci", berada pada area jaba tengah atau bhuwah loka, (3) pasiraman yang merupakan mandala paling pinggir (bhur loka), digunakan untuk kegiatan mabersih-bersih -- membersihkan diri sebelum melakukan persembahyangan.


Pola pembagian ini pada hakikatnya tak dapat dipisahkan dari bagian wilayah lainnya, karena semua merupakan satu kesatuan yang utuh. Sebagai contoh, adanya kesatuan dengan unsur tetanaman, lahan pertanian dan gugus bangunan yang merupakan penunjang pura tersebut. Guna melayani kepentingan masyarakat yang hendak melaksanakan upacara agama sehari-hari serta menjaga keamanan dan kebersihan pura, oleh para pendiri pura diangkatkan para juru yang disebut pamangku.


Mula pertma diangkat pamangku untuk area Pura Lingsar Ulon, yaitu masing-masing seorang dari suku Bali yang bertugas di bagian Pura Ulon, dan seorang lagi dari suku Sasak, bertugas di bagian kemaliq. Begitu pula yang berlaku untuk area Pura Lingsar Gaduh. Salah satu ciri khas yang dimiliki areal Pura Lingsar adalah adanya mata air yang sangat besar dan melimpah, dalam bahasa Bali disebut telaga ageng, sedangkan dari bahasa Sasaknya dikatakan sebagai aik mual. Aik berarti "air" dan mual mengandung arti "melimpah keluar". Lantaran itu pula Pura Lingsar kerap disebut oleh warga suku Sasak dengan sebutan Pura Aik Mual.

Gugus Bangunan
Seperti halnya pura-pura Hindu di Bali, yang terdiri atas gugus-gugus bangunan suci di dalamnya, begitu pula Pura Lingsar. Namun, secara arsitektural, setiap pura kadangkala memiliki kekhasannya sendiri. Di dalam area Pura Gaduh terdapat beberapa jenis bangunan suci yang memberikan fungsi dan memiliki kegunaan masing-masing.



1. Deretan masa bangunan yang berdiri di sisi Utara di jeroan pura (dari barat ke timur) terdiri atas (a) bale pebantenan, bangunan saka nem beratap genteng, (b) padmasana yang terbuat dari bata pripihan yang pada bidang luar bebaturan-nya ditempeli beberapa piring Cina, (c) bangunan saka sanga beratap ijuk yang merupakan pasimpangan Gaduh, sebagai panyungsungan Batara Bukit Karangasem, pada bangunan ini juga menempel beberapa buah piring Cina, di atas lantai bebaturan terdapat 6 buah patung dewa-dewi serta ada tempat menaruh banten di bawah plafon ekspose, yang dipegang oleh saka-saka berukir, (d) tugu ngerurat, dan (e) bale pebantenan, saka nem beratap genteng.


2. Deretan masa bangunan yang terletak di sisi selatan jeroan pura, yaitu (a) bale saka nem tempat persiapan dan ruang duduk, terletak paling barat, (b) bale payogan (18 tiang), bagian tengah beratap genteng, bagian emper beratap seng, dengan lantai menggunakan bahan bata sosok, dan (c) bale saka nem (ruang duduk) berdiri di sebelah timur. Pada bagian tembok panyengker pura terdapat roster Cina dan pada bagian dalam tembok tersebut dilapisi batu kali disertai nat berwarna putih.
Berbatasan dengan tembok panyengker di sebelah selatan Pura Gaduh terdapat kemaliq yang dihubungkan dua buah pamedal alit, masing-masing memiliki 17 undag (anak tangga) turun menuju kemaliq. Pada area kemaliq terdapat tiga gugus bangunan permanen yakni dua buah bale sakapat dan sebuah bangunan penyimpan arca. Selain itu terdapat sebuah mata air (kelebutan) berpagar tembok dengan sebuah paletasan. Sedangkan dengan halaman luar kemaliq ini hanya memiliki sebuah pamasuan.


Di sebelah Selatan area kemaliq (berbatas tembok) terdapat dua buah pasiraman yang masing-masing terdiri atas lima buah pancuran. Kedua pasiraman itu dibatasi sebuah tembok pemisah. Pasiraman yang posisinya di sebelah timur, pintu masuknya melalui area kemaliq. Sedangkan yang berada di sebelah barat, masuk dari luar (halaman bencingah). Pada area pasiraman ini masing-masing memiliki sebuah bangunan bale sakanem beratap seng, berlantai keramik warna coklat, serta sebuah bangunan penyimpan arca.


Di bagian barat daya dari ketiga area yang disebutkan di atas terdapat sebuah taman air yang sangat luas, bersumber dari mata air setempat, yang merupakan warisan peninggalan zaman pemerintahan raja-raja dahulu. Taman air (yang juga disebut telaga ageng) ini memanjang ke barat. Tepian utaranya merupakan jalan setapak mengikuti bibir taman air tersebut. Di sekitar dirimbuni oleh berbagai jenis tetanaman buah dan beragam jenis tanaman hias lainnya. Di luar arena pura dan kemaliq terdapat pula beberapa gugus bangunan, yang memiliki makna tertentu sbb.;


1. Pancoran Sembilan, disebut pula Pancor Siwa, ada di dua tempat -- satu tempat untuk laki-laki dan satu lagi buat perempuan. Masing-masing pancor berjumlah sembilan, selain Pancor Luji yang jumlah pancornya dua buah. Pancoran tersebut memiliki makna: jumlah sembilan sebagai jumlah kewalian yang dipercayai dan diyakini sebagai angka yang memiliki makna "keramat".


2. Balai Jajar (serupa bale gong) atau rumah sejajar, jumlahnya dua buah, bentuk sama dan sebangun, masing-masing dengan luas 56,22 m2, bertiang kayu delapan dan beratap seng. Satu buah terletak di utara, sebagai tempat kegiatan berkesenian umat Hindu pada saat berlangsung upacara. Dan, satu buah lagi sebagai tempat beraktivitas seni bagi warga suku Sasak. Letaknya segaris dan sejajar. Gugus bangunan ini bermakna: pemerintah saat itu (Raja Karangasem) menghendaki agar antara suku Bali dan suku Sasak duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, tiap-tiap warga kerajaan mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan sosial yang sama, dan harus senantiasa hidup rukun dan damai. 3. Dua buah bale sakapat yang masing-masing memiliki luas lantai 4,84 m2, dan dua buah dapur dengan luas 29,7 dan 10,5 m2. Bangunan-bangunan ini terletak di halaman bawah yang disebut bencingah.


Perlu diketahui, ada beberapa bangunan suci di Pura Ulon adalah adanya (a) pasimpangan Gunung Rinjani, (b) pasimpangan Batara Bagus Gde Ngerurah, (c) pasimpangan Batara Malinggih ring Bukit (ngadegan Ida Batara Sakti Wawu Rawuh), (d) pasimpangan Batu Bolong, (e) pasimpangan Ida Batara Gunung Agung, (f) Lapan Banten, (g) Bale Payogan (genah Ida Padanda mayoga), (h) Bale Pewaregan, (i) toya kelebutan (mata air), dan (j) bangunan suci kemaliq.

Petunjuk Gaib
Gubahan arsitektural Pura Lingsar (dulu) tak lepas dari peranan pawisik atau petunjuk gaib yang diterima sebelumnya sebagai wujud pertimbangan spiritual dan kebeningan akal budi manusia, sebelum ditindaklanjuti pada rancangan nyata berupa tampilan arsitektural sebuah pura. Suara-suara yang bersumber dari Sang Maha Pencipta itu telah sanggup ditafsirkan dan diterjemahkan secara benar dan arif dengan kepekaan hati nurani.


Nah, inilah salah satu bentuk kekhasan Pura Lingsar. Selain memiliki Pura Ulon dan Pura Gaduh tempat persembahyangan umat Hindu, di dalamnya terdapat pula bangunan suci kemaliq yang dipuja pula dan dihormati keberadaannya oleh suku Bali yang beragama Hindu dan suku Sasak. Konon kemaliq juga banyak dikunjungi oleh warga Tionghoa, umumnya yang beragama Buddha dan Kong Fu Tse. Maka, dapat dikatakan keberadaan pura/tempat suci beserta tamannya ini selain merupakan wadah aktivitas ritual keagamaan, juga sebagai sarana rekreasi dan berfungsi sosial, serta mencerminkan wujud kerukunan antar-umat beragama atau antar-etnis lainnya di Lombok. * i nyoman gde suardana

source : BaliPost
 
Pura Sangkareang

Pura Sangkareang sudah ada ratusan tahun yang lalu dan merupakan pura umum. Pelinggih pokoknya nyungsung Batara yang berstana di Gunung Sangkareang (sebelah barat pucak Gunung Rinjani, yang dilalui lerengnya dan lumrah disebut Pelawangan Senaru dan lerengnya di sebelah timur mengeluarkan amerta yang dikenal dengan nama Amerta Banyu Urip.


Sangkareang asal katanya Sangkara Hyang. Sangkara artinya Dewa Sangkara, Hyang artinya Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara yang menguasai arah barat laut dengan bersenjatakan Angkus serta berbusana warna hijau dan memiliki kekuatan aksara yaitu Sing dengan menciptakan tirta.


Pura Sangkareang yang terletak di Desa Keru, Kecamatan Narmada, Kab. Lombok Barat, NTB, adalah Pura Penataran atau miniatur Gunung Sangkareang Rinjani dan memiliki sumber air (petirtaan) yang cukup besar yang juga dialirkan untuk mengairi sawah di sekitarnya.


Pujawali dilaksanakan setahun sekali tepatnya pada Purnamaning Sasih Kaulu sekitar bulan Februari atau Maret, yang di-remba oleh umat Hindu se-Kecamatan Narmada, Cakranegara, Mataram serta dari beberapa wilayah lainnya.
 
Pura Payogan Agung Kutai

Menelusuri Jejak Hindu di Kaltim
Berakhir pada Darma Setia


PuraPayoganAgung-serahterimabantuan3.jpg

Pura Payogan Agung Kutai yang dibangun sejak 1994 terus dibenahi dan semakin cantik

Kalimantan ternyata tidak hanya memukau karena ada Sungai Mahakam yang mencabiknya. Atau rimba raya, aneka fauna langka, tambang migas dan batu baranya. Di sana juga ada pura, tepatnya di Kutai Kartanegara, satu dari 13 kabupaten/kota di Kalimantan Timur (Kaltim). Pura Payogan Agung Kutai, begitu namanya memendam nilai historis tentang sejarah diri, tak hanya bagi umat Hindu, tetapi juga bagi bangsa ini. Mengapa? Berikut secuil catatan wartawan Bali Post Gregorius yang sempat mengunjungi tempat suci itu bersama rombongan Famtrip Garuda dari Denpasar.
----------------------------------------------------------

PERJALANAN dari Denpasar ke Balikpapan dengan menyinggahi Makassar untuk mencapai Pura Payogan Agung, Kutai sugguh suatu ''pendakian spiritual''. Perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 4 jam dari Balikpapan menuju Tenggarong, Kutai Kertanegara sangat melelahkan, tetapi dalam perspektif rohani justru menjadi semacam ekstase ketika akhirnya kita menemukan ''sejarah diri'' di pura yang terletak di Jalan Loah Ipuh, Gg. Nusa Indah, Tenggarong itu.

Rombongan dari Bali yang bertolak dari Balikpapan tiba sekitar pukul 12.00 wita di Tenggarong. Setelah sejenak mengunjungi Museum Mulawarman di kota yang sama, rombongan menuju Pura Payogan Agung, Kutai yang jaraknya sekitar 4 km dari museum. Terik matahari yang seolah menikam ubun-ubun tak mengurangi niat sejumlah umat Hindu dalam rombongan untuk melaksanakan sembahyang tirtayatra.

Pura Payogan Agung, Kutai sendiri memiliki nilai historis. Pemangku Pura Payogan Agung IB Dwijatenaya memaparkan, pura
ini diresmikan tahun 1998. Pembangunannya sebagian ditanggung pemda setempat (Rp 1,2 milyar), plus dana punia dari umat Hindu se-Tanah Air, termasuk dari Bali. Bahkan, pria kelahiran Tabanan yang juga dosen ini mengaku Bali Post ikut berperan dalam sosialisasi tahapan pemugaran Pura Payogan Agung, Kutai.

Made Santha dari Satriavi Balikpapan memaparkan, pura ini punya nilai historis, bukan saja bagi umat Hindu setempat, melainkan bagi umat Hindu di seluruh Nusantara. Betapa tidak, Kutai merupakan suatu daerah yang pertama mendapat pengaruh Hindu di Indonesia. Periode pengaruh Hindu India adalah masa kedatangan para pedagang dan Brahmana India.
Dalam sejarah disebutkan, pada abad ke-4 Masehi, ada sebuah berita dari India yang menyebut kata Queetaire yang diduga berasal dari Kutai Kertanegara yang berarti hutan belantara. Bukti adanya relasi India-Kutai diperkuat dengan ditemukannya peninggalan prasasti berupa tiang batu (Yupa). Isi prarasti berupa peringatan upacara kurban kepada para Brahmana berupa antara lain ribuan ekor lembu.

