goesdun
IndoForum Junior A
- No. Urut
- 32661
- Sejak
- 7 Feb 2008
- Pesan
- 3.022
- Nilai reaksi
- 66
- Poin
- 48
Pura Gunung Kawi dan Raja Udayana
Maksudnya:
Supaya pendapatan negara yang diperoleh dari kerajaan, dikumpulkan oleh pejabat kepercayaan dan digunakan mengikuti aturan kitab suci dalam memberikan kesejahteraan yang adil pada rakyat seperti seorang ayah kepada putra.
RAJA bagaikan seorang ayah mengayomi kehidupan rakyatnya mendapatkan rasa aman dan kesejahteraan secara adil akan dihormati oleh rakyatnya sampai sang raja menjadi roh suci atau Dewa Pitara. Penghormatan pemimpin bagaikan menghormati ayah kandung seperti itu karena rakyat benar-benar merasa mendapatkan perlindungan dari pemimpinnya seperti anak mendapatkan perlindungan dari ayahnya sendiri.
Demikianlah Raja Udayana dihormati oleh rakyatnya di Pura Gunung Kawi. Pura ini merupakan Pura Padharman dari Raja Udayana. Artinya, pura ini untuk menstanakan roh suci atau Dewa Pitara keluarga Raja Udayana. Mengapa pura ini disebut Gunung Kawi. Karena yang dikawi atau yang diukir adalah lereng gunung di Sungai Pakerisan.
Kata ''kawi'' berarti mengarang kalau kata-kata bijak yang dirangkai menjadi syair yang indah dan penuh makna. Kalau lereng bukit yang dikawi maka kata ''kawi'' itu berarti mengukir. Konon yang mengukir lereng bukit Sungai Pakerisan itu menjadi candi adalah Kebo Iwa, tokoh ahli bangunan atau arsitek pada zaman pemerintahan keluarga Raja Udayana. Kebo Iwa membuat ukiran candi sampai menjadi Pura Gunung Kawi dengan menggunakan kukunya. Demikian dinyatakan dalam buku hasil sejarah penelitian pura oleh IHD (sekarang Unhi).
Proses menstanakan roh suci atau Dewa Pitara itu dalam kitab Negara Kertagama disebut Dinarma atau Dharmakan. Dalam Lontar Purwa Bumi Kamulan disebut Ngalinggihang Dewa Pitara. Menstanakan Dewa Pitara ini sebagai sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena dalam Sarasamuscaya 250 dinyatakan bahwa orang yang sungguh-sungguh berbakti pada leluhurnya dijanjikan empat pahala mulia. Empat pahala itu adalah Kirti (sejahtra). Bala (kuat fisik), Yusa (umur panjang) dan Yasa (dapat berbuat jasa dalam hidup ini).
Raja Udayana adalah raja dari Wamsa Warmadewa. Raja ini memerintah Bali bersama dengan permaisurinya bernama Mahendradata dengan gelar Gunapriya Dharma Patni yang berasal dari Jawa Timur. Sejak pemerintahan suami-istri pada abad XI ini prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja di Bali tidak lagi hanya menggunakan bahasa Bali, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Ini artinya pengaruh Hindu Jawa telah masuk ke Bali. Kesusastraan Hindu Jawa pun mulai semakin kuat mempengaruhi kesusastraan Bali.
Sejak itulah secara pelan-pelan penduduk Hindu di Bali mengenal yang namanya ''sekar alit, sekar madia dan sekar agung''. Kesusastraan Jawa Kuna dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata mulai masuk lebih intensif dari Jawa ke Bali. Demikian pula istilah pura masuk dan digunakan di Bali meskipun saat itu belum digunakan untuk menamakan tempat suci.
Istilah pura saat itu baru digunakan untuk menyebutkan ibu kota kerajaan. Karena itu ada sebutan Linggarsa Pura, Sweca Pura dan Smara Pura. Pada abad ke-16 Masehi istilah pura baru digunakan sebagai sebutan tempat pemujaan. Sejak itulah baru ada istilah Pura Kahyangan untuk menyebutkan tempat pemujaan Hindu.
Pura Gunung Kawi dalam wujud candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Marakata, putra Raja Udayana, yaitu Prasasti Songan Tambahan dinyatakan: Sang Hyang Katyagan ing Pakerisan mengaran ring ambarawati. Kemungkinan nama itu adalah nama Candi Pura Gunung Kawi saat itu. Sedangkan nama Gunung Kawi mungkin muncul belakangan.
Pura Candi Gunung Kawi dibagi menjadi empat kelompok. Ada kelompok lima candi dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan. Kelima candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada tulisan yang berbunyi ''haji lumah ing jalu''. Kemungkinan candi yang paling utara untuk stana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang lain-lainnya adalah stana anak-anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu serta permaisurinya.
