• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Pura Bukit Dharma Di Kutri,

MASUKNYA BUDAYA HINDU KE BALI

Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali.

Seperti apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu?

Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini.

Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur. Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan.

Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri.

Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga. Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini.

Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya. Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat.

Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung.

Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini. Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya.

Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali. Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung.

Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin. Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno.

Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.

Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali.

Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi.

Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.

Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura. Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan. Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi. Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan. Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah. * BaliPost / suastra
 
Pura Jenggala

Pura Jenggala, Hulu Prajapati di Bali
Nityamewa sukham svarge sukham duhkhamilobhayam.
Narake duhkhamevaitam mokse tu paraman sukham.
(Sarasamuscaya 362)

Maksudnya
Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan yang terluhur yang didapatkan.

SALAH satu kompleks Pura Besakih ada yang bernama Pura Jenggala. Pura ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura ini terletak di sebelah kanan Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang jalan atau di sebelah utara jalan atau menurut pengelihatan umum di barat jalan berseberangan dengan Candi Bentar Pura Penataran Agung Besakih.

Mengapa pura ini bernama Pura Jenggala dan Pura Hyang Haluh, saya belum menjumpai sumber penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa ada hubungannya dengan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, hal tersebut sungguh masih sangat samar sekali. Namun dari kata Hyang Haluh kemungkinan lain nama dari sebutan Ida Rat Ayu. Kata Hyang artinya yang suci. Kata Haluh mungkin berasal dari kata Galuh yang menunjukkan identitas wanita cantik atau ayu.


Dengan demikian Hyang Haluh itu identik atau juga lain nama dari Ida Ratu Ayu. Pelinggih utama di Pura Jenggala atau Hyang Haluh ini adalah sebuah Gedong beratap ijuk sebagai tempat pemujaan Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah salah satu manifestasi Siwa Durgha sebagai penguasa Setra.


Di setra desa pakraman umumnya disebut Sedahan Setra ada juga yang menyebut Siwa Bairawa. Pura Jenggala ini oleh Desa Pakraman Besakih difungsikan sebagai Pura Prajapati. Saat ada orang ngaben di pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug tanah untuk membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan memukul tanah tiga kali, tentunya dengan suatu ritual tertentu.

Upacara ini ada juga yang dipimpin oleh Pandita Dwijati. Memukul tiga kali ini adalah suatu simbol kebaikan atau kesucian. Tiga kali itu simbol tujuan prosesi upacara Pitra Yadnya untuk mengantarkan Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus diharapkan mencapai Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang itu meninggal Atman atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben melalui Ngaskara maka rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atman Wedana seperti upacara Nyekah, Memukur atau Maligia maka Sang Hyang Atma sebutannya meningkat menjadi Dewa Pitara.

Saat roh masih dalam status Preta keluarganya belum mampu menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang Roh adalah Sanggah Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat itulah ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada Sang Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.


Kalau sudah saatnya akan melaksanakan upacara ngaben tiga hari sebelumnya ada proses upacara ada yang menyebut upacara ngendagin atau upacara ngebug tanah yang bertujuan memanggil sang roh yang masih dalam status Preta dengan permakluman atau atur piuning pada Sedahan Setra yang di Pura Jenggala disebut Ida Ratu Ayu lain sebutan dari Sang Hyang Siwa Durgha.


Jadinya Pura Prajapati itu adalah salah satu bagian dari simbol Para Loka tempat sementara sang Preta berada sebelum diupacarai oleh keluarganya yang masih hidup. Keberadaan Para Loka ini harus diyakini sebagai umat Hindu. Kalau tidak yakin pada keberadaan Para Loka ini menurut Sarasamuscaya 110 maka kita akan sengsara dalam hidup ini dan kelak.


Menurut Lontar tentang Pitra Yadnya seperti Yama Purana Tattwa menyatakan bahwa kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak distanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya maka sang roh akan menjadi apa yang disebut Atma Diyadiyu dan akan gentayangan ke desa-desa mengganggu kehidupan di dunia sekala. Mensatnakan roh yang masih berstatus Preta itu dilakukan dengan Tirtha Pengentas Tanem. Nanti kalau sudah ngaben akan dilanjutkan dengan Tirtha
Pengentas Pemuput.

Demikianlah fungsi Pura Prajapati yang hulunya di Pura Jenggala di kompleks Pura Besakih. Kemungkinan istilah Jenggala ini berasal dari kata ''Jeng'' dan ''Gala''. ''Jeng'' artinya sebutan kehormatan untuk wanita dan kata ''gala'' dalam bahasa Jawa kuno artinya lampu penerangan. Mungkin pula kata ''jeng'' itu berasal dari kata Rahajeng yang artinya rahayu atau selamat. Dan dari kata ''gala'' yang berarti lampu ini menjadi kata ''galang''.

Dengan demikian tujuan dari permohonan kepada Sedahan Setra atau Ida Ratu Ayu ini agar roh yang masih Preta ini terus-menerus mendapatkan penerangan kerahayuan dari Tuhan yang disebut Ida Ratu Ayu atau Sedahan Setra. Dengan demikian istilah Jenggala adalah sebutan lain dari Ratu Ayu sebagai Dewi yang berfungsi memberikan penerangan kepada roh yang masih berada di bawah pengawasan Ida Ratu Ayu yang berstana di Pelinggih Gedong di Pura Jenggala itu.

Sebelum dilakukan upacara ngaben roh atau Preta yang berada di Setra mendapatkan penerangan di setra lewat Pura Prajapati. Karena saat masih hidup di dunia sekala ini manusia terus-menerus menghadapi gelombang suka dan duka. Barang siapa yang bisa tidak kacau atau dapat mengendalikan diri dalam gelombang suka duka di dunia sekala ini ialah dapat disebut manusia hidup berbahagia.

Dalam Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan Samaduhkham dhiram.
Artinya, Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Karena di dunia ini hidup akan selalu menghadapi suka dan duka sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sarasamuscaya di atas.


Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka. Karena itu perlu diupacarai ngaben. Upacara ngaben itu hanya menambah karma baik dari sang roh kalau ngaben itu dilakukan dengan upacara Satvika Yadnya atau upacara yadnya yang berkwalitas. Tetapi kalau sebaliknya justru dapat menambah dosa. Karena yang paling menentukan adalah karma yang bersangkutan. Kalau lebih banyak karma buruk yang diperbuat upacara ngaben itu hanya menambah karma baiknya saja, sehingga karma buruknya sedikit berkurang. Hanya permohonan umat agar leluhur yang diaben mendapatkan sorga.
* I Ketut Gobyah
 
Pura Luhur Serijong

Pura Luhur Serijong - Bermula dari Sebuah Cahaya

Pura Luhur Serijong terletak di Banjar Payan, Desa Pakraman Batu Lumbang, Antap Selemadeg. Pura ini berlokasi sekitar 15 km dari Tabanan arah barat atau 45 km dari Denpasar. Aura religius sangat dirasakan ketika memasuki areal pura yang terletak di tepi pantai ini. Pura Serijong merupakan salah satu pura di Bali yang letaknya di tepi laut yang salah satu wujud pemujaannya adalah Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan (Ida Batara Segara). Bagaimana sejarah pura tersebut? Makna apa yang bisa dipetik di balik bangunan suci itu?
==========================================================

PENDIRIAN Pura Serijong ini juga memiliki sejarah yang unik. Di mana pada zaman lampau masyarakat sekitar yang kala itu sebagian besar tinggal di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai yang berbatu karang. Di sekitar cahaya itu, dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di tempat itu yang merupakan batu karang dibangunlah sebuah pura oleh masyarakat sekitar dan diberi nama Pura Luhur Serijong. Maka sangat pantaslah pura yang masih terkait dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra ini berfungsi sebagai penerang, pemberi pengetahuan bagi umat manusia.

Pura Luhur Serijong menurut beberapa catatan dibangun hampir bersamaan dengan Pura Rambut Siwi di Jembrana dan Pura Tanah Lot yakni pada abad XVI Masehi yang masih berkaitan dengan perjalanan Dang Hyang Dwijendra yang bergelar Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Sebanyak 24 desa pakraman yang terdiri atas ribuan umat Hindu di sekitarnya menjadi penyungsung dari pura ini sejak turun-temurun. Buda Umanis Prangbakat merupakan piodalan di pura ini yang sangat ditunggu-tunggu oleh krama. Bukan hanya dari daerah Selemadeg, umat dari berbagai wilayah di Bali kerap pedek tangkil ke pura ini. Beberapa pelinggih yang ada di utama mandala pura ini yakni Meru Tumpang Tiga sebagai wahana pemujaan Ida Dang Hyang Dwijendra, Pelinggih Ida Batara Segara, Padmasana, Pelinggih Pasimpangan Rambut Siwi, Pelinggih Ida Batara Rambut Sedana, Pelinggih Taksu Agung dan Pengeruak.

Secara filosofis, selain berupa pemujaan Tuhan dalam wujud cahaya (sinar) pada mulanya, pura ini juga sebagai pemujaan Dang Hyang Dwijendra yang merupakan guru yang sangat berjasa di Bali dan mampu memberikan penerangan. Pemujaan Tuhan dalam manifestasi penguasa lautan yang dalam Hindu dikenal dengan Dewa Baruna juga menjadi objek pemujaan di pura ini. Selain itu, adanya Pasimpangan Ida Batara Rambut Sedana sebagai sarana untuk memohon berkah dan kerahayuan. Keheningan dan kesejukan membuat pura ini cocok untuk melakukan pemujaan serta meditasi memuja keagungan-Nya.

Pemangku Gede Pura Serijong I Made Suada menuturkan, ada beberapa versi yang berkembang berkenaan dengan keberadaan Pura Luhur Serijong ini. Tetapi secara umum yang paling diterima oleh masyarakat adalah awal pendirian pura ini pada zaman dahulu ketika masyarakat sekitar melihat sinar terang di tepi laut yang berbatu karang tersebut. Diketahui sebagai suatu pertanda baik, maka di tempat ini didirikanlah pura.

Selain itu dalam perjalanannya, Dang Hyang Dwijendra ketika berkeliling Bali menyebarkan ajaran dharma untuk menata umat beragama di Bali, sempat singgah dan melakukan pemujaan di tempat ini. Masyarakat sekitar sangat terkesan dengan aura kepanditaan beliau, sehingga diputuskan untuk membangun pelinggih sebagai sarana memuja beliau sebagai guru bagi umat manusia.

Hingga kini beliau dipuja pada pelinggih utama berupa Meru Tumpang Telu. Sinar terang pengetahuan, wujud bakti kepada Ida Batara Segara, memohon kerahayuan dan hormat pada guru adalah ciri khas dari pura ini.
Beberapa kali, kata Suada, dilakukan rehab atas pura ini, di antaranya rehab besar dilakukan tahun 1949-1950 dan dilakukan upacara ngenteg linggih tahun 1952. Tahun 1996-2003 pengempon pura kembali melakukan rehab dan dilakukan upacara ngenteg linggih serta mamungkah tahun 2003 lalu. Puri Agung Tabanan merupakan pangrajeg dari pura ini, sementara panganceng adalah Jero Subamia.

Segala aktivitas, baik pembangunan fisik maupun upacara tidak terlepas dari peran Puri Tabanan dan Jero Subamia. Bahkan, penglingsir Jero Subamia IGG Putra Wirasana yang juga Wakil Bupati Tabanan turut aktif mengkoordinir pembangunan beberapa fasilitas pelengkap dari pura ini. Walau keberadaan pura ini cukup aman, namun abrasi selalu terjadi pada areal tepian pantai akibat besarnya gelombang.

Beruntung telah ada beberapa bantuan yang sangat membantu dalam pengamanan pantai dengan tanggul panjang 80 meter dan pemecah gelombang. Abrasi juga mengikis beberapa situs dan peninggalan penting yang terdapat di sekitar areal ini, oleh karena itu perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan.

Selain peninggalan purbakala yang terdapat pada beberapa lokasi, pemangku setempat menyatakan juga terdapat beberapa peninggalan kuno yang berupa arca yang disucikan.
''Payuk'' Kebo Iwa

Areal lain yang masih menjadi satu areal dengan keberadaan pura ini adalah kawasan disucikan yang menurut legenda dan kepercayaan masyarakat setempat merupakan situs peninggalan Kebo Iwa, patih Bali yang sangat termashyur. Di sana terdapat sebuah batu karang dikelilingi pasir dan air laut, berukuran kurang lebih 3 meter, disebut Payuk Kebo Iwa.
Payuk berarti periuk, yang dipercaya milik Kebo Iwo. Di sebelah baratnya, di samping Pura Luhur Serijong, terdapat batu karang yang persis seperti dapur penduduk asli, berukuran lebih kurang 1 x 20 meter. Di sanalah Kebo Iwa diyakini memasak dengan mempergunakan periuknya tersebut.
Di pantai Payan juga bisa dilihat berbagai peninggalan Kebo Iwa yang legendaris. Misalnya dapur, meja, tempat air, tempat duduk, sisa-sisa nasi dan tempatnya bertapa seperti sebuah batu pipih yang sangat halus. Lokasinya di sebelah selatan pura, di kaki jurang yang dalam dan terjal. Peninggalan-peninggalan itu sekarang sudah membatu, untuk melihatnya harus menunggu air laut surut.

Di pantai Payan ini terdapat sebelas kelebutan air tawar warna-warni yang dipercaya bisa membuat awet muda. Juga terdapat pasiraman toya leh yang diyakini tempat permandian Kebo Iwa ketika melakukan misi pengamanan laut.

