• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

salut buat goesdun infonya sangat bermanfaat,
tapi maaf judul threadnya ga pas
klo boleh usul lebih tepAt judulnya, Pura dan Candi di Indonesia
klo Purana itu sudah identik dengan kelompok sastra weda smerti yang dikenal dengan 18 Mahapurana dan beberapa UpaPurana
 
salut buat goesdun infonya sangat bermanfaat,
tapi maaf judul threadnya ga pas
klo boleh usul lebih tepAt judulnya, Pura dan Candi di Indonesia
klo Purana itu sudah identik dengan kelompok sastra weda smerti yang dikenal dengan 18 Mahapurana dan beberapa UpaPurana

Terima kasih @sakradeve, sebenarnya saya sudah merubahnya tapi tetapi tampilanya tetap 'Purana'.
Untuk itu saya akan sampaikan ke @MOD untuk mengubahnya menjadi 'Pura dan Candi di Indonesia".
 
@gesdun
telah sy EDIT kan, semoga berkenan dan Forum Religi Hindu makin rame :)
 
@gesdun
telah sy EDIT kan, semoga berkenan dan Forum Religi Hindu makin rame :)

@effie
Terimakasih atas perhatian dan kerjasamanya.

@sakradeva
Usulan saudara sudah terpenuhi, sehingga maksud dan tujuan thread ini menjadi lebih jelas. Terima kasih.
 
@goesdun

goes (yang lain juga loo)..... klo ada waktu sharing ilmunya dong disini

*********

biar teman2 disana juga lebih banyak dapat pengetahuan, lagipula kan lebih banyak yang diajak tukar pikiran
thank's sebelumnya
 
Pura Segara Rupek

Menjaga Bali dari Segara Rupek

TAK banyak yang tahu, ujung terjauh Bali di bagian barat bukanlah di Gilimanuk, melainkan di Segara Rupek. Dalam peta Pulau Bali, lokasi Segara Rupek ini tepat berada di ujung hidung Pulau Bali. Ini termasuk wilayah Kabupaten Buleleng. Dari sinilah sesungguhnya jarak dekat antara Bali dengan Jawa dan di sinilah secara historis menurut sumber-sumber susastra-babad, kisah pemisahan Bali dengan Jawa dimulai, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh dan unik.

Bisa dimengerti apabila tak banyak orang tahu betapa penting dan strategis keberadaan Segara Rupek bagi Bali. Untuk mencapai Segara Rupek relatif tidak mudah, bila hendak menempuh jalan darat satu-satunya jalan yang bisa ditempuh mesti melewati jalan menuju ke Pura Prapat Agung dan dari lokasi Pura Prapat Agung ini masih harus dilanjutkan lagi menempuh perjalanan darat sekitar 5 km menelusuri hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Kondisi sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum memadai demikian kiranya turut pula mempengaruhi Segara Rupek tidak mendapat perhatian semestinya, baik dari kalangan tokoh masyarakat Bali, bahkan juga dari kalangan pemimpin di Bali. Di Segara Rupek hingga kini belum ada pelinggih sebagai tonggak atas suratan sejarah, padahal lokasi ini jelas-jelas menjadi babakan dan tonggak penting dalam sejarah Bali.

Berdasarkan sumber susastra maupun berdasarkan keyakinan spiritual, saya menemukan bahwa lokasi Segara Rupek sudah sepatutnya diperhatikan sekaligus di-upahayu. Yang ada sejauh ini masih kurang layak. Menurut lontar Babad Arya Bang Pinatih, Empu Sidi Mantra beryoga semadi memohon kerahayuan seisi jagat kehadapan Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, Danghyang Sidimantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah, tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu air laut pun terguncang, bergerak membelah bumi maka daratan Bali dan tanah Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan, lautan itu dinamakan Selat Bali.

Guna lebih mempertebal rasa bakti sesuai dengan sumber susastra, dan ikut juga mayadnya ngastitiang kerahayuan jagat Bali, bahkan seluruh wilayah Indonesia maka: ngatahun awehana uti; nista, madya, utama ayu jawa pulina mwang banten bali pulina suci linggih dewa, paripurna nusantara. Artinya: setahun sekali dilakukan upacara pakelem, banten dirgayusa bumi, tawur gentuh pada hari Anggara Umanis, Wuku Uye. *I Nyoman Laba/ Balipost
 
@effie

sorry boss ga da niat jelek :D
ga terulang lagi deh :) :)
 
@GoesDun,
Wah informasi yang menarik sekali bro... Thanks for sharing...:)

Sedikit saran ya bro..?
Untuk paragraf jangan terlalu rapat, mata saya ampe beraer mbacanya...:D
 
@GoesDun,
Wah informasi yang menarik sekali bro... Thanks for sharing...:)

Sedikit saran ya bro..?
Untuk paragraf jangan terlalu rapat, mata saya ampe beraer mbacanya...:D

setelah coba baca ulang... ternyata mata beraer juga.. Thanks Bro @ZhugeLiang
 
Pura Masceti

Karunia Kemakmuran di Pura Masceti

Liukan ombak pantai yang memecahkan karang menandakan kebesaran Tuhan yang tiada tandingannya. Tiupan angin laut Samudera Indonesia ini memecahkan keheningan umat yang dengan khusyuk melantunkan doa-doa memohon karunia dari Beliau yang berstana di Pura Masceti. Sebuah pura besar yang berada di tepian utara pantai untuk memuja Batara Wisnu dengan saktinya Dewi Sri guna memohon kamakmuran. Selain itu, di Pura Masceti juga sebagai tempat mencari kawisesan (kesaktian) dan ilmu pengobatan bagi para balian.
===========

PURA Masceti berstatus Pura Kahyangan Jagat, kerap didatangi oleh umat dari sejebag jagat Bali. Pura Masceti yang terletak di tepian pantai Desa Medahan-Keramas, Blahbatuh, Gianyar, kerap menjadi tempat mencari keheningan jiwa. Pura suci yang berusia tua yang juga merupakan kisah tapak tilas Dhang Hyang Dwijendra ini ramai dikunjungi di saat hari suci umat Hindu. Setiap hari Purnama, Tilem, Siwaratri bahkan saat diselenggarakan piodalan pada Anggarkasih, Medangsia jejalan umat selalu memadati pura untuk melakukan persembahyangan.

Menurut Jero Mangku Pura Masceti, kata ''Masceti'' terdiri atas dua suku kata, yakni Mas (sinar) dan Ceti (keluar masuk). Namun soal keberadaan Pura Masceti ini tidak satu pun orang mengetahui kapan pertama kali Pura Masceti dibangun. Meski tak ada prasasti, sebagai bukti tertulis akan keberadaan pura ini ada bukti purana yang sumbernya dari kumpulan data dari berbagai prasasti yang menyebutkan keberadaan pura tersebut.