Daerah Kutai adalah daerah yang dilintasi garis kathulistiwa, garis tengah bumi. Ilmu perbintangan Hindu (Jyotisha) sangat memperhatikan posisi alam semesta seperti posisi matahari, bulan dan bumi dalam garis lurus. Artinya, ketika bulan dan matahari tegak lurus di atas kathulistiwa dipilih oleh umat Hindu saat itu untuk melaksanakan upacara-upaya tertentu, seperti Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya.

Para Brahmana sangat sentral perannya dalam membangun Kerajaan Kutai Kertanegara yang raja pertamanya adalah Kudungga. Kemudian lahir putra mahkota Aswawarman yang menjadi raja kedua dengan tiga orang putra yang satu di antaranya bernama Mulawarman. Kelak, Mulawarman merupakan penerus tahta Kutai Kertanegara. Pada masa pemerintahan Mulawarman-lah, Kutai mengalami kejayaan dan rakyatnya makmur.

Saat itu dibangun tempat ibadah berupa pura di berbagai tempat. Kendati Pura Payogan Agung, Kutai yang berdiri kini letaknya tidak persis di pusat bekas Kerajaan Kutai Kertanegara, namun lokasi yang dipilih tetap istimewa. Ini sebagai penanda bahwa sembilan abad, sampai abad ke-13 (saat pemerintahan Darma Setia), kerajaan Hindu pernah berjaya di Kalimantan yang pengaruhnya kala itu sampai ke pelosok Nusantara.

Lembu Suana, Simbol Kota Tenggarong Kemasyuran Kerajaan Kutai Kartanegara pernah setara dengan Majapihit dan Mataram. Namun akhirnya pameo usang: tiada yang abadi di dunia ini akhirnya terjadi pula pada kerajaan Hindu yang berpusat di Kaltim itu. Setelah berjaya hampir 13 abad sejak Kudungga, raja pertama, dengan puncak keemasan di era Mulawarman -- raja ke-3 -- Kutai Kartanegara akhirnya perlahan redup.

Pada saat mulai redupnya Kerajaan Kutai Kartanegara Mulawarman berpusat di Muara Kaman, pada abad ke-13 berdiri pula kerajaan baru bercorak Hindu Jawa di hilir Sungai Mahakam. Namanya Kutai Kartanegara Kertanegara dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti. Seiring dengan perjalanan waktu, sebagaimana kisah raja-raja Nusantara lainnya, terjadi saling serang dan saling takluk.
Perang dahsyat antara Kutai Kartanegara Mulawarman yang saat itu dipimpin Darma Setia dari dinasti ke-27 dengan Kutai Kartanegara Kertanegara yang dipimpin Aji Sinum Panji tak bisa dielakkan. Perang yang memakan banyak korban itu berakhir dengan kekalahan Darma Setia. Kejayaan Kutai Kartanegara Mulawarman yang terukir sepanjang 13 abad pun terkubur bersama kusuma kerajaan.
Aji Sinum Panji kemudian melebur negeri taklukannya menjadi Kutai Kartanegara Kertanegara dengan pusat di Jahitan Layar, yang kini disebut Kutai Kartanegara Lama. Setelah Raja Aji Sinum Panji wafat, tahta kerajaan diserahkan kepada Dipati Agung (1635 - 1650). Singkatnya, secara turun-temurun keturunannya memimpin sampai yang terakhir Sultan A.M. Parikesit (1915-1960).

Sejak tidak diakuinya kesultanan dalam struktur birokrasi RI, keturunan AM Parikesit akhirnya tak memperoleh kekuasaan secara formal. Kendati demikian, jejak Kerajaan Kutai Mulawarman dan Kutai Kertanegara tetap dikenang dan hadir di hati warga Kutai Kartanegara sampai kini. Bila kita berkunjung, prasasti berupa Yupa era Mulawarman bersama peninggalan sejarah lainnya masih bisa disaksikan di Museum Mulawarman, Tenggarong.

HormatiLeluhur
Yang menarik, masyarakat dan pemda setempat tampaknya sungguh menyadari sejarah masa lalunya. Kendati sisa-sisa keturunan langsung raja Hindu Kutai Kartanegara tak lagi ditemukan, masyarakat setempat yang kini mayoritas beragama Islam (yang beragama Hindu hanya 30 KK, itu pun semua pendatang) tetap menghormatinya. Antara lain membatu sepenuhnya dalam pemugaran Pura Payogan Agung dan menetapkan Lembu Suana sebagai simbol Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Kini, patung Lembu Suana dalam ukuran besar berdiri megah di Pulau Kumala, suatu delta di tengah Sungai Mahakam yang disulap jadi kawasan wisata. Patung Lembu Suana berwarna legam keemasan di Pulau Kemala, Kutai Kartanegara itu merupakan buah karya pematung kawakan kelahiran Bali, Nyoman Nuarta. Elok dan artistik sekali jika dipandang dari menara putar (sky tower) di ketinggian 80 meter. (gre)
source: BaliPost
 
Pura Gunung Raung di Taro

...acara sang sista, dharma ta ngarannika.
Sista ngaran sang hyang satya wadi,
sang apta, sang patirthan, sang pana
dahan upadesa (Sarasamuscaya 40).

Maksudnya:
Tradisi hidup orang utama yang disebut sang Sista juga disebut Dharma. Orang yang disebut Sista itu adalah orang yang selalu menyatakan kebenaran (Satyavadi), orang yang dapat dipercaya karena cakap dan bijaksana (apta), orang yang menjadi tempat penyucian diri (sang patirthan) dan orang yang selalu mengajarkan pendidikan kerohanian (penadahan upadesa).

Keberadaan Pura Gunung Raung di Desa Taro berhubungan dengan perjalanan Dang Hyang Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung Jawa Timur ke Bali. Sebagai seorang ''dang hyang'' yang sudah berstatus orang suci tentunya beliau terpanggil untuk melakukan penyebaran pendidikan kerohanian yang dalam Sarasamuscaya 40 disebut ''panadahan upadesa''. Penyebaran pendidikan rohani tersebut dilakukan untuk membangun umat agar memiliki kemampuan hidup mandiri. Karena kendali kehidupan di dunia ini diawali dengan membangun kesadaran rohani untuk menata kehidupan duniawi.

Dang Hyang Markandya disamping beliau seorang yang Sista atau orang utama karena ahli kitab suci Weda, juga beliau adalah orang suci yang sudah apta atau dapat kepercayaan umat. Dang Hyang Markandya pun menjadi sosok orang suci yang senantiasa dijadikan tumpuan untuk memohon penyucian diri oleh umat. Dalam perjalanan sucinya beliau sebagai cikal bakalnya mendirikan Pura Basukian sebagai pura yang paling awal didirikan di Pura Besakih. Setelah itu barulah Dang Hyang Markandya berasrama di Taro yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Pura Gunung Raung ini terletak di antara Banjar Taro Kaja dan Banjar Taro Kelod. Pura ini menjadi perbatasan dari kedua banjar tersebut. Desa Taro ini terletak di Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar, pada umumnya letak pura di Desa Kuna di Bali adalah di hulu dan di hilir desa. Pura Gunung Raung ini terletak di hilir atau teben dari Banjar Taro Kaja dan di hulu atau luwan Banjar Taro Kaja. Pendirian pura inilah yang ada kaitannya dengan riwayat perjalanan Resi atau Dang Hyang Markandya dari Jawa Timur ke Bali.

Dalam lontar Bali Tatwa diceritakan perjalanan Resi Markandya dari Jawa Timur ke Bali. Pada mulanya Resi Markandya berasrama di Damalung Jawa Timur. Beliau mengadakan perjalanan suci (tirthayatra) ke arah timur dan sampailah beliau di Gunung Hyang. Di tempat ini beliau tidak mendapatkan tempat yang ideal. Selanjutnya, Resi Markandya melakukan perjalanannya ke arah timur lagi. Dalam perjalanan menuju ke timur itu beliau menemukan tempat di Gunung Raung Jawa Timur.

Di tempat inilah beliau membangun asrama untuk beberapa lama. Di Asrama Gunung Raung, Resi Markandya melakukan samadi. Dalam samadinya beliau mendapatkan petunjuk agar beliau mengadakan perjalanan ke Pulau Bali. Petunjuk gaib itu beliau laksanakan. Pada suatu hari yang baik beliau mengadakan perjalanan ke Bali diikuti oleh 8.000 pengikut.

Sampai di suatu tempat dengan hutannya yang lebat beliau berkemah dan membangun areal pertanian. Namun entah apa sebabnya sebagian besar pengikut beliau kena wabah penyakit dan meninggal. Tinggal hanya 4.000 pengikut saja. Resi Markandya kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk pada Sang Hyang Pasupati.

Setelah melalui samadi Resi Markandya mendapatkan petunjuk bahwa kesalahannya adalah tidak mengaturkan sesaji untuk mohon izin merabas hutan. Setelah itu Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung atau disebut juga Ukir Raja. Beliau diikuti lagi oleh pengiring yang disebut Wong Age.

Sampai di Gunung Agung beliau mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu di Besakih yaitu di Pura Basukian sekarang. Setelah itu barulah beliau membangun lahan pertanian dengan hati-hati untuk mengembangkan kehidupan agraris. Pengembangan areal pertanian terus dilakukan oleh rombongan Resi Markandya sampai ke Gunung Lebah. Sampai ke Desa Puakan, di desa inilah beliau mengadakan penataan kehidupan petani seperti pembagian tanah, dll. Desa itulah terus bernama Desa Puakan.

Ada juga beliau mengadakan pembukaan areal pertanian sampai di Desa Sarwa Ada. Setelah semua pengikutnya mendapatkan areal pertanian untuk mengembangan kehidupan agraris lalu beliau membangun suatu pasraman yang mirip dengan pasramannya di Gunung Raung Jawa Timur. Setelah itu kembali Resi Markandya mendapatkan beberapa kesulitan. Untuk itu Resi Markandya kembali ke Jatim dan mengadakan samadi.

Dalam samadi itulah beliau mendapat petunjuk agar melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Setelah kembali ke Bali lalu beliau mengadakan samadi ternyata Resi Markandya melihat ada sinar di suatu tempat. Nyala itu ternyata berasal dari sebatang pohon yang menyala. Di pohon yang menyala itulah Resi Markandya mendirikan Pura Gunung Raung sekarang.

Karena berasal dari pohon yang menyala akhirnya tempat itu dinamakan Desa Taro yang berasal dari kata ''taru'' artinya pohon. Pura dan pasramannya dibuat mirip dengan yang ada di Gunung Raung. Karena itulah pasraman dengan puranya diberi nama Pura Gunung Raung di Desa Taro sekarang.

Di Desa Taro ada sapi putih konon keturunan Lembu Nandini. Sampai tahun 1974 keturunan sapi putih itu masih ada beberapa ekor saja. Sapi putih itu sangat dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa. Tetapi dengan adanya sapi putih itu dapat ditarik kesimpulan bahwan Resi Markandya juga amat menghormati keberadaan paham Siwaistis yang memang merupakan suatu sekte dalam agama Hindu.

Sekte itu adalah sampradaya atau perkumpulan perguruan nonformal untuk mendalami ajaran agama Hindu yang merupakan agama yang terbuka untuk siapa saja. Masing-masing sampradya memang memiliki ciri khasnya sendiri seperti Ista Dewata yang dipilih dan sistem Adikari atau metode pendalaman kerohanian. Tetapi dasarnya semuanya sama yaitu kitab suci Weda.

Menurut Swami Siwanandaa, agama Hindu menyiapkan hidangan spiritual kepada setiap orang sesuai dengan perkembangan hidupnya. Karena itu tidak ada pertentangan dalam keanekaragaman sistem sampradaya dalam beragama Hindu tersebut. * I Ketut Gobyah
 
Pura Kancing Gumi

Makna Pemujaan Lingga di Pura Kancing Gumi

Dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas petikan Desa Adat Batu Lantang dinyatakan bahwa di Pura Kancing Gumi itu adalah Hyang Gunung Alas sebagai stana dari Batara Lingga Pasupati. Para petani yang menemukan pura tersebut merasa sangat yakin bahwa pemukiman yang mereka bangun di sekitar Pura Kancing Gumi sekarang itu sudah merupakan karunia Tuhan. Mengapa masyarakat begitu mempercayai keberadaan batu lantang itu?

