• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

goesdun

IndoForum Junior A
No. Urut
32661
Sejak
7 Feb 2008
Pesan
3.022
Nilai reaksi
66
Poin
48
Thread ini dibuat khusus untuk menyajikan cerita kuno TEMPAT SUCI dan CANDI yang ada di Indonesia.
Puluhan ribu tempat pemujaan di Indonesia berdasarkan karakternya dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu Pura Kawitan, Pura Kahyangan Desa, Pura Swagina dan Pura Kahyangan Jagat. Pura Kahyangan Jagat ini dibagi menjadi empat jenis yaitu Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Rwa Bhineda, Catur Loka Pala, Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Ada beberapa pura yang tergolong berfungsi rangkap baik sebagai Pura Rwa Bhineda, sebagai Pura Catur Loka Pala maupun sebagai Pura Sad Winayaka dan juga sebagai Pura Padma Bhuwana.

INFO : :)Khajuraho - Temple Of LOVE:)Pembangunan Pura pertama di Eropa:)Wujud Candi Induk Losari Terungkap :)Situs Trowulan
:)Sejumlah Bukti Sejarah Menguatkan Bekas Kerajaan Besar :)Panca Bali Krama Pura Agung Besakih 2009 :)Penyelamatan dan Kembalinya Mahkota Majapahit:)Situs Muarojambi Menyimpan Puluhan Candi :)Petirtaan Abad VIII dalam Kondisi Nyaris Sempurna :)Jawa Pada Zaman Purbakala hingga Kerajaan Majapait :)Sriwijaya & Majapahit :)Telusuri Kota Majapahit :)Situs Dinoyo Merupakan Pusat Kerajaan Kanjuruhan :)Candi di Kampus UII Lengkapi Peradaban Bangsa:)Candi Prambanan Jadi Sentra Ibadah Hindu:)Altar Raja Dharmawangsa Ditemukan di Ponorogo:)Umat Hindu DIY Kesulitan Gunakan Candi


Item Title :


PURA
CANDI : Semestinya sepanjang candi itu jelas asal-usulnya dan ada bukti otentik kesejarahannya, maka candi itu berhak kembali difungsikan sebagai tempat peribadatan.

Daftar Pura Di Jabodetabek
NO Nama Pura Alamat
Jadwal Piodalan
1Pura Segara DKIJl. Kremasi RT. 07/04 Kel. Cilincing Jakarta Utara Purnama Keenem
2Pura Dalem PurnajatiJl. Cilincing Raya, Tj. Priok Jakarta Utara Tumpek Kuningan
3Aditya Jaya (Rawamangun)JL. Daksinapati Raya No 10 Rawamangun, Jaktim Saraswati
4Pura Penataran Agung Kerta BumiTaman Mini Kel. Pasar Rebo, Kramat Jati Jakarta Timur Purnama Kapat
5Pura Mustika DharmaKomp. Kopasus Cijantung, Jakarta Timur Budha Kliwon Dungulan, Galungan
6Pura Chandra PrabaKomp. Kav. Polri Jelambar, Jakarta Barat Purnama Kedasa
7Pura Kstria LokaKomp. Pomad Pasar Minggu, Jakarta Selatan
8Pura AmrthajatiJl. Punak No. 33 Pangkalan Jati,Cinere, Jakarta Selatan Purnama Kesada
9Pura Mertha SariJl. Kenikir Ds. Rengas Rempoa, Ciputat, Jakarta Selatan Purnama Kesada
10Pura Prajapati Purna PralinaJl. Axes UI 74 Kelapa Dua, Jakarta Timur Tilem Keenem
11Pura Wdya DharmaBumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur Purnama Ketiga
12Pura Agung Tirta BuanaJl. Jati Luhur I, Kali Malang Jaka Sampurna, Bekasi Tumpek Landep
13Pura Raditya DharmaKomp. TNI AD Cibinong Bogor, Jawa Barat Tumpek Klurut

14Pura Tri Buana AgungJl. Kerinci Depok II Timur, Jawa Barat Tumpek Wariga

15
Pura Kerta JayaJl. Pasar Baru No. 102 Tangerang, Banten Tumpek Klurut
16
Pura Dharma SidiDs. Parung Serab, Perum. Parung Serab, Kec. Ciledug Tangerang, Banten Budha Kliwon Ugu
17Pura Eka Wira AnanthaSerang, Banten Purnama Kapat

18Pura Agung Wira Satya BhuanaJl. Kesehatan Raya. Komp. Paspampres Tn. Abang II, Jakarta Pusat Purnama Kesanga

19Pura Kstria DharmaAsrama Puspik Polwan, Jl. Ciputat Raya, Jakarta Selatan

20Pura Widya MandalaKomp. Yonsikon 13 Lenteng Agung, Jakarta Selatan Tumpek Wayang
21Pura PrajapatiJl. Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur
22
Pura Agung Taman SariJl. Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur Purnama Mala Jyesta
23Pura Giri KusumaPerum. Bogor Baru Bogor, Jawa Barat Purnama Kapat
24
Pura Parahyangan Agung Jagat KarthaDs. Taman Sari Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat Purnama Ketiga
25Pura Agung Wira Dharma SamudraJl Cilandak KKO, Marinir Cilandak, Jakarta Selatan Tumpek Uduh
 
Pura Besakih

Tempat Pemujaan Tuhan, Penguasa Semua Penjuru Dunia

penataran.JPG
Sejumlah Pura Kahyangan jagat berada di wilayah Kabupaten Karangasem. Salah satunya yang sudah tak asing lagi bagi umat Hindu di Bali adalah Pura Besakih. Pura Besakih sebagai purwa rajya (sentral), hendaknya semua pihak menjaga kesuciannya. Jika kesucian pura di kaki barat Gunung Agung itu terjaga maka akan tetap memancarkan vibrasi kesucian kepada Bali dan umatnya. Bagaimana sejarah Pura Besakih? Pura-pura apa saja yang ada di areal pura terbesar di Bali itu?


Pengamat agama Drs. IBG Agastia pernah mengatakan terkait masa lalu keberadaan Pura Besakih banyak terdapat legenda, serta mitologi lisan maupun tertulis. Sastra sejarah seperti babad, usana dan purana cukup banyak, baik menjadi koleksi pribadi terkait keluarga tertentu yang memiliki pedharman, sementara yang menyangkut Besakih secara keseluruhan adalah Raja Purana Besakih.

Agastia dalam sebuah tulisannya mengatakan, Rsi Markandeya disebut-sebut sebagai orang suci pertama kali menanam panca datu sebagai dasar Pura Besakih. Pura ini memiliki perjalanan panjang, pada perkembangannya kini menjadi pusat bagi masyarakat Bali.

candi.JPG


Cerita pengabdian penuh bakti Sang Kulputih, seorang tukang sapuh di Besakih, bisa kita baca dalam lontar Sangkulpinge. Namun, kata Agastia, yang lebih memiliki nilai sejarah adalah usaha-usaha Mpu Kuturan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Pura Sad kahyangan di Bali. Berikutnya, Mpu Bharadah yang merupakan saudara kandung Mpu Kuturan -- pandita Kerajaan Airlangga -- melanjutkan kembali penataan Pura Besakih. ''Sebuah prasasti yang dinamai Mpu Bharadah yang disimpan di Pura Batu Madeg Besakih, memuat tahun Saka 929 (1007 M), rupanya merupakan masa kedatangan Mpu Bharadah di Besakih,'' tulis Agastia yang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bali ini.


Berikutnya kehadiran Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sebagai pandita Kerajaan Gelgel zaman Raja Dalem Waturenggong -- sangat besar peranannya dalam menata kembali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata kembali Pura Besakih dan tata upacaranya. Dang Hyang Dwijendra pernah menyarankan Raja Waturenggong untuk menggelar upacara Eka Dasa Rudra di Besakih, sekalian dengan runtutan upacaranya sebagaimana kini kita warisi.


Agastia mengatakan, bila mengikuti langsung pelaksanaan upacara besar di Besakih seperti Eka Dasa Rudra (tiap 100 tahun) atau tawur sepuluh tahunan Panca Walikrama, barulah kita bisa mengetahui secara simbolis Besakih adalah madyaning bhuwana (sentralnya dunia). Merupakan tempat pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan manifestasinya (kekuatannya) yang menguasai semua penjuru dunia, yakni Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambhu. Ini sesuai dengan konsep pengider-ider bhuwana. ''Dari sini pula umat Hindu memohon kerahayuan bhuwana, keselamatan seluruh jagat,'' tandas Agastia.


Sementara itu, menurut IBM Dharma Palguna, Pura Besakih adalah gugusan 86 buah pura. Kompleks Pura Besakih terdiri atas 18 buah pura umum, 4 pura Catur Lawa, 11 pura pedharman, 6 pura non-pedharman, 29 pura dadia, 7 pura berkaitan dengan pura dadia dan 11 pura lainnya.


Persembahyangan Dimulai dari Pura Manik Mas

SEMBAHYANG
ke Pura Besakih ada tata caranya. Selain dari semula niat berangkat sembahyang mesti didasarkan atas kesucian lahir dan batin, sebaiknya dimulai dari Pura Manik Mas.

Tujuannya, kata Klian Desa Pakraman Besakih I Wayan Gunatra, Senin (19/12) kemarin, agar tercapai pendakian spiritual. Namun, kata Gunatra kini telah banyak berubah di Besakih. Terutama jalan untuk bisa mencapai Pura-pura di kompleks Pura terbesar di Bali itu kian banyak--bisa dari arah barat (Desa Pempatan) atau dari selatan (Menanga) atau dari timur (lewat Desa Batusesa).


Keadaan itu kerap menjadikan pamedek sering tak lagi menjalankan ketentuan atau kelaziman. Sebenarnya, itu tak salah. Namun dari segi etika pendakian spiritual, ada kekurangan kesempurnaan. ''Kalau ingin lebih sempurna dan khidmat dalam pendakian spiritual, sebaiknya tiap kali sembahyang ke Besakih dimulai dari Pura Manik Mas,'' ujar Gunatra.


Dulu saat masih zaman kerajaan raja-raja di Bali pun, yang hendak sembahyang ke pura itu selalu berhenti dan menambatkan kudanya sebelum Pura Manik Mas. Lalu raja diikuti keluarga atau pengiringnya berjalan kaki sembahyang dari Pura Manik Mas, seterusnya ke atas.

Usai mohon sembahyang dengan tujuan mohon izin (anugraha) tangkil di Pura Manik Mas, barulah ke pura pedarman. Berikutnya sesuai tujuan penangkilan, apakah ke pura yang termasuk catur loka pala (empat pura yang memiliki palebahan besar mengelilingi Pura Penataran Agung). Catur loka pala itu, yakni Pura Kiduling Kreteg, Pura Batu Madeg, Pura Gelap dan Pura Ulun Kulkul. ''Kalau pun tak sempat, seperti alasan sedikit waktu, usai sembahyang di Pura Pedarman bisa langsung ke Penataran Agung. Soalnya, Pura Penataran Agung merupakan sentral,'' papar Gunatra.

Gunatra mengatakan diperlukan kesadaran semua pihak untuk ikut menjaga kesucian Pura Besakih. Terlebih Besakih menjadi Pura yang mempunyai daya tarik wisata dunia. Dengan dibukanya banyak jalan dan pintu masuk guna mempermudah akses menuju pura, ternyata kemudian menimbulkan tantangan tersendiri untuk melakukan pengamanan--juga terkait menjaga kesuciannya.


Gunatra mengatakan selama ini pihaknya sudah menyampaikan himbauan kepada krama Besakih, para pecalang serta yang terkait agar menjaga kesucian Pura dan citra Bali. Hal itu terutama terkait masih adanya sorotan tentang ulah oknum pramuwisata--diduga yang liar--memperlakukan pengunjung dengan cara tak profesional. ''Pramuwisata khusus lokal di kompleks Pura Besakih telah memiliki wadah, sudah dilengkapi kartu identitas dan beberapakali mengikuti diklat,'' ujar Gunatra.
(bud)


''Padma Tiga'' Pura Besakih Sumber Kesucian, Pemujaan Tri Purusa

PURA Besakih banyak mengandung filosofi. Menurut Piagam Besakih, Pura Agung Besakih adalah Sari Padma Bhuwana atau pusatnya dunia yang dilambangkan berbentuk bunga padma. Oleh karena itu, Pura Agung Besakih adalah pusat untuk menyucikan dunia dengan segala isinya.

Pura Besakih juga pusat kegiatan upacara agama bagi umat Hindu. Di Pura ini setiap sepuluh tahun sekali dilangsungkan upacara Panca Bali Krama dan setiap seratus tahun diselenggarakan upacara Eka Dasa Rudra. Pura Agung Besakih secara spiritual adalah sumber kesucian dan sumber kerahayuan bagi umat Hindu.

Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah palinggih Padma (Padmasana) Tiga. Letaknya di Pura Penataran Agung Besakih. Palinggih tersebut terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas satu altar.

Pengamat agama dan budaya Ida Bagus Gede Agastia mengatakan bangunan suci Padma Tiga yang berada di Pura Agung Besakih adalah tempat pemujaan Tri Purusa yakni Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa (Tuhan Yang Mahaesa).