Pura Masceti yang menjadi Pura Kahyangan Jagat ini juga berstatus sebagai Pura Swagina (profesi). Sebagai Pura Swagina, Pura Masceti bertalian erat dengan fungsi pura sebagai para petani untuk memohon keselamatan lahan pertanian mereka dari segala merana (penyakit).

Jero Mangku Pura Masceti mengatakan, keberadaan Pura Masceti berdasarkan Dwijendra Tatwa adalah kisah perjalanan suci tokoh rohaniwan dari tanah Jawa. Di sini disebutkan bahwa kisah perjalanan Danghyang Dwijendra, pada zaman Kerajaan Dalem Warturengong sekitar abad XIII.

Saat itu Dhanghyang Dwijendra meninggalkan Desa Mas, melewati Banjar Rangkan, Desa Guwang, Sukawati, menuju pantai selatan ke timur ke daerah Lebih. Saat melewati Pura Masceti, di tengah sejuknya angin pantai, Dhanghyang Dwijendra merasakan dan mencium bau harum semerbak yang menandakan adanya Dewa yang turun. Sebuah cahaya tampak terlihat dari dalam Pura Masceti.

MASCETI.JPG


Dhanghyang Dwijendra pun masuk ke dalam pura yang pada waktu itu pelinggihnya hanya berupa bebaturan (bebatuan). Di sana beliau serta merta melakukan persembahyangan, menyembah Tuhan. Namun pada saat itu tidak diperkenankan oleh Ida Batara Masceti, mengingat Dhanghyang Dwijendra sebentar lagi melakukan moksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pura Masceti ini telah ada sebelum Dhanghyang Dwijendra datang ke Bali.

Kisah keberadaan Pura Masceti lebih jelasnya juga terdapat dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, yang ada di Puri Keramas. Dalam naskah babad nomor 80.ab.81a. yang mengisahkan keberadaan I Gusti Agung Maruti saat menjadi raja selama 26 tahun di Kerajaan Gelgel, Klungkung dan juga dalam kisah keturunannya yang tersebar di jagat Bali, di antaranya di Desa Keramas, Gianyar.

Pada tahun 1672 (1750 M), I Gusti Agung Maruti bersamadi pada suatu malam di Cawu Rangkan (Jimbaran). Saat melihat bersamadi, dilihatlah ada sinar api, seperti warna emas di arah timur. Melihat keajaiban tersebut, berangkatlah I Gusti Agung Maruti mencari sinar tersebut hingga akhirnya tiba di tempat yang mengeluarkan cahaya emas itu. Baliau kemudian menemukan tempat suci yang terbuat dari bebaturan, berlokasi di dalam hutan dekat pantai.

Tempat suci bebaturan yang ditemukan tersebut adalah Pura Masceti (sekarang). Setelah mengaturkan persembahyangan dengan pasukannya, I Gusti Agung Maruti kemudian melanjutkan perjalanan menuju suatu wilayah yang kini dinamakan Desa Keramas. Sejak pemerintahan I Gusti Agung Maruti di Keramas, bebaturan tersebut kemudian dilakukan penataan sekaligus perbaikan bangunan suci.

Dari berbagai versi cerita mengenai keberadaan Pura Masceti, mana yang benar belum jelas. Jero Mangku Pura Masceti menegaskan bahwa ketenaran Pura Masceti terjadi setelah masa pemerintahan I Gusti Agung Maruti membangun kerajaan di Keramas.

Pura Masceti mempunyai struktur bangunan suci dengan menganut konsep Tri Mandala. Jero Mangku Pura Masceti menuturkan, pada bagian jeroan (Utama Mandala) di Pura Masceti terdapat beberapa pelinggih. Di antaranya Meru Tumpang Lima merupakan pelinggih Ida Batara Masceti sebagai pelinggih utama. Yang dipuja dalam hal ini adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri. Meru Tumpang Lima ini berdampingan dengan Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara Ulun Suwi, dan bagian selatan merupakan pemujaan Batara Segara, kemudian pelinggih Sedahan Penyarikan, Sedahan Dasar atau Pertiwi.

Pelinggih Pesimpangan Gunung Lebah (Batur) dan Gunung Agung. Kemudian terdapat pula pelinggih Ratu Nglurah Agung, Sedahan, Balai Pasamuan, Balai Pewedaan, Piasan/Panggungan dan Piasan Tiang Sanga.

Di Utama Mandala pura juga pada bagian barat laut yang hanya dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih pesimpangan Batara Pura Gelap yang berada di Pura Besakih. Sebelah timur jeroan yang juga dibatasi dengan tembok terdapat pelinggih Jero Kelodan istana Batara Ratu Mas Mayun. Serta taman yang terdapat Padmasana dan Sedahan.

Bagian Madya Mandala terdapat sebuah pohon besar yang di bawahnya terdapat pelinggih Batara Ratu Lingsir Baten Ketapang. Selain itu juga terdapat beberapa sedahan, dan wantilan sebagai tempat masanekan (istirahat) para pemedek yang tangkil ke pura. Sedangkan pada bagian jaba sisi terdapat Sedahan dan Balai Kulkul.

Upacara Peneduh
Dalam melaksanakan upacara piodalan di Pura Masceti yang menjadi penanggung jawab penuh adalah warga subak yang menjadi pengemong sekaligus pengempon pura yang berjumlah sebanyak 20 subak. Mereka berasal dari sekitar wilayah Desa Medahan, Keramas, dan Tedung. Meskipun penanggung jawab piodalan di Pura Masceti sebanyak 20 subak, setiap kali menggelar upacara yang wajib ngayah hanya klian (ketua) dan wakil klian bersama istrinya dibantu oleh warga lain yang menjadi pengayah.

Mempersiapkan piodalan tampak dilakukan sekitar 10 hari sebelum diselenggarakan piodalan. Termasuk, Selasa (5/2) lalu saat Bali Post, banyak pangayah yang mempersiapkan sarana piodalan di pura tersebut. Selain upacara piodalan, di Pura Masceti juga diselenggarakan upacara peneduh guna memelihara tanaman padi agar tumbuh subur, terhindar dari berbagai serangan hama dan penyakit. 'Para petani bahkan hingga kini sama sekali tidak berani mengabaikan pelaksanaan upacara peneduh tersebut,'' jelas Jero Mangku.

Sebagai rasa syukur para petani terhadap berkah yang telah dilimpahkan Ida Batara Masceti, setiap Anggarkasih Kulantir dilaksanakan upacara Ngusaba Tipat. Selain itu juga digelar upacara ngaturan berem setiap Anggarkasih Julungwangi.
* Agung Dharmada / BaliPost
 
@GoesDun,
Thanks bro....:D

Oh ya boleh ga kalo di sebar luas kan informasi anda ini bro ?
Tentu saja dengan menyertakan ID anda.
Sayang sekali kalo informasi yang bagus seperti ini, ga di sebar luaskan bro..
Tapi bila ga boleh gapapa ko bro...

Thanks before...
 