===================

Pemujaan Tuhan dengan sarana Lingga Yoni tersebut pada zaman Hindu Siwa Pasupata dengan budaya megalitikumnya untuk memohon kemakmuran pertanian dalam artian luas. Lingga Yoni itu adalah imaginasi spiritual dalam memuja Tuhan untuk membangun keseimbangan Purusa dengan Pradana. Dalam bahasa sekarang keseimbangan hidup lahir batin.

Purusa dalam bahasa Sansekerta berarti jiwa, sedangkan Pradana berarti badan fisik. Dalam simbol sakral Lingga Yoni itu Purusa dilambangkan dengan Lingga dan Pradana dilambangkan dengan Yoni. Dalam ritual keagamaan Hindu Siwa Pasupata, air suci dengan segala sarananya dituangkan di ujung Lingga. Air suci dengan sarana pelengkapnya yang mengalir dari ujung Lingga itu mengalir sampai di Yoninya yang memiliki saluran.

Dari saluran tersebutlah air suci tersebut ditampung dengan sarana yang sakral. Air suci yang ditampung dari saluran Yoni itulah dipercikan ke areal pertanian dengan doa-doa tertentu. Dengan prosesi ritual seperti itu umat Hindu di Bali saat itu amat yakin akan keberhasilan usaha pertaniannya. Prosesi ritual dengan Lingga Yoni itu tentunya tidak berdiri sendiri. Prosesi ritual itu adalah wujud upaya niskala, tentunya upaya-upaya sekala harus dilakukan sesuai dengan norma kehidupan di sekala.

Lingga sebagai lambang Purusa atau Tuhan sebagai Jiwa Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit memiliki bentuk yang unik. Bagian bawahnya berbentuk segi empat yang disebut Brahma Bhaga. Di atasnya berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga. Sedangkan puncaknya berbentuk bulat panjang disebut Siwa Bhaga.

Sarana sakral Lingga Yoni ini adalah wujud budaya spiritual Hindu dari Sampradaya Siwaistis. Hyang Gunung Alas di Pura Kancing Gumi itu disebut Lingga Pasupati. Nama ini adalah sebagai salah satu sebutan Dewa Siwa. Siwa sebagai Sang Hyang Pasupati adalah manifestasi Tuhan untuk dipuja dalam menguasai diri. Istilah Pasupati berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ''pasu'' dan ''pati''. Pasu artinya hewan dan pati artinya menguasai atau merajai.

Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Pasupati adalah pemujaan untuk dapat menguasai sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Dalam Bhagawad Gita disebut Asuri Sampad yaitu kecenderungan keraksasaan. Sedangkan dalam ajaran Upanisad yang juga direkonstruksi dalam kitab Wrehaspati Tattwa disebut Klesa yaitu lima kekotoran yang ada dalam diri manusia.

Mereka yang mampu menguasai sifat-sifat kebinatangan atau sifat-sifat keraksasaanlah yang akan mudah meraih karunia Tuhan. Alam lingkungan ciptaan Tuhan itu diolah dengan cara-cara yang bijak dan rasional sehingga terjadilah interaksi positif antara manusia dengan alam sebagai sama-sama ciptaan Tuhan.

Dengan demikian manusia hidup sejahtera dengan mengolah isi alam dan alam pun tetap lestari. Karena itu Yoni lambang alam dan Purusa lambang jiwa manusia. Agar terjadi interaksi positif antarmanusia dan alam itu maka olahlah alam sebagaimana Sang Hyang Tri Murti yang disimbolkan oleh Lingga itu menciptakan, memelihara dan mempralina alam dengan segala isinya yang juga ciptaan Tuhan itu.

Hal inilah yang menyebabkan umat yang pedek tangkil ke Pura Kancing Gumi itu mendapatkan paica berupa benang Tri Dhatu dan Bija. Benang Tri Dhatu tersebut berupa tiga helai benang warna merah, hitam dan putih dililit menjadi satu dan digelangkan di tangan umat pemedek. Hal ini melambangkan adanya raksa bandha yaitu untuk menjaga ikatan dengan jalan bakti kepada Sang Hyang Tri Murti.

Ini berarti sebagai suatu janji diri kepada Sang Hyang Tri Murti untuk senantiasa hidup untuk berkreasi menciptakan (utpati) sesuatu yang sepatutnya diciptakan, memelihara (stithi) sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan menghilangkan (pralina) sesuatu yang seyogianya dihilangkan seperti kebiasaan-kebiasaan buruk yang bertentangan dengan dharma dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pemberian bija yaitu campuran beras yang utuh dengan air cendana dan kunyit sebagai lambang untuk menciptakan benih-benih kebenaran dan kebaikan dalam hidup ini agar tumbuh sejahtera, kesehatan dan keseimbangan hidup. Bija Dewanya adalah Sang Hyang Kumara yaitu putra Batara Siwa.

Pemberian benang Tri Dhatu dan Bija itu juga bermakna untuk menumbuhkan tiga ikatan spiritual yaitu Dewa Abhimanam yaitu ikatan spiritual untuk patuh pada arahan Sang Hyang Tri Murti menegakkan ajaran Tri Kona dalam memelihara kehidupan. Dharma Abhimana adalah janji spiritual untuk senantiasa hidup di jalan dharma. Desa Abhimana adalah janji spiritual untuk senantiasa mengabdikan diri pada desa tanah kelahiran sendiri.

Yang juga patut dijadikan bahan renungan adalah isi Lontar Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas cerita tentang Panca Pandita sebagai putra dari Ida Sang Hyang Gnijaya. Panca Pandita tersebut lahir dari Yoga Panca Bhayu Astawa dari Ida Sang Hyang Gnijaya. Dari yoga tersebut berturut-turut lahirlah lima putra yaitu Sang Brahmana Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan yang terkecil Mpu Bharadah.

Sang Bhramana Pandita berganti nama menjadi Mpu Geni Jaya setelah kawin dengan Batari Hyang Manik Geni -- putri dari Ida Batara Maha Dewa. Karena Gunung Agung meletus maka untuk mengembalikan keadaan agar pulih kembali maka Ida Sang Hyang Geni Jaya menugaskan putra-putranya agar ke Bali untuk menegakkan kembali kehidupan yang wajar dan sejahtera.

Hal ini sesuai dengan penugasan Ida Sang Hyang Parameswara kepada putra-putranya, terutama kepada Sang Hyang Gnijayasakti agar datang ke Bali untuk kesejahteraan dan keamanan alam dan masyarakat di Pulau Bali. Karena sebelumnya Ida Sang Hyang Parameswara sudah membawa gunung-gunung dan bukit-bukit dari Jambudwipa (India) sebagai tempat beliau melakukan yoga dahulu. Demikian dinyatakan dalam Lontar Dewa Purana Giri Wana Hyangning Gunung Alas yang menguraikan keberadaan Pura Kancing Gumi. * wiana
source: BaliPost
 
Pura Pesimpangan

Bangun Kehidupan Sejahtera Lahir dan Batin

Bhatara Siwa sira suwung
Sifat ipun ikang kasar awujud donia, kaanggap winangun ndi
Yen karingkes dados meru ndi Himalaya.
Yen karingkes dados meru ndi kadi ring tanah Bali.
Yen karingkes malih dados tityang.
(Dipetik dari Kekawin Dharma Sunia).

Maksudnya:

Batara Siwa beliau amat gaib, sifat nyata-Nya berwujud dunia, dianggap bangunan suci itu. Kalau diringkas menjadi gunung di Himalaya. Kalau diringkas lagi menjadi meru seperti di bumi Bali. Meru diringkas lagi menjadi diri kita.

Kompleks Pura Besakih yang akan dibahas selanjutnya adalah Pura Pesimpangan. Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Namun umum menyatakan Pura Pesimpangan itu berada di selatan Penataran Agung Besakih. Hal itu hanya perasaan saja tidak sesuai dengan arah mata angin menurut alat kompas. Kompleks Pura Pesimpangan ini sangat kecil dan bangunannya pun sangat sederhana.

Tetapi, sekarang Pura Pesimpangan itu sudah mendapat perbaikan, namun tidak menghilangkan keberadaannya yang semula. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar.

Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.

Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara?

Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun dilakukan upacara Melasti.

Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa Bali yang artinya singgah.

Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi.

Untuk mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan. Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih.

Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai dipersiapkan.

Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.

Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur.

Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya.

Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung.

Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu namanya.

Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas. * i ketut gobyah
 
Candi Agung Gumuk Kancil

Simbol Persatuan Warga Jawa dan Bali

Candi Agung Gumuk Kancil berdiri tegak di dataran tinggi Glenmore sekitar 400 meter dari permukaan air laut, tepatnya di Petilasan Maha Rsi Markendya di Dusun Wonoasih Desa Bumiharjo Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi. Candi bermotif Prambanan itu digarap selama 132 hari dengan dana Rp 150 juta. Diresmikan pada 11 Agustus 2002.

Piodalan diikuti sekitar 400 umat Hindu dari 50-an pura di Banyuwangi. Acara dimulai pukul 07.00 WIB, diawali dengan mendak tirta dari sumber Banyu Urip KPH Perhutani Banyuwangi Barat sejauh 300 meter utara Candi Agung Gumuk Kancil. Pukul 07.45 WIB, iring-iringan mendak tirta tiba di Candi Agung Gumuk Kancil, dilanjutkan dengan gunungan, yakni mengelilingi candi tiga kali. Saat acara gunungan berlangsung, umat Hindu yang ingin mengikuti sembahyangan mulai berdatangan sehingga dalam waktu kurang dari 30 menit, pelataran Candi Agung Gumuk Kancil dipadati warga berpakaian serba putih.

Ketua Panitia Pembangunan, I Ketut Wiryana, mengatakan padatnya pelataran Candi Agung Gumuk Kancil saat piodalan cukup dimaklumi mengingat kawasan tersebut merupakan persinggahan Maha Rsi Markendya, sebelum melanjutkan perjalanan ritualnya ke Bali. Bahkan di kawasan kaki Gunung Raung ini, Maha Rsi Markendya sempat mendirikan pasraman dengan murid-murid dari wong aga.

"Dari Gunung Raung, beliau melanjutkan ke Bali. Di Bali, beliau menanamkan panca datu sebagai cikal bakal Pura Agung Besakih. Dari kronologis ini kami melihat perlunya dibangun candi di sini untuk mengenang dan meneladani keimanan beliau," jelas Wiryana.

Candi yang berdiri di lahan seluas 25 are itu dilengkapi dengan arca Maha Rsi Markendya, Ciwa dan Budha. Semuanya berbahan baku batu merapi. Selain itu juga ada bale pawedan, tempat sesajen dan senderan. Bangunan fisik ini menelan dana Rp 112 juta, sedangkan biaya upacara mencapai Rp 38 juta.

Pelaksana Pembangunan, Djaya Prana menjelaskan bahwa batu yang digunakan di Candi Agung Gumuk Kancil diusung dari Gunung Agung Bali dan Muntilan, Jawa Tengah. Jenis batu dari Gunung Agung adalah andesit. Batu tersebut sengaja didatangkan dari Bali dan Jateng, dengan maksud menyatukan kembali tali perkawinan putri Gunung Agung dengan putra Jawa Tengah. Selain itu, dengan perpaduan ini pihaknya ingin mengembalikan sejarah perjalanan ritual Maha Rsi Markendya yang dimulai dari Jawa menuju Bali. "Sangat tepat kalau candi ini menjadi simbol persatuan Jawa-Bali," ujarnya.

Ungkapan senada juga disampaikan perancang Candi Agung Gumuk Kancil, I Wayan Rura. Menurutnya, Candi Agung Gumuk Kancil sengaja bermotif Prambanan karena Prambanan dikenal sebagai candi terbesar umat Hindu. "Aplikasi batu Jawa Bali, kami padu dengan motif Prambanan. Jadi tepat, kalau candi ini menjadi simbol persatuan warga Jawa- Bali," tandasnya.

PERWUJUDAN bangunan atau arsitektur pemujaan di Gumuk Kancil berbentuk candi berciri khas Jawa Timur, tepatnya adalah Candi Angka Tahun di kompleks Candi Penataran. Bentuk ini dipilih untuk mengangkat dan menghormati nilai-nilai kearifan lokal bangunan pemujaan di Jawa. Konsep dasar arsitektur candi ini adalah perkawinan atau perpaduan antara Jawa dan luar Jawa yang dalam hal ini diwakili oleh Bali.