Piodalan di Padmasana Tiga dilangsungkan setiap Purnama Kapat. Ini terkait dengan tradisi ngapat. Sasih Kapat atau Kartika, merupakan saat-saat bunga bermekaran. Kartika juga berarti penedengan sari. Padmasana tersebut dibangun dalam satu altar atau yoni.

Ida Bagus Agastia mengatakan palinggih padmasana merupakan stana Tuhan Yang Mahaesa. Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Padma berarti teratai dan asana berarti tempat duduk atau singgasana. Jadi, padmasana artinya tempat duduk atau singgasana teratai.

Tuhan Yang Mahaesa secara simbolis bertahta di atas tempat duduk atau singgasana teratai atau padmasana. Padmasana lambang kesucian dengan astadala atau delapan helai daun bunga teratai. Bali Dwipa atau Pulau Bali dibayangkan oleh para Rsi Hindu zaman dulu sebagai padmasana, tempat duduk Tuhan Siwa, Tuhan Yang Mahaesa dengan asta saktinya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (asta dala) Pulau Bali masing-masing dengan dewa penguasanya. Dewa Iswara berada di arah Timur, bersemayam di Pura Lempuyang. Brahma di selatan bersemayam di Pura Andakasa. Dewa Mahadewa di barat (Pura Batukaru), Wisnu di utara (Pura Batur), Maheswara di arah tenggara (Pura Goa Lawah), Rudra di barat daya (Pura Uluwatu), Sangkara di barat laut (Pura Puncak Mangu), Sambhu di timur laut (Pura Besakih), Siwa bersemayam di tengah, pada altar dari Pura Besakih dengan Tri Purusa-Nya yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

Tri Purusa tersebut dipuja di Padmasana Tiga Besakih. Palinggih Padmasana Tiga tersebut merupakan intisari dari padma bhuwana, yang memancarkan kesucian ke seluruh penjuru. ''Karena itu, sumber kesucian tersebut penting terus dijaga, sebagai sumber kehidupan,'' ujarnya.

Sementara pembangunan Pura Agung Besakih dan Pura-pura Sad Kahyangan lainnya adalah berdasarkan konsepsi Padma Mandala, bunga padma dengan helai yang berlapis-lapis (Catur Lawa dan Astadala). Pura Besakih adalah sari padma mandala atau padma bhuwana. Pura Gelap, Pura Kiduling Kerteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batumadeg adalah Catur Lawa. Sedangkan Pura Lempuyang Luhur, Goa Lawah, Andakasa, Luhur Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, dan Pura Batur adalah Astadala. Pura-pura tersebut sangat disucikan dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Pura-pura tersebut pusat kesucian dan kerahayuan bagi umat Hindu.

Dosen IHDN Denpasar Ketut Wiana mengatakan Pura Besakih sebagai huluning Bali Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepala atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian timur laut Pulau Bali.

Timur laut adalah arah terbitnya matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih juga hulunya berbagai pura di Bali. Kata Wiana, di Padma Tiga ini Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa, tiga manifestasi Tuhan sebagai jiwa alam semesta. Tri artinya tiga dan purusa artinya jiwa. Tuhan sebagai Tri Purusa adalah jiwa agung tiga alam semesta yakni Bhur Loka (alam bawah), Bhuwah Loka (alam tengah) dan Swah Loka (alam atas). Tuhan sebagai penguasa alam bawah disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa alam tengah, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa agung alam atas, Tuhan disebut Parama Siwa atau Parameswara.

Palinggih padma paling kanan tempat memuja Sang Hyang Parama Siwa. Bangunan ini biasa dihiasi busana hitam. Sebab, alam yang tertinggi (Swah Loka) tak terjangkau sinar matahari sehingga berwarna hitam. Bangunan padma yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang Sadha Siwa. Busana yang dikenakan pada padma tengah itu berwana putih. Warna putih lambang akasa. Sedangkan, bangunan padma paling kiri lambang pemujaan Sang Hyang Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Bhur Loka. Busana yang dikenakan berwarna merah. Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan-Nya berupa stavira (tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Jadi, palinggih Padma Tiga merupakan sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka. Karena itu dalam konsepsi rwa-bhineda, Pura Besakih merupakan Pura Purusa, sedangkan Pura Batur sebagai Pura Predana.

Menurut Wiana, busana hitam pada palinggih Padma Tiga bukanlah simbol Dewa Wisnu, tetapi Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan Yang Mahaesa yang memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian. Selebihnya ada di luar alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap, karena tidak dijangkau oleh sinar matahari.

Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman atau tanpa sifat. Manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang Mahakuasa itu.

Padmasana yang berada di tengah, busananya putih-kuning sebagai simbol Tuhan dalam keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan. Sedangkan busana warna merah pada padma paling kiri bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah itu sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Sthitti dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti.

Sementara di kompleks Pura Besakih, manifestasi Tuhan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg, Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan Batara Iswara di Pura Gelap.

Di tingkat Pura Padma Bhuwana, Batara Wisnu dipuja di Pura Batur, simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Bhatara Iswara dipuja di Pura Lempuhyang Luhur, simbol Tuhan di arah timur dan Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa, simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan. Sementara di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Pura Kahyangan Tiga.

sumber : balipost

Link : Pura Agung Besakih
 
Pura Samuan Tiga dan Tri Murti


candi.jpg

Yan patmu ikang sattwa lawan rajah, prakasa geng irikang citta, yeka nimitta ning atma para ring swarga. Apan ikang sattwa mahyun magawaya hayu, ikang rajah manglakwaken sumiddhaken saprayojana ning sattwa.
(Tattwa Jnyana.10).


Maksudnya:
Bila Guna Sattwam bertemu dengan Guna Rajah terang bercahayalah Citta (pikiran) itu. Itulah yang menyebabkan Atman sampai di dorga. Karena Guna Sattwam menyebabkan orang ingin berbuat baik, maka Guna Rajah-lah yang melaksanakan, sampai berhasil mencapai semua kehendak Guna Sattwa itu.

BANYAK para ahli memperkirakan Pura Samuan Tiga tempat bertemunya para tokoh agama Hindu dan tokoh-tokoh pemerintahan saat itu. Pertemuan itu diperkirakan dipimpin oleh Mpu Rajakerta yang juga bergelar Mpu Kuturan. Pertemuan itu berlangsung dipimpin oleh Mpu Rajakerta yang juga bergelar Mpu Kuturan. Pertemuan itu berlangsung pada saat pemerintahan Raja Udayana dengan permaisurinya yang bergelar Gunapriya Dharma.

Banyak pihak yang menduga pertemuan tokoh-tokoh itu di Pura Samuan Tiga untuk menemukan berbagai sekte yang diduga bermasalah satu sama lainnya. Memang menurut penelitian Dr. R. Goris menemukan ada tidak kurang dari sembilan sekte Hindu di Bali. Sekte-sekte tersebut misalnya Sekte Siwa Sidhanta, Siwa Pasupata, Ganapati, Sora, Bhairawa, Waisnawa, Budha, Brahma, dll.

Beberapa ahli arkeologi tidak menemukan data adanya sekte-sekte itu bermusuhan satu dengan yang lainnya. Dalam Lontar Mpu Kuturan menyatakan bahwa Mpu Kuturan mengajarkan pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Kahyangan Tiga itu adalah untuk memuja Tuhan dalam tiga manifestasinya. Pura Desa untuk memuja Tuhan sebagai Dewa Brahma. Di Pura Puseh untuk memuja Dewa Wisnu dan di Pura Dalem untuk memuja Dewa Siwa. Brahma, Wisnu dan Siwa tidak lain adalah Tuhan dalam tiga fungsinya sebagai prencipta, pelindung dan pamralina ciptaan-Nya.

Dalam kitab Bhagawata Purana dinyatakan bahwa Brahma, Wisnu dan Siwa juga disebut Guna Awatara yaitu Tuhan yang dipuja dalam fungsinya untuk menuntun umat manusia mengendalikan Tri Guna. Dewa Wisnu menuntun umat manusia untuk melindungi Guna Sattwam, Dewa Brahma untuk mengendalikan Guna Rajah dan Dewa Siwa menuntun umat manusia untuk mengendalikan Guna Tamah. Manusia akan sukses hidupnya kalau Tri Guna itu terkendali sesuai dengan fungsi dan proporsinya.

Dalam kitab Tattwa Jnyana 10 dinyatakan bahwa kalau Guna Satwam dan Guna Rajah seimbang maka Citta atau alam pikiran akan cerah. Pikiran yang cerah itu akan berfungsi untuk mengarahkan perilaku yang Subha Karma. Perilaku yang Subha Karma itulah yang dapat mewujudkan kehidupan yang bahagia di dunia sekala ini dan menuntun Atman mencapai sorga di alam niskala.

Pertemuan di Pura Samuan Tiga itu bukan untuk mendamaikan sekte-sekte yang bermusuhan, karena memang tidak ada sejarah yang menyatakan bahwa sekte-sekte itu bermusuhan. Pertemuan di Pura Samuan Tiga itu adalah untuk menetapkan suatu kebijaksanaan. Kerajaan untuk mendirikan Kahyangan Tiga sebagai sarana memuja Sang Hyang Tri Murti di setiap desa pakraman di Bali. Dengan pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Murti umat diharapkan memiliki kemampuan rohani untuk mengendalikan Tri Gunanya. Jika ini dikuasai maka rakyat mampu memiliki kekuatan rohani untuk mengendalikan Tri Gunanya.

Pengendalian Tri Guna itu diajarkan dalam kitab Tattwa Jnyana, Wrehaspati Tattwa dan susastra Hindu lainnya maka masyarakat akan dapat menunjukkan perilaku yang Subha Karma. Pemujaan Tri Murti juga bermakna untuk memohon tuntunan kepada Tuhan agar dapat melakukan Tri Kona dengan sebaik-baiknya. Tri Kona itu adalah menciptakan sesuatu yang patut diciptakan Utpati, memelihara sesuatu yang patut dipelihara Stithi dan melakukan Pralina pada sesuatu yang sepatutnya dipralina. Inilah dinamika hidup semestinya.

Pura Samuan Tiga ini memiliki nilai sejarah yang sangat besar artinya bagi Bali. Di Pura inilah diputuskan suatu kebijaksanaan yang sangat benar dan tepat bagi penataan hidup masyarakat Bali. Hal inilah menyebabkan Pura Samuan Tiga patut selalu diingat untuk menajamkan konsep hidup yang sangat strategis dan universal yang diwariskan oleh Mpu Kuturan.

Di Pura Samuan Tiga terdapat beberapa peninggalan purbakala. Peninggalan tersebut misalnya Arca Durgha Catur Buja yang berbeda dengan Arca Durgha yang lainnya, karena tidak menginjak Mahisa sebagai perwujudan raksasa. Ada Arca Ganesa yang ceritanya terdapat dalam Smaradhana karya Mpu Darmaja.

Sayang arca ini sudah sangat rusak keadaannya. Di samping itu ada Lingga sebagai media pemujaan Siwa dalam konsep Siwa Pasupata. Lingga ini juga simbol pemujaan Tri Murti. Bagian bawah Lingga berbentuk segi empat lambang Brahma, di atasnya segi delapan lambang pemujaan Wisnu dan bagian atas berbentuk bulat panjang lambang Siwa. Pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga Yoni untuk memohon kesuburan bumi.

Ada juga arca Lembu Nandini sebagai simbol wahana Dewa Siwa. Lembu juga lambang bumi ini.

Pura Samuan Tiga dibagi menjadi Tiga Mandala. Di Tiga Mandala inilah terdapat 70 pelinggih. Di mandala pertama atau jeroan pura terdapat 26 pelinggih. Pada mandala kedua terdapat 8 pelinggih dan di mandala ketiga terdapat 36 pelinggih. Pelinggih tersebut ada sebagai pelengkap dan ada sebagai pelinggih untuk Dewa Pratistha dan ada untuk Atma Partistha.

Di mandala pertama ada pemujaan untuk Batara di Gunung Agung, ada untuk Ratu Puseh, ada untuk pelinggih Tirtha Empul, ada untuk Ratu Sedahan Atma. Ada Pelinggih Ulun Suwi, Arca Gana, ada pelinggih Ratu Agung Sakti Batara Sagara. Yang juga sangat penting adalah ada pelinggih Pesamuan Agung. Pelinggih ini sebagai simbol Nedunang dan Ngeluwurang berbagai manifestasi Tuhan di Pura Samuan Tiga, terutama saat ada upacara pujawali.