@GoesDun,
Thanks bro....:D

Oh ya boleh ga kalo di sebar luas kan informasi anda ini bro ?
Tentu saja dengan menyertakan ID anda.
Sayang sekali kalo informasi yang bagus seperti ini, ga di sebar luaskan bro..
Tapi bila ga boleh gapapa ko bro...

Thanks before...

Silahkan....monggo......karena itu juga Swadharma untuk Memutar Dunia.

Thanks
 
Pura Bukit Jati

Pura Bukit Jati di Samplangan Gianyar

Labhantebrahmanirvana
rsayah
ksinakalmasah
chinnadvanidha
yatatmanah
sarvabhutahite
ratah.
(Bhagawad Gita V.25).

Maksudnya
:
Orang
suci itu dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang senantiasa melakukan kebajikan untuk menyejahterakan isi alam (Bhuta Hita) akan mencapai Brahmanirvana atau alam Ketuhanan.


pr%20bukit%20jati%20%283%29.JPG


UNTUK
mencapai peningkatan kesucian rohani tidaklah hanya melakukan sembahyang di pura saja. Penyucian diri juga akan dicapai apabila sembahyang itu dilanjutkan dengan senantiasa melakukan upaya-upaya nyata menjaga kesejahteraan isi alam. Misalnya dengan menjaga kelestarian lima unsur alam yang disebut Panca Maha Bhuta dengan segala makhluk hidup yang tumbuh berkembang dari Panca Maha Bhuta tersebut.

Mereka yang senantiasa melakukan upaya-upaya menyejahterakan kehidupan makhluk hidup tersebut kitab suci Bhagawad Gita menjanjikan jalan untuk mencapai Brahma Nirwana atau disebut sorga dalam istilah yang lebih umum. Lebih-lebih mereka yang memiliki kewenangan untuk memimpin publik seperti penguasa kerajaan pada zaman dahulu.

Demikian pula halnya saat awal kekuasaan Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Bali yang pada awalnya berpusat di Samplangan di timur kota Gianyar. Pusat Kerajaan Dinasti Ida Dalem Kresna Kepakisan itu bernama Linggarsa Pura. Kata ''linggarsa pura'' ini berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ''lingga'', ''arsa'' dan ''pura''. Lingga artinya stana atau di Bali disebut ''linggih''. Arsa artinya kemauan atau hasrat mulia, pura artinya tempat. Dengan demikian kata ''linggih pura'' itu berarti tempat untuk menstanakan atau mengembangkan kemauan mulia.

Salah satu cara mengembangkan kemauan mulia sang raja adalah mengajak rakyat untuk memuja Tuhan sebagai langkah awal mengembangkan kehidupan yang mulia. Salah satu caranya dengan mendirikan tempat-tempat pemujaan Tuhan di tempat-tempat yang strategis. Tempat strategis itu adalah tempat untuk melestarikan alam dan memajukan kehidupan bersama dalam masyarakat berdasarkan Rta dan Dharma.

Demikianlah kebijaksanaan raja di Linggarsa Pura membangun pura dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tempat-tempat pemujaan yang sudah ada. Seperti halnya di Bukit Jati di utara Desa Samplangan, Gianyar itu dikembangkan menjadi tempat pemujaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu.
Pura Bukit Jati sebuah pura kuna yang berada di Desa Samplangan di timur kota Gianyar. Pura Bukit Jati ini terletak di bukit yang tidak terlalu tinggi dan sangat indah.

Bukit Jati ini tersembul muncul di daratan Gianyar sepertinya diciptakan untuk menjaga kebersihan dan kesejukan udara kota Gianyar. Di Pura Bukit Jati ini memang sebelumnya sudah ada beberapa peninggalan zaman magalitikum. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa tempat ini saat pemerintahan sebelum Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah menjadi tempat yang bernuansa spiritual.
Dinasti Dalem berkuasa tahun 1343 Masehi menggantikan Raja Bali Kuna yang terakhir yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Dalam naskah lontar di Bali, Raja ini disebut Sri Tapolung. Sayang Samplangan sebagai pusat pemerintahan Ida Dalem tidak lama bertahan di Samplangan. Tahun 1380 Masehi pusat pemerintahan Dalem pindah ke Gelgel dengan nama Sweca Pura.

Meskipun demikian, Pura Bukit Jati sampai saat ini masih tetap dijadikan tempat pemujaan oleh umat Hindu. Di balik Pura Bukit Jati itu terdapat nilai-nilai kehidupan yang universal yang patut kita renungkan kembali untuk dijadikan landasan dalam menapaki kehidupan ke depan. Pura Bukit Jati adalah tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan alam lingkungan dan masyarakat. Di Pura Bukit Jati ini ada peninggalan arkeologi dalam bentuk makara yaitu arca kepala dengan fungsi tertentu. Misalnya ada arca Bhoma yang berfungsi untuk menggambarkan dewa pohon-pohonan. Kata ''bhoma'' dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Di Pura Bukit Jati ini ada arca Jalandwara Makara.

Jalandwara berasal dari kata ''jal'' artinya air dan ''dwara'' artinya pintu. Jalandwara Makara itu simbol sakral untuk melancarkan jalannya air di bumi ini. Jalandwara Makara ini juga berarti tidak boleh mengotori air sehingga jalannya air ke tengah-tengah masyarakat itu dapat memberi kehidupan yang baik dan benar. Air dalam Canakya Nitisastra itu dinyatakan sebagai salah satu ''ratna permata bumi'' di samping tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak atau Subha Sita. Latar belakang spiritual keberadaan tempat pemujaan Bukit Jati dalam sistem sekte Siwa Pasupata itu dilanjutkan dalam sistem pemujaan Siwa Sidhanta.

Peninggalan megalitik dalam kebudayaan Hindu di Bali umumnya dipakai saat Hindu Sekte Siwa Pasupata yang berkembang di Bali, terutama yang menyangkut penggunaan arca sebagai murthi puja atau arca perwujudan. Saat Hindu Sekte Sidhanta yang berkembang simbol pemujaan digunakan sistem pelinggih dengan ista dewata tertentu. Di Pura Bukit Jati sekarang nilai-nilai universal sebagai tujuan pemujaan pada Tuhan itu tetap dilanjutkan dalam wujud yang berbeda.
Keberadaan berbagai pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati tersebut sangat nampak melanjutkan nilai-nilai universalitas tersebut dengan simbol-simbol yang lebih lengkap sesuai dengan kebutuhan sistem pemujaan dalam Siwa Sidhanta.

Demikianlah memang proses pemeliharaan tradisi Hindu. Aspek Sanatana Dharma tetap tidak boleh berubah tetapi ada konsep Nutana yaitu ada proses peremajaan wujud sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi nilai yang diaplikasikan tetap yang kekal abadi dan universal sepanjang zaman. Di Pura Bukit Jati tersebut terdapat 26 bangunan suci.