Di bawah pura terdapat goa yang besar dan dalam. Ujungnya tepat berada di bawah Meru Tumpang Telu. Di ujung goa, terdapat batu menyerupai Padmasana, sthana Ida Sang Hyang Widhi. Goa ini berukuran panjang sekitar 40 meter, jauh menjorok ke dalam, lebar 17 meter serta dengan ketinggian sekitar 10 meter pada bibir goa. Goa ini dihuni oleh kelelawar yang keberadaannya tidak pernah diganggu manusia.

Menurut keterangan pemangku setempat, kelelawar di goa ini berjumlah puluhan ribu yang terdiri atas tiga jenis yang dalam bahasa Bali dikenal dengan jempiit, lelawah dan balongan. Pada hari-hari tertentu, kelelawar ini keluar dan melakukan perjalanan hingga menimbulkan barisan yang sangat panjang.

Di tepi goa ini terdapat Pelinggih Biang Sakti dan terdapat beberapa mata air yang dianggap suci. Namun karena ada aktivitas pembuatan tanggul, beberapa mata air sulit untuk ditemukan kembali. Konon, di situlah dulu Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing. Pada waktu-waktu tertentu kedua pengawal itu menampakkan diri. Kawasan yang luasnya beberapa kilometer ini merupakan areal yang dijaga kesucian dan kelestariannya. Bukan hanya karena adanya legenda Kebo Iwa, tetapi diyakini bukan merupakan kawasan sembarangan, sehingga tidak ada fasilitas pariwisata yang dibangun berdekatan dengan areal ini. *(balipost / upi)
 
Pura Batu Madeg

Memuja Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg

Ma kakambiram ud vrho navaspatim asastir vi hi ninasah.
(Regveda VI.48.17}
Ma apo himsir, ma aosadhir hmsaih.
(Yajurveda VI.22).

Maksudnya:
Janganlah menebang pepohonan sembarangan, karena pohon itulah yang menyingkirkan pencemaran.
Janganlah mencemari air dan menyakiti tumbuhan, karena ialah yang memberikan kita kehidupan.

PURA Batu Madeg adalah tempat suci umat Hindu yang terletak di utara Pura Penataran Agung Besakih. Disebut Pura Batu Madeg karena di pura tersebut terdapat sebuah batu yang tegak. Batu madeg dalam bahasa Bali diartikan batu tegak berdiri. Batu madeg dalam ilmu arkeologi disebut menhir, pada zaman kebudayaan megalitikum.

Batu Madeg ini simbol pemujaan Batara Ida Ratu Sakti Watu Madeg manifestasi Ida Batara Wisnu dalam sistem pemujaan Paksa Siwa Pasu Pata. Ketika sistem pemujaan itu berubah menjadi Siwa Sidhanta, Batu Madeg itu diletakkan di dalam sebuah Meru Tumpang Sebelas. Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya inilah pelinggih yang utama di Pura Batu Madeg tersebut. Pura ini tergolong Pura Catur Dala berposisi di arah utara, simbol stana Dewa Wisnu dalam konsep pangider-ider Siwa Sidhanta Paksa.

Yang patut kita perhatikan adalah Pelinggih Meru Tumpang Sebelas dengan Batu Madeg di dalamnya. Menhir sebagai peninggalan kebudayaan Hindu zaman megalitikum sebagai simbol pemujaan Batara Wisnu itu tetap dipergunakan, meskipun sistem pemujaan itu sudah berubah. Meskipun yang dominan sistem Siwa Sidhanta Paksa, tetapi Paksa Siwa Pasupata tetap juga dilanjutkan, bahkan dipadukan dalam satu tempat pemujaan. Ini artinya perbedaan paksa atau sekte keagamaan itu tidak menjadi persoalan di antara kelompok sosial keagamaan Hindu tersebut. Apalagi perbedaan kedua paksa keagamaan Hindu saling melengkapi.

Siwa Pasupata lebih menekankan pada arah beragama ke dalam diri atau Niwrti Marga. Sedangkan Siwa Sidhanta suatu paksa keagamaan Hindu yang juga sekte Siwa lebih menekankan pada arah beragama keluar diri atau Prawrti Marga. Kedua arah beragama ini memang berbeda tetapi saling melengkapi. Demikian bijaksananya leluhur umat Hindu di Bali dalam mengelola perbedaan. Tidak terjadi satu sekte merendahkan sekte yang lainnya. Pada zaman modern dewasa ini hal itu patut kita renungkan dalam mengelola perbedaan. Lebih-lebih ke depan keadaan zaman akan semakin heterogen dalam segala tatanan kehidupan, termasuk dalam kehidupan beragama. Apalagi agama Hindu menyediakan banyak jalan untuk mengembangkan diri dalam bidang spiritual menurut kitab suci Veda. Terjadinya berbagai perbedaan penampilan luar dari sistem beragama Hindu bukan sebagai suatu pertentangan. Tetapi itulah keindahan dari Hinduisme.

Pura Batu Madeg sesungguhnya menghadap ke barat ke arah Pura Ulun Kulkul. Tetapi umat pada umumnya merasakan pura itu menghadap ke selatan. Di Pura Batu Madeg ini terdapat lima buah pelinggih Meru. Di sisi timur areal jeroan pura, berjejer dari utara ke selatan. Dari utara ada dua Meru Tumpang Sembilan. Yang paling utara merupakan Pelinggih Ida Manik Angkeran. Di selatannya Pelinggih Ida Ratu Mas Buncing. Di selatan pelinggih Ida Ratu Mas Buncing adalah Meru Tumpang Sebelas yang di dalamnya ada Batu Madeg. Meru inilah sebagai pelinggih yang paling utama sebagai stana pemujaan Batara Sakti Batu Madeg sebagai manifestasi Batara Wisnu.

Di selatannya ada Pelinggih Meru Tumpang Sebelas juga sebagai Pelinggih Ida Batara Bagus Bebotoh. Di pelinggih ini umat memuja Tuhan agar dapat mengalihkan sifat bebotoh berjudi menjadi bebotoh bekerja untuk tujuan yang mulia. Umat jangan salah tafsir Pelinggih Ida Batara Bebotoh itu bukan tempat pemujaan umat agar menang berjudi. Sebab, ajaran Veda sangat melarang umatnya berjudi. Meru Tumpang Sebelas yang paling selatan sebagai Pelinggih Ida Ratu Manik Bungkah. Pelinggih ini mungkin ada kaitannya dengan fungsi Tuhan sebagai Batara Wisnu untuk melindungi kesuburan tanah.

Sebab, hanya air yang dapat menembus tanahlah yang akan dapat menyuburkan tanah. Hal ini dimaksudkan agar umat jangan menutup lahan sebagai daerah resapan. Kalau lahan resapan tertutup maka air akan langsung terbuang ke laut. Ini artinya memuja Batara Manik Bungkah sebagai media spiritual untuk memotivasi umat agar senantiasa melindungi daerah resapan air agar tanah dengan akar-akar pepohonannya dapat berfungsi bagaikan waduk menyimpan air sepanjang masa.

Keberadaan tanah yang penuh dengan pepohonan itu akan dapat menyerap air dan pohon juga dapat membersihkan pencemaran udara dan juga air. Memuja Tuhan sebagai Batara Wisnu adalah memotivasi diri umat agar senantiasa melindungi keberadaan air dan pepohonan. Sebab, keberadaan alam itulah yang akan membuat hidup kita menjadi lestari.

Di depan Meru Tumpang Sebelas, pelinggih pemujaan Batara Sakti Batu Madeg terdapat Balai Pesamuan yaitu pelinggih yang berentuk segi empat dengan enam belas tiang berjejer dua baris. Jajar baris di luarnya disebut jajar dan yang di dalamnya disebut beti. Balai Pesamuan inilah sebagai media untuk turun ke dunia berkumpulnya semua sidhinya Batara Wisnu sebagai pemelihara dan pelindung ciptaan Tuhan. Balai Pesamuan itu akan sangat kelihatan fungsinya terutama saat ada pujawali dan upacara yadnya yang besar. Di sebelah kanan Balai Pesamuan terdapat Balai Sedahan Ngerurah terdapat sebuah Lingga yang wujudnya sangat sempurna sebagai media pemujaan Dewa Siwa dalam budaya megalitikum. Di sebelah Meru Pelinggih Ratu Bagus Bebotoh terdapat Pelinggih Pepelik stana Batara Hidung Lantang sebutan masyarakat pada Batara Gana. Upacara Piodalan di pura ini setiap enam bulan wuku yaitu setiap Soma Umanis Wuku Tolu.

Di pintu atau pemedal jeroan pura terdapat pelinggih yang disebut Balai Pegat bertiang delapan dengan dua balai yang terpisah. Balai Pegat ini fungsinya untuk nunas Tirtha Pangelukatan sebagai simbol umat berkonsentrasi memusatkan pikirannya pada Ida Batara Sakti Batu Madeg dan untuk sementara melupakan hal-hal yang bersifat duniawi.
* I Ketut Gobyah
 
Pelinggih Tiga Pandita di Pura Besakih

Sang Hyang Brahma Aji maputra tetiga, panua Sang Siwa, pamadya Sang Bodha, pamitut Sang Bujangga, Sang Siwa kapica Agninglayang amrestista akasa, Sang Bodha kapica Agnisara amrestista pawana, Sang Bujangga kapica Agni Sinararasa Mratista sarwaprani, iti ngaran Sang Tri Bhuwana Katon.
(Dipetik dari Lontar Ekapratama)

Maksudnya:
Hyang Brahma berputra tiga yaitu tertua Sang Siwa, yang kedua Sang Bodha dan yang terkecil Sang Bujangga. Sang Siwa diberi senjata Agni Ngelayang untuk menyucikan akasa, Sang Bodha diberi senjata Agnisara untuk menyucikan atmosfir dan Sang Bujangga diberi senjata Agni Sinararasa untuk menyucikan sarwaprani. Beliau ini disebut Sang Tri Bhuwana Katon.

Di jajaran belakang Padma Tiga dan di depan Balai Pesamuan terdapat tiga pelinggih berjejer. Pelinggih itu umum menyatakan berbentuk gedong, tetapi menurut pendapat penulis itu adalah Pelinggih Meru Tumpang Siki. Pelinggih yang di tengah sebagai pemujaan Mpu Beradah, di kirinya Pelinggih Sang Hyang Siem dan yang di kanan untuk Danghyang Markandia. Tiga pandita ini berbeda paksa, sampradaya atau sektanya.

Mpu Beradah sebagai Pandita Siwa, Sang Hyang Siem adalah dari Budha dan Resi Markandia adalah Bujangga Waisnawa. Tiga pandita atau resi ini nampaknya sebagai perwujudan konsep Sang Tri Bhuwana Katon yang dinyatakan dalam Lontar Eka Pratama. Maksud Sang Tri Bhuwana Katon ini adalah beliau yang suci yang nampak di bumi ini untuk memimpin umat manusia.

Kemungkinan besar konsep Sang Tri Bhuwana Katon ini yang disebut Tri Sadhaka. Kata ''sadhaka'' artinya orang yang mampu melakukan sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal dari kata sadhana yang artinya kegiatan merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah berhasil barulah disebut sadhaka.
Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Lontar Ekapratama tersebut bahwa keberadaan tiga pandita Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia memelihara kelestarian tiga lapisan bhuwana ini yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.

Pada zaman modern sekarang ini tiga lapisan alam itu setiap hari dijejali oleh perbuatan manusia yang dapat mengotori tiga lapisan alam tersebut. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya setiap Sasih Kesanga ada upacara Melasti dan upacara Tawur Kesanga di selenggarakan oleh umat Hindu. Upacara tersebut untuk mengingatkan umat agar dalam hidupnya ini senantiasa menegakkan upaya memuja Tuhan untuk menegakan Rta dan Dharma.

Kalau keberadaan alam selalu sesuai dengan Rta maka alam itu akan menjadi sumber penghidupan umat manusia sepanjang zaman. Demikian pula kalau dharma selalu tegak sebagai dasar kehidupan bersama dalam masyarakat maka manusia pun akan selalu dapat mewujudkan kebersamaan yang baik sebagai lingkungan sosial yang dinamis, harmonis dan sinergis. Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta dan dharma inilah sesungguhnya aplikasi Tri Hita Karana.

Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Sedangkan pemujaan Tuhan untuk tegaknya dharma akan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Artinya pemujaan Tuhan yang menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan itu untuk Rta dan dharma.

Saat diselenggarakannya Tawur Kesanga untuk ditingkat propinsi ada tiga pandita yang mapuja. Tiga pandita inilah yang disebut oleh masyarakat umum Tri Sadaka. Pandita Siwa memuja untuk memohon kepada Tuhan agar umat dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengotori akasa. Pandita Budha memuja untuk memohon kepada Tuhan demi kebersihan lapisan atmosfir. Sedangkan Pandita Bujangga memuja Tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani.

Tiga lapisan alam ini sesungguhnya tidak terpisah-pisah adanya satu sama lain saling tergantung. Kalau salah atau lapisan yang rusak akan dapat merusak lapisan yang lain. Nampaknya pembuatan pelinggih untuk pemujaan tiga pandita ini didasarkan oleh Lontar Eka Pratama yang dikutip di atas.

Dari penempatan tiga pelinggih untuk tiga resi atau pandita itu dapat diambil sebagai suatu teladan bagi umat Hindu terutama yang ada di Bali bahwa tiga resi itu sebagai penuntun umat dalam mengembangkan pembinaan kehidupan alam dan manusia secara seimbang. Tiga pandita resi itu adalah sebagai Adi Guru Loka artinya sebagai guru yang utama dari masyarakat.