Di mandala kedua dari delapan bangunan ada pelinggih Pengalah Hyang, Ratu Sedahan dan Ngelurah Agung. Di mandala ketiga terdapat beberapa pelinggih penting antara lain Batara Segara, Rambut Sedana, Bale Paselang, Taksu, Uluwatu, Sakenan Sri Sedana, Manjangan Saluwang, Pelinggih Melanting, Palinggih Manik Geni, Kentel Gumi, Batara Tirtha, dll. Banyaknya pelinggih di Pura Samuan Tiga ini sebagai simbol untuk menyatukan berbagai kelompok umat Hindu yang memiliki sistem kerohanian yang berbeda-beda namun hidup untuk saling melengkapi. Upacara Pujawali di Pura Samuan Tiga ini menggunakan perhitungan sasih yaitu setiap Purnama Sasih Kedasa. * I Ketut Gobyah

sumber : balipost
 
Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur

ulun_danu_batur_temple.jpg


Tinjauan Babad: Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur

Jro Mangku I Ketut Riana

Bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa, sebagaimana biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli. Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya, maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad. Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam

Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi,
Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta
Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk.
Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk.

Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.

Zaman Bahari

Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.

Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,

demikian sabda Hyang Pasupati.

Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,

jawab ketiga putranya.

Nanda jangan khawatir,

tandas Hyang Pasupati.

Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam.

Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang,
Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan
Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.

Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.

Purana Tatwa Batur

Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula, uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.

Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru.

''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''
''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''.
''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.''

Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra.

''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.
''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''.
''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.
''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''.
''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''.
''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.''

Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya,

''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''.
''Hamba juga minta air suci''.
''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''
''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''.
''Nanda minta balai agung''.

Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata:

''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''.

Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan.

''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak''.

Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata,

''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin''.

Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur. Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah paya lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air paya Beliau berkata,

''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.

Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah paya (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.

Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

Oleh : Jro Mangku I Ketut Riana
 
Pura Batukaru

056-P1090495.jpg


Mpu Kuturan adalah seorang maharsi yang serba bisa. Selain mahir di dalam bidang arsitektur, kemasyarakatan, Mpu
Kuturan juga adalah ahli dalam bidang keagamaan. Dan Pura Batur merupakan salah satu karya adiluhung pendiri
tonggak sejarah Hindu di Bali.
Kekuatan Gaib Mpu Kuturan di Batur

Mpu Kuturan adalah seorang maharsi yang serba bisa. Selain mahir di dalam bidang arsitektur, kemasyarakatan, Mpu
Kuturan juga adalah ahli dalam bidang keagamaan. Dan Pura Batur merupakan salah satu karya adiluhung pendiri
tonggak sejarah Hindu di Bali.

Pura Batukaru terletak di Desa Wangaya Gede, Penebel, Kabupaten Tabanan, tepatnya di bongkol Gunung Batukaru
yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan krama Bali. Lebih-lebih Pura Batukaru merupakan salah satu pura Sad
Kahyangan yang terletak di sebelah Barat Pulau Bali ini, juga dikenal sebagai pengider bhuwana. Karena statusnya
sebagai Kahyangan Jagat, maka pura ini disungsung umat Hindu dimana pun di jagat raya ini. Jadi, bukan milik dari
krama Tabanan seperti yang terjadi sebelumnya, sehingga pura ini sampai saat ini masih belum dikenal oleh umat
secara umum. Karena letaknya di Barat Pulau Bali sebagai pengider bhuwana, dapat dipastikan pura ini tempat memuja
kebesaran Ida Sanghyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Mahadewa.

Dalam lontar Kusuma Dewa disebutkan, Mpu Kuturan merupakan salah satu tokoh sentral berdirinya Pura Kahyangan
Jagat yang ada di Bali.
Begitu juga dengan berdirinya Pura Batukaru pun tidak bisa dilepaskan dari peran yang dimainkan Mpu Kuturan tersebut.

Disebutkan juga Mpu Kuturan sering melakukan penyempurnaan palinggih-palinggih (bangunan suci) yang sudah ada
sebelumnya. Ada dugaan pura atau kahyangan ini digunakan sebagai tempat melakukan yoga semadi oleh para pertapa, sebab ada sebuah bukti yang ditemukan yakni berupa sumber air dan berbagai jenis patung yang bernilai magis dan sakral. Dari sumber air yang ditemukan dapat diberikan bayangan, karena pada zaman dahulu seorang
pertapa dalam melaksanakan pelajarannya pada tingkat Wanaprasta lazim memilih tempat pegunungan yang ada mata airnya.

Kecuali itu ada kemungkinan tempat ini sering dipergunakan sebagai tempat persembahyangan atau semadhi. Ini juga dibuktikan dengan adanya beberapa buah bangunan yang erat kaitannya seperti Bale Tengkudak, pasek dansebagainya.

Mengenai Pura Batukaru ini dalam beberapa buah pustaka ada dicantumkan berbagai peristiwa yang ada hubunganya seperti Babad Pasek; dalam Babad Pasek dikisahkan mengenai turunnya beberapa Bathara dari Gunung Semeru (Jawa Timur) di Bali yang antara lain diuraikan, putra Bathara Pasupati dari Gunung Semeru di Pulau Bali yang dipuja adalah Bathara Putrajaya dan Gnijaya. Bathara Tumuwuh berparahyangan di Gunung Batukaru, Sanghyang Manik Gumamayang berparahyangan di Gunung Beratan, Sanghyang Manik Galang berparahyangan di Pejeng, dan Sanghyang Tugu di Andakasa.

Kemudian dalam Lontar Usana Bali; dikisahkan Mpu Kuturan juga dijuluki sebagai Mpu Rajakretha, karena beliau berkenan mendirikan pura atau parahyangan yang dibawa dari Majapahit (Jawa Timur) yang diterapkan di Bali seperti Bathara di Besakih, Bathara di Batumadeg, Bathara di Batu Manyeneng, Bathara di Pintuaji, Bathara di Kadaton,
Bathara di Tengah Mel, Bathara di Tulukbiyu, Bathara di Tampuryang, termasuk juga Bathara di Batukaru. Dalam bagian
lain disebutkan persembahan yang dibawa Rajakertha kepada Raja Bali tatkala bertahtanya Baginda Raja Masula-Masuli pada waktu pemerintahan di Pejeng. Ada persembahan arca (patung) yang menyebabkan bahagianya krama Bali setiap tanaman hidup subur, harga barang-barang murah, ketika itu adalah jaman Ciwa-Budha.

Diceritakan zaman pemerintahan Sri Tapaulung yang bergelar Sri Gajahwaktra atau Sri Gajahwahana yang dijuluki Sri Astha Sura Bhumi Banten memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap parahyangan yang ada di wilayahnya. Itulah sebabnya ketika Sri Gajahwaktra berkuasa di Bali pengaturan terhadap tempat parahyangan tidak keliru.

Dikisahkan dalam suatu rapat khusus yang dihadiri beberapa mahapatih dari kerajaan, Sri Gajahwaktra berkenan mengangkat orang-orang kepercayaannya sebagai Mancabhumi. Semua ini diakibatkan kesetiaap Sang Sapta Sanak (Tujuh Saudara). Mereka yang diangkat di antaranya Kiai Agung Pangeran Tohjiwa, diberi kekuasaan di daerah sebelah
Barat Bukit Penyu, sebelah Timur diberikan kepada Bajing, dengan berkedudukan di Kjiwa, di Parahyangan Batur Saludiserahkan kepada I Gusti Agung Padang Subadra pengurus Pura Silayukti, Wira Sang Kulputih penyelenggara aci (upacara) di Pura Besakih, dan Gunung Agung, I Gusti Penataran untuk pengurus Pura Gelgel, Kyayi Agung
Smaranatha, menurut sekehendak beliau sesuai dengan keadaannya, ditugaskan mengawasi daerah Gelgel. Sementara I Gusti Agung Pasek Gelgel memerintah daerah Gelgel dan Nusa Penida dengan daerah sebelah Barat Batulahak sampai Takmung. Kyayi Bendesa Pasek Mas menguasai daerah desa Mas Taman Pule, Kyayi Agung Kubayan
menguasai wilayah Bayad sampai dengan Wangaya, dan menduduki jabatan Kubayan di Batukaru dan Penulisan Selisihan Taro.

Sedangkan dalam Babad Buleleng; menyebutkan, Panji Sakti pernah melakukan aksi pengerusakan pura dengan mengobrak-abrik bangunan, yang pada dasar mau menyerang musuh, tapi Panji Sakti berjalan menuju perbatasan Tabanan. Perjalanan ke Tabanan ini dimaksudkan supaya bisa melakukan peperangan, tapi tidak ada respon sehingga yang dipakai pancing untuk peperangan adalah dengan mengadakan perusakan Pura Batukaru.

Mengobrak-abrik pura ini dilakukan oleh pengikutnya dengan senjata lengkap serta memindahkan palinggih dari tempat semula. Entah dari mana datangnya tawon secara ajaib menyerbu dan mengerumuni I Gusti Ngurah Panji Sakti. Lantaran banyaknya tawon tersebut sebesar kepalan tangan satu ekornya. Kontan saja Panji Sakti lari terbirit-birit tanpa berani menoleh ke belakang. Rupanya Tawon ajaib itu utusan Hyang Widhi yang menghukum Panji Sakti yang tidak tahu diri merusak parahyangan yang amat disucikan umat.

Dengan tawon sebesar kepalan tangan satu ekor yang menjajal Panji Sakti dan pengikutnya, maka kapoklah Panji Sakti dan akhirnya kembali lagi ke Buleleng dengan tangan hampa, untung saja Panji Sakti baru dikerjain saja tidak sampai nyawanya melayang. Karena Panji Sakti sangat berani semua palinggih yang ada Batukaru dirusak dan dipindahkan begitu saja tanpa alasan. Sehingga yang berstana di Pura Batukaru menjadi murka dan menjajal Panji Sakti hanya dengan tawon yang menggerogoti tubuhnya.

Anak Belum Maketus, Pantang ke Pura
Bila pura dikaitkan dengan keberadaan agama Hindu adalah sebuah tempat mendidik umatnya menjadi manusia yang berkualitas. Tapi di Pura Batukaru justru memberikan pantangan kepada anak yang mau ke pura.

Ada apa di balik misteri itu, mengapa anak yang perlu pendidikan tidak dibolehkan diajak ke pura? Pertanyaan tersebut sangat wajar bagi siapa saja, pasalnya ketentuan itu tidak sepantasnya timbul di era yang sudah menerapkan dunia globalisasi dunia rasio ini. Tapi antara benar atau tidak sebuah misteri tidak cukup dikaji dengan logika semata,
walaupun kita diajak ke dunia globalisasai yang serba modern. Setidak-tidaknya ada suatu bukti secara niskala telahmemberikan hukuman bagi yang berani melanggarnya. Pernyatan tersebut dikatakan Jro Mangku I Gede Teken (57 th) ketika ditemui di pesramannya. Memang tiap-tiap pura atau Parahyangan mempunyai keunikan tersendiri, diyakini atau
tidak ini merupakan urusan niskala.

Dikatakan Jro Mangku Gede Teken, masalah-masalah yang menyangkut niskala memang sulit diajak ke alam logika.
Niat kita mendobrak bila bertentangan dengan hati nurani, eh, ternyata kita yang bisa kena pukul secara gaib, jelasnya.
Melihat dari sejarahnya mengapa anak yang belum maketus tidak dibolehkan diajak ke pura Jro Mangku pun tidak berani mengatakan dengan pasti. Mengapa hal itu bisa terjadi.

Bisa jadi zaman dulu sebelum ada kemajuan transportasi pamedek pergi ke pura dengan jalan kaki menempuh jarak yang sangat jauh. Belum lagi ada hutan belantara yang banyak binatang buasnya seperti Singa, Ular, Macan yang sewaktu-waktu bisa memangsanya. Lebih rasional lagi, ketika ada orang sembahyang dengan khusuk tiba-tiba saja diriuhkan dengan tangisan anak yang tentu saja akan membuyarkan konsentrasi orang sembahyang. Tak pelak lagi,
sering anak-anak yang diajak ke pura pada akhirnya akan merengek-rengek minta susu sehingga membuat ibunya membuka gunung kembarnya dihadapan orang banyak, tentunya kurang sedap dipandang orang banyak.

"Logika itu masuk akal juga kalau dikaji dari sisi negatifnya tanpa kita mau tahu apa yang akan terjadi bila anak terus-terusan tidak boleh masuk pura yang penuh dengan nilai kesucian," Jro Mangku menjelaskan. Ngomong masalah sekala
kita gampang saja, tapi bagaimana kita bicara dengan dunia niskala juga sering terjadi secara misteri. Larangan mengajak anak ke Pura Batukaru tidak semuanya yang bisa kena kesisipan niskala.

Tapi sudah banyak secara niskala anak setelah diajak ke pura sampai di rumah sakit tanpa sebab. Setelah diajak ke pura dan diberikan tirta akhirnya sembuh seketika. "Inilah yang mengherankan diri tiang mengapa masih percaya dengan misteri mengajak anak yang belum maketus tidak dibolehkan," terangnya lagi.
Dilihat dari sisi pendidikan anak-anak secara dini dalam bidang agama, jelas sudah tidak zamannya lagi dan tidak dibenarkan melarang anak untuk pergi ke pura. Karena sang anak perlu mendapatkan pendidikan agama secara nyata dan benar sejak dini. Dan pelarangan ini sudah mendapat sorotan tajam dari umat yang tidak tahu seluk beluk berdirinya pura ini. Tentu saja sorotan ini secara logika masuk akal, dan sangat wajar dirombak. Tapi cara merombaknya, kata Gede Teken yang mawinten tahun 1999 mulai dari mana, ini yang sulit, karena sudah merupakan kepercayaan dan dresta parahyangan masing-masing.