Di pintu masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan ''rwa anakira''. Artinya, dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk stana putra Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu.
Sementara di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat empat kelompok candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari utara keselatan menghadap ke timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah sebagai padharman empat permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi terletak di tebing barat daya Sungai Pakerisan.
Di candi itu ada tulisan dengan bunyi ''rakryan''. Kemungkinan candi ini sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan raja. Karena itulah diletakkan di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi kelompok lima terdapat wihara berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana dengan permaisurinya berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih menekankan pada ke-Budha-an, sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih menekankan pada sistem kerohanian Siwa. Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu di Bali disebut Agama Siwa Budha.
Keberadaan Pura Candi Gunung Kawi ini yang menempatkan dua sistem keagamaan Hindu yaitu sistem Siwa dan sistem Budha sebagai suatu hal yang sangat baik untuk direnungkan demi kemajuan beragama Hindu ke depan. Di samping itu Raja Udayana sangat menerima baik adanya unsur luar yang positif untuk menguatkan budaya Bali saat itu. Seandainya Raja Udayana saat itu menolak apa yang datang dari luar Bali tentunya umat Hindu di Bali tidak mengenal kesusastraan Hindu seperti sekarang ini.
Misalnya ada berbagai jenis karya sastra Parwa dan Kekawin dalam bahasa Jawa Kuno dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya sastra Jawa Kuno ini amat besar jasanya dalam memperkaya kebudayaan Hindu di Bali sehingga Bali memiliki kebudayaan yang sangat tinggi sampai sekarang. Semua unsur itu dipadukan dengan budaya Bali yang telah ada sebelumnya. Demikianlah bijaknya Raja Udayana pada zaman dahulu. * I Ketut Gobyah
source : BaliPost
Samwatsarikamaptaisca
rastra daharayebhalim
syaccamnayaparoloko
warteta pitrivanrsu.
(Manawa Dharmasastra.VII.80).
rastra daharayebhalim
syaccamnayaparoloko
warteta pitrivanrsu.
(Manawa Dharmasastra.VII.80).
Supaya pendapatan negara yang diperoleh dari kerajaan, dikumpulkan oleh pejabat kepercayaan dan digunakan mengikuti aturan kitab suci dalam memberikan kesejahteraan yang adil pada rakyat seperti seorang ayah kepada putra.
RAJA bagaikan seorang ayah mengayomi kehidupan rakyatnya mendapatkan rasa aman dan kesejahteraan secara adil akan dihormati oleh rakyatnya sampai sang raja menjadi roh suci atau Dewa Pitara. Penghormatan pemimpin bagaikan menghormati ayah kandung seperti itu karena rakyat benar-benar merasa mendapatkan perlindungan dari pemimpinnya seperti anak mendapatkan perlindungan dari ayahnya sendiri.
Demikianlah Raja Udayana dihormati oleh rakyatnya di Pura Gunung Kawi. Pura ini merupakan Pura Padharman dari Raja Udayana. Artinya, pura ini untuk menstanakan roh suci atau Dewa Pitara keluarga Raja Udayana. Mengapa pura ini disebut Gunung Kawi. Karena yang dikawi atau yang diukir adalah lereng gunung di Sungai Pakerisan.
Kata ''kawi'' berarti mengarang kalau kata-kata bijak yang dirangkai menjadi syair yang indah dan penuh makna. Kalau lereng bukit yang dikawi maka kata ''kawi'' itu berarti mengukir. Konon yang mengukir lereng bukit Sungai Pakerisan itu menjadi candi adalah Kebo Iwa, tokoh ahli bangunan atau arsitek pada zaman pemerintahan keluarga Raja Udayana. Kebo Iwa membuat ukiran candi sampai menjadi Pura Gunung Kawi dengan menggunakan kukunya. Demikian dinyatakan dalam buku hasil sejarah penelitian pura oleh IHD (sekarang Unhi).
Proses menstanakan roh suci atau Dewa Pitara itu dalam kitab Negara Kertagama disebut Dinarma atau Dharmakan. Dalam Lontar Purwa Bumi Kamulan disebut Ngalinggihang Dewa Pitara. Menstanakan Dewa Pitara ini sebagai sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena dalam Sarasamuscaya 250 dinyatakan bahwa orang yang sungguh-sungguh berbakti pada leluhurnya dijanjikan empat pahala mulia. Empat pahala itu adalah Kirti (sejahtra). Bala (kuat fisik), Yusa (umur panjang) dan Yasa (dapat berbuat jasa dalam hidup ini).