-------------

Orientasi candi adalah Gunung (Gunung Raung di sebelah utara) dan Segoro (laut). Bangunan candi ini terdiri atas tiga bagian yaitu dasar, badan, dan puncak. Bagian dasar candi terdiri atas bagian sbb.:

1. Pondasi telapak sebar berbentuk lingkaran pada kedalaman 5 m dari permukaan tanah, berfungsi mendukung dan meratakan beban candi ke tanah, terbuat dari konstruksi plat beton bertulang tebal 20 cm dengan radius berdiameter 9 m. Untuk menghubungkan konstruksi pondasi dengan bangunan atas candi dibuat dinding plat beton bertulang setinggi 5 m diisi dengan beton cyclop (campuran batu pecah dengan beton). Empat kolom berdiri di sisi-sisi bangunan candi yang dihubungkan dengan balok-balok horisontal berfungsi mengikat dan menstabilkan konstruksi bagian atas candi.

2. Bagian dasar (lapik) candi di atas permukaan tanah berbentuk lingkaran melambangkan spiral kehidupan, disusun menjadi 8 anak tangga, yang terbawah berdiameter 9 meter. Bagian badan berbentuk dasar segi empat bujur sangkar.

Candi Agung Gumuk Kancil punya tiga bilik relung candi dan satu ruangan utama candi terbuka ke arah depan (selatan) berisi lingga-yoni. Sebagai dasarnya, sebilah prasasti berukuran 10 cm X 30 cm dengan bahan dasar tembaga dicampur perak dan emas.



Berisi Pengarcaan

Di bagian luar, dikelilingi tiga bilik relung candi. Pertemuan antara bagian dasar sebagai bagian badan diisi Bedawang Nala, Naga Basuki (di kanan) dan Naga Ananta Boga (di kiri). Masing-masing bilik relung candi berisi pengarcaan memakai sandaran basement berfungsi sebagai titik pusat konsentrasi pemujaan. Pengarcaan dan pemujaan melalui arca disebut murti puja.

Bilik relung timur berisi pengarcaan Tri Adhi Sakti yaitu Dewi Saraswati, Dewi Sri Laksmi dan Dewi Parwati. Bilik relung barat berisi pengarcaan Siwa-Budha/Tri Murti, dan bilik relung candi utara berisi pengarcaan Rsi Markandeya. Bilik relung timur berisi pengarcaan tiga dewi yaitu Dewi Saraswati (di kiri), Dewi Laksmi (di kanan) dan Dewi Parwati (di tengah-tengah) menjadi satu lapik, sehingga terkesan menyatu. Dewi Saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan, Sri Laksmi sebagai pemelihara dunia, kesuburan dan kemakmuran, serta Dewi Parwati diwujudkan di tengah-tengah sebagai simbol keteguhan hati.

Rsi Markandeya dalam pengarcaannya diwujudkan dengan sosok berdiri tegak berukuran 120 x 60 x 50 cm, berjenggot panjang memegang kendi, dengan tongkat kepala naga bersandar. Makna-makna yang tersirat dari arca ini adalah bagi mereka yang melaksanakan disiplin spiritual pemujaan melalui proses sampradaya antara nabe dan sisya akan terbentuk karakter berbudi luhur. Kendi akan mengalirkan ojas kelinuwihan bagi mereka yang meyakini jejak dharma yatra Rsi Markandeya, tongkat akan membuka memberi petunjuk arah kemahasucian.

Pengarcaan Siwa-Budha/Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) yang bermakna utpeti, stiti, pralina sebagai satu kesatuan sosok berukuran diwujudkan dengan sikap darma cakra prawartana mudra. Bagian puncak dibentuk dengan susunan batu tiga tingkatan. Ketinggian candi seluruhnya 9 meter, dibuat dari bahan batu andesit dari Gunung Merapi, kecuali puncak (mahkota) candi disusun dengan batu dari Gunung Agung.

Penggunaan dua jenis batu yang berbeda ini salah satunya didasarkan atas tingkat kesucian bahan. Bagian puncak candi juga dilengkapi dengan keris sepanjang sekitar 30 cm dilapisi emas, tembaga, dan nikel sebagai penangkal petir.



Terus Berbenah

Secara keseluruhan candi ini dikerjakan oleh tukang candi yang sudah sangat berpengalaman di bidang percandian yaitu Dulkamid Jayaprana dari Dusun Multilan Jawa Tengah, sekitar 10 km sebelum Candi Borobudur dari arah Yogyakarta.

Di Jawa pada umumnya tidak ada candi yang berdiri sendiri atau hanya ada satu candi di satu lokasi. Kompleks candi biasanya terdiri atas candi induk, Pangider Bhuana, Perwara atau Wahana, Apit, Kelir, Patok, Lawang, dan arca Ganesa. Candi induk menjadi titik pusat orientasi candi-candi yang lain.

Di kompleks Candi Agung Gumuk Kancil Raung, pada tahap kedua akan dibangun Candi Perwara (Nandini). Candi ini berfungsi sebagai wahana atau kendaraan Dewa Siwa. Letaknya di depan candi induk sejauh 17 meter ke arah selatan dengan posisi saling berhadapan. Secara keseluruhan, bentuk dasar candi bagian bawah (lingkaran) dan bagian atas (bujur sangkar) sama dengan candi induk. Yang berbeda hanyalah dimensi dan isi bilik candi.

Tinggi candi dan diameter dasar adalah 5 meter. Panjang Nandini 58 cm, duduk di atas bebaturan dengan dua roda pedati. Ada relief di bagian samping kiri-kanan dan belakang yang merupakan modifikasi dari Candi Tebing Tegallinggah Tampaksiring. Di bagian depan dilengkapi dengan Makara Singa, tanpa Bedawang Nala. Bahan candi adalah satu andesit dari Gunung Merapi, kecuali puncak (mahkota) dari batu andesit Gunung Agung.

Di masa mendatang, Candi Agung Gumuk Kancil akan terus berbenah dan dilengkapi lagi dengan jenis candi yang lain sesuai dengan perkembangan "wahyu" dan kesiapan sumber daya manusia setempat. Pengembangan candi dilakukan dengan penuh hati-hati dengan konsep bahan sealamiah mungkin. Titik-titik spiritual di sekitar candi induk perlahan tetapi pasti sudah bermunculan seperti Watu Gantung di sebelah utara, Sri Buhpati di sebelah tenggara candi induk.

Hari peringatan (piodalan) di candi ini dirayakan pada purnama sasih kaenem ngalih kajeng.

* i wayan runa & i nyoman warnata,
FT Unwar, Denpasar
source: BaliPost
 
Candi Plaosan Perpaduan Budha dan Hindu

204112p.jpg


Candi Plaosan



Keunikan yang dimiliki Candi Plaosan yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yakni candi ini merupakan perpaduan antara aliran agama Budha dan Hindu.

"Candi yang dibangun pada abad IX dan menghadap ke Barat ini terletak sekitar 14 km ke arah barat kota Klaten, sampai saat ini diminati wisatawan yang berkunjung ke objek wisata candi di Prambanan, Klaten," kata Baruno, petugas keamanan di kompleks Candi Plaosan, Prambanan, Klaten, Sabtu.

Ia menambahkan, berdasarkan prasasti pendek yang dipahatkan pada perwara di candi ini, kemungkinan candi Plaosan dibangun atas kerja sama antara Raja Pikatan dan Cri Kahulunan.

Areal candi Plaosan Kidul dan Lor berada di atas lahan seluas 4.529,06 meter persegi. Fungsi candi ini selain sebgai objek wisata peninggalan benda bersejarah juga sebagai tempat upacara keagamaan agama Budhha, katanya.
Candi tersebut terdiri dari dua kelompok candi yakni, kelompok candi Plaosan Kidul (selatan) dan candi Plaosan Lor (Utara).

Pada kelompok candi Plaosan Kidul telah banyak mengalami kerusakan, sementara candi Plaosan Lor masih banyak yang utuh. Kelompok candi Plaosan Lor terdiri dari dua buah candi induk yang dikelilingi 116 buah stupa perwara dan 50 buah candi perwara.

Candi induk Plaosan Lor pernah dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Di dalam kamar candi induk terdapat 6 buah arca Dhyani Budisatwa, antara lain arca Awalokiteswara, Wajrapani dan Padmapani. (ANT)

 
Pura Bakungan

Meningkatkan Kewaspadaan di Pura Bakungan

Latar belakang keberadaan Pura Bakungan di Desa Gilimanuk Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana patut dijadikan renungan untuk menatap masa depan yang lebih waspada dalam hidup ini. Akibat kecurigaan I Gusti Ngurah Pecangakan atas undangan adiknya, dia berpesan yang salah kepada patihnya. Seandainya I Gusti Ngurah Pecangakan tidak mudah curiga pada undangan adiknya, atau menyelidikan terlebih dahulu apa maksudnya I Gusti Ngurah Bakungan mengundang, mungkin peristiwa yang menyedihkan itu tidak akan terjadi. Mengapa sejarah Pura Bakungan ini perlu diungkap lagi? Pelajaran apa yang kita dapat di balik Pura Bakungan itu?
----------------------------------------------------------------------

Dalam kehidupan bermasyarakat banyak terjadi permusuhan atau kesalahpahaman karena kekurangwaspadaan menerima informasi. Jangankan informasi itu bersifat lisan, yang tertulis pun perlu dianalisis dan direnungkan terlebih dahulu sebelum mengambil kesimpulan. Ketidakwaspadaan I Gusti Ngurah Pecangakan disertai juga ketidakhati-hatian I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Manca Agung menerima pesan dan melihat kenyataan.

Pesan I Gusti Ngurah Pecangakan dan kenyataannya ada kuda berdarah-darah tidak dianalisis dengan logika dan diadakan pengecekan pada pesan yang kenyataan tersebut. Menetapkan suatu keputusan dan memberikan pesan kepada kerabat kerajaan I Gusti Ngurah Pecangakan tidak melalui proses analisis yang memadai. Hanya berdasarkan kecurigaan. Padahal keputusan tersebut amat strategis karena menentukan nasib sebuah kerajaan.

Demikian juga I Gusti Ngurah Pancoran sebagai Manca Agung saat memutuskan bahwa kuda yang berdarah-darah itu sudah pasti darah kakaknya, tidak melalui proses analisis. Padahal keputusan itu sebelum ditetapkan seyogianya melalui analisis. Sejauh mana keadaan kuda yang belepotan darah. Apa tidak sebaiknya dijajaji dahulu keberadaan I Gusti Ngurah Pecangakan apa memang sudah mati dalam pertempuran atau tidak. Hal inilah yang tidak dilakukan. Semuanya lalai tidak waspada, akibatnya dua bersaudara menjadi bermusuhan dan dua kerajaan hancur berantakan.

Kelalaian inilah yang patut direnungkan sebagai latar belakang keberadaan Pura Bakungan. Meskipun hal ini sebagai pengalaman buruk, namun dari pengalaman itu dapat dipetik hikmahnya agar jangan terulang pada diri kita maupun generasi seterusnya.

Untuk mengambil suatu keputusan dalam hidup ini memang ada hal-hal yang wajib kita lakukan sebelumnya. Lebih-lebih di Bali yang keberadaan daerahnya sempit, namun banyak hal yang memuat orang tertarik pada Bali. Ibarat wanita cantik banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Dalam menetapkan suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut nasib Bali ke depan wajib kita analisis dengan sebaik-baiknya. Kalau salah cara menetapkan suatu kebijakan umat manusia bisa kehilangan Bali yang sebenarnya.

Untuk mengambil suatu keputusan Resi Patanjali menyatakan ada lima tahapan yang wajib dilakukan yakni Tarka artinya segala sesuatunya wajib diperdebatkan terlebih dahulu. Di Bali ada istilah ruang musuhin. Maksudnya segala sesuatu sebelum diambil keputusan wajib dilihat apa baiknya dan apa juga buruknya. Menyangkut ajaran Tarka ini hendaknya tidak disamakan dengan bertengkar. Nirwitarka maksudnya adalah setelah diperdebatkan, maka hasil perdebatan itu direnungkan kembali.

Sawicara artinya hasil renungan tersebut lebih lanjut dianalisis dengan secermat mungkin. Selanjutnya Nirwicara artinya hasil analisis itu kembali direnungkan juga secara mendalam. Tahap akhir barulah Samanta, artinya diambil keputusan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Lima tahapan itulah yang semestinya dilakukan dalam mengambil suatu keputusan, lebih-lebih menyangkut hal-hal yang mengandung risiko besar, apalagi menyangkut kepentingan orang banyak.

Dalam Lontar Siwa Budhagama Tattwa ada juga ajaran untuk mengambil suatu keputusan dengan melakukan lima tahapan yaitu Maya, Upeksa, Indrajala, Wikrama dan Lokika. Maya artinya segala sesuatu data yang masih kabur hendaknya dibuat jelas. Atau tahapan pengumpulan data. Upeksa artinya data yang sudah jelas itu dianalisis dengan cermat. Indrajala artinya hendaknya dari data yang telah teranalisis itu diambil beberapa kesimpulan untuk dianalisis kembali berbagai segi positif dan negatifnya. Wikrama artinya bertindak.