Pihak panitia melarangnya tentu bukan berdasarkan alasan, karena dikhawatirkan mengajak anak yang belum maketus akan menemui hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga orang tua yang terlanjur mengajak anak yang belum maketus hanya bisa menikmati pergi ke pura dan akhirnya diam di wantilan dengan tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.

Jro Mangku I Gede Teken, Ulian Pangandika
Ketika dihubungi di sela-sela kesibukannya, Jro Mangku I Gede Teken enggan diajak bicara masalah ngayah. Ada apa?
Terus terang Jro Mangku Gede Teken menyatakan, dihadapan Ida Bathara secara jasmani belum siap ngayah.
Alasannya dirinya masih ingin gradag-grudug dan sebelumnya tidak begitu sering pergi ke pura. Lebih fatal lagi I Gede Teken mengaku anak belog dan bahasa Bali pun tidak bisa. Tapi karena tutunan Ida Bathara yang malingga di Pura Batukaru dirinya tidak kuasa menolaknya. Akhirnya tahun 1999 dirinya diwinten dalam usia 55 tahun dengan istrinya yang masih muda. Sebelumnya banyak masalah yang muncul saat mau diwinten, tapi walaupun terjadi kesalah-pahaman akhirnya berdasarkan kehendak Bathara masalah menjadi reda dengan sendirinya.

Tiang pun secara pribadi dan sekala tidak ada ambisi menjadi seorang pemangku, apalagi sudah merasa diri belog, tidak tahu agama, tuturnya dengan terus terang. Kini Jro Mangku I Gede Teken kelahiran Wangaya Gede, Penebel, Tabanan mengaku merasa tenang dan berserah diri kepada Hyang Widhi. Walaupun pada awalnya sebagai pemangku
dirasakan sangat asing dan apa yang harus dilakukan nanti setelah mawinten.

Dalam pawintenan I Gede Teken memang agak lain, pasalnya tidak perlu napak Ida Pedanda seperti pawintenan pemangku lainnya. Pabersihan cukup dengan tirta yang ada di Pura Luhur Batukaru. Ditanya perasaan saat pawintenan, dengan polos I Gede Teken mengatakan, Tiang pasrah berserah diri dengan tangan kosong, tidak tahu apa-apa, dan secara manusa matah sudah tidak mau ngayah, tapi atas pangandika tiang mengharuskan mau menjadi pemang, tuturnya.
Sekarang setiap piodalan yang jatuh pada Weraspati, Umanis, Dungulan setiap 210 hari merupakan puncak ngayah dan itu pun sudah dibantu dengan banyak pembantu dari pemangku yang ada di sekitar Pura Batukaru. Awalnya piodalan berlangsung satu hari, karena membludaknya umat yang pedek tangkil, akhirnya diperpanjang sampai Redite, Wage, Kuningan dan akhirnya nyineb pada hari Seninnya sebelum matahari terbit disebut dengan mupuk kembang.

-oOo-
 
Wisss Bli Goesdun, dedikasi ma Agama Jempol booo...

Ntar daku nyusul yaaa,
Pure Candra Prabha, cengkareng Jakarta Barat.
 
tanya, apa pura sama dengan kelenteng budha yang menyembah patung, atau hanya tempat kosong yang digunakan untuk beribadah.
 
tanya, apa pura sama dengan kelenteng budha yang menyembah patung, atau hanya tempat kosong yang digunakan untuk beribadah.

Untuk saudaraku 666 pura bukan tempat menyembah patung tapi ada Palinggih / tempat duduk / singgasana untuk para dewa ataupun leluhur disana.

Memudahkan untuk memusatkan perhatian kita kepada Dewa yang dituju :)

Dan di Budha tidak menyembah patung ;)

Hindu dan Budha berasal dari 1 sumber.

mungkin ada rekan yang mau menambahkan
kalau ada salah mohon dimaafkan

Love and light
 
Pura Sakenan

Pura Sakenan terletak di Pulau Serangan, Desa Serangan, Denpasar Selatan. Pura atau kahyangan ini dibangun oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha bersamaan dengan pembangunan beberapa pura lainnya pada zaman pemerintahan raja suami-istri Sri Masula Masuli.

Dalam lontar Usana Bali antara lain disebutkan, Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Ia membangun pura berdasar konsep yang dibawanya dari Majapahit (Jawa Timur), diterapkan di Bali seluruhnya. Mengenai bertahtanya Sri Masula Masuli di Bali dapat diketahui dari prasasti Desa Sading, Mengwi, Badung. Prasasti itu bertahun Icaka 1172 atau 1250 M. Di situ disebut, Raja Sri Masula Masuli menjadi raja di Bali sejak tahun Icaka 1100 (1178 M). Raja ini memerintah selama 77 tahun. Artinya, ia mengakhiri pemerintahannya sekitar tahun Icaka 1177 (1255 M).

Ketika Danghyang Nirartha mengadakan perjalanan keliling Bali mengunjungi tempat-tempat suci, ia sampai pula di Pulau Serangan. Lalu, di bagian barat pantai Pulau Serangan dibangunlah pura. Di situ, Danghyang Nirartha dapat menyatukan pikirannya secara langsung. Mengenai peristiwa ini, dalam Dwijendra Tattwa, antara lain diuraikan sbb.; "...sesudah Danghyang Nirartha mensucikan diri di Bukit Payung, lalu beliau meneruskan perjalanan dengan menyusur pantai laut yang sangat indah dan mempesonakan menuju arah utara. Pantai yang dilalui cukup permai dengan pasirnya yang memutih memberikan keindahan alam yang mempesonakan, ditambah lagi dengan herembusnya angin dan lautan yang dapat menyegarkan jasmani beliau."

Lalu disebutkan lagi, "Dalam perjalanannya ini kemudian beliau menjumpai dua buah pulau kecil yaitu Nusa Dwa. Di pulau ini Danghyang Nirartha lagi beristirahat untuk melepaskan lelah, dan di sinilah beliau menyusun sajak atau kakawin Anjangsana Nirartha. Setelah selesai mencatat dan menyusun segala sesuatu yang berkaitan dengan sajak ini, Danghyang Nirartha lagi melanjutkan perjalanan menuju arah utara."

Tak dikisahkan bagaimana halnya di dalam perjalanannya, sampailah Danghyang Nirartha di suatu pulau kecil yaitu Serangan. Pada pantai bagian barat Pulau Serangan, Danghyang Nirartha beristirahat sambil mengagumi keindahan alam sekitarnya. Di tempat itu ia merasakan dan menyaksikan perpaduan harmonis antara daratan pulau Serangan dengan laut yang mengelilinginya. Karenanya, Danghyang Nirartha berketetapan hati dan memutuskan untuk tinggal dan bermalam beberapa hari di sana.

Akhirnya, di situlah Danghyang Nirartha membangun palinggih (bangunan suci) di Pura atau Kahyangan Sakenan. Sakenan berasal dan kata cakya yang berarti dapat langsung menyatukan pikiran. Pujawali atau piodalan di Pura Sakenan jatuh pada setiap 210 hari, pada Sabtu Kliwon, wara Kuningan, bertepatan dengan hari raya Kuningan. Sedangkan keramaiannya diselenggarakan pada Minggu Umanis, wara Langkir.

Ada hal penting yang setidaknya harus diperhatikan oleh para umat atau pemedek yang hendak tangkil ngaturang bakti atau bersembayang ke Pura Sakenan. Konon, hal ini masih rancu terjadi. Yang sering terjadi, umat melakukan persembahyangan di Pura Dalem Sakenan (pura yang di pinggir paling barat) dan di Pura Susunan Agung (di sebelah timur Dalem Sakenan), setelah itu langsung pulang.

Dalam pasamuan atau rapat nyanggra piodalan di Pura Sakenan yang sudah digelar, dijelaskan bahwa persembahyangan itu merupakan satu paket. Artinya, pemedek harus bersembahyang (1) ke Pura Susunan Wadon -- sekitar 0,5 km ke timur Pura Sakenan), (2) ke Pura Susunan Agung, dan (3) ke Pura Dalem Sakenan -- pada pelingih paling barat di pinggir pantai yang berbentuk Padmasana.

Dalam kajian sastranya, rangkaian ini bisa di telusuri dari kata Pura Susunan Wadon, Susunan Agung, dan Pura Dalem Sakenan. Terdapat suatu pengertian Purusa, Pradhana dan Susunan Agung adalah Lingga, Yoni dan Susunan Agung adalah tempat penyatuan antara Purusa dan Pradana -- penyatuan sang diri dengan maharoh sebagai asal mula setiap mahluk hidup. Pemahaman inilah yang ditemukan Mpu Kuturan sehingga melahirkan Pura Sununan Lanang dan Susunan Wadon.

Pun dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha, juga terjadi hal yang sama. Sehingga, sebagai penghormatan terhadap beliau, maka dibuatkanlah pelinggih Pura Dalem Sakenan yang merupakan penyatuan antara Siwa dan Budha.


-oOo-
 
Pura Luhur Uluwatu

Pura Luhur Uluwatu Stana Dewa Rudra

Utpatti Bhagawan Brahma,
stithi Wisnuh tathewaca.
Pralina Bhagawan Rudrah,
trayastre lokya sranah.
(Buana Kosa. 25)


Maksudnya:
Tuhan sebagai Dewa Brahma sebagai pencipta Utpati, sebagai Dewa Wisnu menjadi pemelihara atau Stithi dan sebagai Dewa Rudra sebagai pemralina. Tuhan dalam wujud tiga Dewa itulah pelindung bumi.

PURA Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pengider-ider Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena itu umumnya banyak umat Hindu sangat yakin di Pura Luhur Uluwatu itulah sebagai media untuk memohon karunia menata kehidupan di bumi ini.

Karena itu, di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dari tiga dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar, tepat dan seimbang.

Menurut Lontar (pustaka kuna) Kusuma Dewa Pura ini didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad ke-11. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.

Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institut Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa keenam pura itulah yang ditetapkan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927, hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap.

Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah-menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.

Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad ke-11. Candi bersayap seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim. Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana.

Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka, Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sedangkan sebagai pura yang didirikan berdasarkan Konsepsi Padma Bhuwana, Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.

Ida Pedanda Punyatmaja Pidada pernah beberapa kali menjabat Ketua Parisada Hindu Dharma Pusat mengatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena itu umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering khusus memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu.

Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.

Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental itu salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma.

Untuk memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan untuk menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa. Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu.

Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari Jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Dang Hyang Dwijendra pada abad ke-16 Masehi.

Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu patung Brahma, Ratu Bagus Dalem Jurit dan Wisnu. Ratu Bagus Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja. Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih. Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih sederhana saat itu.

Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa pura Prasanak atau Jajar Kemiri. Pura Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak. Demikianlah sekilas tentang Pura Luhur Uluwatu.

* I Ketut Gobyah

Source : webmaster
 
Pura Dangkahyangan Goa Gong

1. SEJARAH SINGKAT

Ketika Dang Hyang Nirartha melaksanakan yoga semadi di Pura Uluwatu, dan ketika beliau sedang menulis huruf-huruf suci pada beberapa batu yang akan dipakai dasar untuk pembangunan tempa suci ini (Uluwatu) terdengar suara gong yang angalun-alun datang dari kejauhan yaitu, arah timur laut (kaja kangin). Suara gong yang demikian halus, merdu, angalun-alun seolah-olah memanggil agar beliau segera mendekati suara gong itu. Keinginan untuk segera meneliti, mendekati, mencari sumber suara gong itu sangatlah menggoda, akhirnya beliau putuskan untuk mencari sumber suara gong itu. Dengan berjalan kaki menuju arah timur laut melewati hutan dan tegalan, beliau mendekati suara gong itu. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan dua ekor ular besar (naga) yang berwarna kuning dan yang satu lagi berwarna merah. Dua ekor naga merupakan ratu dan rajanya gamang (wong samar). Naga itu melintang di tengah jalan, seolah-olah ingin menghalangi perjalanan Dang Hyang Niratha untuk menuju suara gong itu. Dang Hyang Nirartha lalu bertanya kepada kedua ekor naga.

“.... Wahai engkau Naga, mengapa engkau tidur melintang di tengah jalan, dan seolah-olah ingin menghalangi perjalanan Bapak yang akan mencari sumber suara gong yang sangat menggoda itu...”

Naga lalu menjawab.
“..... ratu...ratu pedanda, bertahun-tahun kami berdua sudah meyasa (bersemadi -red) di sini, menyiksa diri dengan menjemur di tengah teriknya sinar matahari, kehujanan tatkala musin hujan, serta menahan lapar dan haus untuk memenuhi keinginan kami berdua agar bisa ke Sunya Loka. Namun demikian, sampai sekarang belum ada Bhatara yang tedun (turun -red) untuk nyupat (membebaskan - red) kami. Kami megijinkan Ratu Pedanda untuk lewat dan melintasi jalan ini, namun kami mohon kepada Ratu Pedanda agar sudi kiranya nyupat titiang agar bisa segera ke Sunya Loka....”