Ada bangunan utama dan ada yang pelengkap. Bangunan sakral yang utama itu adalah Padmasana, Meru, Gedong Lebah, Pelinggih Manjangan Saluwang, Pelinggih Segara, Pelinggih Ratu Puncak, Pelinggih Ngerurah dan Pancoran. Semua bangunan sakral yang utama itu melanjutkan nilai spiritual sebelumnya untuk mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan di Pura Bukit Jati itu. * I Ketut Gobyah
source : BaliPost
 
Candi Cangkuang

left153_120.gif


Desa Cangkuang berasal dari nama sebuah pohon yang bernama pohon cangkuang (Pandanus Furcatus) yang banyak terdapat disekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad. Konon menurut cerita masyarakat setempat, Embah Dalem Arif Muhammad dan teman-temannyalah yang membendung daerah ini sehingga terbentuklah sebuah danau yang dinamakan Situ Cangkuang. Embah Dalem Arif Muhammad berasal dari kerajaan Mataram dari Jawa Timur dia datang bersama rombongannya untuk menyerang VOC di Batavia dan menyebarkan agama islam, salah satunya adalah desa Cangkuang yang saat itu penduduknya telah menganut agama Hindu. Didesa tersebut terdapat sebuah candi Hindu yang telah dipugar yang dinamakan candi Cangkuang,. Meskipun penduduk didesa tersebut telah memeluk agama islam namun mereka masih menjalankan sebagian ajaran agama Hindu.

Cagar Budaya Candi Cangkuang yang dikelola oleh Pemda Kabupaten garut, khususnya Dinas Pariwisata Dan kebudayaan, sedangkan khusus untuk pemeliharaan Candi cangkuang itu sendiri dikelola oleh dinas kepurbakalaan yang berpusat di Serang, Banten memiliki luas kawasan keseluruhan 340,755 Ha. Situ dan candi Cangkuang terletak didesa Cangkuang,kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat yang memiliki batas Administrasi sebagai berikut :
Utara : desa Neglasari kecamatan Kadungora
Selatan : desa Margaluyu dan desa Sukarame kecamatan Leles
Timur : desa Karang Anyar dan desa Tambak Sari kecamatan Leuwigoong
Barat : desa Talagasari kecamatan Kadungora dan desa Leles Kecamatan Leles

Desa Cangkuang terletak diantara kota Bandung dan Garut yang berjarak ?2 km dari kecamatan Leles dan 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Kondisi lingkungan di Kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik, kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat Visabilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah.

Sumber daya listrik untuk keperluan penerangan dikawasan ini berasal dari PLN yang alirannya diambil secara tidak langsung melalui salah satu rumah penduduk di kampong Cangkuang. Sumber air bersih dikawasan ini beraal dari sumur dan air danau dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal. Tidak terdapat sarana akomodasi di kawaan tersebut.dikawasan tersebut terdapat ?15 buah kios makanan dan cinderamata yang kondisinya cukup.untuk tempat parker di kawasan tersebut tersedia diseberang situ Cangkuang didekat pintu masuk dengan daya tampung ?25 kendaraan pribadi dengan kondisi yang baik dengan lapisan permukaan aspal.terdapat pula pos tiket dan pintu masuk didepan kawasan dengan kondisi yang cukup baik. Untuk memasuki kawasan ini pengunjung dikenai biaya masuk khusus untuk dewasa Rp.1.000 dan anak-anak Rp.500.

Fasilitas berupa toilet umum terdapat didalam kawasan dalam jumlah 6 buah dengan kondisi yang cukup. Terdapat pula 3 buah Shelter dengan kondisi yang kurang baik. Terdapat sebuah pusat informasi yang letaknya di sebuah museum yang terdapat didepan candi. Dikawasan tersebut terdapat sebuah mesjid adat kampong Pulo.Terdapat pula 15 buah tempat sampah dalam kondisi yang cukup. Selain itu terdapat rakit untuk menyeberang ke pulau Cangkuang dengan tarif Rp 2000/orang.

Untuk mencapai lokasi ini bisa ditempuh dengan naik kendaraan umum/ bus dari Bandung-Garut Rp ? Rp.7.000, dari garut meneju kecamatan Leles terdapat angkutan umum ( angkot ). Jalan menuju candi Cangkuang dari jalan raya berjarak 3 km dengan jalan beraspal, dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan pribadi ataupun jalan kaki selama 30 menit atau naik kendaraan tradisional ( andong ) dengan biaya Rp 2000/orang.

Kegiatan wisata yang bias dilakukan di kawasan cagar budaya Candi Canngkuang yaitu, melihat pemandangan, memancing, berjalan-jalan, berziarah dan melakukan penelitian tentang kebudayaan.

Wisatawan yang biasanya datang bekunjung kekawasan tersebut kebanyakan wisatawan nusantara yangn berasal dari Garut, Bandung, Bogor dan Jakarta, namun ada juga wisatawan manca negara yang berasal dari Belanda, Jerman, Perancis dan Jepang. Rata-rata pengeluaran wisatawan yang berkunjung kekawasan tersebuut berkisar antara Rp 25.000 s/d Rp 50.000, dengan lama tinggal 3 - 6 jam. Wisatawan yang berkunjung rata-rata perbulan berkisar 3000 orang.

Flora dan fauna dominan terdapat dikawasan ini adalah teurep, beringin, randu, ayam dan kambing. Sedangkan flora dan fauna yang berbahaya adalah pohon renggas dan ular sawah.

Pola ruang daya tarik dikawasan ini letaknya terkonsentrasi pada suatu tempat, sedangkan pola pemilikan tanah dikawasan ini adalah tanah adapt dan juga tata guna tanah ialah tanah pemukiman, pertanian, perkebunan, pariwisata dan konservasi.

source : Pemerintah Kabupaten Garut

===


Lokasi dan Keadaan Geografis


Cangkuang adalah nama suatu desa dan sekaligus danau yang ada di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di daerah ini ada sebuah candi yang namanya sama dengan nama desa dan danau yang ada di sana, yaitu Candi Cangkuang. Candi ini ada di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,4 hektar. Pulau kecil yang ada di tengah Danau Cangkuang ini secara astronomis letaknya pada koordinat 106 derajat bujur timur dan 7 derajat Lintang Selatan. Selain pulau ini ada juga dua pulau lainnya yang ukurannya lebih kecil. Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi Hindu yang ada di tatar Sunda. Sampai sekarang belum ditemukan bukti yang dapat mengaitkan candi tersebut dengan masyarakat atau kerajaan tertentu. Namun demikian, data arkeologis menunjukkan bahwa sebelum datangnya pengaruh Hindu, di daerah Cangkuang dan sekitarnya sudah berkembang kebudayaan yang menghasilkan alat-alat mikrolit-obisidian, kapak/beliung batu, tembikar, alat-alat logam serta bangunan yang terbuat dari susunan batu. Candi Cangkuang sendiri diperkirakan merupakan produk budaya masa klasik Jawa Barat pada abad ke-5, yaitu pada masa kerajaan Taruma atau To lo mo (menurut tambo Cina) yang kemudian menjadi Sun to (Sunda?) yang hingga akhir abad ke-7 masih disebut-sebut. Jika dilihat dari bentuk bangunannya, maka sementara ahli berpendapat bahwa Candi Cangkuang berasal dari abad ke-8. Namun, jika dilihat dari kesederhanaan hiasan, teknik pembuatan, serta keterangan dari tambo Cina, maka tidak mustahil bangunan Candi Cangkuang berasal dari abad ke-7, bersamaan dengan pembuatan candi-candi lainnya di Pulau Jawa.