Salah satu dari beberapa kesimpulan dalam proses Indrajala itu harus ditetapkan untuk dilaksanakan. Selanjutnya dilaksanakan dan diyakini paling sedikit segi negatifnya berdasarkan hasil analisis tersebut. Lokika artinya dalam bertindak melaksanakan keputusan yang ditetapkan itu hendaknya selalu berdasarkan pertimbangan logika atau akal sehat.

Demikian beberapa konsep pemikiran dalam Susastra Hindu yang wajib kita renungkan dalam setiap mengambil keputusan, apalagi menyangkut hal-hal yang mengandung risiko besar dan dampak sosialnya yang luas.

Keberadaan Pura Bakungan dapat dijadikan media untuk membangun kewaspadaan diri dan sosial dalam menata berbagai aspek kehidupan. Di samping itu dua bersaudara yaitu I Gusti Ngurah Pecangakan dan adiknya I Gusti Ngurah Bakungan setelah perang tanding sama-sama menyadari kelalaiannya sebagai pemimpin. Kesadaran akan kelalaiannya itu menyebabkan dua kerajaan menjadi bermusuhan dan menyebabkan penderitaan rakyat.

Kesadaran itu menyebabkan dua bersaudara itu mohon agar Dewata mem-pralina dirinya. Hal itu sebagai rasa tanggung jawab atas kesalahannya. Hal itu sebagai sifat kesatria, seperti kebiasaan pemimpin di Jepang mundur diri kalau merasa gagal. Ini maksudnya untuk memberi kesempatan kepada orang lain demi kepentingan orang banyak.

Sifat kesatria seperti itu perlu direnungkan agar jangan pemimpin yang jelas sudah gagal tetap memaksakan diri bercokol menjadi pemimpin hanya untuk mendapatkan fasilitas hidup enak. Permohonan dua bersaudara I Gusti Ngurah Pecangakan dan I Gusti Ngurah Bakungan itu bukanlah suatu kekonyolan, tetapi suatu penyerahan diri kepada Hyang Widhi atas kelalaiannya untuk mendapatkan perbaikan.

Ke depan sifat kesatria seperti itu tentunya tidak mesti diwujudkan dengan cara bunuh diri. Akan lebih indah dengan mundur diri kalau memang sudah nyata-nyata gagal sebagai pemimpin.

* wiana
Source : balipost
 
Pura Mengening Tempat Meditasi Pemimpin

Yogangganustanadasudhi
ksaye jnyanadiiptira viveka khyateh.
(Yoga Sutra III.28)

Maksudnya:
Dengan melaksanakan tahapan-tahapan ajaran Yoga, ketidaksucian itu akan hilang dan keheningan diri karena kesadaran batin itu akan bersinar cemerlang untuk ber-wiweka.

AGAR dapat melakukan kehidupan yang hening, baik kehidupan individu maupun kehidupan bersama, diperlukan upaya jasmaniah dan rohaniah yang sungguh-sungguh. Upaya untuk terus mengheningkan diri itu diajarkan dalam ajaran Yoga seperti yang diajarkan oleh Resi Patanjali.

Ajaran Yoga itu dapat dilakukan di tengah-tengah kehidupan bersama dalam masyarakat dan dapat dilakukan dengan cara sendiri-sendiri dalam kegiatan kotemplasi ke dalam diri di suatu tempat yang mendukung upaya mengheningkan diri tersebut. Ajaran Yama dan Niyama Brata, misalnya, sebagai bagian dari delapan tahapan ajaran Yoga dapat dilakukan dalam kehidupan bersama.

Seorang pemimpin seperti seorang Raja misalnya membutuhkan kemampuan yang seimbang antara menguasai diri sendiri dan memberikan bimbingan pada masyarakat. Karena itu, seorang Raja membutuhkan tempat suci sebagai sarana memperoleh kemampuan untuk mengheningkan dirinya.

Hanya diri yang maha-ening itulah yang mampu memiliki wiweka jnyana. Dengan Wiweka Jnyana itulah berbagai langkah membangun kehidupan bersama akan dapat berhasil dengan baik. Wiweka Jnyana adalah kemampuan untuk membeda-bedakan mana yang baik, mana yang tidak baik, mana yang benar dan mana yang tidak benar, mana yang patut dan mana yang tidak patut, dst. Sebagai pemimpin kemampuan ini mutlak diupayakan terus-menerus tanpa henti.

Demikianlah Pura Mengening itu adalah sebagai sarana bagi sang Raja membangun diri memperoleh diri yang ''maha-ening''. Konon nama Pura Mangening ini berasal dari kata ''maha-ening''. Di Pura Mengening inilah sebagai salah satu tempat Raja Udayana dan keluarga kerajaan melakukan upaya kerohanian untuk membangun diri yang ''maha-ening''. Pura ini terletak di Banjar Saraseda Desa Tampaksiring, Gianyar. Upacara piodalan di Pura Mangening ini jatuh pada hari Saniscara Pon Wuku Sinta.

Menurut M.P Sukarto K. Atmojo yang pernah menjadi Kepala Kantor Purbakala di Bali bahwa nama Pura Mengening ini berasal dari kata ''cening'' yang artinya anak. Karena dalam salah satu prasasti yang ada hubungannya dengan Raja Udayana menyatakan lumahi banyu wka yang artinya wafat di air wka. Kata ''wka'' inilah yang diduga berasal dari ''Oka'' diidentikan dengan anak.

Nampaknya nama ''Mangening'' ini lebih logis diduga berasal dari kata ''maha ening'' yang artinya amat suci. Pura Mangening ini pada awalnya sebagai tempat pertapaan Raja Udayana dan keluarganya. Sedangkan candi-candi di Pura Gunung Kawi sebagai Padharman Raja Udayana dan keluarganya.

Dalam kitab Negara Kertagama ada istilah ''dinarma'' yang maksudnya menstanakan roh suci Raja yang sudah sebagai Dewa Pitara di suatu tempat pemujaan seperti candi. Upacara ''didharma''-kan ini dilakukan setelah upacara Sradha. Saat Raja meninggal dilakukan upacara pembakaran jenazah Raja. Kelanjutan dari upacara pembakaran itu disebut upacara Sradha.

Setelah upacara Sradha itulah ada upacara ''dinarma'' atau didharmakan yang artinya menstanakan roh suci Raja di candi. Upacara didharmakan ini juga disebut Cinandi, atau pendirian xandi sebagai stana suci bagi sang Raja setelah berbadan roh suci atau Dewa Pitara. Analog dengan itu dalam Lontar Gayatri dinyatakan bahwa saat meninggal roh Atman orang yang meninggal disebut Preta.

Setelah upacara pembakaran atau ngaben roh itu disebut Pitara. Terus dilanjutkan dengan upacara Atma Wedana dan sang roh pun disebut Dewa Pitara. Setelah Atman sebagai Dewa Pitara itulah ada upacara menstanakan roh suci yang disebut Dewa Pitara Pratista atau Ngalinggihang Dewa Hyang di Kamulan.

Upacara Dewa Pitara Prastista inilah yang identik dengan upacara didharmakan atau Cinandi atau mendirikan candi untuk stana sang Raja. Kalau Raja distanakan di candi atau tempat suci lainnya, sedangkan di Bali setelah upacara Atma Wedana ada upacara Dewa Pitra Prastista di Kamulan. Hal ini sangat rinci dijelaskan dalam Lontar Purwa Bumi Kamulan.

Di Pura Gunung Kawi, Raja Udayana, permaisuri, selir dan putra-putranya didharmakan di Candi-candi Pura Gunung Kawi. Sedangkan letak tempat pemujaan atau tempat pertapaannya di Pura Mangening.

Di Pura Mangening itulah Raja mempraktikkan ajaran Yoga Sutra sampai memperoleh keadaan diri ''maha ening''. Dalam keadaan diri yang maha ening itulah Raja mendapatkan kemampuan diri untuk ber-wiweka dalam membangun kesejahteraan rakyatnya lahir batin. Sebab, memimpin suatu masyarakat dalam mengupayakan hidup rakyatnya agar sejahtra lahir batin dibutuhkan kemampuan Wiweka Jnyana yang mumpuni.

Pelinggih utama di Pura Mangening adalah Pelinggih Prasada atau sering juga disebut Meru Prasada sebagai tempat menstanakan Raja Udayana sebagai Dewa Pitara atau roh suci yang diyakini telah mencapai apa yang disebut Sidha Dewata.

Sidha Dewata artinya sukses mencapai alam dewata. Atman yang telah mencapai Sidha Dewata itulah yang disebut Dewa Pitara. Prasada inilah sebagai pelinggih yang paling utama di Pura Mangening ini. Di depan palinggih Prasada ini terdapat pelinggih Pesimpangan Pura Gunung Kawi dan Pesimpangan Pura Tirtha Empul.

Di depan Pelinggih Pesimpangan tersebut terdapat dua Pelinggih Pepelik. Dua Pelinggih Pepelik ini berfungsi sebagai tempat mempersembahkan sesaji. Mengapa ada dua Pelinggih Pepelik. Dalam Sarasamuscaya 215 dan 216 persembahan itu hendaknya ada dua jenis yaitu Ista dan Purta.

Ista adalah persembahan untuk memohon kedamaian rohani, sedangkan Purta adalah persembahan untuk memohon kesejahteraan sosial ekonomi. Tujuan memuja Tuhan bagi masyarakat awam adalah untuk mendapatkan hidup yang seimbang lahir batin.

Sebelah utara dari Pelinggih Prasada terdapat Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung. Dua Pelinggih ini sebagai Pesimpangan ke Gunung Agung dan ke Gunung Batur. Ini juga sebagai lambang Purusa dan Predana sebagai media memohon keseimbangan hidup alam semesta beserta isinya termasuk semua makhluk hidup.

Di sudut paling barat daya ada Pelinggih Pegat. Ini tempat memohon Tirtha Pengelukatan untuk memutuskan ikatan duniawi menuju perjalanan rohani. Sembahyang tidak akan berhasil apabila konsentrasi tidak terpusat pada Tuhan.

* I Ketut Gobyah
source:BaliPost
 
Pura Pucak Mangu

Memuja Dewa Sangkara di Pucak Mangu

Rayim raksanti jiirayo vanaani.
Indraya dyaava osadhir
Utapaah rayim raksanti.
(Rgveda III.51.1)


Maksudnya:
Hutan-hutan belantara dan sungai-sungai adalah sumber hidup dan penghidupan. Bagi negara, langit, taman-tamanan dan sungai-sungai semuanya itu sumber penghasilan (negara dan rakyat).

MAKANAN utama dari umat manusia adalah berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hewan pun makanannya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hewan yang memakan daging pun tidak bisa hidup kalau tidak ada hewan yang memakan tumbuh-tumbuhan yang dimangsanya. Karena itu dalam kitab Bhagawad Gita III.14 dinyatakan bahwa makhluk hidup berasal dari makanan. Makanan berasal dari hujan. Hujan muncul dari Yadnya dan yadnya muncul dari Karma.

Dalam sloka ini ada yang harus saling berkarma sebagai Yadnya untuk saling memelihara secara timbal-balik melakukan Cakra Yadnya. Tumbuh-tumbuhan berkarma menjadi bahan makanan memelihara makhluk hidup termasuk umat manusia. Manusia haruslah berkarma memelihara tumbuh-tumbuhan agar selalu lestari adanya. Alam atau Bhuwana Agung memelihara makhluk hidup dengan menjatuhkan hujan.

Dari hujan itulah terpeliharanya tumbuh-tumbuhan. Hujan pun akan jatuh sesuai dengan musimnya kalau keadaan alam ini tidak dirusak oleh manusia. Kalau manusia membabat hutan dengan semena-mena, terus membuang asap kotor ke udara melalui asap pabrik, mobil dan alat-alat teknologi lainnya maka iklim pun dapat berubah akibat pemanasan global terus meningkat.

Terjadinya perubahan dan pemanasan global secara terus-menerus, akibatnya hujan pun menjadi tidak teratur jatuhnya. Kadang-kadang kemarau berkepanjangan. Tumbuh-tumbuhan saat musim kemarau akan kering. Dalam keadaan hutan kering maka sangat mudah terbakar. Hujan deras yang turun tidak teratur bisa berakibat kurang baik terhadap lingkungan. Akan terjadi banjir di mana-mana. Lingkungan dan tempat hidup manusia pun terancam.

Karena itu, sesuai pula dengan Mantra Rgveda yang dikutip di atas, bahwa hutan belantara atau hutan lindung dan sungai-sungai merupakan sumber penghidupan negara dan rakyatnya. Kalau rakyat makmur karena terpeliharanya hutan dan sungai atau sumber-sumber mata air lainnya maka negara pun makmur. Karena itu dalam memelihara tumbuh-tumbuhan, di samping manusia harus menghindari hidup serakah agar jangan sampai membabat hutan, juga selalu mohon kepada Tuhan agar tumbuh-tumbuhan sumber hidupnya tetap terlindungi oleh kemahakuasaan Tuhan.