Pemujaan pada tiga sadhaka inilah sebagai suatu peringatan pada umat untuk berguru dalam menjaga kelestarian ibu pertiwi dengan enam hal. Enam hal yang harus dilakukan untuk menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1.Ena hal itu adalah ''Satya. Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya. Umat pada umumnya dalam melakukan upaya melakukan enam hal menjaga ibu pertiwi atau Sad Pertiwi Daryante. Hendaknya senantiasa memohon tuntunan tiga macam pandita tersebut. Memohon tuntutan untuk menjaga kelestarian akasa, kebersihan udara dari polusi (amratistha pawana) dan menjaga kelestarian sarwaprani.

Satya adalah adalah sikap hidup yang konsisten dan konsekuen bertindak berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya). Rta adalah perilaku yang menjaga kesejahteraan alam, Tapa adalah perilaku membina ketahanan diri untuk melawan binakinya hawa nafsu. Diksa adalah suatu upaya untuk terus berupaya mencapai kehidupan suci sampai mencapai status Dwijati.

Artinya tidak hanya lahir dari rahim ibu saja, tetapi bisa lahir dari rahimnya Weda melalui tuntunan pandita atau resi. Brahma artinya selalu berdoa dan belajar dengan tekun. Doa dengan mengucapkan mantra-mantra Veda tersebut dapat menguatkan eksistensi Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan.

Yadnya adalah sikap hidup yang senantiasa tulus dan ikhlas untuk rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia. Enam hal itulah yang wajib dilakukan oleh umat atas tuntunan tiga pandita resi untuk menjaga agar Sad Pertiwi Daryante itu terlaksana dengan baik. *I Ketut Gobyah
 
Pura Bukit Sari di Sangeh

Avir vai nama devata
rtena aste parivrta
tasya rupena ime vrksah
hrita haritasrajah.
(Atharvaveda.X.44.1).

Maksudnya:
Terdapat warna hijau pada daun tumbuh-tumbuhan (klorofil) yaitu unsur yang menyelamatkan hidup yang ada pada hijau daun. Ia ditutupi oleh rta. Karena itu zat warna hijau tersebut yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan berkhasiat obat.

HUTAN pohon pala di Desa Sangeh tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Pura Bukit Sari yang berada di tengah hutan pala tersebut. Keberadaan pohon pala ini memang sedikit unik. Karena di sekitar daerah tersebut tidak ada pohon seperti itu.

Hutan pohon pala ini disebut Bukit Sari, padahal daerah di mana pohon pala itu tumbuh berupa dataran saja bukan bukit. Entah siapa yang memberikan nama pohon ini pohon pala. Mungkin tak ada yang pasti tahu betul. Dalam bahasa Sansekerta kata pala artinya melindungi, sedangkan kata phala artinya buah.

Untuk menyebutkan nama pohon di Pura Bukit Sari Sangeh ini apa pala atau phala, penulis sendiri tidak jelas tahu asal-usulnya. Kalau digunakan kata pala, memang pohon besar dan tinggi-tinggi tersebut sebagai pohon pelindung. Akarnya dalam dan luas dapat meresap dan menyimpan air hujan. Pohonnya yang besar tinggi dan rindang dengan daunnya yang hijau itu juga dapat melindungi udara dari polusi. Karena dalam daun yang hijau itu terdapat unsur yang melindungi kehidupan di sekitarnya. Partikel-partikel kimia yang beterbangan di udara karena ulah manusia dapat disaring oleh hijauan dedaunan dari pohon-pohon di hutan pala tersebut. Banyak lagi sesungguhnya fungsi hutan kalau dilihat dari sudut kehidupan di bumi ini.

Adanya Pura Bukit Sari di hutan pohon pala Desa Sangeh Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung ini diceritakan secara mitologis dalam Lontar Babad Mengwi. Diceritakan putri Ida Batara di Gunung Agung berkeinginan untuk disungsung di Kerajaan Mengwi. Atas kehendak beliau maka hutan pala yang ada di Gunung Agung tempat putri Ida Batara Gunung Agung bermukim pindah secara misterius pada waktu malam.

Perjalanan belum sampai di Kerajaan Mengwi, keadaan sudah siang dan telanjur ada yang mengetahui perjalanan tersebut. Hal ini konon yang menyebabkan hutan pala tersebut tidak bisa berjalan lagi menuju Mengwi dan berhenti di Desa Sangeh sekarang. Konon putra angkat Raja Mengwi yang pertama I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan menemukan bekas bangunan pelinggih.

Putra angkat Raja Mengwi tersebut bernama Anak Agung Ketut Karangasem. Atas penemuan tersebut Cokorda Sakti Blambangan memerintahkan untuk membangun kembali pura tersebut dan diberi nama Pura Bukit Sari. Yang dipuja di pura tersebut adalah Ida Batara Gunung Agung dan Batara Melanting. Pura Besakih di lereng Gunung Agung itu tergolong Pura Purusa atau sebagai jiwa dari Pulau Bali.

Di Gunung Agung-lah berbagai nilai suci ajaran Weda divisualkan dalam wujud bangunan suci. Berbagai gagasan hidup untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir batin di bumi ini divisualkan dalam wujud bangunan suci dan ritual sakral di Pura Besakih. Sedangkan pemujaan pada Ida Batara Melanting dalam tradisi Hindu di Bali sebagai Dewa Pasar.

Menurut Prof Dr. I Made Titib, Ph.D., Batara Melanting itu tiada lain sebutan untuk Dewi Laksmi bagi umat Hindu di Bali. Dewi Laksmi adalah Dewi Kemakmuran dalam sistem pantheon Hindu. Pemujaan Ida Batara Gunung Agung dan Batari Melanting di Pura Bukit Sari di Desa Sangeh ini adalah bertujuan memuja Tuhan untuk mendapatkan tuntunan spiritual dalam mengembangkan hidup yang penuh dengan gagasan-gagasan kehidupan yang mulia serta untuk membangun kehidupan yang makmur secara ekonomi.

Ini berarti pemujaan pada Tuhan di Pura Bukit Sari itu menanamkan gagasan keseimbangan hidup antara membangun gagasan hidup dengan nilai spiritual dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi. Memang pada kenyataannya kemakmuran ekonomi justru akan menjadi bumerang untuk mendorong pengumbaran hawa nafsu kalau tidak dikendalikan oleh gagasan-gagasan hidup di bidang spiritual.

Kalau dua aspek kehidupan tersebut diwujudkan secara seimbang maka akan terbentuklah manusia dan masyarakat yang seimbang lahir batin. Kalau manusia dan masyarakat yang demikian itu menghuni bumi ini, maka bumi ini akan menjadi wadah kehidupan yang aman, damai dan sejahtra.

Di Pura Bukit Sari ini terdapat tidak kurang dari 36 bangunan suci. Ada palinggih utama dan ada pelengkap. Ada Pelinggih Padmasari penyawangan Ulun Danu Beratan. Ada dua Padmasari sebagai Pelinggih Ratu Puncak Kangin dan Ratu Puncak Kauh. Kemungkinan pelinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting. Ada Pelinggih Meru Tumpang Sembilan. Ada Pelinggih Padmasana sebagai pemujaan Batara Sada Siwa. Ada empat Padmasari lagi masing-masing sebagai pemujaan Pucak Batur, sebagai Pelinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu.

Pemujaan Tuhan dalam berbagai fungsi ini umumnya mengarah pada pemujaan Tuhan sebagai Dewa Kemakmuran. Ada Pelinggih Bale Paselang. Pelinggih ini umumnya digunakan untuk upacara Pedanaan yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Di pelinggih ini dilukiskan secara ritual sakral hubungan bakti manusia kepada Tuhan dan anugerah Tuhan yang di Bali disebut sweca.

Di Pelinggih Paselang inilah dilukiskan bahwa hanya manusia yang sungguh-sungguh bakti pada Tuhan akan mendapatkan sweca atau anugerah dari Tuhan berupa raksanam atau rasa aman dan damai serta dhanam artinya hidup sejahtera. Ini artinya pelinggih yang disebut Bale Paselang ini memotivasi umat Hindu agar jangan hanya memohon wara nugraha Hyang Widhi tanpa melakukan bakti dan pelayanan pada sesama dan menyayangi isi alam ini.

Dengan bakti yang benar manusia dapat membangun struktur diri agar menjadi wadah pengejawantahan kesucian Atman dalam wujud perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bakti manusia dapat menghindarkan diri sebagai wadah pengumbaran hawa nafsu.

* I Ketut Gobyah
Source : balipost
 
Tradisi pendirian Pura Padharma di kompleks Pura Besakih

Padharman Ida Dalem Klungkung
Cinaritan linggih I Dewa Tagal Besung meru tumpang solas; Linggih I Dewa
Samplangan meru tumpang sia abungkul, Linggih I Dewa Enggong meru tumpang pitu abungkul, linggih I Dewa Sagening meru tumpang lima abungkul, linggih I Dewa Made meru tumpang telu abungkul (kutipan Raja Purana Pura Besakih)

Maksudnya:
Diceritakan pelinggih I Dewa Tegal Besung Meru Tumpang Sebelas, pelinggih I Dewa Samplangan Meru Tumpang Sembilan, Palinggih I Dewa Enggong Meru Tumpah Tujuh, pelinggih I Dewa Sagening Meru Tumpang Lima, pelinggih I Dewa Made Meru Tumpang Tiga.

ADANYA tradisi pendirian Pura Padharma di kompleks Pura Besakih maupun di luar Pura Besakih diperkirakan sebagai pengaruh tradisi Hindu dari Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur. Demikian juga halnya dengan Pura Padharman Ida Dalem Klungkung. Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini adalah Pura Padharman yang terbesar di antara Pura Padharman yang ada di kompleks Pura Besakih.

Keberadaan pelinggih di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung amat sesuai dengan bunyi teks kutipan Raja Purana Pura Besakih tersebut di atas. Menurut keterangan Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah dwijati) bahwa Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini sebelum Gunung Agung meletus Maret 1963 berbentuk Prasada. Palinggih Prasada ini terbuat dari batu bata mirip candi-candi di Jawa. Hanya candi di Jawa menggunakan batu andesit.

Seperti Prasada beratap sebelas dibuat dengan batu bata dan pintu masuknya pada atap pertama bertuliskan ''Sang Hyang Eka Twa Dalem Ketut Kepakisan''. Hal ini menunjukkan bahwa di Prasada beratap sebelas ini adalah Padharman dari raja pertama dari keturunan Mpu Kepakisan dari Jawa Timur yang bergelar Ida Dalem Ketut Krsna Kepakisan. Prasada beratap sembilan sebagai Padharman dari Ida Dalem Sri Semara Kepakisan atau sering disebut Dalem Ketut Ngalesir.

Prasada beratap tujuh juga dibuat dari batu bata sebagai Padharman Ida Dalem Baturenggong. Prasada beratap lima sebagai Padharman Ida Dalem Sagening.
Sedangkan Prasada beratap tiga sebagai Padharman Ida Dalem Dimade. Raja yang bergelar Ida Dalem Dimade inilah sebagai Raja terakhir yang bertahta atau purinya di Gelgel atau Sweca Pura. Saat itu, Puri Ida Dalem di Samprangan disebut Linggarsa Pura.

Setelah Ida Dalem Dimade pusat kerajaan berpindah ke Klungkung dengan purinya disebut Smara Pura. Selanjutnya istilah Pura untuk menyebutkan tempat suci seperti Pura Kahyangan, maka pusat kerajaan pun disebut Puri tidak lagi disebut Pura. Di samping Prasada sebagai pelinggih utama terdapat juga dua Pelinggih Gedong beratap ijuk dan ada Meru Tumpang Lima dan Tumpang Tiga.

Demikian keberadaan pelinggih-pelinggih di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung sebelum Gunung Agung meletus bulan Maret tahun 1963. Pada waktu Gunung Agung meletus tahun 1963 pelinggih Prasada tersebut hancur semuanya. Untuk memperbaiki Pura Padharman Dalem Klungkung tersebut digunakanlah Meru. Hanya pelinggih Prasada yang beratap sebelas stana Ida Dalem yang pertama saja dikembalikan bentuknya semula berupa Prasada juga. Sedangkan yang lainnya digunakan pelinggih Meru dengan fungsi sama seperti waktu berbentuk Prasada.

Tentang pendirian Padharman di kompleks Pura Besakih menurut Lontar Padma Bhuwana dimulai sejak tahun Saka 1400 atau tahun 1478 Masehi. Sedangkan menurut Lontar Babad Sukahet pendirian padharman di Besakih tahun Saka 1465 atau tahun 1543 Masehi. Bila tahun ini dihubungkan dengan periodisasi tahun pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali, maka pada tahun-tahun tersebut adalah saat pemerintahan Dalem Baturenggong di Bali yang berkeraton di Gelgel atau Sweca Pura. Demikian dinyatakan dalam skripsi Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang
beliau sudah dwijati) tentang pengertian Padharman di Bali.

Nampaknya Pura Padharman Ida Dalem Klungkung didirikan oleh setiap generasi dari saat kerajaan berkeraton di Sweca Pura sampai di Smara Pura atau kota Klungkung sekarang. Ida Dalem Dimade sudah distanakan di Pelinggih Prasada beratap tiga adalah raja yang terakhir berkeraton di Gelgel. Ini berarti raja yang mendirikan Padharman untuk Ida Dalem Dimade adalah raja yang berkeraton di Smara Pura. Karena tidak mungkin Ida Dalem Dimade membuatkan pelinggih Padharman untuk diri beliau.