Danau Cangkuang terletak di sebuah lembah yang subur, di atas ketinggian kurang lebih 690 meter dari permukaan laut, dan dikelilingi pegunungan Pegunungan itu adalah: Gunung Haruman (1.218 m) yang berada di sebelah timur-utara; Gunung Pasir Kadaleman (681 m) yang berada di sebelah di tenggara; Gunung Pasir Gadung (1.841 m) yang berada di sebelah selatan; Gunung Guntur (2.849 m) yang berada di sebelah barat-selatan; Gunung Malang (1.329 m) yang berada di sebelah barat; Gunung Mandalawangi yang berada di sebelah selatan-utara; dan Gunung Kaledong (1.249 m) yang berada di sebelah timur. Sedangkan, Pulau Cangkuang terdiri atas bagian perbukitan dan daratan rendah. Dan, Candi Cangkuang terletak pada bagian yang paling tinggi. Candi ini sekarang telah dihiasi dengan pertamanan dan dilengkapi dengan sebuah balai informasi. Pemakaman masyarakat setempat ada bagian bawahnya (kurang lebih 3 kilometer). Pada bagian dataran rendahnya terdapat kampung adat (Kampung Pulo) dengan beberapa rumah tinggal dan satu langgar. Di tengah-tengah kampung tersebut terdapat halaman yang cukup luas. Penghuninya terikat pada peraturan-peraturan adat tertentu yang berkaitan dengan makam Islam legendaris yang berada di atas bukit Cangkuang. Sebenarnya Pulau Cangkuang dapat dicapai bukan hanya dengan getek (semacam perahu) dari Desa Ciakar, tetapi juga dapat dengan berjalan kaki menyusuri jalan setepak di tengah persawahan.


Candi Cangkuang ditemukan pertama kali pada bulan Desember 1966 oleh Uka Tjandrasasmita (anggota Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat) berdasarkan laporan Vorderman (1893) tentang sisa-sisa arca Dewa Siwa serta makam leluhur Arif Muhammad di daerah Cangkuang. Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya arca Siwa, melainkan juga batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur Islam yang berserakan di beberapa tempat. Serpihan pisau dan batu-batu besar yang ditemukan itu diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Dan, setelah Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bersama para dosen dan mahasiswa dari Jakarta dan Bandung melakukan ekskavasi (penggalian), mengumpulkan batu-batu, penggambaran, penyusunan percobaan dan serangkaian diskusi, maka kesimpulannya bahwa batu-batu itu jelas sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu itu terletak di bawah pohon besar dekat timbunan batu yang dikenal oleh masyarakat sebagai makam Dalam Arief Mohammad.


Setelah dikaji hampir sepuluh tahun lamanya, LPPN yang pada waktu itu dipimpin oleh Satyawati Soeleiman, berpendapat bahwa pemugaran secara memuaskan tidak mungkin, karena bahannya tinggal + 40% dan di mana letak serta arah menghadapnya secara pasti belum diketahui. Namun apabila dibiarkan, batu-batu akan makin aus dan banyak yang hilang. Untuk itu, diputuskan untuk direkonstruksinya. Untungnya sisa-sisa candi yang 40% itu masih mewakili unsur-unsur seluruh bagian candi. Tentang lokasinya tentunya di tempat konsentrasi batu. Soal menghadapnya disesuaikan dengan letak candi-candi yang ada di Jawa, yaitu ke timur (walaupun ada yang ke barat). Pada Pelita II yakni tahun 1974 sampai 1977 rekonstruksi candi dapat diselesaikan. Hasilnya meskipun masih kurang mantap namun dapat menggugurkan pendapat umum yang berkembang selama ini bahwa di Jawa Barat tidak ada candi.


Struktur Bangunan
Candi cangkuang berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang bahannya terbuat dari batu andesit, berukuran 4,7 x 4,7 meter dengan tinggi 8,5 meter. Seperti candi-candi yang lain, Candi Cangkuang terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi, ukurannya 4,5 x 4,5 meter dengan tinggi 1,37 meter. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 meter dan lebar 1,26 meter.


Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22m dengan tinggi 2,49 meter. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran tinggi 1,56 meter dan lebar 0,6 meter. Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 meter dengan tinggi 1,56 meter dan 2,74 x 2,74 meter yang tingginya 1,1 meter. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 meter yang tingginya 2,55 meter. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 meter yang dalamnya 7 meter (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).


Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala lembu nandi yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga. Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 centimeter, lebar pundak 18 centimeter, lebar pinggang 9 centimeter, padamasana 38 centimeter (tingginya 14 centimeter), lapik 37 centimeter dan 45 centimeter (tinggi 6 centimeter dan 19 centimeter), tinggi 41 centimeter.


Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1988. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bambang Budi Utomo. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu-Budha di Jawa Barat. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
 
Candi Ijo

Ijo_Fig_01.jpg


Candi Ijo, Candi yang Letaknya Tertinggi di Yogyakarta


Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.

Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.

Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.

Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.

Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.

Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.

Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.

Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.

Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Singgih Dwi Cahyanto
Copyright © 2006 YogYES.COM
 
Rrrrruar biasa.....
Applause untuk Goesdun.
Lanjutkan "kerja besar"-nya ya...
 
Candi Gedong Songo

gedong.jpg

Ambarawa sebuah kota kecil yang terletak di jalur lintasan antara kota Bawen dan Muntilan di Jawa Tengah. Mungkin, kota-kota kecil tersebut tak terlalu akrab bagi masyarakat yang tinggal di luar kota Semarang atau Yogyakarta. Kota Bawen memang kota kecil. Kota ini merupakan persimpangan jalur kendaraan dari Semarang menuju Salatiga atau Magelang. Nah, bila kita berkendaraan dari Semarang menuju Magelang, setelah Bawen kita akan melewati Ambarawa. Sedikit cerita tentang kota berhawa sejuk ini. Ada legenda yang melatarinya, yakni legenda Rawapening. Rawa ini memang terbentang amat luasnya. Rawa inilah yang menjadi sebab mengapa kota ini bernama Ambarawa, yang artinya rawa yang luas (amba=luas; bhs. Jawa). Dan, sampai saat ini Rawapening tersebut pun masih ada.