Dalam tradisi beragama Hindu di Bali ada tiga kegiatan beragama Hindu yang bermakna untuk selalu memelihara tumbuh-tumbuhan yaitu dengan upacara agama yaitu merayakan Tumpek Wariga sebagai hari yang khusus untuk memuja Batara Sangkara sebagai manifestasi Tuhan sebagai Dewa tumbuh-tumbuhan. Pada hari Tumpek Wariga umat Hindu khusus mengadakan pemujaan kepada Tuhan memohon lestarinya tumbuh-tumbuhan.

Di Bali ada Pura Kahyangan Jagat yang khusus memuja Tuhan sebagai Dewa Sangkara. Pura Kahyangan Jagat itu adalah Pura Pucak Mangu yang berada di ujung utara Kabupaten Badung, Kecamatan Petang. Pura ini memiliki dua Pura Penataran yaitu di Pura Ulun Danu Beratan Kecamatan Baturiti Tabanan dan juga di Penataran Pucak Mangu yang terletak di Plaga Kecamatan Petang. Di Pura ini Gst. Agung Putu pendiri Kerajaan Mengwi pernah melakukan Dewi Sraya.

Setelah melakukan Dewi Sraya, beliau mendapatkan berbagai kejayaan dalam hidup beliau, sampai beliau mendirikan Kerajaan Mengwi. Raja-raja Mengwi selanjutnya semuanya berasal dari keturunan beliau. Pura Pucak Mangu memiliki dua fungsi yaitu sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala dan sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala itu adalah sebagai tempat memuja Tuhan untuk mendapatkan rasa aman atau perlindungan Tuhan dari empat penjuru. Pura Pucak Mangu adalah pura sebagai tempat memuja Tuhan yang melindungi Bhuwana di arah utara.

Sedangkan dalam konsepsi Padma Bhuwana, Pura Pucak Mangu sebagai tempat memuja Dewa Sangkara yang melindungi arah barat laut. Dari pemujaan Dewa Sangkara ini diharapkan Tuhan menurunkan wara nugraha-nya melindungi tumbuh-tumbuhan. Itu artinya, umat Hindu dalam melindungi tumbuh-tumbuhan di samping memiliki hari Tumpek Wariga dan Pura Pucak Mangu juga memiliki upacara Bhuta Yadnya.

Bhuta Yadnya menurut Agastia Parwa, Taur muang kapujan ring tuwuh. Artinya, Bhuta Yadnya itu adalah mengembalikan (alam) dan menyayangi tumbuh-tumbuhan. Dengan tiga kegiatan beragama Hindu, kita tumbuhkan kasih sayang pada tumbuh-tumbuhan. Karena dengan lestarinya tumbuh-tumbuhan, semua makhluk hidup sangat terganggu hidupnya pada tumbuhan itu. Karena itu pemujaan Dewa Sangkara dikaitkan pula dengan upaya melestarikan tumbuh-tumbuhan.

* I Ketut Gobyah
Source : BaliPost
 
Pura KENTEL GUMI

Hiranyagarbhah samavartatagre
Bhutasya jatah patireka asit,
Sa dadhara prthivim dyam utemam
Kasmai devaya havisa vidhema (Rgveda X.121.1)


Maksudnya:
Tuhan Yang Mahaesa yang menguasai planet ada dalam diri-Nya.
Tuhan itu mahatunggal sebagai pencipta segala.
Tuhanlah sebagai penyangga bumi dan langit, sebagai dewata tertinggi sumber kebahagiaan yang suci,
kami persembahkan doa kebaktian dengan ketulusan hati.



MENEGAKKAN bumi dimaksudkan menegakkan kebenaran dengan perilaku mulia. Perilaku mulia menegakkan bumi ini diawali dengan meyakini bahwa Tuhanlah sebagai pencipta dan penyangga bumi dan langit.

Tujuan Tuhan menciptakan bumi dan langit adalah sebagai wadah kehidupan semua makhluk terutama manusia untuk memperbaiki kualitas perilakunya. Mengawali perbaikan kualitas perilaku dengan meningkatkan pemujaan pada Tuhan dengan doa persembahan.

Demikianlah Pura Kentel Gumi didirikan untuk menegakkan kualitas perilaku di bumi. Kentel Gumi sama dengan istilah dalam bahasa Bali yaitu enteg gumi yang maknanya tegaknya stabilitas keharmonisan hidup di bumi ini.

Pura Kentel Gumi terletak di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Pura Agung Kentel Gumi didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Babad Bendesa Mas.

Dalam lontar tersebut dinyatakan atas kehendak Mpu Kuturan didirikanlah Pura Penataran Agung Padang di Silayukti, Pura Gowa Lawah, Pura Dasar Gelgel, Pura Klotok dan Pura Agung Kentel Gumi. Hal ini mengandung makna bahwa kehidupan di bumi akan tegak atau ajeg apabila dilakukan kesadaran rohani. Pura Silayukti di Padang, Karangasem itu adalah Asrama Mpu Kuturan. Fungsi asrama adalah untuk mendidik dan melatih umat mendapatkan pemahaman akan kerohanian.

Pura Goa Lawah adalah pura untuk mendapatkan pemahaman akan kedudukan dan fungsi samudera. Samudera kena sinar matahari berproses menjadi mendung. Mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh hutan yang tumbuh di gunung. Proses alam itulah yang menyebabkan terjadinya kesejahteraan. Karena itu Pura Goa Lawah disebut stana Tuhan sebagai Hyang Basuki atau Batara Telenging Segara. Basuki artinya rahayu atau selamat.

Sementara Pura Dasar Gelgel adalah tempat suci untuk mempersatukan umat berdasarkan kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan untuk bereksistensi sesuai dengan swadharma masing-masing. Pelinggih leluhur berbagai warga di Pura Dasar Gelgel untuk mengingatkan pada pemujaan roh suci leluhur (Dewa Pitara), bukan untuk membeda-bedakan harkat dan martabat manusia. Pura Klotok adalah tempat memohon Tirtha Amerta Kamandalu (air suci kehidupan) sebagai puncak dari prosesi ritual melasti. Hal itulah sebagai simbol yang melukiskan jalannya kehidupan untuk mencapai Kentel Gumi atau tegaknya kehidupan. Itulah warisan zaman Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi.

Dalam Lontar Purana Pura Agung Kental Gumi diceritrakan perjalanan seorang raja dari Tegal Suci Mekah menuju Bali atau Bangsul. Sampai di Desa Tusan, Klungkung, Raja berkehendak mendirikan pemujaan. Salah seorang pengikut Raja bernama Arya Kenceng ditugaskan mewujudkan kehendak sang Raja. Untuk itu maka didirikanlah Meru Tumpang 11, Padmasana, Meru Tumpang 9 stana Batara Maha Dewa, Meru Tumpang 7 stana Batara Segara, Meru Tumpang 5 stana Batara di Batur, Meru Tumpeng 3 stana Batara Ulun Danu dan pelinggih Basundhari Dasa.

Adanya nama Arya Kenceng dalam Lontar Purana Pura Agung Kentel Gumi sebagai pengikut Raja sangat besar kemungkinannya peristiwa itu terjadi abad ke-14 Masehi saat ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Nama Arya Kenceng atau Arya Ken Jeng menurut Lontar Babad Tabanan adalah seorang kesatria dari Kauripan (Kediri, Jawa Timur) yang bersaudara dengan Arya Dharma, Arya Sentong, Arya Kuta Waringin, dan Arya Belog. Adanya nama tempat Tegal Suci Mekah kemungkinan nama Pulau Jawa pada abad ke-14 Masehi itu.

Jadi, Pura Kentel Gumi mungkin diperluas saat raja keturunan Raja Sri Kresna Kepakisan berkuasa di Bali. Setelah pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten berakhir atas ekspedisi Gajah Mada ke Bali maka yang memegang tampuk pemerintahan di Bali adalah keturunan Sri Kresna Kepakisan. Kekuasaan raja dari Jawa ini baru stabil atau kentel saat berpusat di Klungkung.

Pada mulanya pusat kerajaan di Samprangan, Gianyar terus pindah ke Gegel. Dari Gelgel lanjut pindah ke Semarapura atau Klungkung. Perpindahan pusat kerajaan ini menandakan keadaan kerajaan tidak stabil karena banyak gangguan. Setelah pusat kerajaan berada di Klungkung inilah keadaan kerajaan baru stabil artinya keadaan gumi Bali menjadi kentel. Kemungkinan istilah enteng gumine dalam bahasa Bali yang sangat populer sampai sekarang di Bali berasal dari zaman stabilnya keadaan Bali di abad ke-14 Masehi itu. Keadaan stabil itu mungkin baru dapat diwujudkan setelah adanya perhatian pada Pura Agung Kentel Gumi yang memang sudah ada sejak zaman Mpu Kuturan.

Pura Kentel Gumi ini di bagian jeroan pura ada tiga kelompok pura. Ada kelompok Pura Agung Kentel Gumi, kelompok Pura Maspahit, dan kelompok Pura Masceti.

Seluruh kelompok pura inilah yang disebut Pura Agung Kentel Gumi. Pada kelompok Pura Kentel Gumi ini pelinggih yang paling utama adalah Meru Tumpang 11 sebagai stana Batara Sakti Kentel Gumi yaitu Tuhan yang dipuja sebagai pemberi stabilitas kerajaan dalam arti luas. Pelinggih Pesamuan Agung berbentuk Meru Tumpang 11 sebagai pesamuan Batara di sebelah pura di Pura Agung Kentel Gumi. Balai Mudra Manik sebagai tempat untuk menstanakan pralingga dari sebelah pura di sekitar Pura Agung Kentel Gumi. Ada pelinggih Sanggar Agung Rong Telu stana Mpu Tri Bhuwana yaitu pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa. Ada pelinggih Manjangan Saluwang sebagai stana rohani Mpu Kuturan. Ada pelinggih Catur Muka sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Di kelompok Pura Kentel Gumi ini ada berbagai pelinggih pesimpangan. Ada Pesimpangan Jambu Dwipa sebagai pelinggih Batara Maspahit. Pesimpangan Batara Ulun Danu, Batara di Batur.

Ada pesimpangan Batara Gunung Agung berbentuk pelinggih Meru Tumpang 9. Pesimpangan Ratu Segara dan banyak lagi pesimpangan sebagaimana layaknya Pura Kahyangan Jagat umumnya. Pada kelompok Pura Maspahit ada pelinggih Gedong Bata dengan arca manjangan untuk mengingatkan kedatangan Mpu Kuturan ke Bali.

Selebihnya sebagai pelinggih pesimpangan. Demikian juga kelompok Pura Masceti ada Pesimpangan Dewa Sadha Siwa dan Siwa, Gunung Agung, Batara Segara dan Ngerurah dan Kemulan Bumi. Upacara Piodalannya setiap Weraspati Manis Wuku Dungulan atau Umanis Galungan.

* Ketut Gobyah

sumber: BaliPost
 
Pura Penataran Sasih

Santi sakanyaranyesu andyasca vimaladakah candrah
samanyadipo'yam vibhavaih kin prayojananam.
(Sarasamuscaya.52)

Maksudnya:
Ingat perbanyak tumbuh-tumbuhan di hutan sebagai bahan makanan dan obat. Lindungi sungai-sungai dengan airnya yang jernih. Adapun yang merupakan penerangan adalah bulan (sasih). Sebenarnya tidak ada gunanya mati-matian mengejar kekayaan duniawi, karena mungkin agak terlambat dan membuang-buang waktu saja.

PURA Penataran Sasih yang terletak di tengah-tengah Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar sangat terkenal sebagai pura tempat jatuhnya bulan dari langit. Hal ini disebabkan di pura ini terdapat sebuah nekara yang oleh para ahli disebut nekara terbesar di Indonesia. Nekara inilah yang diduga bulan jatuh di Desa Pejeng. Nekara ini diletakkan di sebuah pelinggih yang disebut Ratu Sasih. Nekara ini mungkin suatu sarana upacara untuk memohon hujan agar hutan-hutan menjadi rindang menumbuhkan tanaman bahan makanan dan obatan-obatan, sungai mengalirkan air yang jernih dan adanya bulan bersinar sejuk merupakan panorama alam yang indah dan memukau.

Karena ada nekara di Pura Penataran Sasih inilah pura tersebut diberi nama Pura Penataran Sasih. Pura ini diduga berada jauh sebelum ada pengaruh Hindu masuk ke Bali. Karena nekara perunggu tersebut menurut ahli ilmu purbakala Von Heine Geldern yang dikutip oleh Prof. I Gst. Gede Ardana dalam bukunya ''Penuntun ke Objek-objek Purbakala'' menyatakan bahwa nekara itu merupakan kebudayaan Donson dari Vietnam Utara. Keberadaan kebudayaan Donson itu berasal dari tahun 300 S.M.