Untuk memuja leluhurnya raja-raja di Bali menggunakan istilah Padharman
sebagai pengaruh tradisi Hindu pada Kerajaan Majapahit khusus untuk memuja roh suci leluhur orang-orang yang terkemuka dalam kehidupan masyarakat seperti raja, tokoh masyarakat dan para pandita atau resi. Sedangkan untuk memuja roh suci leluhur atau Dewa Pitara masyarakat pada umumnya menurut Lontar Purwa Bumi Kamulan dan beberapa lontar lainnya digunakan Kamulan Taksu sebagaimana diajarkan oleh Mpu Kuturan.

Kamulan Taksu ini menurut Lontar Siwagama didirikan di setiap hulu pekarangan rumah keluarga Hindu di Bali. Kalau keluarga tersebut meluas dan sampai berkembang minimal sepuluh pekarangan maka pemujaan bersama untuk leluhur itu disebut Merajan Gede. Kalau sampai minimal 20 pekarangan disebut Pura Ibu dan minimal 40 pakarangan disebut Pura Dadia atau Panti.

Untuk pemujaan umat yang satu klan atau satu wangsa disebut Pura Kawitan.
Keberadaan sistem Wangsa dalam masyarakat Hindu di Bali untuk menguatkan sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena pemujaan sebelumnya akan menguatkan pemujaan selanjutnya. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra. Ini artinya pemujaan leluhur itu untuk menguatkan pemujaan pada Tuhan. Asal jangan berhenti pada pemujaan leluhur saja.

Itu artinya, sistem Wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial dengan paradigma tinggi-rendah (tidak setara antarwangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra. Sistem Wangsa untuk membangun keakraban atau kerukunan famili, bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang.

Umat dalam satu wangsa itu ada bermacam-macam profesinya. Ada sebagai pandita atau pinandita, ada sebagai birokrat, tentara atau politisi, ada sebagai pengusaha dan ada juga sebagai petani atau buruh. * Ketut Gobyah
 
Pura Padharman Pasek di Besakih

Daivadyantamtadiheta
Pitradyantamna
tad bhavet.
Pitradyantam
tvihhamanah
Ksipram
nasyati sanvayah.
(Manawa Dharmasastra.III.205).
Maksudnya:
Hendaknya seseorang itu melakukan upacara Sraddha terlebih dahulu dan berakhir dengan pemujaan para Dewa. Hendaknya jangan berakhir dengan pemujaan leluhur. Karena pemujaan yang hanya berhenti pada pemujaan leluhur akan cepat hancur bersama keturunannya.


PURA4.JPG


KOMPLEKS
Pura Besakih di samping sebagai tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan fungsinya, terdapat juga kompleks pemujaan para leluhur. Leluhur yang dipuja itu adalah leluhur yang telah mencapai tahap Dewa Pitara. Tempat pemujaan di empat penjuru Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat pemujaan para Dewa manifestasi Tuhan. Di timur Pura Gelap sebagai tempat memuja Dewa Iswara. Di selatan Pura Kiduling Kreteg sebagai tempat pemujaan Dewa Brahma. Di barat Pura Hulun Kulkul sebagai tempat pemujaan Dewa Maha Dewa dan di utara Pura Batu Madeg tempat pemujaan Dewa Wisnu.

Demikianlah
berbagai manifestasi Tuhan yang disebut Dewa atau Batara itu dipuja di berbagai kompleks pura di Besakih. Sedangkan tempat pemujaan para leluhur di Besakih disebut Pura Padharman. Fungsi pura memang ada dua yaitu Dewa Pratistha adalah pura untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan. Atma Pratistha pura untuk memuja roh suci leluhur. Di Besakih juga demikian ada pura untuk memuja para Dewa dan ada pura untuk memuja leluhur yang sudah mencapai tahap Dewa Pitara.
Pura Padharman adalah pura untuk memuja leluhur yang sudah suci yang disebut Dewa Pitara. Di Besakih ada banyak Pura Padharman. Salah satu adalah Pura Padharman Pasek. Di pura ini sebagai tempat pemujaan leluhur warga Pasek. Warga Pasek telah memiliki suatu lembaga bersama yang disebut Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Dengan lembaga yang cukup solid itulah Pura Padharman tersebut dikembangkan sehingga memiliki fungsi yang semakin luas sesuai dengan tuntutan zaman.

Memang
pura bukanlah semata-mata sebagai tempat sembahyang dan tempat menyelenggarakan upacara yadnya. Pura Padharman Pasek ini sudah banyak dikembangkan dengan berbagai bangunan pelengkap, sehingga di Pura Padharman Pasek ini dapat berfungsi sebagai pura untuk mengembangkan pendidikan kerohanian baik untuk mendidik calon-calon pinandita maupun pandita.

Meskipun
Pura Padharman Pasek ini sudah sedemikian dikembangkan tetapi tidak mengurangi fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru dan Mpu Kuturan. Bahkan dalam pengembangan selanjutnya juga didirikan Pelinggih Pepelik sebagai Penyawangan Mpu Gana, Mpu Beradah. Krena Mpu Geni Jaya, Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan dan Mpu Beradah adalah lima pandita bersaudara yang disebut Pandita Panca Tirtha.

Mpu
Geni Jaya tempat pemujaan utama beliau di Pura Lempuyang Madia sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Sanak Sapta Resi. Sedangkan di Padharman sebagai pemujaan penyawangan. Pura Kawitan memang beda dengan Pura Padharman. Pendirian Pura Padharman di Pura Besakih itu lebih menekankan pada kebijaksanaan penguasa saat itu sebagai media untuk mendudukkan berbagai kelompok warga di Bali dalam posisi setara dan bersaudara. Ini berarti kebijaksanaan raja saat itu menerapkan ajaran agama sabda Tuhan menjadi sistem religi menata sistem sosial untuk membangun dinamika sosial yang harmonis produktif.

Sepanjang
pengetahuan, Pura Padharman di Besakih tidak dibeda-bedakan. Maksudnya tidak ada Pura Padharman yang utama, madya dan nista. Apalagi Pura Padharman Pasek sangat jelas yang dipuja di sana adalah para pandita besar seperti Mpu Geni Jaya dengan saudara-saudara beliau Sang Panca Pandita.

Di
Pura Padharman Pasek, Mpu Geni Jaya dipuja di Pelinggih Meru Tumpang Tiga, Mpu Semeru di Pelinggih Meru Tumpang Tujuh. Sedangkan Mpu Kuturan di Pelinggih Manjangan Saluwang. Tentang Palinggih Manjangan ini umumnya terdapat pada Merajan Gede keluarga Hindu di Bali. Keberadaan Pura Padharman Pasek ini berdiri di sebelah kanan Pura Panataran Agung Besakih.

Hal ini membuktikan bahwa pada zaman dahulu raja mendudukkan dengan setara Maha Gotra Sanak Sapta Resi di kerajaan di Bali.
Warga Pasek bukanlah warga keturunan Sudra. Warga Pasek adalah keturunan Brahmana. Karena leluhur warga Pasek di Bali dari Mpu Geni Jaya yang menurunkan Sapta Resi.Dari Sapta Resi inilah selanjutnya menurunkan Warga Pasek.

Dalam
proses sejarah warga Pasek tidak lagi memegang kekuasaan seperti menjadi raja maupun petinggi-petinggi kerajaan yang lainnya. Karena tidak memegang jabatan maka gelar-gelar jabatan dalam kerajaan pun tidak dipakainya sebagai sebutan di depan namanya. Umumnya warga Pasek menggunakan sebutan Wayan, Made, Nyoman dan Ketut sebagai sebutan di depan namanya.

Karena
tidak berada dalam lingkar kekuasaan kerajaan, warga Pasek disebut orang Jaba. Dalam kenyataannya yang disebut orang Jaba tidak semata-mata dari warga Pasek, dari keturunan Arya dan warga-warga lainnya seperti warga Pande Bujangga Waisnawa ada juga disebut orang Jaba. Yang dimaksud Jaba itu adalah orang yang berada di luar kekuasaan kerajaan.

Banyak
dari orang-orang yang disebut Jaba itu karena tersingkir dalam ''permainan'' kekuasaan. Karena proses sejarah juga lama-kelamaan orang Jaba itu diidentikkan dengan Sudra. Kesalahpahaman ini terjadi karena permainan kekuasaan juga saat itu.

Keturunan
Danghyang Dwijendra di Bali disebut Brahmana. Danghyang Dwijendra sendiri adalah keturunan dari Mpu Beradah. Mpu Geni Jaya, leluhur Maha Gotra Sanak Sapta Resi, itu adalah saudara dari Mpu Beradah. Secara logika keturunan Mpu Geni Jaya pun sesungguhnya Brahmana Wangsa. Tetapi faktanya dalam masyarakat tidak demikian. Itulah sejarah. Ke depan sejarah seperti itu sebaliknya tidak terulang lagi di Bali. Jadikan semuanya itu sebagai pelajaran saja untuk lebih jujur menjalankan sejarah.

Sejarah
yang pahit itu tidak perlu diperuncing lagi, untuk selanjutnya jangan ada kekuasaan untuk merendahkan sesama warga. Marilah bangun lagi kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan dalam kehidupan bersama ini. · I Ketut Gobyah
 
Pura Pucak Mangu

Upahvare giringan samgthe ca
Nadinam dhiya vipro ajayata.
(Rgveda VIII.6.28)

Maksudnya:
Di tempat-tepat yang tergolong hening, di gunung-gunung dan pertemuan dua sungai, di sanalah orang bijak (viprah) mendapatkan pemikiran yang jernih.

PURA Pucak Mangu mungkin sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding.

I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gst. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang.

Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungkan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gst. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesalkan dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.

Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.

Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.

Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.

Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.

Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.

Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.

Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).

Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.

Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.

Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.

Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.

Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali. * I Ketut Gobyah
Source : webmaster
 
Pura Basukian, Cikal Bakal Pura Besakih

Ma-apo himsir, ma osadhir himsih
(Yajurveda, VI. 22)

Ma kakamhiram ud vrho vanaspatim asastir vi hi nimaah (Rgveda VI.48.17).


Maksudnya:
Janganlah mencemari air dan menyiksa pohon-pohonan. Janganlah menebang pohon-pohonan dengan sembarangan, karena pohon-pohonan itulah yang menyingkirkan pencemaran.
Mantra Weda ini sebagai sabda Tuhan agar manusia benar-benar mengindahkannya untuk tidak melakukan pencemaran terhadap sumber-sumber air di mana pun air itu berada. Demikian juga jangan menyiksa pohon dengan menebangnya dengan sembarangan. Karena secara alami pohon dengan daun-daunnya yang menghijau itu akan berfungsi untuk membersihkan udara dari pencemaran. Untuk itu orang-orang suci nan bijak menanamkan ajaran tersebut dengan menciptakan tempat pemujaan pada Tuhan yang khusus berfungsi untuk mengingatkan manusia agar jangan merusak sumber alam tersebut.

Beberapa meter di bawah Candi Bentar Pura Penataran Agung Besakih terdapat salah satu kompleks Pura Besakih yang bernama Pura Basukian. Pura ini tepatnya berada di kanan jalan menuju Pura Penataran Agung Besakih. Pura inilah sesungguhnya sebagai kompleks pura yang pertama berdiri di Pura Besakih.

Pura Basukian ini ada hubungannya dengan perjalanan seorang Pandita dari Gunung Raung Jawa Timur menuju Bali. Dalam cerita tersebut dinyatakan bahwa orang suci bernama Dang Hyang Markandia mengadakan perjalanan suci ke Pulau Bali bersama dengan ratusan orang pengikutnya.

Sampai di Bali rombongan transmigrasi tersebut mengadakan usaha pertanian dengan merabas hutan seperlunya untuk diolah menjadi lahan pertanian. Entah apa sebabnya sebagian besar pengiring Dang Hyang Markandia jatuh sakit dan meninggal. Karena itu, Dang Hyang Markandia kembali ke Jawa Timur mohon petunjuk gurunya, Hyang Pasupati. Setelah mendapat petunjuk dari gurunya Dang Hyang Markandia kembali lagi ke Bali bersama kurang lebih 800 orang pengikutnya.

Sesampai di Bali rombongan tersebut tidak langsung mengembangkan lahan pertanian. Sebelumnya dilakukan upacara keagamaan lengkap dengan sesajinya yang disebut bebali. Inti pokok upacara tersebut adalah menanam lima jenis logam yang disebut Panca Dhatu. Lima jenis logam itu adalah emas, perak, besi, tembaga dan permata.

Setelah dilangsungkan upacara keagamaan memuja Dewa Wisnu dalam menipestasinya sebagai Dewa Air (Naga Basuki) itu barulah usaha mengembangkan lahan pertanian dan pemukiman yang bercorak agraris dilanjutkan. Ternyata usaha mengembangkan kehidupan agraris itu berhasil dengan baik. Hal itulah sebagai awal terbentuknya istilah desa di Bali. Desa itu pemukiman yang bercorak agraris yang religius Hinduistis.

Selanjutnya tempat upacara menanam Panca Dhatu itu didirikan tempat pemujaan yang diberi nama Pura Basukian sampai sekarang. Pemberian nama Basukian ini dimaksudkan untuk memohon basuki kepada Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahakuasa. Kata ''basuki'' dalam bahasa Jawa Kuna artinya selamat. Dalam lontar pun disebutkan ''basuki ngaran rahayu'' artinya basuki artinya selamat. Mungkin karena setelah dilakukan upacara menanam Panca Dhatu rombongan Dang Hyang Markandia selanjutnya selamat keadaannya.