Berkunjung ke Ambarawa, kita akan menemukan berbagai obyek wisata menarik. Di sana ada museum kereta api dengan koleksi kereta tuanya. Atau jika kita bergeser ke daerah wisata Bandungan, terletak kurang lebih 20 kilometer dari Ambarawa, kita bisa berkunjung ke lokawisata sejarah Candi Gedong Songo.

gedong1.jpg

Untuk mencapai obyek wisata ini tidaklah sulit. Bila berangkat dari kota Semarang kita naik bus jurusan Yogyakarta. Begitupun sebaliknya, bila dari Yogyakarta pilihlah bus ke Semarang. Lalu, turun di kota Ambarawa. Demikian pula bila menggunakan kendaraan pribadi. Tempuhlah jalur Semarang-Yogyakarta.


Sesampainya di Ambarawa kita bisa langsung menuju ke Bandungan. Untuk yang berkendaraan umum tak perlu khawatir. Banyak angkutan pedesaan yang siap mengantar pelancong ke lokawisata tersebut. Mintalah turun di pertigaan Poli (toko Pauline). Di sini telah berjejer angkutan pedesaan tersebut. Namun, angkutan umum itu tak langsung membawa pelancong ke lokasi candi. Kita turun di pertigaan Gedong Songo. Kemudian perjalanan ditempuh dengan menggunakan ojek hingga tujuan.


Menjejakkan kaki di pelataran candi anganpun bisa melayang ke sebuah negeri khayalan. Bagaimana tidak? Kabut putih akan segera menyergap kita, meskipun kita masih berada di kaki candi. Belum lagi udara dingin yang menggigilkan sumsum. Kemudian, memandang ke atas akan terlihat gugusan sembilan candi yang berdiri megah berpencar.


Candi ini memang dibangun berpencar dan tersusun di atas bukit. Satu bangunan candi berdiri di atas lahan sendiri seluas sekitar 150 X 30 meter persegi. Bangunan candi berurutan. Candi pertama menempati lokasi paling bawah, kemudian berurutan naik dengan jarak bervariasi antara candi pertama, kedua dan seterusnya.

gedong2.jpg

Letak candi tidak berdiri berurutan seperti anak tangga. Antara bangunan yang satu dengan yang lain terkadang berada dalam arah yang berbeda. Tapi, yang pasti, urutannya selalu naik ke atas. Otomatis, kita akan berjalan melingkar-lingkar jika hendak mencapai bangunan candi berikut. Sekadar saran, bila anda ingin mendaki menikmati keindahan sembilan candi ini baiknya anda mengambil jalan ke kiri setelah melewati gerbang lokawisata. Memang tak ada aturan untuk itu. Namun, dengan demikian pendakian menuju candi berikut akan terus berurutan.


Semakin tinggi kita mendaki matapun takkan lelah memandang. Di kanan-kiri jalan setapak, yang mulus diberi paving block, terlihat pemandangan alam yang indah. Pepohonan pinus terlihat menjulang di kejauhan dengan pucuknya yang seolah hendak menusuk awan-gemawan. Makin ke atas udara makin dingin namun sangat menyegarkan. Kabutpun terus melingkar-lingkar di sekitar kita.

Menapaki bangunan candi dari urutan pertama hingga sembilan memberi kesan tersendiri di hati. Jalan yang mendaki berkelok, bangunan candi yang kokoh berdiri di ketinggian, udara yang sejuk, kabut tipis yang selalu melayang memberi kenangan eksotis yang tak terlupakan.


Candi ini dinamakan Gedong Songo karena memang terdiri dari sembilan bangunan candi. Dalam bahasa Jawa, Gedong berarti bangunan dan Songo artinya sembilan. Dan, sesuai dengan urutannya candi ke sembilan berdiri anggun di puncak bukit.


Konon bangunan candi yang ke sembilan ini melambangkan perjalanan akhir manusia mencapai kesempurnaannya. Bentuk bangunan candi bercirikan bangunan dari kerajaan Hindu Nusantara. Di mana setiap bangunan memiliki ruangan untuk tempat pemujaan.

gedong3.jpg

Selain bangunan candi, ada obyek lain yang ditawarkan lokawista ini, yakni sumber air panas belerang. Menjelang puncak bukit terdapat beberapa titik sumber air panas yang berbentuk kolam-kolam kecil. Pengunjung bisa istirahat di sini, sambil menikmati pemandangan sekitarnya yang hijau dan dingin basah.


Keberadaan lokawisata candi Gedong Songo memang sudah tak asing lagi bagi para pelancong. Saat musim liburan lokawisata ini akan ramai dikunjungi. Pelancong tak hanya datang dari kota-kota sekitar lokawista, tapi juga dari kota lain seperti Semarang, Solo, Yogyakarta bahkan Jakarta.

Penulis : AMGD
Fotografer : AMGD
Lokasi : Sumowono, Semarang
Sumber : navigasi.net

 
Pura Gunung Payung

Pura Gunung Payung dan Danghyang Dwijendra

Yan ring pandita ksama, mudita, santosa, upeksa
ris mardawa, sang sastrajnya, wuwusnira amrta
pada nyangde satusteng praja. (Nitisastra.I.6).

Maksudnya
:
Ciri
Pandita adalah ksama (pemaaf), mudita (berbudhi luhur), santosa (sabar), upeksa (amat teliti dan hati-hati), mardawa (lemah lembut), sastrajnya (berpengetahuan suci), wuwusnira amrta (ucapannya bagaikan air penghidupan) yang membuat senangnya banyak orang.


PAYUNG2.JPG


PADA
zaman dahulu perjalanan suci seorang pandita ke tengah-tengah umat untuk melakukan swadharma-nya sebagai orang suci. Salah satu swadharma pandita adalah melakukan perjalanan untuk menyebarkan pendidikan kerohanian kepada umat. Dalam Sarasamuscaya 40 dinyatakan: panadahan upadesa. Artinya menyebarkan pendidikan kerohanian. Karena hakikat hidup adalah rohani sebagai pengendali kehidupan jasmani. Seperti dinyatakan dalam Katha Upanishad bahwa badan jasmani ini diumpamakan sebagai badannya kereta, indria diumpamakan bagaikan kuda kereta.

Pikiran bagaikan tali kekang kereta, kesadaran Budhi bagaikan kusir kereta. Sedangkan Atman diumpamakan bagaikan pemilik kereta. Ini artinya yang menentukan ke mana gerak kereta diarahkan adalah atas kehendak pemilik kereta. Selanjutnya kusir kereta dengan tali kekangnya yang mengarahkan Indria dan badan kereta. Pikiran Budhi dan Atman adalah unsur-unsur rohani dari pada manusia. Unsur-unsur rohani inilah yang wajib dikuatkan eksistensinya dengan berguru pada pandita. Karena itu pandita disebut Adi Guru Loka. Artinya guru yang utama atau guru yang terkemuka.

Sebagai Adi Guru Loka pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai pandita dan berbusana pandita melalui proses diksa. Mereka yang dinyatakan sebagai pandita hendaknya mereka yang sudah memiliki ciri-ciri seperti yang dinyatakan dalam Kekawin Nitisastra I.6 yang seperti kutipan di atas. Umat yang terpanggil untuk menjadi pandita seyogianya melalui proses pendidikan dan latihan keagamaan Hindu yang ketat.