Ini artinya tempat pemujaan yang bernama Pura Penataran Sasih ini kemungkinan sudah ada sebelum datangnya pengaruh Hindu ke Bali. Setelah datangnya pengaruh Hindu ke Bali barulah pura itu secara bertahap diperluas menurut konsep pemujaan Hindu oleh penguasa dan masyarakat Bali yang beragama Hindu saat itu. Yang sangat menarik dengan keberadaan nekara tersebut adalah fungsinya sebagai sarana pemujaan agar alam ini senantiasa menjatuhkan hujan menurut musimnya.

Nekara inilah sebagai gendrang upacara yang dipukul dengan aturan religius sebagai sarana pemujaan agar hujan jatuh pada musimnya yang tepat. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan hiasan nekara dengan adanya binatang dan mata hari dengan delapan sinar. Di samping itu hiasan nekara ada motif lajur-lajur lingkaran terpusat. Pada badan nekara terdapat gambar delapan kepala orang yang lonjong bentuknya dan penempatannya sepasang menghadap ke delapan arah. Karena dalam kitab suci Hindu pun keberadaan hujan sebagai sumber alam yang paling utama untuk memelihara hutan, sumber-sumber air yang dipadukan dengan unsur-unsur alam lainnya seperti bulan menjadi suatu panorama yang dapat memberikan kesejukan pada kehidupan yang amat kental nuansa agrarisnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, A.J. Bernet Kempers menyatakan bahwa Pura Penataran Sasih ini menjadi pura penataran sebagai pusat kerajaan di Bali yang berstana di Pejeng. Sedangkan sebagai pura gunungnya adalah Pura Puncak Penulisan di Kintamani. Dalam ajaran Hindu diharapkan adanya perpaduan antara unsur kejiwaan yang disebut Purusa dengan unsur kebendaan yang disebut Pradana.

Perpaduan dua unsur ciptaan Tuhan itu akan mendatangkan kesuburan dan kemakmuran. Pemujaan Tuhan di Pura Puncak untuk memohon penguatan kejiwaan atau spiritualisme untuk membangun kesadaran rohani, sedangkan di Pura Penataran untuk memohon motivasi penataan unsur-unsur meteri dari alam ini. Dua unsur itulah harus terpadu dalam membangun kehidupan yang sejatera lahir batin. Hal itu menjadi swadharma para pemimpin dan rakyatnya.

Di Pura Penataran Sasih ini terdapat beberapa peninggalan purbakala, baik yang berasal dari tahun 300 SM maupun pada abad X Masehi dan pada abad XIV Masehi. Nekara yang disebut oleh masyarakat sebagai ''bulan Pejeng'' itu peninggalan purbakala tahun 300 SM. Sedangkan berdasarkan pecahan prasasti yang dijumpai di Pura Penataran Sasih sudah ada pada abad X Masehi. Hal ini didasarkan pada huruf Kawi dan bahasa Sansekerta yang digunakan oleh prasasti tersebut.

Di Pura Penataran Sasih ini terdapat arca Batara Guru yang disimpan di sebuah pelinggih gedong dengan dua pintu. Pada ruang sebelah utara inilah distanakan dua arca perwujudan sebagai stana Batara Guru. Salah satu arca ini menggunakan Candrasangkala yang berbunyi ''Krta rasa tinggaling wong''. Candrasangkala ini menunjukkan angka tahun Saka 1264 atau 1343 Masehi. Pada tahun ini datang serangan Gajah Mada ke Bali.

Sementara di ruang selatan terdapat dua buah arca perwujudan sebagai stana Batara Iswara. Di samping itu ada arca Catur Kaya yaitu arca dengan empat muka menghadap ke semua arah. Arca ini menggunakan atribut Tri Netra lambang Siwa. Salah satu tangannya membawa Pustaka atribut Dewa Brahma. Tangan yang lain membawa Sangka sebagai atribut Dewa Wisnu. Arca Catur Kaya ini melambangkan Dewa Tri Murti.

Pura ini pernah juga mengalami kerusakan tahun 1963 saat Gunung Agung meletus. Karena kerusakan itu tahun 1966 kembali pura ini dipugar yang ditandai dengan suatu kronogram dengan simbol matahari dau gajah mengapit naga. Kronogram ini menandakan angka tahun Saka 1888, atau tahun 1966 Masehi.

Di Pura Penataran Sasih terdapat beberapa pelinggih pesimpangan di pojok paling timur laut terdapat pelinggih Trenggana. Di selatannya agak ke barat ada Padmasana. Di selatan Padmasana inilah ditempatkan Gedong Pelinggih Ratu Penataran Sasih. Di selatannya ada bangunan balai pesamuan. Di selatannya lagi Gendong Swara.

Di leretan tembok di selatannya terdapat pelinggih Gedong Pesimpangan Batara Brahma. Ada Pelinggih Pesimpangan Batara Gana, Batara Wisnu dan Batara Mahadewa. Di barat pesimpangan Batara Brahma terdapat pelinggih yang disebut Bale Paselang. Di Bale Paselang inilah tempat melangsungkan upacara Padanaan atau upacara Mapeselang. Upacara ini melambangkan bertemu baktinya umat dengan waranugraha atau swecan Ida Batara.

Upacara ini umumnya dilangsungkan sebagai puncak upacara pujawali. Upacara piodalan atau pujawali Ida Batara di Pura Penataran Sasih dilangsungkan pada Hari Manis Kuningan. Sedangkan Ngusaba Purnama Kesanga.

* I Ketut Gobyah
source: BP
 
wahwahwahwah...

terima kasih sebesar-besarnya buat sodara goesdun atas info yg sgt berharga ini...
jadi gak susah nyari2 info tentang pura...
 
Pura Miru di Cakranegara, Lombok

Upaya Menjaga Kesucian dan Kelestarian

Di Pulau Lombok, khususnya bagian barat, akan banyak dijumpai arsitektur bercorak Bali tradisional, yang (konon) merupakan peninggalan dari kerajaan Karangasem, atau kerajaan Hindu yang ada di Lombok pada zaman dulu. Salah satunya adalah Pura Miru. Pura di kecamatan Cakranegara, Mataram, Lombok Barat ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 1744. Saat itu didirikan dengan maksud untuk mempertebal rasa persatuan, sebagai tempat pemujaan dan pemersatu seluruh keluarga kerajaan, umumnya bagi masyarakat Hindu yang berada di Lombok. Kini, pura ini merupakan salah satu tempat pemujaan atau persembahyangan bagi seluruh umat Hindu dimana pun, bukan hanya di Lombok. Bagaimana ungkapan arsitektural pura ini?
meru.JPG


TAPAK (site) Pura Miru memanjang arah Timur Barat. Terbagi atas empat bagian peruntukan (mandala), secara berurut yaitu utama, madya, nista, dan legar mandala. Antara mandala yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan ketinggian tanah yang dibatasi oleh tembok penyengker, sesuai dengan makna tingkat kesuciannya. Utama mandala berada pada posisi yang paling tinggi, disusul kemudian makin rendah dari madya, nista, sampai legar mandala.

Pada halaman legar mandala terdapat bale kulkul dan candi bentar yang berada di sisi kanannya. Area nista-nya memiliki sejenis peletasan yang berada di sisi dinding tembok sebelah utara. Sebelum memasuki areal madya, pada as tembok pembatas antar-halaman terdapat gelung kori, yang di sisi kiri kanannya -- dekat paduraksa tembok samping -- terdapat pamedal alit, dengan sebuah patung raksasa. Padahalam madya mandala ini hanya berjejer dua buah gugus masa bangunan-disebut bale petandakan, bertiang delapan. Di sekitarnya terdapat beberapa pohon cempaka dan kamboja. Menuju ke area utama mandala mesti melalui kori agung yang berada pada as tembok pembatas, yang di sebelah kiri-kanannya juga memiliki pamedal alit. Di halaman yang paling utama ini berjejer tiga buah bangunan meru. Satu buah bertumpang sebelas, linggih Ida Batara Gunung Rinjani berdiri di tengah, dua buah bertumpang sembilan masing-masing linggih Ida Batara Gunung Semeru (di sisi kanan) dan linggih Ida Batara Gunung Agung (di sisi kiri). Meru tumpang sebelas beratap ijuk, dan di ruang-ruang di setiap tumpang terbuat dari bahan kayu. Di sebelah kiri-kanannya (meru bertumpang sembilan) menggunakan bahan genteng, yang pada listplank-nya menggunakan ring-ring.

Susunan meru -- serupa yang ada di Bali -- terdiri atas bagian kepala (atap bertumpang), bagian badan (ruang pemujaan), dan segmen kaki (bebaturan). Sistem konstruksi tumpang atap bertumpu pada titi mahmah (penunjang tiang tumpang yang ada di atasnya), yang bentuknya mengecil makin ke atas, sudut-sudut atapnya berbentuk limas terpancung. Kemudian atap di puncak berpusat satu dalam ikatan petaka, didekap murdha sebagai puncak penutupnya.

Di hadapan meru berdiri tiga buah pesimpangan yakni Astapaka, pengrurah, dan Gunung Agung. Ketiganya tidak beratap, bentuk menyerupai bangunan padma dengan bebaturan berbentuk segi empat panjang. Pesimpangan yang paling kecil berada di tengah-tengahnya. Di depan ketiga pesimpangan ini terdapat sebuah sumur berdiameter sekitar satu meter, memiliki dua pilar dan sebuah balok yang bertumpu pada kedua pilar tadi. Di sebelah sumur tadi terletak bale payuman (tempat banten) bertiang delapan. Bangunan ini beratap genteng, berdekatan dengan bale pawedan bertiang empat yang juga beratap genteng. Kemudian, di sebelah selatannya terdapat bale tenget bertiang enam.

Hampir sepanjang tembok sisi kanan dan belakang dalam area utama mandala, berdiri jejeran sanggar atau pesimpangan dari Ida Batara yang malinggih di Bali. Semua bangunan yang disebut sanggar ini merupakan gugus bangunan kecil bertiang enam terbuat dari kayu dicat putih beratap ijuk. Keseluruhan berjumlah 29 buah -- 13 buah sepanjang sisi kanan dan 16 buah di sisi belakang.

Dilakukaan Pemugaran
Pura Miru ini memiliki ukuran tapak dengan panjang sekitar 174 meter dengan lebar sekitar 51 meter. Atau memiliki luas sekitar 8.873 m2 (88,73 are). Pada 1979 sempat dilakukan pemugaran, khususnya pada candi bentar dan bale kulkul yang memberi petunjuk (sepertinya) bentuk dan ragam hiasnya sudah mendapat pengaruh dari motif pepalihan dan ukiran dari Bali Selatan. Adanya pemugaran ini juga sedikit mengubah konsep arah masuk utama dari luar pura. Yang pada mulanya posisi candi bentar berada pada sumbu simetri yang sama dengan aksis gelung kori dan kori agung. Begitu pula kedudukan bale kulkul yang sekarang dibangun pada sudut barat laut halaman terluar pura. Sebelumnya berdiri di sudut barat laut halaman ketiga (nista mandala).


Pada kori agung yang terdapat pada tembok pembatas di dalam pura -- antara utama mandala dan madya mandala -- ini, hampir tak memiliki ragam hias, baik pada gidat, pengawak, maupun sipah, kecuali memiliki subeng berukuran kecil di kiri kanan dan bentala berukir di bubungan atapnya. Bahan bakunya seluruhnya dari bata pripihan merah (bata gosok), bentuk dan tampilannya terlihat masih sangat asli. Di depan kori, pada apit lawang, berdiri sepasang patung Subali dan Sugriwa. Pada sisi kiri dan kanan terdapat pamedal alit (pintu samping) sebagai area sirkulasi bagi pemedek atau umat yang akan tangkil bersembahyang, yang masing-masing memiliki sebuah apit lawang berpatung raksasa.

Jalan masuk ke kori agung ini tidak memiliki undag (anak tangga), tetapi hanya berupa ramp (kemiringan) naik sekitar 20 derajat menuju lubang pintu, berupa jalan setapak berlapis pasangan batu kali yang dibingkai dengan semen bercat putih, diteruskan dengan jalan setapak di depannya yang terbuat dari beton cetak. Bentuk lawang-nya masih orisinal, sebagaimana yang dijumpai pada kebanyakan pura di Bali -- pada lawang kerap ditemukan ulap-ulap, gegayoran (petitis), gabag-gabagan (obag-obag) atau daun pintu, adeg-adeg (bagian kusen yang menempel langsung pada pengawak kori), dan dange-dange (dedange).