Dang Hyang Nirartha lalu berkata.
“.... Pedanda mau nyupat kamu berdua agar roh/atman kamu bisa segera ke Sunya Loka, sedangkan badan wadag kamu agar senantiasa menjaga taman yang aku buat nanti di tempat ini’’”
setelah disetujui oleh kedua ekor naga itu, akhirnya Ida Pedanda mengucapkan mantra saktinya, serta nyupat kedua naga itu. Di tempat itu kemudian didirikan taman (Goa Peteng).

Dang Hyang Nirartha kemudian melanjutkan perjalanan beliau menuju suara gong , kira-kira 40 meter dari lokasi naga tadi beliau menemukan sebuah goa dan setelah didekati suara gong tadi seketika berhenti (gong tan pa suara). Beliau kemudian masuk ke dalam goa, dan duduk di atas sebuah batu (lempeh) di lokasi ini kemudian beliau melakukan yoga (mayoga). Di tempat ini kemudian muncul sumber air yang sangat suci bagaikan air sungai gangga yang berwarna-warni. Selama beliau melakukan yoga ternyata banyak sekali (hampir ribuan) para gamang, wong samar mendatangi beliau untuk mohon, panglukatan dan penyupatan tan pagering, dan beliupun berkenan memberikan penyupatan, namun keberhasilan penyupatan itu sangat tergantung dari karmanya masing-masing. Beliaupun akhirnya minta bantuan kepada para wong samar, gamang agar membantu membuat parhyangan di Pura Uluwatu, dan secara tulus iklas para wong samar, gamang yang jumlahnya ribuan itu menyanggupi untuk membantu Dang Hyang Nirartha membangun Pura Luhur Uluwatu yang sangat kita sucikan itu.

2. PIODALAN, UPACARA DAN UPAKARA
Piodalan di pura Goa Gong jatuh setiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan pawukon (210 hari), tepatnya pada Senen Pon wuku Sinta yang lazim disebut Coma Ribek.

Adapun rangkaian upacara piodalan yang biasa dilaksanakan adalah sebagai berikut:
· Ngiyasin Ida Bhatara
· Maprayascita banten dan semua tempat yang dianggap suci
· Menghaturkan pecaruan dalam tingkat panca sata
· Menghaturkan piodalan (pujawali) dilengkapi dengan tarian dan pendetan
· Ida Bhatara masineb

Upakara (banten) yang dipersembahkan pada waktu piodalan adalah:
a) Ring sor (di bawah pada altar Goa) mempersembahkan: sesayut pangambeyan satu soroh, soda putih kuning, rayunan, pasucian, canang lenga wangi burat wangi;
b) Di palinggih Geriya Dang Hyang Nirartha menghaturkan: sayut pengambeyan satu soroh, soda putih kuning, rayunan dan pasucian, canang lenga wangi burat wangi;
c) Di palinggih Ida Bhatara Siwa Bhuda menghaturkan: sesayut pangambiyan satu soroh, soda putih kuning, rayunan, pasuciyan, canang lenga wangi burat wangi;
d) Di palinggih Ida Bhatara Guru menghaturkan, sasayut pangambeyan satu soroh, soda putih kuning, rayunan, pasuciyan, canang lenga wangi burat wangi;
e) Di palinggih gong, menghaturkan: sesayut pengambeyan satu soroh, soda putih kuning, rayunan, pasuciyan, canang lenga wangi burat wangi;
f) Di Jaba ( di luar goa) menghaturkan: caru Panca sata, pabiyakaonan, panglukatan, pabersihan dan prayascita.

Di samping upacara piodalan yang secara rutin telah dilakukan setiap enam bulan sekali, upacara-upacara panyabran seperti, Purnama, Tilem, Kliwon dan lain-lain juga senantiasa dilaksanakan di pura ini. Proses upacara piodalan dan upacara-upacara panyabran lainnya sepenuhnya dilaksanakan oleh pemangku pura Goa Gong dibantu oleh hanya para keluarga pemangku. Pura yang berstatus Dang Kayangan sampai saat ini belum pernah dilaksanakan upacara piodalan yang agak besar atau upacara peningkatan kualitas piodalan yang secara rutin dilakukan setiap enam bulan, seperti halnya pura-pura Dang kahyangan lainnya yang senantiasa melakukan peningkatan kualitas piodalan setiap lima tahun maupun sepuluh tahun. Tidak dilakukannya peningkatan kualitas piodalan di Pura Goa Gong ini karena semata-mata keterbatasan dana dan tidak adanya pengempon pura yang jelas, dan selama ini proses upacara dan upakara hanya dilakukan oleh pemangku sendiri dan keluarganya.

Demikian suci dan misterinya Pura Dang Kahyangan Goa Gong ini, dan terbukti telah senantiasa menyelamatkan pulau suci ini dari berbagai goncangan namun tetap masih kita sayangkan belum adanya perhatian yang sungguh-sungguh bagi penguasa/pejabat daerah ini, para penguasa hanya rajin nunas ica ke pura tanpa adanya rasa bhakti yang nyata di dalam menjaga kesucian pulau ini.

3. PENGEMPON, PENYIWI
Pemangku Pura Goa Gong beserta keluargannya adalah merupakan pengempon Pura.
Hal ini sudah dijalankan secara turun tumurun. Sebagai pengempon mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pembangunan, pemeliharaan fisik maupun yang non fisik. Demikian juga biaya dan pelaksanaan upacara di pura sepenuhnnya diusahakan oleh keluarga pemangku sendiri. Sumber-sumber dana hanya terbatas pada sesari, dana punia para pemedek yang tangkil ke pura dengan jumlah dana yang sangat terbatas. Keterbatasan dalam hal dana dan pengempon menyebabkan di Pura ini belum pernah dilaksankan upacara besar, dan upacara yang dilakukan hanya terbatas upacara piodalan rutin setiap enam bulan sekali. Penampilan fisik Pura ini mamang terkesan sangat sederhana, namun dibalik itu pura ini mengandung kekuatan spiritual dan kesucian yang sangat mendalam dan tinggi.
Penyiwi.

Penyiwi adalah orang-orang kelompok masyarakat yang menjunjung atau memuliakan Pura dalam berbagai bentuk aktivitas keagamaan berlandaskan kesucian dan sesuai dengan dresta yang berlaku di pura Goa Gong. Setiap pura mempunyai aturan-aturan, norma-norma dan nilai-nilai yang dijunjung guna menjaga kesucian Pura sebagai linggih Ida Bhatara yang merupakan Istadewatanya Sang Hyang Siwa. Aturan dan norma-norma ini telah mampu menata, mengarahkan sikap, wacana dan perilaku para pemedek yang memuliakan dan mensucikan Pura itu yang sudah berlaku dari tahun ke tahun dari zaman ke zaman dan dari abad-keabad. Pura Goa Gong adalah pura yang belum begitu populer bagi semeton Bali, namun demikian setiap rerahinan (Purnama, Tilem) ada saja masyarakat sekitarnya, Bualu, Denpasar, Badung yang pedek tangkil ke pura. Sebagai penyiwi yang berlandaskan pada kesucian hendaknya senantiasa menjunjung tinggi tata krama dan dresta yang telah berlaku di Pura ini, salah satu yang perlu dihindari adalah pedek tangkil pada hari Rebu, apabila hal ini dilanggar niscaya akan menemukan halangan, demikian tradisi yang telah berlaku di pura Goa Gong.

4. CERITA TENGET
· Ular besar (Naga). Pura Goa Gong dilihat dari tata letaknya berada di lingkungan Banjar Batu Mongkong, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta, kabupaten Badung, dari wujud luarnya/ fisik pura ini menampakan wajah yang sangat sederhana namun sangat angker. Di lingkungan pura ini terdapat sebuah taman yang sering disebut dengan Taman Peteng, taman ini dihuni oleh dua ekor ular besar (naga) yang berwarna kuning dan merah yang merupakan ratu dan rajanya wong samar. Ada ceritera misteri yang diuangkapkan oleh pemangku pura, bahwa beberapa hari sebelum peristiwa bom di kuta, dua naga ini bersuara dan menampakan dirinya berada di apit lawang pura Goa Gong, menurut pemangku penampakan diri naga ini menunjukkan akan adanya peristiwa besar yang sangat mengerikan akan terjadi. Dan betul bahwa beberapa hari setelah itu memang terjadi peristiwa bom di Kuta. Dan setelah terjadinya peristiwa itu banyak para pejabat yang pedek tangkil ke pura Goa Gong, pada suatu hari pemangku purapun mendapat petunjuk gaib bahwa sebulan setelah bom meledak pelakunya akan ditemukan/ditangkap, dan itupun memang betul terjadi. Ceritera pemangku ini memang aneh tapi nyata. Namun demikian, pemangku pura juga menyesalkan kepada para pejabat yang rajin nunas ica tengah malam setelah peristiwa bom terjadi, namun setelah pelakunya ditangkap tidak pernah tangkil lagi di pura, pura kembali sepi dan tidak ada orang yang rungu.

· Tirta suci. Pada tebing-tebing Goa Gong, pada stalatit tebing menetes air suci yang digunakan untuk air tirta, pemangku pura tidak pernah membawa air dari rumahnya untuk dijadikan tirta. Air yang menetes ini memang gaib, kalau kita teliti disekitar goa, di atas goa terhampar perbukitan tanah kapur yang kering. Nah..... dari manakah datangnya air ini? inilah gaib, inilah misteri yang akan sulit di rasionalkan. Pemangku pura tidak pernah membawa air dari rumahnnya untuk dijadikan tirta, jadi tirta di pura ini hanya menghandalkan air yang menetes dari diding-dinding kapur pura tersebut. Air tirta ini memang sangat berkasiat, banyak penyakit yang pernah disembuhkan setelah meminum air tirta ini. Ada seorang sulinggih yang kehilangan mantramnya karena tidak bisa lagi ngomong, atau kehilangan suara (bisu). Namun, setelah nunas ica di pura ini dan meminum air suci yang ada di pura ini, secara berlahan-lahan menemukan lagi suara dan mantramnya, dan tentunnya banyak lagi cerita yang bisa digali dari khasiat air tirta di pura Goa Gong ini.

· Suara Gong. Biasanya gong ini bersuara ketika hari piodalan, namun perlu diingat bahwa tidak setiap piodalan gong ini bersuara. Suara Gong ini memang penuh dengan tanda-tanda gaib dan misteri. Gong yang berasal dari sebuah batu besar ternyata bisa mengeluarkan suara yang sangat halus, angalun-alun dan terdengar sampai radius lima kilometer. Secara logika dan rasional itu tidak mungkin, bagaimana sebuah batu bisa mengeluarkan suara persisnya seperti suara gong, siapa yang memukul, bagaimana caranya memukul dan serentetan pertanyaan rasional yang tidak mungkin dijawab.
Oleh : Ida Bagus Dharmika

 
Pura Geger

Keindahan Paripurna di Ujung Selatan Bali

Di tengah kepungan riuh-pikuk bisnis pelancongan kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, Pura Geger Dalem Pamutih berdiri kukuh, menebarkan pesona alami dari pesisir terselatan Bali.


Debur ombak Samudera Indonesia tiada bosan menghias laut di kawasan Pantai Geger, Kelurahan Bualu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, sore awal Agustus silam. Gulungan ombak itu sesekali menerjang tebing batu karang, di lain waktu berserakan sebelum sampai di bibir pantai.
Hari bertambah senja, suasana pantai di ujung selatan Bali ini semakin memesona seiring kemunculan bulan Purnama di ufuk timur. Perlahan bulan bulat sempurna yang memancarkan sinar putih nan lembut itu meninggi, terus meninggi menyinari biru lautan.

Di sudut lain, para petani bulung (rumput laut) yang sedari pagi menjemur hasil panennya, mulai sibuk mengumpulkan rumput laut. Mereka tentu tak ingin rumput laut yang sudah mulai mengering itu kembali membusuk hanya karena terlambat memindahkan ke tempat teduh. “Kalau kena embun malam, rumput laut kembali basah dan bisa menurunkan mutu,” urai Nyoman Suriket, petani rumput laut dari Desa Geger. Tak jauh dari lokasi para petani rumput laut itu, tepatnya pada satu pura di atas onggokan teguh batu karang, puluhan orang tiada kalah sibuk. Orang-orang berbusana adat Bali tersebut silih berganti keluar masuk tempat suci. “Saban Puranama-Tilem orang-orang berdatangan ke pura sejak pagi,” tutur warga Desa Geger, Pan Mira. Pura Geger Dalem Pamutih, begitulah nama tempat suci berpagar tembok pasir hitam tersebut. Saat itu, bertepatan dengan Purnama Karo (Purnama pada bulan kedua dalam kalender Bali). Ini memang merupakan hari yang banyak dimanfaatkan orang Bali untuk datang (tangkil) ke tempat suci ini.

Mereka tak terbatas warga sekitar kawasan Nusa Dua. Banyak pula pamedek luar Kelurahan Bualu, seperti dari Badung Utara, Denpasar, Tabanan, Gianyar, bahkan juga dari luar Bali. “Kepadatan mulai terasa,” kata Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, “ketika dibuka akses jalan menuju ke pura, sekitar tahun 1990-an.”