Bangunan suci yang paling utama di pura ini adalah Meru Tumpang Pitu sebagai stana memuja Sang Hyang Naga Basuki yaitu naga penjelmaan Dewa Wisnu sebagai dewanya air. Air itulah yang menyebabkan suburnya lahan pertanian. Meru Tumpang Pitu itu menggambarkan tujuh lapisan bumi ke bawah yang disebut dengan Sapta Patala.

Sang Hyang Naga Basuki dan Ananta Bhoga ini yang diyakini sebagai dewanya tujuh lapisan bumi yang disebut Sapta Patala itu. Meru Tumpang Pitu ini diapit oleh Bale Papelik yaitu bangunan beratap dengan tiang empat sebagai tempat meletakkan sesaji atau banten persembahan. Mengapa bangunan utama umumnya disertai dua Bale Pepelik.
Hal ini menggambarkan bahwa menyembah Tuhan itu haruslah seimbang antara persembahan yang bersifat rohaniah dan yang bersifat jasmaniah. Umat Hindu di Bali menyebutnya persembahan Sekala dan Niskala atau Wahya dan Adyatmika.

Pemberian nama Basukian pada pura ini mungkin juga untuk mengenang asal rombongan dari Jawa Timur dari daerah Basuki dekat Gunung Raung. Pura ini pada awalnya dirawat oleh pengikut Dang Hyang Markandia. Pengikut Dang Hyang Markandia itu mendirikan tempat pemujaan di jaba tengah areal Pura Basukian.

Tempat pemujaan keluarga itu disebut Merajan Wong Bali Mula. Di jaba tengah atau areal bagian tengah ini terdapat bangunan suci berupa Kamulan Rong Tiga yaitu bangunan suci berruang tiga sebagai pemujaan Kawitan orang Bali Mula pengiring Dang Hyang Markandia dari daerah Basuki, Jawa Timur di lereng Gunung Raung.

Dewasa ini Pura Basukian sudah direhab dan arealnya sedikit diperluas sehingga keberadaan Pura Basukian sudah jauh lebih indah daripada sebelumnya. Upacara piodalan-nya dilakukan setiap 210 hari sekali yaitu setiap hari Rabu Wuku Klawu. Upacara piodalan itu bagaikan hari ulang tahun dengan mengadakan upacara khusus setiap enam bulan wuku. Umat Hindu di Bali memiliki perhitungan hari dengan sistem wuku.

Satu wuku lamanya tujuh hari. Satu bulan wuku sebanyak lima wuku. Jadinya satu bulan wukulamanya 35 hari. Wuku jumlahnya 30. Setiap wuku akan kembali berulang setiap 210 hari. Karena itu upacara piodalan di Pura Basukian setiap 210 hari yaitu setiap hari Rabu atau Budha Wage wuku Klawu. Budha Wage wuku Klawu itu dalam tradisi Hindu di Bali adalah hari keuangan. Maksudnya adalah hari untuk memuja Tuhan sebagai Batara Sri Sedhana. Dewi Sri itu adalah saktinya Dewa Wisnu yaitu dewa kemakmuran. Tujuh lapisan bumi ini akan menjadi sumber kemakmuran kalau ada air yang meresap ke dalam tanah sesuai dengan hukum alam.

Melaui Pura Basukian itulah umat Hindu di Bali terus-menerus diingatkan agar tidak merusak sumber-sumber air di muka bumi ini. Antara air dan pohon-pohonan itu saling tergantungan. Karena itu dalam kutipan Mantra Weda tersebut di atas amat dilarang mencemari air dan merusak pohon-pohonan. Karena air dan pohon-pohonan itu adalah dua di antara tiga Ratna Permata Bumi yang dinyatakan dalam Canakya Nitisastra. * I Ketut Gobyah
sumber: BaliPost

Link : Pura Agung Besakih
 
Pura Andakasa

Puja Brahma di Andakasa
Katuturaning usana Bali: ''Cinaritaken tingkahing bumi Bali, hana gunung CaturLoka Pala, nga, nanging tingkahing gunung ika marapat, luwire maring pruwa Gunung Lempuhyang nga, pangastanan Ida Bhatara Agni Jaya, maring pascima Gunung Bheratan nga, pangastanan Ida Bhatara Watukaru, maring utara Gunung Mangu nga, pangastanan Ida Hyang Dhenawa, maring Daksina Gunung Andakasa nga, pagastanan Ida Hyanging Tugu. (Kutipan Lontar Usana Bali).

Maksudnya:
Inilah keterangan Usana Bali menceritarakan keadaan bumi Bali ada Gunung Catur Loka Pala namanya. Letaknya di keempat penjuru yaitu di timur Gunung Lempuhyang stana Ida Batara Agni Jaya, di barat Gunung Bheratan stana Batara Watukaru, di utara Gunung Mangu stana Batara Hyang Dhenawa, di selatan Gunung Andakasa namanya stana Hyanging Tugu.
pura.JPG


PURA
Andakasa adalah pura kahyangan jagat yang terletak di Banjar Pakel Desa Gegelang Kecamatan Manggis, Karangasem. Pura ini didirikan atas konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan Tuhan. Keempat pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas. Mendapatkan rasa aman (raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera (danam) sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diupayakan oleh para pemimpin atau kesatria. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.89.

Usaha manusia itu tidak akan mantap tanpa disertai dengan doa pada Tuhan. Memanjatkan doa pada Tuhan untuk mendapatkan rasa aman (raksanan) di segala penjuru bumi itulah sebagai latar belakang didirikannya Pura Catur Loka Pala di empat penjuru Bali. Di arah selatan didirikan Pura Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Hyanging Tugu. Hal ini juga dinyatakan dalam Lontar Babad Kayu Selem. Sedangkan dalam Lontar Padma Bhuwana menyatakan: ''Brahma pwa sira pernahing daksina, pratistheng kahyangan Gunung Andakasa.'' Artinya Dewa Brahma menguasai arah selatan (daksina) yang dipuja di Pura Kahyangan Gunung Andakasa.

Yang dimaksud Hyanging Tugu dalam Lontar Usana Bali dan Babad Kayu Selem itu adalah Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta.

Pura Andakasa juga salah satu pura yang didirikan atas dasar konsepsi Sad Winayaka untuk memuja enam manifestasi Tuhan di Pura Sad Kahyangan. Memuja Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk memohon bimbingan Tuhan dalam melestarikan sad kertih membangun Bali agar tetap ajeg -- umatnya sejahtera sekala-niskala. Membina tegaknya Sad Kertih itu menyangkut aspek spiritual yaitu atma Kertih. Yang menyangkut pelestarian alam ada tiga yaitu samudra kertih, wana kertih dan danu kertih yaitu pelestarian laut, hutan dan sumber-sumber mata air. Sedangkan untuk manusianya meliputi jagat kertih membangun sistem sosial yang tangguh dan jana kertih menyangkut pembangunan manusia individu yang utuh lahir batin.
Jadinya pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan media pemujaan dalam wujud Pura Catur Loka Pala dan Sad Winayaka untuk membangun sistem religi yang aplikatif. Sistem religi berupaya agar pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa itu dapat berdaya guna untuk memberikan landasan moral dan mental.

Pura Andakasa dalam kesehariannya didukung oleh dua desa pakraman yaitu Desa Pakraman Antiga dan Gegelang. Menurut cerita rakyat di Antiga didapatkan penjelasan bahwa pada zaman dahulu di Desa Antiga ada tiga butir telur jatuh dari angkasa. Tiga telur tersebut didekati oleh masyarakat. Tiba-tiba telur itu meledak dan mengeluarkan asap. Asap itu berembus dari Desa Antiga menuju tiga arah. Ada yang ke barat daya, ke barat laut dan ke utara. Masyarakat Desa Antiga mendengar adanya sabda atau suara dari alam niskala. Sabda itu menyatakan bahwa asap yang mengarah ke barat daya desa adalah Batara Brahma. Sejak itu bukit itu bernama Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Asap yang ke barat laut desa adalah Batara Wisnu menuju Bukit Cemeng didirikan Pura Puncaksari. Asap yang menuju ke utara desa adalah perwujudan Batara Siwa dipuja di Pura Jati. Tiga pura di tiga bukit itulah sebagai arah pemujaan umat di Desa Antiga dan Desa Gegelang.


Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini dibangun di jejeran pelinggih di bagian timur dalam bentuk Padmasana. Di bagian jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat padma. Yang paling utara adalah disebut Sanggar Agung di sebelah selatannya ada pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih Batara Brahma ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah Agung.


Upacara pujawali atau juga disebut piodalan di Pura Andakasa diselenggarakan dengan menggunakan sistem tahun wuku. Hari yang ditetapkan sejak zaman dahulu sebagai hari pujawali di Pura Andakasa adalah setiap hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia. Di samping ada pujawali setiap 210 hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.


Setiap pujawali di Pura Andakasa pada umumnya diadakan upacara melasti ke Segara Toya Betel di Desa Pengalon. Tujuan melasti ini adalah untuk lebih menguatkan dan memantapkan umat dalam menyerap vibrasi kesucian Ida Batara di Pura Andakasa. Tujuan utama melasti menurut Sundarigama adalah anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana. Artinya mengatasi penderitaan rakyat, menghilangkan kekotoran (klesa) diri dan untuk menyucikan alam lingkungan dari pencemaran.
* I Ketut Gobyah
 
Pura Goa Lawah

Bhatara Tengahing Segara
Ava divas tarayanti
Sapta
suryasya rasmayah.
Apah
samudrriya dharaah. (Atharvaveda VII.107.1).

Maksudnya
:
Sinar tujuh matahari itu menguapkan secara alami air laut ke langit biru. Kemudian
dari langit biru itu hujan diturunkan ke bumi.

Tuhan menciptakan alam dengan hukum-hukumnya yang disebut rta. Matahari bersinar menyinari bumi. Air adalah unsur terbesar yang membangun bumi ini.

Pr%20Goa%20Lawah%201.JPG


Demikianlah
sinar matahari dengan panasnya menyinari bumi termasuk air laut dengan sangat teratur. Itulah hukum alam ciptaan Tuhan. Air laut yang terkena sinar matahari menguap ke langit biru. Air laut yang kena sinar matahari itu menguap menjadi mendung. Karena hukum alam itu juga mendung menjadi hujan. Air hujan yang jatuh di gunung akan tersimpan dengan baik kalau hutannya lebat. Dari proses ala ciptaan Tuhan inilah ada kesuburan di bumi. Bumi yang subur itulah sumber kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Semuanya itu terjadi karena rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Alangkah besarnya karunia Tuhan kepada umat manusia. Itulah hutang manusia kepada Tuhan. Manusia akan sengsara kalau proses alam berdasarkan rta itu diganggu.

Untuk
menanamkan sikap hidup tidak merusak proses alam itulah Tuhan dipuja sebagai Dewa Laut. Dalam tradisi Hindu di Bali Tuhan sebagai Dewa Laut itu disebut ''Bhatara Tengahing Segara''. Di Bali Pura Goa Lawah merupakan Pura untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Pura Goa Lawah di Desa Pesinggahan Kecamatan Dawan, Klungkung inilah sebagai pusat Pura Segara di Bali untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Laut. Dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepalanya ke laut menggerakan samudara agar menguap menajdi mendung. Ekornya menjadi gunung dan sisik ekornya menjadi pohon-pohonan yang lebat di hutan. Kepala Naga Basuki itulah yang disimbolkan dengan Pura Goa Lawah dan ekornya menjulang tinggi sebagai Gunung Agung. Pusat ekornya itu di Pura Goa Raja, salah satu pura di kompleks Pura Besakih. Karena itu pada zaman dahulu goa di Pura Goa Raja itu konon tembus sampai ke Pura Goa Lawah. Karena ada gempa tahun 1917, goa itu menjadi tertutup.

Pr%20Goa%20Lawah.JPG


Keberadaan
Pura Goa Lawah ini dinyatakan dalam beberapa lontar seperti Lontar Usana Bali dan juga Lontar Babad Pasek. Dalam Lontar tersebut dinyatakan Pura Goa Lawah itu dibangun atas inisiatif Mpu Kuturan pada abad ke XI Masehi dan kembali dipugar untuk diperluas pada abad ke XV Masehi. Dalam Lontar Usana Bali dinyatakan bahwa Mpu Kuturan memiliki karya yang bernama ''Babading Dharma Wawu Anyeneng' yang isinya menyatakan tentang pendirian beberapa Pura di Bali termasuk Pura Goa Lawah dan juga memuat tahun saka 929 atau tahun 107 Masehi. Umat Hindu di Bali umumnya melakukan Upacara Nyegara Gunung sebagai penutup upacara Atma Wedana atau disebut juga Nyekah, Memukur atau Maligia.

Upacara
ini berfungsi sebagai pemakluman secara ritual sakral bahwa atman keluarga yang diupacarai itu telah mencapai Dewa Pitara. Upacara Nyegara Gunung itu umumnya di lakukan di Pura Goa Lawah dan Pura Besakih salah satunya ke Pura Goa Raja.

Pura
Besakih di lereng Gunung Agung dan Pura Goa Lawah di tepi laut adalah simbol lingga yoni dalam wujud alam. Lingga yoni ini adalah sebagai simbol untuk memuja Tuhan yang salah satu kemahakuasaannya mempertemukan unsur purusa dengan predana. Bertemunya purusa sebagai unsur spirit dengan predana sebagai unsur meteri menyebabkan terjadinya penciptaan. Demikiankah Gunung Agung sebagai simbol purusa dan Goa Lawah sebagai simbol pradana. Hal ini untuk melukiskan proses alam di mana air laut menguap menjadi mendung dan mendung menjadi hujan. Hujan ditampung oleh gunung dengan hutannya yang lebat. Itulah proses alam yang dilukiskan oleh dua alam itu. Proses alam itu terjadi atas hukm Tuhan. Karena itulah di tepi laut di Desa Pesinggahan dirikan Pura Goa Lawah dan di Gunung Agung dirikan Pura Besakih dengan 18 kompleksnya yang utama. Di Pura itulah Tuhan dipuja guna memohon agar proses alam tersebut tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena dengan berjalannya proses itu alam ini tetap akan subur memberi kehidupan pada umat manusia.