Tembok panyengker pada area utama mandala dan madya mandala pura relatif tebal (sekitar 45 cm) dan tinggi (berkisar 260-270 cm) dari muka tanah. Seluruhnya terbuat dari bahan bata gosok merah, bercorak polos, tanpa hiasan atau pepalihan. Hanya pada bagian atas tembok dari susunan bata gosok yang menonjol dan memanjang mengikuti panjang tembok.

Pura Miru ini, sebagian besar masih menunjukkan keasliannya, baik dari segi bentuk, struktur, dan material yang digunakan. Namun di sisi lain ada terlihat sedikit kejanggalan dari penempatan beberapa elemen pelengkap pura, antara lain sbb.;

1. Wujud tampilan sebuah sumur di halaman pura paling dalam (utama mandala) terasa agak mengganggu. Sepatutnya (jika titik sumur memang harus di sana kedudukkannya) perlu didesain bentuknya sedemikian rupa, sehingga bisa menunjang suasana dan kesakralan pura. Agaknya, ini baik jika dilihat dari sudut pandang mata, kesan, maupun citra penampilan. Bukan dengan bentuk dan tampilan seperti yang ada sekarang. Perlu ada alternatif bentuk lain agar tampilannya lebih spesifik dan menunjang "atmosfir" kesucian pura. Kiranya lebih harmonis jika dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami. Termasuk penyelesaian perkerasan sumur yang berbentuk melingkar, sebaiknya dilapisi dengan batu-batu pipih, atau bahan alami lainnya.

2. Posisi candi bentar dengan skala cukup besar menghadap ke utara yang sekarang ada di sisi kanan pura, sepertinya bergeser dari posisi sumbu simetri pura (sebagai konsep pura pada awalnya dulu). Candi bentar ini kini berada di sisi utara area legar mandala. Sehingga aksis (sumbu) simetri secara utuh tak tampak lagi. Ihwal ini kiranya sedikit mempengaruhi makna keseimbangan penataan pura secara keseluruhan.

3. Tidak adanya tembok pembatas antara area nista dan legar mandala menyebabkan kurang adanya view yang baik bagi pemedek yang tangkil ke pura, khususnya ditinjau dari pandangan mata ke arah area legar mandala, dimana pada zona terluar ini berdiri dua unit bangunan hunian semi permanen.

4. Lansekap pura perlu ditata lebih apik, melengkapinya dengan jenis tanaman penunjang keperluan upacara, misalnya dengan menambahkan lebih banyak lagi pohon cempaka dan kamboja serta jenis tanaman hias lainnya. Hal ini dapat lebih memberikan kenyamanan, suasana khusuk, keteduhan, keheningan dan kedamaian.

Alhasil, pura sebagai tempat suci atau peribadatan warga Hindu, perlu dijaga dan dirawat kelestariannya. Pura Miru ini, selain merupakan salah satu peninggalan bangunan peribadatan yang bersejarah, juga bermakna sebagai salah satu wadah pemersatu dan tempat melakukan sembah sujud bakti ke hadapan Ida Batara-Batari, para Dewa-Dewi dan Sang Maha Pencipta.
* I Nyoman Gde Suardana
source: BP

 
Pura Pucak Bukit Sinunggal



Pucak Bukit Sinunggal merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan yang ada di Bali Utara. Pura ini terletak di Desa Tajun, Kubutambahan.

Menurut sejarahnya yang dalam buku "Pura Bukit Tunggal Dalam Prasasti" disusun Ketut Ginarsa, Balai Penelitian Bahasa, Singaraja, 1979, sebelum tahun 914 Masehi pura ini menjadi milik raja yang dipuja masyarakat Bali Utara pada zaman itu.

Apa dan bagaimana sejarah berdirinya Pura Pucak Bukit Sinunggal itu?

Berdasarkan prasasti Raja Sri Kesari Warmadewa tertanggal 19 Agustus 914, Pura Gunung Sinunggal yang dahulu disebut Hyang Bukit Tunggal terdapat di Desa Air Tabar, daerah Indrapura. Desa Indrapura kini disebut Desa Depaa. Sedangkan yang memelihara Pura Bukit Tunggal itu adalah Desa Air Tabar. Di desa itu terdapat tokoh-tokoh masing-masing Mpu Danghyang Agenisarma, Sri Naga, Bajra dan Tri.

Keempat tokoh masyarakat itu berpangkat Ser Tunggalan, Lampuran. Mereka bertugas mempersatukan masyarakat desa serta melaporkan keadaan dan peristiwa yang terdapat di Desa Air Tabar dan sekitar Pura Bukit Tunggal kepada Sri Paduka Raja Kesari Warmadewa di Istana Singhamandawa. Pada saat itu Istana Singhamandawa terletak di antara Desa Bedulu dan Desa Pejeng sekarang.

Sesuai peraturan adat zaman dulu, letak desa pengemong ada di sebelah utara Pura Bukit Tunggal itu. Seperti halnya desa kecil lainnya yang masuk dalam wilayah Desa Julah, Desa Air Tabar juga sering didatangi perampok. Untuk menjaga keamanan, masyarakat desa itu berpindah tempat menuju ke selatan Pura Bukit Tunggal. Di sana mereka membangun desa baru yang disebut Desa Tanjung. Lama-kelamaan menjadi Desa Tajun atau Tetajun.

Pemangku Pura Pucak Bukit Sinunggal Jro Gede Made Kerta, Selasa (18/4) kemarin mengatakan, para pemedek yang ingin tangkil ke pura ini harus membersihkan diri di Beji Pura Air Tabar, lanjut ke Pura Dasar Bhuwana, tempat melinggih-nya Batara Siwa Budha, barulah ke Pura Bukit Sinunggal. Di Bukit Sinunggal terdapat sejumlah pelinggih. Mulai dari bawah, terdapat Pelinggih Ratu Bagus Manik Ulap (Ampu Lawang) dan di jaba ada Ganapati.

Sementara di jeroan terdapat pelinggih utama Meru Tumpang Pitu lingih Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina. Di meru itu terdapat pula patung Batara Ganesa, dan pelinggih Ida Sang Hyang Pasupati. Di sebelah barat meru ini terdapat linggih Ratu Ayu Melanting dan Ratu Gede Dalem Peed (Ratu Bagus Macaling). Di sebelah timur terdapat jejeran tujuh pelinggih yang merupakan pengayatan Sapta Dewata, terdiri atas Ratu Lempuyang, Besakih, Danu Batur, Andakasa, Batukaru, Manik Gumawang dan Ratu Puncak Mangu dan terdapat pula patung ke jurusan Segara Majapahit.

Menurut sejarah, Ratu Batara Lingsir Pucak Bukit Sinunggal Ratu Manik Astagina sudah ada sejak abad ke-5. Beliau datang dari Gunung Himalaya, India diiringi Batara Ganesa. Karena itu Ganesa terdapat di dalam pelinggih utama di Meru Tumpang Pitu (7) itu.

Mengenai keberadaan Ganesa di pura ini, Ida Pandita Mpu Nabe Ketek Dwipayogi dari Gria Pana Santya Muni, Desa Tajun mengatakan Pura Bukit Sinunggal adalah stana Ganesa. Ada keyakinan bahwa Ganesa adalah pelindung manusia. "Banyak orang yang diselamatkan dengan cara mapinunas," ujarnya.

Sementara itu, piodalan di Pura Bukit Sinunggal jatuh pada Purnamaning Kapat atau saat bulan Oktober. Pada piodalan itu Ida Batara nyejer selama 7 hari. Saat piodalan ribuan pemedek tangkil dari berbagai daerah. Pura ini disungsung 11 desa masing-masing Tajun, Tunjung, Depaa, Tamblang, Sembiran, Pacung, Bangkah, Tangkid, Kelampuak, Bulian dan Tegal. Kaul Ki Barak Panji Sakti

Ada satu hal menarik terkait dengan keberadaan Pura Bukit Sinunggal. Di pura ini pendiri kota Singaraja, Ki Barak Panji Sakti, pernah mengucapkan kaul. Kisahnya dimulai saat Panji Sakti hendak menyerang Blambangan pada abad ke-10. Ketika itu, menurut sejarah, dalam perjalanan menuju Blambangan, Panji Sakti kehilangan arah di lautan dan tidak melihat apa pun. Dalam kepanikan itulah ia memohon kepada Ida Batara Lingsir Manik Astagina Bukit Sinunggal agar diberi petunjuk jalan agar tidak tersesat. Untuk itu dia berkaul akan mengaturkan 6 ekor kerbau.

Benar saja, sejurus kemudian muncul cahaya yang menuntun Panji Sakti sehingga sampai ke tujuan dengan selamat dan memperoleh kemenangan. "Tetapi hingga saat ini Pemkab Buleleng baru membayar kaul 1 ekor kerbau. Sementara Bangli juga sudah membayar kaul sebanyak 6 ekor kerbau," jelasnya.

Selain itu, Pura Bukit Sinunggal juga sering disebut "Besakih"-nya Buleleng lantaran semua pelinggih yang ada di Besakih terdapat pula di pura ini. Menurut Jro Mangku, hal tersebut dikarenakan alasan teknis. Pada zaman dulu karena kesulitan kendaraan, masyarakat Bali Utara menemui hambatan bila hendak menuju Pura Besakih. Padahal mereka harus melaksanakan upacara meajar-ajar usai upacara ngaben ke Pura Besakih, Karangasem. Untuk mengatasi kesulitan perjalanan itu, dibuatkanlah pelinggih seperti di Besakih agar warga Bali Utara bisa menuntaskan upacaranya di Tajun saja.

source : BP
 
Pura Peti Tenget

dps50.gif

Mendengar nama Pura Peti Tenget, kita membayangkan sebuah pura yang terdapat sebuah peti yang keramatgker. Kata "Tenget" berarti angker. Pura ini terletak di desa Kerobokan, kabupaten Badung, Bali, sekitar 10 km arah Barat Daya kota Denpasar. Terletak di tepi pantai Peti Tenget (yang oleh penduduk sekitar sering juga disebut pantai Petitengan) yang indah dan tidak seramai pantai Kuta. Dari pantai ini kita bisa melihat para turis di pantai Kuta di arah Selatan.

Sejarah Pura ini dimulai sekitar abad XV, setelah Dang Hyang Dwijendra meninggalkan pulau Serangan bersama Ida Bhatara yang berstana di Labuhan Masceti, akhirnya beliau sampai di desa Kerobokan dan melihat bayangan hitam yang bersembunyi di semak-semak. Beliau memanggil dengan tenang ternyata bayangan itu adalah I Bhuta Ijo, anak buah Ida Bhatara Labuhan Masceti.

Sebelum meninggalkan desa Kerobokan menuju ke bukit Selatan, beliau menitipkan sebuah peti tempat sirih (pecanangan) kepada Bhuta Ijo dan meminta agar menjaga peti tersebut. Kemudian Beliau melanjutkan perjalanan ke Anjungan Bukit Selatan. Kmudian datang orang dari desa Kerobokan yang menyampaikan bahwa ada tanah tegalan yang "Tenget" (angker) karena setiap ada yang berani masuk ke tanah tegalan tersebut akan mengalami sakit. Bahkan di sekitar tanah tersebut pun terasa menakutkan. Pedanda Wawu rauh mengatakan bahwa yang menyebabkan tanah tersebut angker karena disana tinggal Maya Siluman yang bernama I Bhuta Ijo. Beliau sendiri yang memberi kesaktian kepada Bhuta Ijo untuk menjaga peti sirih beliau. Untuk mengatasi masalah itu, dibuatkan Palinggih Pasimpangan (bangunan suci) untuk sthana Ida Bhatara Labuhan Masceti, dan pagedongan untuk stana I Bhuta Ijo. Juga agar diberikan suguhan nasi sasahan, berisi jeroan, darah babi, tuwak dan arak yang diberikan sore hari. Akhirnya pura tersebut diberi nama Pura Peti Tenget. Warga desa Kerobokan sebagai warga utama dari pura ini.

Pura ini dibangun di sebidang tanah yang lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya. Di sebelah Barat pura terbentang pantai Peti Tenget yang indah. Pada Hari Melasti/Mekiyis, pantai ini merupakan tempat untuk Melis bagi warga desa adat Kerobokan, Padangsambian serta Dalung. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, di sekitar pura ini masih dipenuhi oleh banyak pepohonan besar dan persawahan. Saat ini, sangat dekat di sebelah Selatan pura ini telah dibangun sebuah hotel.

Upacara Piodalan di Pura Petitenget jatuh pada hari Rabu, Wage, wuku Merakih yang kali ini jatuh pada tgl 8 Januari 2003. Piodalan ini datangnya setiap 6 bulan (210 hari) sekali menurut perhitungan kalender Bali. * Ketut Adi / ILB
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.