Pura Geger kini memang menjadi ‘incaran’ masyarakat dari berbagai lapisan. Ketika isu bencana alam merebak dan meresahkan relung sanubari penduduk Indonesia, termasuk Bali, Pemerintah Provinsi Bali juga menggelar upacara pakelem sebagai sarana memohon keselamatan di kawasan tempat suci ini. Pakelem itu digelar bertepatan dengan Tilem Kasada (bulan ke-12), bulan gelap terakhir di penghujung tahun dalam sistem kalender Bali, Minggu Pon wuku Tambir, 25 Juni 2006. Tengah malam, usai digelar upacara pakelem itu, Bali sempat digoyang gempa kecil—menyusul guncangan dahsyat yang menelan ribuan korban jiwa manusia maupun material, sebulan sebelumnya di Yogyakarta. Tak urung banyak yang mengira-ngira, andai pakelem itu telat dilabuhkan ke tengah samudera, bukan mustahil Bali bernasib lebih parah tinimbang Yogya dan sekitarnya. Di kalangan internasional memang ada yang suka mengutak-atik deretan angka enam sebagai isyarat musibah dahsyat. Kebetulan sehari usai pakelem tersebut digelar kalender Gregorian atau Masehi yang berlaku internasional itu memang menunjukkan deretan angka enam: 26-06-2006. “Saya dapat bisikan gaib Ida Batara, jika pakelem telat dilakukan, Bali bisa habis dilanda bencana pukul 06.00 tanggal 26 bulan 6 tahun 2006,” tutur Men Bukit, wanita sederhana yang kerap ngayah di Pura Geger. Banyak penekun spiritual layaknya Men Bukit: meyakini posisi Pura Geger Dalem Pamutih secara niskala begitu sentral sebagai basis pertahanan ujung selatan Bali. Pura di kaki Pulau Bali ini disebut-sebut satu poros dengan Pura Agung Besakih di lambung Gunung Agung di sisi utara dan Pura Panataran Ped, Nusa Penida, di sisi timurnya. Secara kasat mata Pura Geger ini memang membentuk segitiga tegak lurus dengan puncak Gunung Agung dan daratan Pulau Nusa Penida. Toh, tak mudah menemukan rujukan data otentik formal cikal bakal pendirian Pura Geger Dalem Pamutih ini. Warga sekitar mengira-ngira pura ini semula dibangun masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Adalah lazim di Bali kelompok masyarakat yang menggeluti profesi utama tak lupa pula menstanakan Tuhan dalam berbagai manifestasi. Dari alur pemikiran demikian akhirnya di Bali ada pura swagina, tempat pemujaan yang berkaitan dengan profesi. Pura Rambut Siwi atau Bedugul, misalnya, dikelola para petani buat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Dewi Uma atau Dewi Sri; Pura Melanting bagi para pedagang memuja Dewi Laksmi atau Rambut Sadana; lalu ada Pura Segara bagi para nelayan memuja Dewa Baruna atau Rudra, kekuatan Tuhan sebagai penguasa samudera.

Tujuan pendirian tempat suci jenis ini jelas dalam kaitan mohon kepada manifestasi Tuhan, agar dalam menjalankan kegiatan diberikan keselamatan, berfungsi sebagai tempat memohon kesuburan, menggelar nangluk marana, sekaligus mengupayakan pamahayu jagat. Demikian halnya dengan keberadaan Pura Geger yang dari semula difungsikan sebagai tempat mohon kerahayuan.

Itu terbukti dari adanya satu bangunan suci (palinggih) yang berada di sisi timur, sebagai stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Gedong tersebut, pada pemugaran sekitar tahun 1990-an, diganti dengan meru tumpang tiga. Sebutan Dalem Pamutih di sini cukup mengasosiasikan ingatan kepada sifat Tuhan Yang Mahasuci, Mahabenar secara tradisi disimbolikkan dengan warna putih, tiada ternoda. Siwa atau Iswara sebagai kekuatan terpuncak juga kerap diperlambangkan berwarna putih bersih, tiada bernoda.

Selain itu keberadaan pura nan asri ini juga kerap dikait-kaitkan dengan kisah perjalanan Danghyang Nirartha, maharsi dari Jawa Timur, yang bermigrasi ke Bali sekitar abad 15-16. Seperti ditulis dalam beberapa buku yang menjelaskan tentang pura berstatus dang kahyangan di Bali, sepeninggal dari tanah Jawa, Mpu Nirartha melakukan perjalanan suci ke sekeliling pesisir Pulau Bali sampai ke Sumbawa, sebelum akhirnya kembali lagi ke Bali.

Pascabalik ke Bali, sebelum ngaluhur (moksa) di Pura Uluwatu, pada ujung barat laut kaki pulau alit ini, sang rohaniwan menyucikan diri, mengheningkan pikiran lewat jalan samadi, beryoga di atas batu karang. “Saya sempat membaca kisah itu dari buku,” tunjuk Mangku Repot.

Kakawin Anyang Nirartha yang merekam kisah perjalanan dan perenungan pendeta yang juga pencipta karya susastra kakawin di seputar kaki Pulau Bali ini memang sempat melukiskan jelas: Mpu Nirartha kerap samadi di bawah pohon sawo kecik, dekat pohon kalikum (kem). Sebagai tempat peristirahatan, maharsi ini memilih sebuah gua selebar 20 meter dengan kedalaman 10 meter, di belahan timur, di bawah pura.

Setiap hendak menggelar samadi, sang pendeta biasanya mandi dengan air yang ditaburi bunga gadung dan pudak agar berbau wangi. “Sebagai bukti kehadiran Danghyang Nirartha ke tempat ini, sampai sekarang di mandala tengah Pura Geger masih tumbuh subur pohon sawo kecik. Adapun pohon kem ada di mandala utama,” papar Mangku Repot.

Dalam sejumlah kakawin yang digubah di kawasan pantai selatan Bali, Mpu Nirartha memang begitu mendalam terpesona oleh keindahan pesisir Bali berpasir putih ini. Panorama alam berupa pohon sawo kecik, deburan ombak berbuih putih, kokokan ayam hutan, lekuk-liku kelokan teluk, onggokan batu karang berketinggian curam, hingga bongkahan-bongkahan daratan pulau-pulau alit kerap dibayangkan dan dimaknai sebagai ritus diri sang pendeta manakala melakukan pemujaan dengan samadi kehadapan Hyang Mahasuci.

Purohita Kerajaan Gelgel ini memang kerap disebut-sebut berjalan menyusuri pesisir Bali, dari ujung barat ke selatan, sampai ke timur, dan juga utara. Dalam perjalanannya sang pendeta gemar menyinggahi pura. Beberapa di antaranya yang kini termasuk wilayah Kabupaten Badung, antara lain: Pura Uluwatu, Goa Gong, Batu Pageh, Bukit Payung, dan Goa Batu Matandal. Kemudian Pura Petitenget di Kuta, Pura Sada di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, serta Pura Pucak Tedung di Desa Sulangai, Kecamatan Petang.

“Pura Geger tak pernah ada disebutkan secara eksplisit dalam berbagai sumber sebagai persinggahan Danghyang Nirartha. Palinggih stana Danghyang Nirartha juga tak ada khusus di Pura Geger,” urai Ketua Parisada Kabupaten Badung, Nyoman Sukada. Sesuai Purana Pura Ulun Suwi Jimbaran yang sempat dibaca Sukada, keberadaan Pura Geger justru bertalian erat dengan kisah perjalanan Dalem Petak Jingga, seorang petinggi yang hengkang dari Kerajaan Gelgel, Klungkung, sekitar tahun 1652 Isaka, ke Bali selatan. Pengungsian Dalem Petak Jingga yang diiringi ratusan pengikut tersebut dipicu oleh persengketaan dengan Ida Dalem Dimade yang menjadi Raja Gelgel saat itu.

Sampai di tepian Pantai Geger ditemukan satu tempat suci dan di tempat inilah Petak Jingga beryoga. Dalam samadinya dia mendapat anugerah, kelak akan menjadi raja besar.

Sepeninggal dari Geger, Dalem Petak Jingga melanjutkan lagi perjalanan ke arah selatan dan bertemu dengan alas jimbar (hutan sangat luas). Di hutan lebat inilah Dalem Petak Jingga serta pengiringnya berdiam. Lokasi ini kelak dikenal dengan nama Jimbaran. Tapi, siapa Dalem Petak Jingga? Teks Purana Pura Ulun Suwi tak ada mengungkap lebih benderang. Betapapun sumber-sumber ilmiah formal tak mudah dirunut, toh Pura Geger tetap diposisikan sebagai pura penting di pesisir selatan Bali. Semakin hari pura yang puncak upacara (piodalan)-nya jatuh pada Purnama Kenem panglong apisan (sehari setelah Purnama Kenem) ini tetap saja semakin dibanjiri pamedek. “Piodalan di Pura Geger ini,” tambah Jero Mangku Sania, “berlangsung tiga hari. Penanggung jawab utamanya adalah warga dua banjar adat, yakni Banjar Geger dan Sawangan.” Deretan bangunan suci yang ada tidak begitu banyak. Di sisi timur ada padmasana sebagai stana Hyang Mahatunggal, Hyang Widhi, lengkap dengan tatahan Badawangnala (simbolik api magma Bumi) dan belitan naga Anantabhoga (simbolik lapisan tanah) bersama Naga Basuki (simbolik lapisan air). Di selatan padmasana berdiri meru tumpang (tingkat) tiga sebagai bangunan suci pusat, stana Ida Batara Dalem Pamutih atau Ida Batara Dalem Segara. Sebelahnya lagi ada Gedong Pasadegan. Paling ujung selatan terdapat palinggih Tugu Penyarikan sebagai tempat menyembah Ida Dalem Gunung Raung yang oleh warga awam setempat diyakini sebagai pangabih (penjaga) Danghyang Nirartha. Pada sisi utara, di sebelah barat padmasana, juga ada meru tumpang tiga sebagai stana Sanak Dalem Satria. “Kehadiran meru tumpang tiga ini berkaitan erat dengan perjalanan salah seorang keluarga Raja Badung,” ungkap Mangku Sania. Berdasarkan cerita tetua yang sempat didengar Mangku Sania, dulu, konon ada seorang keluarga Raja Badung (kini Puri Satria, Denpasar) pernah bersalah di kerajaan. Merasa bersalah, orang ini lari meninggalkan kerajaan menuju Bali selatan hingga sampai di Pura Geger.

Di Geger yang bersangkutan sembahyang, mohon agar diberikan keselamatan. Dia juga berjanji (masasangi) akan membangun palinggih. Setelah terhindar dari malapetaka, kaul itu pun ditebus dengan mendirikan meru tumpang tiga. “Tiap piodalan ada saja warga Puri Satria tangkil ke pura ini,” terang Sania.

Di mandala tengah yang lapang, pohon sawo kecik tua nan rindang berdiri kukuh, mengepakkan daun-daunnya yang hijau. Tampak burung-burung bercengkerama tenang di sini. Di bawah pohon sawo kecik ini terdapat tugu, tempat memuja Ida Batara Ratu Gde Panataran Ped, Nusa Penida.

Di Pura Geger, keindahan dan ketenangan itu terasa begitu sempurna, memang, di bawah buaian sinar rembulan purnama. Dari titik ketinggian ini, Nusa Dua, Jimbaran, hingga Kuta, bahkan Denpasar yang riuh dan pikuk oleh gemerlap lampu listrik dan bisnis pelancongan pun tampak dekat, nyata, nun di kerendahan sana—lalu mengusik, begitu kontras.

Kerap Digedor Tengah Malam

Kapan waktu paling sibuk dan melelahkan bagi para pamangku Pura Geger? Ada dua jawaban. Pertama, ketika berlangsung piodalan, Purnama Kenem. Waktu itu, jan banggul Ida Batara Pura Geger ini jelas harus berlama-lama di tempat suci ini. Mereka mesti meladeni warga yang datang dari seantero jagat Bali yang hendak menghaturkan bakti. Kehadiran pamedek yang tak menentu—terkadang pagi-pagi, banyak pula tangkil malam hari menjadikan para pamangku harus siaga setiap saat. Apalagi semenjak dibuka langsung akses jalan ke pura, orang dari luar Nusa Dua bertambah banyak hadir. ”Kami kurang enak hati melihat orang yang sudah datang dari jauh, ternyata sampai di pura tak ada pamangku,” Nyoman Repot, Pamangku Pura Geger Dalem Pamutih, berdalih. Itu sebab, selama piodalan berlangsung antar-pamangku bergilir waktu bertugas. Satu lagi hari-hari pamangku Pura Geger harus siap-siap menanti dan begadang mengantarkan bakti umat adalah menjelang hajatan besar politik, seperti pemilu dan pemilihan kepala daerah. Tempat suci ini nyaris tak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang, dari tokoh masyarakat, tokoh politik, petinggi daerah, hingga warga biasa. Kehadiran mereka juga tiada menentu. Sesuai pengalaman, Jero Mangku Made Sania, pangayah di Pura Geger, terkadang pagi sampai sore sepi. “Namun, begitu pulang, menjelang tengah malam ada yang datang mengedor-gedor pintu rumah, minta agar pamangku hadir ke pura,” tuturnya. Sebagai pamangku yang tugas pokoknya mengantarkan bakti umat, dia jelas tak hendak menolak. Langsung berangkat saat itu pula. “Saya tak berani memastikan maksud dan tujuan kehadiran pamedek dimaksud. Mungkin mereka memohon keselamatan agar yang akan dilaksanakan berjalan lancar. Bisa mencapai tujuan,” Mangku Sania menerka-nerka. *I Wayan Sucipta, KS
 
Mohon Kemakmuran di Pura Pulaki

Yadnyadanatapah karmana
Tyajyam karyam eva tat.
Yadnyodanam tapas vaiva
Pavanani maniinam.