Raja Udayana adalah raja dari Wamsa Warmadewa. Raja ini memerintah Bali bersama dengan permaisurinya bernama Mahendradata dengan gelar Gunapriya Dharma Patni yang berasal dari Jawa Timur. Sejak pemerintahan suami-istri pada abad XI ini prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja di Bali tidak lagi hanya menggunakan bahasa Bali, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Ini artinya pengaruh Hindu Jawa telah masuk ke Bali. Kesusastraan Hindu Jawa pun mulai semakin kuat mempengaruhi kesusastraan Bali.
Sejak itulah secara pelan-pelan penduduk Hindu di Bali mengenal yang namanya ''sekar alit, sekar madia dan sekar agung''. Kesusastraan Jawa Kuna dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata mulai masuk lebih intensif dari Jawa ke Bali. Demikian pula istilah pura masuk dan digunakan di Bali meskipun saat itu belum digunakan untuk menamakan tempat suci.
Istilah pura saat itu baru digunakan untuk menyebutkan ibu kota kerajaan. Karena itu ada sebutan Linggarsa Pura, Sweca Pura dan Smara Pura. Pada abad ke-16 Masehi istilah pura baru digunakan sebagai sebutan tempat pemujaan. Sejak itulah baru ada istilah Pura Kahyangan untuk menyebutkan tempat pemujaan Hindu.
Pura Gunung Kawi dalam wujud candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Marakata, putra Raja Udayana, yaitu Prasasti Songan Tambahan dinyatakan: Sang Hyang Katyagan ing Pakerisan mengaran ring ambarawati. Kemungkinan nama itu adalah nama Candi Pura Gunung Kawi saat itu. Sedangkan nama Gunung Kawi mungkin muncul belakangan.
Pura Candi Gunung Kawi dibagi menjadi empat kelompok. Ada kelompok lima candi dipahatkan di tebing timur Sungai Pakerisan berjejer dari utara ke selatan. Kelima candi ini menghadap ke barat. Pahatan candi yang paling utara ada tulisan yang berbunyi ''haji lumah ing jalu''. Kemungkinan candi yang paling utara untuk stana pemujaan roh suci Raja Udayana. Sedangkan yang lain-lainnya adalah stana anak-anak Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu serta permaisurinya.
Di pintu masuk candi sebelah selatan dari Candi Udayana ada tulisan ''rwa anakira''. Artinya, dua anak beliau. Candi inilah yang ditujukan untuk stana putra Raja Udayana yaitu Marakata dan Anak Wungsu.
Sementara di tebing barat Sungai Pakerisan terdapat empat kelompok candi yang dipahatkan di tebing Sungai Pakerisan itu berjejer dari utara keselatan menghadap ke timur. Menurut Dr. R. Goris, keempat candi ini adalah sebagai padharman empat permaisuri raja. Di samping itu ada satu pahatan candi lagi terletak di tebing barat daya Sungai Pakerisan.
Di candi itu ada tulisan dengan bunyi ''rakryan''. Kemungkinan candi ini sebagai padharman dari seorang patih kepercayaan raja. Karena itulah diletakkan di sebelah barat daya. Di sebelah selatan candi kelompok lima terdapat wihara berjejer sebagai sarana bertapa brata. Raja Udayana dengan permaisurinya berbeda sistem keagamaannya. Raja Udayana lebih menekankan pada ke-Budha-an, sedangkan Gunapriya Dharma Patni lebih menekankan pada sistem kerohanian Siwa. Hal inilah yang menyebabkan agama Hindu di Bali disebut Agama Siwa Budha.
Keberadaan Pura Candi Gunung Kawi ini yang menempatkan dua sistem keagamaan Hindu yaitu sistem Siwa dan sistem Budha sebagai suatu hal yang sangat baik untuk direnungkan demi kemajuan beragama Hindu ke depan. Di samping itu Raja Udayana sangat menerima baik adanya unsur luar yang positif untuk menguatkan budaya Bali saat itu. Seandainya Raja Udayana saat itu menolak apa yang datang dari luar Bali tentunya umat Hindu di Bali tidak mengenal kesusastraan Hindu seperti sekarang ini.
Misalnya ada berbagai jenis karya sastra Parwa dan Kekawin dalam bahasa Jawa Kuno dengan muatan cerita Ramayana dan Mahabharata. Karya sastra Jawa Kuno ini amat besar jasanya dalam memperkaya kebudayaan Hindu di Bali sehingga Bali memiliki kebudayaan yang sangat tinggi sampai sekarang. Semua unsur itu dipadukan dengan budaya Bali yang telah ada sebelumnya. Demikianlah bijaknya Raja Udayana pada zaman dahulu. * I Ketut Gobyah
source : BaliPost