Pendidikan dan latihan itu dapat dilakukan dalam bentuk pendidikan dan latihan yang bersifat tradisional maupun dalam bentuk pendidikan modern. Setelah adanya berbagai kemajuan di mana telah dapat diwujudkan sifat dan sikap hidup seperti apa yang dinyatakan dalam Nitisastra I.6 tersebut barulah upacara diksa dan busana pandita dikenakan.

Dengan demikian empat fungsi pandita seperti dinyatakan dalam Sarasamuscaya 40 akan lebih mudah dilakukan. Empat fungsi pandita tersebut adalah Sang Satyawadi artinya beliau yang senantiasa berbicara berdasarkan kebenaran Veda. Sang Apta artinya beliau yang dapat dipercaya oleh umat. Sang Patirthan artinya beliau yang dijadikan tempat mohon penyucian diri oleh umat dan sang Panadahan Upadesa.
Nampaknya Danghyang Dwijendra sebagai pandita telah mengamalkan petunjuk-petunjuk sastra agama Hindu tersebut sehingga beliau disebutkan Pedanda Sakti Wawu Rauh. Kata Sakti menurut Wrehaspati Tattwa 14 adalah memiliki banyak ilmu dan banyak kerja berdasarkan ilmu tersebut. Tidaklah seperti pemahaman kini di mana sakti itu dipahami mereka yang memiliki magic power yang berkonotasi negatif. Ilmu yang dimiliki itu adalah ilmu yang disebut Para Widya dan Apara Widya. Para Widya itu adalah ilmu tentang kerohanian. Sedangkan Apara Widya adalah ilmu tentang keberadaan dan pengelola dunia ini dengan baik dan benar. Dua ilmu itulah yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia di dunia ini.

Demikianlah perjalanan suci Danghyang Dwijendra di Bali mendatangi umat dan memberikan kesejukan pada umat. Saat beliau datang di daerah Kuta Selatan untuk mengakhiri keberadaan beliau di dunia sekala menuju dunia niskala beliau sempat datang ke Desa Kutuh di Kuta Selatan di suatu bukit dekat pantai selatan Bali. Di tempat itu beliau menjadi sang Patirthan artinya beliau memberi prayascita atau penyucian pada umat yang datang memohon penyucian diri pada sang Pandita. Di samping itu beliau juga melakukan penadahan Upadesa, artinya memberi pendidikan kerokhanian kepada umat.

Karena kesaktian beliau itu tangkai payung yang beliau tancapkan di tanah perbukitan yang kering itu dapat menimbulkan sumur dengan air yang tiada pernah kering sampai saat ini. Di tempat inilah umat mendirikan pura yang kini disebut Pura Gunung Payung. Itu artinya di pura ini atas kedatangan Danghyang Dwijendra terdapat vibrasi kesucian yang wajib dipelihara oleh generasi selanjutnya.

PAYUNG6.JPG


Danghyang
Dwijendra diyakini mencapai dunia niskala dengan moksha di Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu yang tidak jauh dari Pura Gunung Payung. Pura Luhur Uluwatu adalah satu dari Pura Kahyangan Jagat sebagai pemujaan Tuhan dalam manivestasinya sebagai Dewa Rudra. Pura Luhur Uluwatu didirikan atas anjuran Mpu Kuturan pada abad ke-11 Masehi. Pendirian Pura Luhur Uluwatu dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.

Pura Luhur Uluwatu ini memiliki banyak pura prasanak atau pura jajar kemiri. Ini artinya di areal perbukitan Kuta Selatan ini sejak zaman dahulu sudah terpatri vibrasi kesucian yang dipelihara dengan adanya banyak Pura Prasanak dari Pura Luhur Uluwatu. Di antaranya adalah Pura Gunung Payung ini. Karena itu sebagai generasi penerus seyogianya dalam menata kawasan di areal Pura Luhur Uluwatu termasuk di areal Pura Gunung Payung seyogianya memperhatikan nilai-nilai spiritual yang sudah terbukti memberikan vibrasi kesucian pada areal tersebut bersinergi dengan areal suci lainnya di seluruh Bali.

Untuk memelihara vibrasi kesucian di kawasan bukit Kuta Selatan ini semua pihak hendaknya bertimbang cermat dan seimbang dengan konsep Tri Semaya. Konsep Tri Semaya itu adalah Atita, Nagata dan Wartamana. Apa pun yang dilakukan saat ini (Wartamana) hendaknya terlebih dahulu menelaah dengan cermat di masa lalu (Atita) dan dengan berpikir panjang apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang.
Dengan demikian kita tidak meninggalkan begitu saja nilai-nilai luhur di masa lalu yang susah payah dikerjakan oleh para pendahulu kita. Demikian juga hendaknya kita berusaha melihat ke depan agar jangan sampai kita meninggalkan persoalan-persoalan yang membuat generasi mendatang penuh beban derita karena kesalahan kita saat ini.

Dengan konsep Atita, Nagata dan Wartamana inilah kita akan bisa hidup sejahtera dengan berkelanjutan dari generasi ke generasi selanjutnya sepanjang masa. * I Ketut Gobyah
source : BaliPost
 
Pura Luhur Natar Sari Apuan

Stana Sang Hyang Siwa Pasupati,Tempat ''Paruman'' Barong
Jika umat Hindu pedek tangkil ke Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan pada saat pujawali ageng, ada sesuatu yang unik dapat disaksikan. Pura yang di-empon lima desa adat -- Apuan, Jelantik, Tua, Bunutin dan Pinge -- itu dikenal sebagai kahyangan tempat nunas pasupati tapakan barong. Maka ketika berlangsung pujawali -- yang jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Wuku Krulut Tumpek Krulut (setahun sekali) -- puluhan tapakan barong lunga ke pura tersebut. Barong yang menjadi sungsungan umat Hindu di lima kabupaten di Bali itu datang mengikuti prosesi katuran tengah malam, dan sebagian di antaranya masolah. Apalagi yang unik di kahyangan jagat itu?
========================================================


PURA Natar Sari terletak di perkampungan -- Desa Apuan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, sekitar 40 km utara Denpasar. Di pura ini terdapat pelawatan Ida Batara sejenis wayang wong yang memakai figur dan topeng wayang seperti Rahwana, Hanoman, Sugriwa, Anila dan dua punakawan Sangut dan Delem. Figur-figur pelawatan itu berjumlah sembilan.


Dalam Purana Pura Luhur Natar Sari yang ditulis K. Sudarsana dan I Wayan Widarsana, S.Sos. disebutkan, tapakan berjumlah sembilan itu disebut Nawa Sanga atau Gunung Sia adalah perwujudan atau manifestasi Tuhan dalam bentuk Dewata Nawa Sanga yang disimbolkan dengan tokoh pewayangan.