Maksudnya:

Hendaknya melakukan dana, yadnya dan tapa tidak pernah dihentikan. Sebab, dana, yadnya dan tapa itulah yang akan menyucikan orang-orang yang bijaksana.

Pulaki1.JPG


DANA
artinya memberikan baik berupa materi maupun nonmateri. Dengan dana itulah manusia hendaknya hidup saling beryadnya. Maksudnya, dana itulah yang dikembangkan agar bisa hidup saling memelihara berdasarkan yadnya dalam kehidupan bersama. Cuma dalam kehidupan bersama untuk saling berdana dan beryadnya itulah banyak godaan. Dalam proses dana dan yadnya itulah kita bertapa.
Tapa artinya kuat menghadapi godaan. Dinamika dana dan yadnya itu sangat tajam dalam kehidupan bisnis di pasar. Pedagang berinvestasi (dana) dalam wujud barang dan jasa agar dapat memberikan pelayanan pada pembeli. Atas pelayanan dagang itu pembeli mendapatkan kemudahan memperoleh barang maupun jasa di pasar. Oleh karena itu, pembeli wajib memberikan nilai tambah pada barang dan jasa yang ia dapatkan. Demikianlah pedagang dan pembeli saling beryadnya di pasar. Kalau tanpa tapa pedagang bisa mengambil keuntungan yang tidak layak. Karena itu semua pihak jangan tidak jujur dalam proses jual-beli di pasar. Agar pedagang dan pembeli bertapa menahan diri dan berbuat jujur maka di setiap pasar di kalangan umat Hindu di Bali ada Pura Melanting. Di Pura Melanting itulah Tuhan dipuja untuk membangun sikap religius sebagai landasan moral dan mental dalam melakukan transaksi yang adil dan jujur. Di pasar inilah dinamika dana, yadnya dan tapa dilakukan dengan terus-menerus. Dengan demikian semua yang ikut terlibat dengan kehidupan pasar akan terbebaskan dari berbagai dosa. Tidak menipu masyarakat seperti meracuni bahan makanan yang dijual dengan zat kimia berbahaya.

Pusat Pura Melanting di Bali adalah di Pura Pulaki. Lebih tepat disebut di kompleks Pura Pulaki. Karena Pura Pulaki sebagai pusatnya dengan enam Pura Pesanakannya yaitu Pura Melanting, Pura Pegaluhan, Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Taman dan Pura Pemuteran. Semua pura tersebut berhubungan dengan Pura Pulaki dan berada di sekitar pura tersebut.


Keberadaan Pura Pulaki diceritakan dalam beberapa lontar. Seperti Lontar Babad Bali Radjiya, Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh dan Sejarah Pura Gede Pulaki. Semua sumber tertulis itu menceritakan keberadaan Pura Pulaki tersebut berhubungan dengan kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Majapahit ke Bali. Dalam Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh diceritakan Dang Hyang Nirartha datang dari Jawa Timur ke Bali. Sesampai di Bali beliau menjumpai seekor naga besar yang mulutnya menganga lebar. Beliau masuk ke dalam mulut naga tersebut. Di dalam tubuh naga itu Mpu Dang Hyang Nirartha menemui sebuah taman indah dengan bunga tunjung berwarna putih, hitam dan merah. Bunga padma hitam dan merah disumpangkan di kedua telinganya. Sedangkan yang putih dipegang dengan kedua tangannya di depan dada. Setelah itu Mpu Danghyang Nirartha keluar dari mulut naga raja itu. Setelah di luar semua putra-putri beliau tidak mengenalinya. Kemudian istri dan anak-anak beliau lari terpencar. Istri Danghyang Nirartha berusaha mengumpulkan putra-putranya itu. Tetapi hanya satu yang tidak bisa ditemukan bernama Ida Ayu Swabhawa. Tetapi menjadi Dewa Pasar yang disebut Dewa Melanting dan bebas dari tua dan pati.


Pulaki.JPG


Dalam sejarah Pura Gede Pulaki dinyatakan bahwa Danghyang Nirartha ke Bali untuk melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji tidak beberapa lama akan kembali setelah selesai acara di Klungkung. Tetapi nyatanya Danghyang Nirartha dalam waktu yang cukup lama tidak datang. Putri beliau Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Desa-desa di sekitarnya dengan 8.000 penduduk dikutuk menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam bahasa Bali). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih disebut Pura Melanting. Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa berdagang maupun berbelanja tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewa Melanting dengan anak buahnya. Kalau di pasar mengikuti dharma maka Dewa Melanting itulah yang akan melidunginya. Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirartha. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki sebagai predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi. Pura Pulaki disungsung oleh 14 subak di sekitar Pulaki. Di Pura Pabean tempat pemujaan para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga tergolong kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral etika dan hukum dalam berbisnis. Di pura ini disebut stana Batara Kertaning Jagat. Pura Gunung Gondol terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa. Upacara piodalan di Pura Pulaki setiap dua tahun sekali pada Purnamaning Kalima.
* I Ketut Gobyah
source : BaliPost
 
Pura Luhur Lempuyang

Pura ini terletak di puncak bukit Bisbis, termasuk wilayah kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem, sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam perwujudannya sebagai Icwara. Pura ini berstatus sebagai salah satu “Sad Khayangan Jagad” sehingga dengan demikian jelas bahwa pura ini merupakan penyungsungan jagat yg terletak pada arah timur pulau Bali. Dengan demikian dilihat dari segi letak, dapat dijelaskan bahwa fungsi dari pura ini sebagai perlambang untuk menjaga keseimbangan alam semesta.

Berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa turunnya “Bhatara Tiga” pada zaman dahulu dari gunung Semeru di Bali dan kejadian-kejadian sesudah peristiwa tersebut. Dari sekian banyak sumber , ada baiknya dikutip tiga buah diantaranya, yaitu

1. Babad Pasek
Di Dalam Babad Pasek ini antara lain diuraikan demikian: Malawas lawas ayusa ikang rat 70 tahun, dina, Ka, Su, Tolu, sasih Kalima, tang ping 5, rah panenggek 1, tandwa hana riris deres, ketug dahat banter, lindu 2 sasih tahun icaka 113, malih makepelug hyanghing tolankir, mijil Bhatara Putrajaya tumut arin Ida Bhatari Dewi Danuh, tumurun maring Besakih, abhiseka Bhatara Mahadewa, arine Bhatari Dewi Danuh, aparhyangan maring hulun danu, mwah Bhatara Gnijaya aparhyangan maring giri Lempuyang duking lumampah Bhatara Tiga tinuduh de Bhatara Pacupati: “Kita Mahadewa mwang Danuh, Gnijaya, agelah ta kita ku kinon samangke, tumedun wontening Balirajya, didine tistis kang Balipulina, kita maka panghuluning Bali”, mangkana andika Bhatara Pacupati, neher matilar Bhatara Tiga, anging hana atur ira :”Singgih Hyang Bhatara dening nanak Rahadyan Bhatara kari rare, durung weruh maring wratmika”, mangkana atur Bhatara Tiga. Sumahar Bhatara Pacupati, ling ira: ”Aja walat hati hulun lugraha maka awantha, apan kita anang manira, puja den ira agya siniwi maring Bali”, ri wus samangkana, raris sinaput bhatara tiga, olih toktoking nyuh gading de Bhatara Pacupati, wus sinaputan, winasta olih Bhatara, awtning takya ajnanan, wus mangkana lumaku Bhatara Tiga, raris dteng arnawan awan ira, mangkana pawijilan bhatara nguni…..dan seterusnya

Artinya kurang lebih seperti berikut: Lama kelamaan berumur dunia ini 70 tahun, pada hari Sukra Keliwon, wara Tolu, sasih Kalima (sekitar bulan November) tanggal ping 5, rah panenggek 1, lalu turun hujan lebat, halilintar sambung menyambung, gempa bumi, selama 2 bulan, tahun icaka 113 (tahun 191 M), lagi meletus gunung Agung tersebut. Keluar Bhatara Putrajaya, ikut adik beliau Bhatari Dewi Danuh, tiba di Besakih, dengan bergelar Bhatara Mahadewa, adiknya Bhatari Dewi Danuh, berparhyangan di Hulun Danu sedang Bhatara Gnijaya berparhyangan d gunung Lempuyang. Tatkala berangkat Bhatara Tiga di perintahkan oleh Bhatara Pacupati: “Kamu Mahadewa dan Danuh, Gnijaya segera kamu kuperintahkan sekarang juga, datang di pulau Bali, supaya menjadi stabil pulau Bali, kamu sebagai pimpinan bali:, demikian bersabda Bhatara Pacupati, lalu berangkat Bhatara Tiga, akan tetapi ada atur beliau : “Ya Hyang Bhatara oleh karena putera Rahadyan Bhatara masih anak-anak, belum mengetahui pada jalan”, demikian atur Bhatara Tiga. Dijawab oleh Bhatara Pacupati, sabda beliau: ”Jangan susah hati akan kuberikan petunjuk jalan, sebab kamu anakku, junjunglah (terimalah) olehmu untuk dimuliakan di Bali:, sesudah demikian lalu dibungkus Bhatara Tiga, dengan kepala gading oleh Bhatara Pacupati, setelah dibungkus, digaibkan oleh Bhatara, dengan kekuatan bathin, dan sesudah apa berangkat Bhatara Tiga, lalu sampai perjalanan beliau, dengan demikian tibanya Bhatara dahulu……dan seterusnya.

2. Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul
Didalam lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsulada disinggung mengenai Lempuyang, yang antara lain disebutkan sebagai berikut : Na wuwus Sanghyang Paramecwara ri tanayan ira para watek Dewata samudaya, muka mukya sira Sanghyang Gnijayacakti, ling ira :”Aum ranak mami ri kita makabehan, adon sira turuna mareng banwa ing Bangsul, kumemit kang Bangsuri, maneher kita Dewata luminggeng haan rumaksa kang rat, wenang pinilih ikang gunung maka stanata sowing-sowang, ginawe Kahyangan, wuwus hana gunung-gunung saider ing banwa Bangsul, piniyoghaken mami ing dangu, mwang ginawan mami sangke Jambhudwipa nguni, mami nenah aken maring Bangsul, Sanghyang Mahameru pangaranya dak mami pukah madyanya atut pucaknya, dak sun waweng Bangsul, sapraptan irang Bangsul maha kweh pukahnya, arimbag abungkul agung alit manuli tiba ring bhumi, saha ungguhanya matemahan geger-geger, mwang pagunungan, werdhi maring Bangsul, an mangkana anakku Dewata kita kabeh, hana katemu denta gunung Agung, tinengeran giri raja, maring Airsanya, ya ta gunung mas mapucak manik, adasar ratna kopala winten, akrikilmirah, apasir podhi, ya tika agran ira Hyang Mahameru gnuni, ingsun, ingsun, ginawa mareng bangsul, sun parah tiganen, kang sabagi dadi gunung Batur, maka dadi daour candi Hyang Agni siring pratiwi tala, ikang sabagi isornya, sundadya akna gunung Rinjani, ikang pucuk dadi ira dadi Hyang Tolangkir, ngaran gunung sasor nikang gunung Agung ika lwirnya, saka purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, gunung Tasahi, kulonya gunung Pangelengan, kulonya gunung Mangu, kulonya gunung Cilanjana, kulonya gunung Beratan, kulonya gunung Watukaru, kulonya mwah pagunungan Nagaloka, kulonya mwah, nga, gunung Pulaki, mangidul Wetan sakeng rika hana gunung Pucaksangkur, Bukit Rangda, tratebang, Mangetanya mwah hana Padangdawa, mwah ikang pasisi Kidul, hana gunung Andakasa mwang Huluwatu, terus mangetana maring ghneya desan ira hana gunung Byaha, mwang Byasmuntig, ikang maring Purwa hana gunung Lempuyang, mangalora saka rika hana gunung Sraya, samangkana pasama dayaning acala sumimpa maring bangsul, ndan makweh kari geger kang maring madya, tan ucapa akna. Ika ta kabeh wenang maka ungguhaning dharma kahyangan para Dewata kita makabehan.