Pujawali
atau piodalan di Pura Goa Lawah ini untuk memuja Bhatara Tengahing Segara dan Sang Hyang Basuki dilakukan setiap Anggara Kasih Medangsia. Di jeroan Pura, tepatnya di mulut goa terdapat pelinggih Sanggar Agung sebagai pemujaan Sang Hyang Tunggal. Ada Meru Tumpang Tiga sebagai pesimpangan Bhatara Andakasa. Ada Gedong Limasari sebagai Pelinggih Dewi Sri dan Gedong Limascatu sebagai Pelinggih Bhatara Wisnu. Dua pelinggih inilah sebagai pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Basuki dan Bhatara Tengahing Segara. *Ketut Gobyah
source : Balipost
 
PURA Rambut Siwi

Rambut Dang Hyang Nirartha
Santa dyauh santa prthivi
Santam
idam idam urvantariksam
Santam
udanvatir apah
Santa nah santu-osadhih.

Athrvaveda
XIX.9.1).

Maksudnya: semoga langit penuh damai. Semoga bumi bebas dari gangguan-gangguan. Semoga lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfir) yang luas menjadi tenang. Semoga air terus mengalir memberikan kehidupan dan kesejukan. Semoga semua tanaman tumbuh menjadi bermanfaat untuk kami.

pura%20pesanggrahan%20rambut%20siwi.JPG


PURA
Rambut Siwi -- kurang lebih 17 km di timur kota Negara -- adalah pura untuk memuja Tuhan sebagai dewanya pertanian. Turun ke bawah di bagian tenggara Pura Rambut Siwi terdapat Pura Segara. Pura ini ada juga yang menyebutnya Pura Taman. Bersebelahan dengan Pura Segara itu terdapat Pura Penataran. Dalam acara persembahyangan apalagi kalau ada pujawali atau piodalan, ketiga pura itu sangat nampak keterkaitannya. Pujawali diadakan setiap enam bulan wuku yaitu pada hari Buda Umanis Prangbakat. Umumnya kalau kita bersembahyang ke Pura Rambut Siwi ini pasti juga dilakukan persembahyangan di Pura Segara dan Pura Penataran. Naik ke atas di barat dayanya barulah Pura Rambut Siwi berdiri megah. Memperhatikan susunan letak tiga pura tersebut nampak pura tersebut sangat tua umurnya. Karena sebelum Mpu Kuturan mengajarkan pembangunan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sudah ada tiga jenis pura di setiap kerajaan di Bali yaitu Pura Segara, Pura Penataran dan Pura Puncak. Pura Rambut Siwi ini tergolong Pura Puncak-nya karena letaknya di puncak atau di dataran tinggi kalau dilihat dari Pura Segara dan Penataran. Hal ini melambangkan pemujaan Tuhan menjiwai Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Tiga pura tersebut melukiskan bahwa Tuhan itu ada di mana-mana, di alam bawah, tengah maupun di alam atas.

Di
samping itu, tiga pura ini sebagai media untuk memohon kedamaian di Tri Loka tersebut. Memohon kedamaian di Tri Loka itu dinyatakan dalam mantram Atharvaveda dalam kutipan di atas. Kalau langit, udara dan tanah serta air di bumi dalam keadaan damai maka kehidupan agraris yang berpangkal pada eksistensi pertanian pasti berlangsung dengan baik. Masyarakat di daerah Jembrana memohon kepada Tuhan di Pura Rambut Siwi dengan Pura Penataran dan Pura Segara-nya agar bumi, udara dan langit tidak terganggu fungsinya menjadi sumber kehidupan ekonomi agraris di Jembrana. Kemakmuran ekonomi itu sangat tergantung pada tercukupnya kebutuhan masyarakat akan makan, minum, sandang dan perumahan. Kalau tanah dan air rusak, udara kotor penuh polusi maka pertanian itu akan sulit dikembangkan dengan baik.

Mengapa
pura ini sekarang lebih terkenal dengan sebutan Pura Rambut Siwi? Hal itu terkait dengan mitologi kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Jawa Timur atau Majapahit ke Bali. Menurut Mpu Bhaskara Murti dari Geria Madu Sudana di kota Negara, saat Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali salah satu pura yang beliau kunjungi adalah Pura Rambut Siwi. Saat beliau memasuki pura, penjaga pura mengharuskan agar Mpu Dang Hyang Nirartha sembahyang di pura tersebut. Kalau tidak, beliau akan diterkam oleh harimau. Karena diharuskan, menyembahlah beliau di pura tersebut. Ternyata pura tersebut menjadi hancur berantakan. Karena demikian, penjaga pura akhirnya mohon maaf kepada Mpu Dang Hyang Nirartha. Di samping itu penjaga pura mohon agar pura itu dikembalikan pada keadaan semula. Atas kewisesaan Mpu Dang Hyang Nirartha, pura itu pun kembali utuh seperti sediakala. Mpu Dang Hyang Nirartha mengambil sehelai rambut beliau diletakkan di pura tersebut untuk dijadikan sarana pemujaan di pura tersebut. Sejak itulah pura tersebut bernama Pura Rambut Siwi. Nama Rambut Siwi inilah yang lebih populer sampai saat ini.

Saat
Mpu Dang Hyang Nirartha ke Bali yang berkuasa di Jembrana adalah I Gusti Ngurah Rangsasa. Konon penguasa ini menganut ajaran Bairawa. Ajaran Bairawa ini bersumber dari ajaran Tantrayana. Pada zaman dahulu banyak yang menyalahartikan ajaran Tantrayana ini. Misalnya salah satu ajarannya ada yang menyatakan tentang maituna yang diartikan sebagai hubungan seks secara bebas dan erotis. Hakikat ajaran maituna adalah suatu sikap yoga untuk menguatkan dan meningkatkan hubungan purusa dengan pradana dalam diri. Dari hubungan tersebut akan muncul daya spiritual dari dalam diri yang lebih hebat. Daya spiritual itu akan mampu mengekspresikan kesucian Atman mencapai Brahman/keadaan diri yang seperti itu akan berdaya guna untuk membangun jati diri yang sehat jasmani dan rohani. Dalam Mahanirwana Tantra dinyatakan bahwa Tantrayana itu menguatkan kekuatan Guna Sattwam dan Rajas secara seimbang menguasai pikiran. Pikiran yang dikuatkan oleh Guna Sattwam dan Rajas itu akan mampu membuat manusia berniat baik dan berbuat baik secara nyata.

Nampaknya
ajaran Tantrayana inilah yang diluruskan oleh Mpu Dang Hyang Nirartha ketika datang di Jembrana khususnya dan di Bali pada umumnya. * Ketut Gobyah
 
Candi Sambisari

Candi Sambisari terletak di desa Sambisari Kelurahan Purwomartani, lebih kurang 12 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Tempat ini dapat dicapai dengan kendaraan umum bus atau microbus jurusan Yogya-Solo, sampai di sekitar kilometer 10 dimana terdapta persimpangan kea rah kiri (arah Utara) yang diberi papan penunjuk ke arah lokasi candi Sambisari (lebih kurang 2 kilometer).

Candi ini baru saja diketemukan, yakni di sekitar tahun 1966, ketika seorang petani dengan tidak sengaja membenturkan cangkulnya pada puncak candi yang di tanah peladangnya.

Berdasarkan penelitian geologis terhadap batuan candi dan tanah yang telah menimbunnya selama ini, candi setinggi 6 meter ini telah terbenam oleh material gunung Merapi dalam letusannya yang hebat pada tahun 1906.

Candi Sambisari merupakan candi Hindu dari abad ke 10 dan diperkirakan diabngun oleh seorang raja dari wamca Sanjaya, dengan patung Shiwa sebagai Mahaguru menempati bilik utamanya.
 
Candi Gebang

CANDI GEBANG : Si Kecil Unik Kesepian

Orang mungkin tak menyangka kalau di dekat kompleks perumahan Candi Gebang Permai terdapat sebuah candi yang sudah cukup tua umurnya. Namanya memang Candi Gebang persis seperti nama kompleks perumahan itu. Yang jelas candi itu jauh lebih tua usianya daripada umur kompleks perumahan, sehingga bukan nama candinya yang niru nama kompleks perumahan, tapi sebaliknya.

Candi ini memang tidak sebanding dengan Candi Prambanan apalagi Candi Borobudur, baik popularitas maupun dalam hal ukuran. Bentuk yang kecil mungkin menyebabkan orang tidak begitu hirau terhadapnya, kalau belum pernah kesana, tak menyangka kalau ada sebuah candi di tengah persawahan dan tegalan penduduk.

Candi ini terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta, tepatnya di sekitar kompleks perumahan Candi Gebang Permai. Candi Gebang berada di sebelah tenggara kompleks perumahan tersebut.

Yoni dan Arca Hindu

Candi ini, menurut penjelasan penjaga candi, ditemukan oleh seorang petani setempat pada tahun 1936. Keadaannya pada waktu ditemukan belum berwujud seperti saat ini. Ia masih berupa tumpukan batu yang kurang jelas wujudnya. Berbagai usaha kemudian dilakukan untuk merekonstruksi reruntuhan batu itu, sehingga akhirnya pada tahun 1985 terpugarlah sebuah candi.

Candi menghadap ke arah timur, tempat sebuah sungai mengalir. Tanaman terawat rapi mengelilingi candi dan beberapa pohon sukun membuat daerah sekitar candi menjadi rindang. Sementara air sungai dan suara burung menambah kesan, candi ini jauh dari keriuhan kota dan keramaian.

Berbeda dengan candi-candi lainnya, yang umumnya berada di atas permukaan tanah sekitarnya, Candi Gebang justru berada pada tanah lebih rendah dibanding tanah yang mengelilingi candi. Namun demikian karena di sebelah timurnya ada sungai, permukaan tanahnya lebih rendah daripada permukaan tanah tempat candi berdiri.

Di sebelah timur candi juga terdapat reruntuhan batu-batu alam yang diduga sebagai reruntuhan Candi Perwara. Reruntuhan itu tampaknya sulit dipugar sesuai dengan prinsip-prinsip arkeologis. Batu-batunya banyak yang sudah diambil tangan-tangan jahil.

Dilihat dari Yoni dan arca-arcanya, Candi Gebang termasuk bangunan yang bercorak Hindu (Siwa). Buku sejarah Daerah Yogayakarta (Depdikbud, 1977) menyebutkan, arca-arca yang ditemukan antara lain adalah arca-arca keluarga inti Dewa Siwa, yaitu Siwa Mahakala dan Siwa Maheswara, yang terdapat pada rongga kiri kanan pintu masuk. Yang lainnya Durga Mahesasuramardhini (istri Siwa), Ganesha (anak Siwa), dan Agastya. Di samping itu juga terdapat sebuah Yoni.

Saat ini yang kita bisa temukan hanya sebuah Yoni, arca dewa penjaga pintu, Siwa Maheswara, dan Ganesha. Sedangkan arca-arca lainnya kemungkinan sudah di amankan Dinas Kepurbakalaan untuk melindungi jarahan tangan-tangan jahil.

Yoni yang berukuran kecil terletak di bilik dalam candi, merupakan perwujudan Dewa Siwa dan sekaligus lambang kesuburan (fertilitas). Di rongga kiri pintu masuk kita temui arca dewa penjaga pintu . Namun sayang kondisi arca tersebut sangat memprihatinkan, kedua tangannya sudah tiada lagi alias buntung.

Yang cukup menarik perhatian adalah arca Ganesha kecil bertangan empat, dua di depan dan dua dibelakang. Arca ini duduk di atas bunga teratai yang beralaskan sebuah Yoni kecil. Berdasarkan salah satu versi mitologi tentang Ganesha, disebutkan tangan dengan ciri memegang mangkuk yang dihisap oleh belalainya melambangkan usaha penimbaan ilmu pengetahuan yang tiada mengenal lelah. Tangan depan kanan yang memegang pahatan gading melukiskan peristiwa patahnya gading Ganesha sewaktu betempur melawan raksasa Nilarudraka yang menyerbu Keindraan. Sedangkan tangan belakang kiri yang memegang mala/tasbih melambangkan Ganesha sebagai dewa kebijaksanaan, serta tangan belakang kanan yang memegang parasu (kapak pendek) merupakan senjata andalan untuk bertempur.

Untuk memperkirakan letak ketiga arca lainnya yang kini sudah tiada ditempatnya semua, diperlukan perbandingan dengan dua lain bercorak Hindu yang berlokasi di sebelah timurnya, yaitu Candi Lara Jonggrang, Prambanan dan Candi Sambisari. Dengan asumsi bahwa aturan atau ketentuan pembuatan candi Hindu di Jawa Tengah di abad 8-9 seragam dan sesuai dengan buku pedoman pembuatan candi Silpasastra. Arah hadap arca-arca Candi Gebang dapat diperkirakan sama dengan kedua candi Hindu di atas.

Dengan demikian, arca Durga Mahisasuramardhani berada di rongga sisi utara yang sekarang kosong. Siwa Mahaguru di rongga selatan, dan Ganesha di rongga sisi barat.