Anoman, warnanya putih merupakan perlambang Dewa Iswara bersenjata bajra. Anggada, warnanya dadu merupakan perwujudan Sang Hyang Maheswara. Singanana warnanya merah lambang Dewa Brahma. Sugriwa warnanya jingga perlambang Dewa Rudra, Sangut atau Ratu Ngurah Ketut warnanya kuning perlambang Dewa Mahadewa. Anila warnanya hijau perlambang Dewa Sangkara. Delem atau Ratu Ngurah Made warnanya kehitam-hitaman perwujudan Dewa Wisnu. Sempati warnanya abu-abu perlambang Dewa Sambu dan Rahwana atau Ratu Ngurah Sakti Ngawa Rat dengan warna mancawarna perwujudan Dewa Siwa. Pewayangan Ida Batara tersebut merupakan manifestasi Sang Hyang Siwa Pasupati -- Tuhan Yang Mahakuasa.


Di pura yang satu areal dengan Pura Puseh Desa Adat Apuan dan Jelantik ini terdapat sejumlah pelinggih. Pelinggih yang digunakan untuk memuja kebesaran Ida Sang Hyang Widi Wasa adalah Padmasana (Padma Lingga). Padmasana tinggi besar itu berdiri menghadap ke selatan, berdampingan dengan Padma Tiga dan Gedong Simpen. Di atas Padmasana ditempatkan sebuah batu hitam berisi tapak tangan (kara tala). Di utamaning mandala pura juga terdapat pelinggih Padma Tiga, pesimpangan Pura Dalem Peed, pesimpangan Pura Batu Bolong, Pesimpangan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Ulun Danu, Pesimpangan Pura Jati dan sebagainya. Pelingih lainnya berupa Papelik, Gedong Simpen, Bale Pawedan, Bale Pemayasan, Meru Tumpang Tiga, Panglurah, dan sejumlah Bale Paruman.


Pura Luhur Natar Sari memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa (juga di wilayah Kecamatan Baturiti). Pura Pucak Padang Dawa merupakan payogan Ida Batara yang distanakan di Pura Luhur Natar Sari. Atau, Pura Natar Sari merupakan penataran dari Pura Pucak Padang Dawa. Hal itu dikuatkan oleh uger-uger atau bukti-bukti di antaranya, jika tapakan Ida Batara Pura Natar Sari akan melancaran/lunga/ngunya ke jaba kuta, pertama-tama mesti makolem -- napak pertiwi/mayasa di payogan Ida Batara di Pura Luhur Pucak Padang Dawa. Bukti lainnya, pemangku Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa dan pemangku Pura Dalem Purwa Pucak Padang Dawa berasal dari Apuan. Apit lawang pada kebanyakan pura di Bali berupa pelinggih, namun di Pura Pucak Padang Dawa berupa manusia hidup yang berasal dari Desa Apuan -- yang pratisentana-nya masih ada sampai sekarang.


Bukti lainnya, pada saat pujawali ageng di Pura Luhur Natar Sari, wajib ngunggahang upakara (banten) di Pura Penataran Agung Pucak Padang Dawa. Selain memiliki keterkaitan dengan Pura Pucak Padang Dawa, Pura Luhur Natar Sari juga terkait dengan Pura-pura lain. Misalnya, Pura Pucak Peninjauan di Banjar Tampakkarang Apuan, Pura Bakungan di Banjar Uma Poh, Desa Bangli-Baturiti, Pura Pucak Sari Nadi-Baturiti, Pura Batu Lumbang di Desa Sandan-Baturiti, Pura Bukit Sari Baturiti, Pura Gunung Lebah di Banjar Tegeh-Angseri, Pura Paruman di Belayu-Marga, Pura Puser Tasik-Marga, Pura Batu Bolong Canggu-Badung, Pura Pucak Sangkur di Candi Kuning, dan Pura Dalem Peed-Klungkung.


Pura Natar Sari terkait pula dengan Pura Pucak Anyar--Pesimpangan Pura Pucak Pengungangan-Baturiti, Pura Taman Sari di Banjar Apit Yeh-Baturiti, Pura Jemeng di Banjar Pinge-Marga, Pura Purusadha (Pura Sada) Kapal-Badung, Pura Bukit Gede Poyan Luwus-Baturiti, Pura Panti Apuan, Pura Bencuing-Kukub-Perean, Pura Pucak Tinggan-Angseri Tabanan, Pura Penataran di Banjar Sandan-Baturiti, Pura Taman Ayun-Mengwi Badung, Pura Tri Kahyangan Desa Adat Apuan-Jelantik Baturiti Tabanan, Pura Bukit Sari Apuan Tabanan, Pura Puseh Desa Adat Tua-Marga Tabanan, Pura Pucak Rinjani-Baturiti Tabanan, Pura Jati, Batur, Kintamani-Bangli, Pura Campuan Ubud-Gianyar, Pura Kekeran Manik Gunung, Pura Katik Lantang Ubud Gianyar, dan Pura Puseh Gelagah-Marga Tabanan.


Tahun 2004 di Pura ini sempat digelar Karya Agung Mamungkah lan Ngenteg Linggih mengambil tingkatan utamaning utama. Pujawali di Kahyangan Jagat yang bertepatan dengan rerahinan Tumpek Krulut ini, selalu ngerawuhin barong dalam jumlah yang banyak. Demikian pula pada pujawali Sabtu (8/3) lalu, 27 tapakan barong yang menjadi sungsungan ribuan umat Hindu di lima kabupaten -- Tabanan, Gianyar, Badung, Bangli dan Jembrana -- hadir mengikuti prosesi upacara yang dalam bahasa umat setempat disebut katuran.


Dalam prosesi katuran, seluruh Tapakan Ratu Gede napak pertiwi. Sesuhunan di Pura Luhur Natar Sari -- Ida Batara Nawa Sanga dan semua Tapakan Ratu Gede -- diturunkan dari Bale Paruman, Bale Tiang Sanga dan Bale Pemayasan guna napak pertiwi. Para penyungsung mundut Ida Batara selama upacara katuran yang berlangsung sekitar dua jam. Para pamedek saling bergantian mundut Ida Batara, menambah eratnya rasa persaudaraan (penyamabrayan). Para pemangku dari berbagai desa pakraman bahu-membahu ngaturang ayah. Mereka mengantarkan umat ngaturang bakti ke hadapan Hyang Widi, guna memohon kerahayuan jagat.
Setelah katuran selesai Ida Tapakan Ratu Gede kembali distanakan di Bale Paruman. Beberapa di antaranya lalu dipentaskan (masolah). Para pamedek sama-sama menyaksikan pergelaran tari wali tersebut.


Prosesi ritual seperti itu sesungguhnya berdimensi religius sekaligus sosial-budaya. Artinya, masyarakat Hindu dari berbagai daerah selain terlibat dalam proses ritual dalam rangka memohon kerahayuan jagat, juga menyatu dalam kebersamaan, mempererat tali kekerabatan, berinteraksi membangun kesadaran beragama dan melestarikan budaya. * subrata
source : BaliPost
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.