Berdasarkan pengamatan, ketiga candi di atas, arah hadap Candi Gebang sama dengan Candi Lara Jonggrang, yaitu menghadap ke timur, tetapi berlawanan dengan Candi Sambisari yang menhadap ke barat. Perbedaan arah hadap di antara masing-masing candi tidak berkaitan dengan hadap arca-arcanya. Arah hadap arca Candi Sambisari sama dengah arah hadap arca Candi Lara Jonggrang. Dewi Durga Mahisasuramardhani yang terkenal sebagai dewi kematian, arca perwujudannya menghadap ke utara sebagai arah mata angin kematian. Dapat diperkirakan hal yang sama juga berlaku untuk arca Durga di Candi Gebang, kurang lebih sama. Begitu juga halnya dengan arca-arca lainnya.

Kalau hanya mengamati arca dan yoni yang ada, segera akan kita bisa simpulkan Candi Gebang sebagai Candi Hindu. Keraguan akan timbul setelah kita memperhatikan bagian atas candi yang berbentuk tiga lapisan stupa yang tidak hanya sangat mirip dengan susuan stupa Candi Lara Jongrang yang dipandang sebagai contoh terbaik sinkretisme Hindu-Budha, tetapi bahkan lebih tambun hampir mendekati bentuk stupa Candi Budha Borobudur.

Tidak seperti lazimnya candi Hindu yang mempunyai hiasan makara di atas pintu masuk dan sisi rongga-rongga, Candi Gebang dihiasi dengan arca kepala manusia. Di samping itu corak Budha dipertegas dengan adanya empat arca dewa (Loka Pala) dengan kaki bersila di lapisan stupa pertama yang terletak di dalam rongga-rongga menghadap keempat penjuru mata angin. Ini mempunyai kesamaan dengan arca Bodisatwa di candi bercorak Budha.

Mempertanyakan Anggapan Klasik

Keunikan sinkretis Candi Gebang di atas mendorong kita untuk menghubungkan dengan anggapan klasik “utara-selatan” tentang penyebaran candi-candi Hindu dan Budha di Jawa Tengah. Anggapan klasik, yang mula-mula dikemukakan oleh J.O de Casporis dan kemudian diterima oleh Benard Kempers dan para ahli candi lainnya menyatakan bahwa candi-candi Hindu tersebar di kawasan utara Jawa Tengah. Misalnya, Candi Gedong Songo dengan Ambarawa, Candi Gondosuli dan Candi Pringapus di daerah Temanggung, dan candi-candi Hindu di Dataran Tinggi Dieng.

Sedangkan candi-candi Budha tersebar di kawasan Selatan Jawa Tengah, misalnya: Candi Borobudur, Mendut, Pawon dan Ngawen di daerah Muntilan, dan candi Sewu, Plaosan, Banyuniba dan Kalasan di daerah Prambanan. Kondisi inilah yang turut mendukung timbulnya teori dua analisa J.O de Casparis tentang politik Jawa Tengah abad ke 8-9. Dalam kurun waktu itu, Jawa Tengah bagian utara dikuasasi Dinasti Syailendra (752-856 SM) di bagian selatan yang menganut Agama Budha (Soediman, Chandi Lara Djonggrang. at a Glance, 1969).

Bersama-sama dengan Candi Lara Jonggrang, Candi Sambisari, dan Candi Ijo yang terletak di kawasan Candi Prambanan, maka Candi Gebang merupakan pengecualian atau bahkan dapat dikatakan penyimpangan dari anggapan klasik di atas. Hal ini dikarenakan corak kehinduannya dan lokasinya yang termasuk kawasan selatan Jawa Tengah. Penyimpangan ini dipertajam dengan ditemukannya arca-arca Budha di desa Selomerto dengan Wonosobo yang justru termasuk kawasan Jawa Tengah. Kenyataan ini sudah cukup mempertanyakan kebenaran anggapan klasik di atas dan merupakan bahan studi yang menarik, sekaligus juga merupakan tantangan bagi para sejarawan dan ahli percandian untuk menjawab penyimpangan teori klasik itu.

Tetapi lebih dari itu semua, keunikan utama Candi Gebang adalah terletak pada corak arsitektur sinkretis Hindu-Budha yang tampak nyata melekat padanya. Kunikan ini belum pernah dijumpai pada candi-candi di Jawa Tengah lainnya.

Berdasarkan pengamatan di atas, kemungkinan besar Candi Gebang didirikan sekitar abad ke 9 pada masa setelah Dinasti Sanjaya dan Syailendra bergabung melalui perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodiawardhani. Perkawinan inilah yang mempengaruhi perkembangan arsitektur lebih lanjut dan secara simbolis diwujudkan pada Candi Gebang ini. Masa-masa berikutnya sinkretisme arsitektural ini tertata total pada candi-candi di Jatim yang didirikan sekitar abad X - XIV. Tepatnya masa kerajaan Singasari sampai Majapahit.

Menarik bagi kita saat ini bahwa keunikan Candi Gebang yang mungil ini menyiratkan azaz toleransi antarumat beragama yang dianut bangsa Indonesia terbukti handal. Dan sebagai generasi penurus hal demikian tidak perlu diragukan sebagai warisan leluhur yang sudah kokoh, mengakar dalam sendi-sendi kehidupan bangsa jauh di masa silam. (*dna)
 
Candi Kedulan

Candi Kedulan terletak dalam koordinat Lintang Utara 07.44.33,7 dan Bujur Timur 110.28.11,1, sekitar tiga kilometer arah barat laut Candi Prambanan. Situs tersebut dikelilingi sawah dan ladang, sementara rumah penduduk tampak dalam radius sekitar 300 meter. Candi Kedulan mempunyai tipe seperti halnya candi Sambisari yang terletak di dusun Sambisari, Purwomartani Kalasan Sleman.

Data otentik berkenaan dengan latar belakang sejarah Candi Kedulan berupa prasasti ataupun naskah kuno, sampai saat ini belum ditemukan. Bentuk arsitektur candi tersebut mirip candi Sambisari, tapi dengan seni hias yang lebih kaya. Dari segi hiasannya, justru mendekati hiasan Candi Ijo (Dusun Groyokan, Sambirejo Prambanan) dan Candi Barong (Dusun Candirejo, Sambirejo Prambanan).
 
Candi Bojongmenje

Kabupaten Bandung memiliki situs purbakala dalam bentuk candi ? Tidak semua orang tahu tentang hal ini. Umumnya candi-candi yang ada di pulau Jawa ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Belakangan, baru ditemui pula beberapa candi di wilayah Jawa Barat seperti apa yang terdapat di Batujaya (Karawang) dan Cangkuang

(Garut). Baru pada bulan Agustus 2002, secara tidak sengaja seorang warga di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek yang hendak mencari tanah guna menguruk gang yang tidak rata tanahnya, menemukan sebuah rongga tanah yang di sekelilingnya terdapat tumpukan batu yang tertata rapi. Penemuan tumpukan batu tersebut akhirnya diputuskan sebagai bagian dari suatu candi oleh para arkeologi, semenjak saat itu dilokasi tersebut dilakukan ekskavasi untuk penemuan dan penelitian lebih lanjut.

Dugaan awal oleh para ahli arkeologi Candi Bojongmenje merupakan peninggalan dari abad ke 7. Bila hal itu benar, maka Candi Bojongmenje memiliki usia yang jauh lebih muda dibandingkan Candi di situs Batujaya yang merupakan peninggalan abad ke 2, namun memiliki umur hampir yang sama dengan Candi Dieng - Wonosobo. Bahkan menurut Timbul Haryono, umur Candi Bojongmenje bisa jadi lebih tua dibandingkan dengan Candi Dieng. Sambil menunjuk sejumlah bebatuan yang ditemukan oleh tim ekskavasi, Timbul Haryono mengungkapkan, indikasinya adalah tidak ditemukannya halfround atau bebatuan dengan profil yang setengah lingkaran. Tapi yang ada hanyalah bebatuan dengan profil segi panjang dan bingkai padma.
"Dari style, teknik pembuatan candi, dan ukuran bebatuan candinya cenderung mencerminkan sebagai candi tua seperti Dieng di Jawa Tengah," ujar Timbul.

Dikemukakannya, Candi Bojongmenje yang diduga luasnya sekitar enam kali enam meter ini merupakan petunjuk di daerah tersebut pernah ada perkampungan masyarakat tertentu. Artinya, masyarakat tersebut merupakan bagian kecil dari sebuah struktur kerajaan pusat yang besar yang ditandai antara lain dengan berdirinya candi-candi berukuran besar sebagai tempat suci ibadahnya.

Karena itulah, diduga kuat selain di Bojongmenje, ada pula candi-candi sejenis yang didirikan oleh masyarakat tersebut sebagai tempat ibadahnya. Indikasi tersebut kian kuat dengan adanya aliran sungai Cimande dan sungai Citarik yang letaknya tak jauh dari lokasi Candi Bojongmenje. Bahkan ada informasi, sekitar dua kilometer dari lokasi Candi Bojongmenje ada pula mata air panas.

Menyinggung soal adanya batu ambang dengan corak dua lobang, Timbul memperkirakan batu ambang tersebut merupakan bagian dari relung candi. Begitu pula batu ambang dengan corak satu lobang, disebutkannya sebagai pecahan dari relung candi. Adapun soal temuan berupa batu bata, Timbul menilai, batu bata tersebut berusia tua dan merupakan bagian dari dalam "tubuh" candi yang bebatuannya tak terstruktur secara baik.

Dengan penemuan Candi Bojongmenje ini bisa jadi akan mengubah fakta sejarah. Fakta tersebut antara lain tentang arah penyebaran budaya di Pulau Jawa dari timur ke barat, menjadi sebaliknya yaitu dari barat ke timur. Hal itu berdasarkan temuan-temuan arkeologi yang menunjukkan bahwa Candi Bojongmenje lebih tua dibandingkan candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau paling tidak setara dengan candi tua di Dieng Jawa Tengah.

Penemuan Candi Bojongmenje tentu sangat membanggakan urang Sunda yang selama ini perannya dalam panggung sejarah percandian kurang terperhatikan. Bernert Kempers seorang pakar arkeologi dari Belanda juga hanya membagi masa klasik di Jawa menjadi masa klasik Jawa Tengah dan masa klasik Jawa Timur. Berdasarkan pembabakan itu, dikatakan bahwa masa klasik di Indonesia terbagi menjadi klasik tua untuk periode Jawa Tengah dan masa klasik muda untuk periode Jawa Timur.
Pendapat itu perlu ditinjau ulang karena tidak menyebut peran orang Sunda dalam sejarah bangnunan percandian. Padahal, bukti-bukti epigrafis menunjukkan bahwa di wilayah Tatar Sunda telah ada pusat kerajaan Hindu yaitu Tarumanagara. Di samping itu, perkembangan penelitian arkeologi di wilayah Tatar Sunda mulai muncul penemuan candi. Oleh karena itu, penemuan Candi Bojongmenje diharapkan akan membuka tabir percandian di Tatar Sunda menjadi lebih terang.

Melongok lokasi dimana Candi Bojongmenje berada, memang cukup memperhatikan. Untuk menuju lokasi candi ini mesti melewati sebuah gang sempit dengan tembok pagar pabrik yang menjulang tinggi. Tempat ditemukannya candi ini sendiri menempel dengan tembok pagar pembatas pabrik. Sehingga masih terdapat kendala jika ingin menggali lebih ke utara lagi, yang hal tersebut berarti butuh melakukan penggalian dihalaman area pabrik. Konon harga tanah disekitar candi ikut mengalami kenaikan hingga dua kali lipat. Nampaknya proses ekskavasi dan pembangunan kembali bangungan candi bakal masih jauh dari selesai.
 
Candi Dieng

Dataran Tinggi Dieng terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo Jawa Tengah. Nama Dieng (Diyeng) diperkirkan berasal dari kata "Dihyang" yang berarti tempat Hyang (Dewa). Panorama yang indah dapat dijumpai di lokasi ini, terutama di telaga vulkanik yaitu Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga Siterus dan Telaga Balekambang.

Di Dataran Tinggi Dieng dapat dijumpai perkomplekan candi yang banyak jumlahnya. Penamaan candi diambil dari nama wayang yang bersumber dari cerita Baratayuda seperti Candi Puntadewa, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatutkaca dan sebagainya.
Latak bangunan terpencar di beberapa tempat, sebagian ada yang mengelompok dan sebagian lain berdiri sendiri. Kelompok candi yang mengelompok yaitu komplek Percandian Arjuna yang berderet dari utara ke selatan, mulai dari Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra. Di depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar.

Bangunan candi yang berdiri sendiri misalnya Candi Bima, Candi Gatutkaca, Candi Dwarawatik, Candi Parikesit, Candi Sentyaki, Candi Ontorejo, Candi Samba, Candi Nangkula, Candi Sadewa, Candi Gareng, Candi Petruk dan Candi Bagong.

Bangunan candi di Dataran Tinggi Dieng dikelompokkan dalam kelompok Jawa Tengah Utara termasuk di dalamnya Candi Gedong Songo dan Muncul (Ngempon) yang memiliki ciri berukuran kecil dan diduga berumur lebih tua dibandingkan kelompok Jawa Tengah Selatan seperti Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, Candi Prambanan, Candi Sukuh, Candi Ceto, Candi Merak, Candi Plaosan dan Candi Sambisari.

Di antara keseluruhan candi di Komplek Percandian Dieng tersebut, terdapat tiga candi yang kini keadaannya masih relatif utuh yaitu Candi Bima, Candi Arjuna dan Candi Gatutkaca.

Candi Bima
Candi yang berukuran 4,93 x 4,34 m dianggap memiliki ciri arsitektur yang berbeda dengan candi lainnya di Indonesia. Candi Bima memiliki bentuk atap yang merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya India Utara tampak pada atap yang berbentuk menara yang meninggi (Sikhara). Sedangkan gaya India Selatan tampak pada bentuk atapnya yang bertingkat dan batur bangunan yang terdiri atas pelipit-pelipit mendatar. Sekain itu adanya menara-menara sudut dan relung-relung bentuk tapal kuda dengan hiasan kudu. Hiasan kudu pada Candi Bdima ini berwujud manusia setengah badan yang melongok keluar dari bilik jendela.

Candi Arjuna
Candi Arjuna berukuran 6 x 6 m dan menghadap ke arah barat. Termasuk dalam kelompok candi Arjuna yaitu Candi Srikandi dan Candi Puntadewa. Keunikan banunan kelompok Arjuna terletak pada bagian tubuh candi yang berbentuk Keben. Pada pintu masuk dan relung-relungnya dihiasi kala makara. Atap candi berbentuk seperti ada pembagian horisontal yang terdiri atas bentuk piramida-piramida jenjang dengan triap sidutnya terdapat menara-menara kecil. Menara kecil tersebut yang memiliki kemiripan dengan gaya arsitektur India Selatan. Ditemukannya prasasti berangka tahun 731 Caka (809 M) di dekat Candi Arjuna dapat menjadi petunjuk pembangunan candi sekitar awal abad IX M

Candi Gatutkaca
Bangunan candi berdenah persegi empat dan terdapat tonjolan pada bagian tengah keempat sisinya. Hiasan ornamental terlihat sangat menonjol dan didominasi oleh pelipit-pelipit halus. Arah hadap candi ke barat disertai pintu masuk bertangga dengan pipi tangga bersayap dan berukir gelung. Terdapat hiasan kala tanpa rahang bawah di atas relung. Bagian atap candi berhiaskan antefik (simbar) dan kepala singa pada setiap sudutnya. Terdapat juga menara-menara kecil di bagian atap paling bawah. Bentuk profil menara-menara tersebut hampir sama dengan profil candi. Atap puncak (mahkota) berbentuk silinder. (*Rochtri A. Bawono)
Sumber: Brosur Kompleks Candi Dieng SPSP Jateng.
 
Candi Badut

Candi Badut di Malang, Candi Tertua di Jawa Timur

Peninggalan kepurbakalaan di sekitar Malang adalah sisa-sisa bangunan suci yang mempunyai sifat Budha dan Hindu
(Siwa), sesuai dengan agama yang dianut masa itu. Bangunan-bangunan tersebut basa disebut candi yang berfungsi sebagai tempat pemujaan (kuil). Peninggalan yang ada di sekitar Malang tersebut antara lain Candi Jago, Sumberawan, Badut, Songgoriti, Singosari dan Kidal. Salah satu bangunan suci yang akan kami sajikan adalah Candi Badut, yang merupakan candi teruta di Jawa Timur tetapi menunjukkan sifat candi Jawa Tengah seperti pada bagian kakinya yang rata dan tidak diberi hiasan dan pada bilik pintunya berpenampil.

Candi Badut terletak di desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, 10 kilometer dari kota Malang. Untuk sampai ke lokasi harus mengikuti jalan ke Batu sampai di Dinoyo, kemudian membelok ke selatan sampai Karangbesuki terus ke barat dan setelah melewati kali Metro sampailah ke Desa Badut. Di barat daya Desa Badut terletak bangunannya di atas dataran tinggi kira-kira 500 meter di atas permukaan laut. Dataran tinggi tersebut dikelilingi oleh gunung-gunung seperti Gunung Kawi di selatan, Gunung Arjuna di barat, Gunung Tengger di utara dan di timur adalah Gunung Semeru. Sedangkan Candi Badut terletak di kaki Gunung Kawi.

Dilihat dari segi ilmu pengetahuan dan segi arsitekturnya bangunan tersebut merupakan gaya peralihan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Kemungkinan juga merupakan suatu bukti terjadinya perpindahan pusat kerajaan ke timur. Dalam hubungan ini para sarjana cenderung menghubungkan berita perpindahan kerajaan Holing ke timur sekitar tahun740 Masehi. Kemudian diartikan bahwa raja dari dinasti sanjaya menyingkir ke timur karena terdesak oleh dinasti Sailendra. Daerah yang dimaksud adalah sekitar Malang.

Candi Badut dibangun pada abad VIII M, merupakan peninggalan dari masa pemerintahan kerajaan Kanjuruhan yang berpusat di Dinoyo (barat laut Malang). Masa pendirian bangunan dihubungkan dengan prasasti Dinoyo 760 Masehi (682 Saka). Prasasti dibuat dari batu bertuliskan huruf Kawi, berbahasa Sansekerta dan menyebutkan bahwa pada abad VIII M, ada kerajaan berpusat di Kanjuruhan. Sekarang disebut Desa Kejuron) di bawah pemerintahan raja Dewa Simha yang berputera seorang laki-laki bernama Limwa. Limwa mempunyai seorang puteri. Uttejana yang menikah dengan Jananeya. Limwa menggantikan ayahnya dan berganti nama dengan Gajayana. Pada pemerintahan Gajayana itulah didirikan Candi Badut. Dikatakan pula bahwa pendirian bangunan tersebut tanggal 1 Kresnapaksa bulan Margasirsa tahun 682 Saka (28 Nopember 760 Masehi) untuk tempat Agastya berikut arcanya dari batu hitam yang sangat indah. Arca tersebut ditasbihkan oleh para pendeta yang paham akan kitab Weda beserta para petapa sthapaka dan rakyat. Pada kesempatan ini raja menganugerahkan sebidang tanah, sapi dan kerbau, budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaga, juga segala keperluan untuk pendeta seperti keperluan pemujaan, penyucian diri dan bangunan tempat peristirahatan para pengunjung.

Disebutkan pula tentang sebuah lingga yang keramat. Di dalam candi tersebut tidak terdapat Agastya melainkan sebuah lingga yang dianggap sebagai lambangnya Prasasti Dinoyo sekarang disimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor D.113.

Candi Badut ditemukan secara kebetulan pada 1923 oleh seorang pengawas dari Malang E.W. Maurenbrechter, di tengah sawah. Waktu itu yang terlihat hanyalah bukit batu runtuhan dan tanah. Di atas dan sekitarnya tumbuh beberapa pohon beringin. Pada 1925-1926 candi tersebut dipugar untuk pertama kali sampai tingkat pertama atapnya saja karena batu-batu yang lain tidak ditemukan.

Dahulu Candi Badut merupakan suatu kompleks yang dikelilingi pagar tembok, sekarang telah hilang. Letak bangunan candi tidak di pusat halaman candi. Candi ini terbuat dari bahan batu andesit. Denahnya bujur sangkar dengan ukuran 15x15 meter. Pintu masuk ada di barat. Pada pintu masuk ke ruang candi dihiasi Kalamakara. Secara horizontal Candi Badut terbagi atas tiga bagian yaitu kaki, badan dan atap.

Bagian kaki
Pada umumnya kaki candi terdiri atas perbingkaian bawah, badan kai dan perbingkaian atas tetapi kaki Candi Badut hanya mempunyai bingkai bawah dan badan kaki. Bingkai bawah terdiri dari pelipi rata, sedangkan badan kaki candi berupa susunan bata-bata rata, polos dan tidak mempunyai hiasan sama sekali. Pada bagian depan candi terdapat tangga naik ke bilik candi. Sebelum masuk ke bilik candi terdapat selasar keliling dengan pradaka sinaptha.

Bagian badan
Badan candi bentuknya tambun karena lebih besar dari tingginya. Pntu bilik berpenampil (poritico) yang mengingatkan pada langgam seni bangunan Jawa Tengah. Pada tangga sebelah selatan terdapat Kinara-Kinari.
Pada ketiga sisinya terdapat relung-relung dan di dalamnya terdapat arca Durga (relung utara), guru atau Agastya (relung selatan), sedangkan di relung timur arcanya telah hilang, tetapi biasanya berisi arca Ganesa. Relng-relung berkambikan (berbingkai) pelengkung kara makara yang biasanya terdapat di Jawa Tengah. Di sisi kiri-kanan pintu masuk terdapat relung-relung kecil dengan penampil berisi Mahakala dan Nandiswara. Bidang-bidang di samping relung-relung itu diisi dengan hiasan pola bunga. Dalam bilik candi terdapat lingga dan yoni.
Pada pemugaran tahun 1925 ditemukan pripih di antara reruntuhan dinding luar bilik candi bagian belakang.

Bagian Atap
Bagian atap candi telah rusak. Menurut hasil rekonstruksi yang dimuat dalam OV 1929 tampak bagian atap candi terdiri atas dua tingkat yang serupa dengan tubuh candi tetapi makin ke atas semakin kecil dan ditutup dengan puncak ratna. Hiasan yang terdapat pada atap berupa antefix.

Di depan candi induk terdapat tiga bekas alas candi kecil yang terkenal dengan nama Candi perwara. Diperkirakan bentuknya sama sekali candi induk. Candi tersebut berjajar arah utara selatan dan menghadap ke timur. Candi perwara yang di tengah berisi arca Nandi, di selatan terdapat lingga yoni, sedangkan di utara tidak diketahui. Susunan yang terdiri dari tiga candi yang lebih kecil dan berhadapan membuktikan bahwa Candi Badut merupakan salah satu candi yang tertua di Jawa Timur.

Dengan adanya arca Durga, Agastya dan lingga yoni maka Candi Badut merupakan candi-candi agama Hindu.
Candi Badut telah selesai (purna) pugar pada 1993 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah pemugaran selesai dan perbaikan jalan menuju ke kompleks percandian dapat dicapai dengan kendaraan bermotor, maka kompleks tersebut layak dijadikan objek wisata.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Candi Cetho

Diantara heningnya hamparan kebun teh lereng Gunung Lawu, terdapat sebuah peninggalan purbakala yang biasa disebut Candi Cetho/Cetha. Keberadaan kompleks Candi Cetho ini, pertama kali dilaporkan oleh Van de Vlis pada tahun 1842. Penemuan ini menarik perhatian sejumlah ahli purbakala dunia karena unsur nilai kepurbakalaannya. Pada tahun 1928, Dinas Purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavasi untuk mencari bahan-bahan rekonstruksi yang lebih lengkap. Berdasarkan penelitian Van Der Vlis maupun A.J. Bernet Kempers, kompleks Candi Cetho terdiri dari empat belas teras. Namun kenyataannya yang ada pada saat ini hanya terdiri dari tigabelas teras yang tersusun dari barat ke timur dengan pola susunan makin kebelakang makin tinggi dan dianggap paling suci. Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian.

Bentuk seni bangunan Candi Cetho mempunyai kesamaan dengan candi sukuh yaitu dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak masa prasejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak diketemukan pada kompleks candi lain di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh.

Pada kompleks Candi Cetho banyak dijumpai arca-arca yang mempunyai ciri-ciri masa prasejarah, misalnya arca digambarkan dalam bentuk sederhana, kedua tangan diletakkan di depan perut atau dada. Sikap arca semacam ini menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana didaerah Bada, Sulawesi Tengah. Selain itu juga terdapat relief-relief yang menggambarkan adegan cerita Cuddhamala seperti yang ada di Candi Sukuh dan relief-relief binatang seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam.

Mengenai masa pendirian Candi Cetho, dapat dihubungkan dengan keberadaan prasasti yang berangka tahun 1373 Saka, atau sama dengan 1451 Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut, serta penggambaran figur binatang maupun relief dan arca-arca yang ada, kompleks Candi Cetho diperkirakan berasal dari sekitar abad 15 dari masa Majapahit akhir.
Bangunan utama pada kompleks Candi Cetho terletak pada halaman paling atas/belakang. Bentuk bangunan dibuat seperti Candi Sukuh dan ini merupakan hasil pemugaran pada akhir tahun 1970-an bersama-sama dengan bangunan-bangunan pendapa dari kayu. Sangat disayangkan bahwa "pemugaran" atau lebih tepat disebut dengan pembangunan oleh "seseorang" terhadap Candi Cetho ini tidak memperhatikan konsep arkeologi sehingga hasilnya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Lokasinya yang relatif dekat dengan objek wisata Candi Sukuh - Tawangmangu serta Danau Sarangan menyebabkan akses transportasi dan akomodasi tersedia cukup memadai. Patut diperhatikan, kondisi kendaraan harus benar-benar prima untuk 'melahap' medan yang cukup berat, baik itu berupa turunan, tanjakan maupun tikungan yang terkadang tajam dan sempit. Pengunjung yang menggunakan angkutan umum, bisa memulai perjalanan dari terminal bus Tirtonadi, di pusat Kota Solo.

Dari sana, pengunjung bisa menggunakan transportasi bus jurusan Karanganyar-Tawangmangu untuk kemudian berhenti di Terminal Karangpandan. Di terminal itu banyak kendaraan umum yang akan mengantar hingga Terminal Kemuning. Selanjutnya wisatawan bisa memilih berjalan kaki menembus perkebunan teh (tea walk) yang berbukit-bukit sejauh lebih kurang 2 km atau naik ojek sampai pelataran candi.

Sepanjang perjalanan yang berkelok-kelok, wisatawan akan dimanjakan dengan keindahan alam yang asri. Selain itu, bisa menikmati pula keramahan penduduk asli dengan dandanan khas berupa kupluk (penutup kepala) dan kain sarung pengusir hawa dingin, yang tersampir di leher.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.