Artinya kurang lebih demikian: Demikian sabda Sanghyang Paramecwara kepada puteranya para dewata sekalian, terutama sekali Sanghyang Gnijaya cakti, sabda beliau “Wahai anakku kamu sekalian, kamu kusuruh dating di daerah Bali, menjaga pulau bali, lalu kamu menjadi Dewata selaku penguasa di sana, boleh memilih gunung sebagai tempat tinggalmu masing-masing, membuat kahyangan, sudah ada gunung-gunung diseluruh daerah Bali, yang adanya itu berkat yoghaku dahulu, dan aku bawa dari India dahulu, aku tempatkan di daerah Bali, Sanghyang Mahameru namanya yang aku potong pertengahan termasuk opuncaknya, dan aku bawa ke Bali, setibanya di Bali banyak bagian-bagiannya, menjadi pecahan besar kecil kemudian ditempatkan di daratan, serta letaknya menjadi gundukan, dan pegunungan, selamat di Bali, demikianlah anakku engkau dewata sekalian, kamu akan jumpai gunung Agung, sebagai tanda gunung besar, di sebelah timur laut, itu lah gunung mas yang berpuncak manik, berdasar ratna winten, berbatu mirah,berpasir padi, itulah puncaknya gunung Hyang Mahameru dahulu, aku, aku bawa gunung Batur, sebagai dapur candi Hyang Agni yang ada di bawahnya, yang sebagian di bawahnya, aku jadikan gunung Rinjani, sedang pundaknya menjadi Hyang Tolangkir, bernama gunung Agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan, dibawah gunung Agung itu seperti, dari Timur menghitunganya, akan diketahui namanya, yaitu gunung Tasahi, di baratnya gunung Pangelengan, dibaratnya gunung Mangu, di baratnya gunung Cilanjana, di baratnya gunung Beratan, di baratnya gunung Batukaru, di baratnya lagi gunung Pulaki, ke tenggara dari sana terdapat gunung Puncaksungkur, bukit Rangda, Trate bang, kesebelah timur lagi ada Padangdawa, sedang di pantai selatan, ada gunung Andakasa dan Huluwatu, terus ke timur di sebelah tenggara tempatnya ada gunung Byaha dan Byasmunting, yang di sebelah timur ada gunung Lempuyang, ke sebelah utara dari sana ada gunung Sraya, demikianlah semuanya yang mengelilingi pulau Bali, dan masih banyak gundukan yang di tengah, yang tidak disebutkan. Itu semua boleh sebagai tempat tinggal membuat Kahyangan para dewata kamu kalian.

3. Prasasti Desa Sading
Di dalam prasasti desa Sading antara lain disebutkan bahwa gunung Lempuyang juga disebut “Andri Karang” yang bermakna gunung Karang, dan disana Raja Jayacakti melakukan Samadhi yang akhirnya dalam sejarah perjalannya lebih dikenal dengan sebutan “Karangasem”. Mengenai gunung Lempuyang ini juga erat kaitannya dengan datangnya Raja Jayacakti di Bali, yang dikisahkan sebagai berikut: Pada sekitar tahun icaka 1072 (tahun 1150 M) pada sasih Kasanga, tanggal ping 12, bertepatan dengan bulan separoh terang, wara Julungpujut, Cri Maharaja Jayacakti menyelenggarakan rapat dengan para pimpinan perang utama Rakryan Apatih dan dibawah Rakryan, pada suatu rapat besar, raja berkehendak pergi ke pulau Bali bersama degnan permaisurinya, dan beliau berkeinginan beristana di “Ardri Karang”. Beliau dating ke bali ikut karena ada perintah dari ayah beliau yaitu Sanghyang Guru, dengan tujuan untuk membuat dharma disana di gunung Lempuyang sebagai penyelamat pulau bali, disertai oleh segenap Pandita Ciwa dan Budha, dan Uga Mantri Agung ikut. Disanalah Raja Cri Jayacakti dijadikan raja oleh masyarakat. Tidak senanglah beliau dijadikan raja, oleh karena beliau bertingkah laku baik dan tidak digoyahkan oleh pikiran tamak, loba, ataupun pikiran pamerih didalam masyarakat, segenap abdinya sangant menghormati, sebab beliau raja yg berhasil dan sempurna dalam disiplin bathinnya. Adapun selaku abdinya jumlahnya tidak terhitung banyaknya, dan mantrinya saja yang menghitung, mengatur yaitu berjumlah 400 orang termasuk pasukan dari Jawa. Beliau juga disebut Maharaja Bima ialah Cri Bayu atau Cri Jaya atau Cri Gnijayacakti. Selanjutnya disebutkan sebagai berikut.

Dari ketiga buah sumber tersebut dapat diketahui, bahwa sebagai awal berdirinya Pura Lempuyang Luhur ini erat kaitannya dengan tibanya Bhatara Tiga di bali, dimana antara lain disebutkan bahwa Bhatara Tiga tiba di di Bali pada hari Jumat Kliwon, wara Tolu, bertepatan dengan sasih (bulan) Kalima pada tahun icaka 113 (sekitar November 191). Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu bahwa diantara Bhatara Tiga itu Bhatara Gnijaya berparhyangan di gunung Lempuyang (bukit bisbis). Bhatara Tiga tiba di Bali dari gunung Semeru (Jawa Timur) atas perintah Bhatara Pacupati, untuk dijadikan junjungan pulau Bali. Sedang peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian seperti tibanya Raja Cri Jayacakti yang kemudian bersemedhi disana adalah merupakan kelanjutan dan kelengkapan semata-mata. Di Pura Lempuyang Luhur ini terdapat suatu yang menarik dan merupakan keistimewaan dan bersifat khusus ialah dengan terdapatnya serumpun bambu “Buluh Gading”. Di dalam ruas-ruas bambu ini akan didapat “tirta” (air suci) yang lazim disebut “Tirta Pingit”, karena tidak setiap orang yang dating sembahyang kesana akan memperolehnya, melainjkan hanya suatu kelompok keturunan saja yang mendapatkan tirta tersebut, sedang dari warga lainnya tidak mungkin.

Pangempon Pura Lempuyang Luhur ialah seluruh kerama desa Puraayu, adapun susunan, jumlah dan nama palinggih (bangunan suci) yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur adalah sebagai berikut:
• Sebuah Padmasana yang terletak pada bagian Utara menghadap ke Selatan sebagai parhyangan Bhatara Luhuring Akasa
• Dua buah palinggih berbentuk seperti padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak pada bagian Timur menghadap ke Barat. Yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang Gnijaya dan yang di sebelah Selatan sebagai Parhyangan para putera beliau.
• Sebuah Bale Pawedhan atau Phyasan sebagai tempat meletakkan sajen dan sekaligus sebagai Bale Pawedhan (tempat memuja).
• Sebuah bangunan Gedong Pasimpenan, sebagai tempat menyimpan alat-alat upacara.

Palinggih yang terdapat di Pura Lempuyang Luhur, lazim juga disebut Kahyangan “Tri Purusa” yaitu Ciwa, Sadha Ciwa, dan Parama Ciwa sebagai perwujudan Ida Sanghyang Widhi Wasa.

Upacara aci atau pujawali di Pura Lempuyang Luhur ada dua jenis yaitu setiap enam bulan Bali (210 hari) bertepatan dengan hari Kamis Umanis, wara Dungulan (Umanis Galungan) dan pada setiap Purnamaning Wesaka (Purnama sasih kadasa).

Pemangku dari Pura Lempuyng Luhur ini selalu dijabat oleh satu keturunan secara tradisional menurut garis purusa (patrilinuial), sedang mengenai “pengangge” yang dipergunakan di Pura Lempuyang Luhur ini selalu berwarna putih dan kuning. Bilamana aka diselenggarakan upacara aci atau piodalan seluruh bahan-bahan ramuan disediakan oleh para “Truna”(pemuda), sedangkan yang mengerjakannya adalah para “ “Daha”(krandan) ialah para wanita remaja. Ini dimaksudkan agar, semuannya bersifat suci, karena rohaniah, walaupun kadang-kadang hal ini belum dapat sebagai jaminan mengenai kesucian tersebut.
 
Pura Luhur Poten Gunung Bromo

bromopura.jpg


Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.

Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala/zone, yaitu :

MANDALA UTAMA

Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari:
Padma berfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Padma tidak memakai atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.

Bedawang Nala melukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana.

Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.

MANDALA MADYA/ZONE TENGAH

Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:

Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung.

Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara.

Bale Bengong, disebut juga Pewarengan suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.

MANDALA NISTA/ZONE DEPAN

Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung.

Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.

Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.

Yadnya Kasada

Pada malam ke-14 Bulan Kasada Masyarakat Tengger penganut Agama Hindu (Budha Mahayana menurut Parisada Hindu Jawa Timur) berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo, dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji kepada Dewa Bromo yang dipercayainya bersemayam di Gunung Bromo. Upacara korban ini memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Upacara Kasada diawali dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Kemudian tepat pada pukul 24.00 dini hari diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat di poten lautan pasir Gunung Bromo. Dukun bagi masyarakat Tengger merupakan pemimpin umat dalam bidang keagamaan, yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll. Sebelum dilantik para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.



Source : www.petra.ac.id
 
Pura Mandara Giri Semeru Agung

Bermula dari Nuur Tirta

TIDAK mudah untuk dapat mewujudkan tegaknya pura di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Di lambung sebelah timur Gunung Semeru itu, nyaris 20 tahun penganut Hindu memendam kerinduan untuk dapat mendirikan bangunan suci berupa pura. Impian itu seperti begitu sulit diwujudkan. Izin pendirian tak mudah didapat dan dana pun tidak otomatis mudah digalang. Begitu lama warga penganut Hindu ini berpuas diri hanya dengan mabakti (sembahyang) di Sanggar Pamujon yang ada hampir di setiap desa di Kecamatan Senduro, Lumajang.

Keinginan pemeluk Hindu di Lumajang dan sekitarnya untuk membuat pura sesungguhnya telah muncul sejak tahun 1969. Keinginan ini tampak bersambut dengan keinginan sejumlah tokoh Hindu di Bali, terutama sejak diadakan nuur tirta (memohon air suci) dari Bali langsung ke Patirtaaan Watu Kelosot, di kaki Gunung Semeru, berkaitan dengan diaturkan upacara agung Karya Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih, di lambung Gunung Agung, Bali, Maret 1963. Kegiatan nuur tirta ke Watu Kelosot itu kembali dilakukan pada tahun 1979 berkaitan dengan digelarnya lagi upacara Ekadasa Rudra di Pura Agung Besakih. Pada akhir rangkaian Ekadasa Rudra tahun 1979 ini bahkan juga dilakukan upacara majauman ke Patirtaan Watu Kelosot.

Sejak itu dimulailah tradisi rutin nuur tirta saban kali di Besakih dan pura kahyangan jagat lain di Bali diaturkan upacara berskala besar. Kawasan Gunung Sumeru dengan mata air suci Watu Kelosot pun makin dikenal kalangan umat Hindu di Bali maupun di luar Bali. Sebelumnya manakala diaturkan upacara-upacara besar di tempat-tempat suci atau pura kahyangan jagat di Bali, para pandita atau sulinggih (pendeta) biasanya cukup hanya ngaskara ke Gunung Semeru, memohon ke hadapan Hyang Siwa Pasupati yang diyakini berstana di puncak Gunung Semeru. Seiring dengan kesadaran dan penghayatan umat Hindu terhadap ajaran agama, ditopang pula oleh kemajuan teknologi transportasi, nuur atau mendak tirta ke Gunung Semeru pun dilakukan langsung.

Toh, kendala teknis praktis kian dirasakan timbul dalam perjalanan waktu kemudian. Jarak tempuh Bali-Watu Kelosot yang bisa menghabiskan waktu 9-11 jam sekali tempuh, kerap mengharuskan umat Hindu bermalam di kawasan Lumajang. Andaikan sekadar menginap tentu tidak masalah, karena bisa bermalam di hotel mana saja. Rasa hati kurang sreg, kurang mantap, muncul manakala menginap sambil ngiring tirta yang baru saja dimohon penuh rasa bakti di petirtaan Watu Kelosot. Terasa kurang etis, tidak anut, bila menginapkan air suci di hotel. Dari sini kian kuat kukuhlah dorongan keinginan mendirikan tempat suci di sekitar Gunung Semeru.

Tidak hanya masalah teknis praktis dan etis dijadikan pertimbangan. Pendirian pura di kawasan dataran tinggi ini juga didasari konsep yang ditopang sumber-sumber rujukan kuat susastra-agama maupun sumber-sumber sejarah kuno. Dalam pandangan Hindu, dataran tanah atau gunung tertinggi merupakan kawasan tersuci secara spiritual. Ini tentu sangat tepat dengan posisi Gunung Semeru sebagai gunung tertinggi di tanah Jawa, bahkan di Kepulauan Nusantara. Kawasan ini secara historis juga disebut-sebut sebagai kawasan suci semasa Jawa Kuno, sebagaimana dapat disusuri dari sumber susastra Nagarakertagama berbahasa Jawa Kuno.

Izin lokasi pendirian pura diajukan, tetapi ditolak Bupati Lumajang dengan alasan tempat sempit dan dekat pemukiman non-Hindu. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat sempat menawarkan lokasi di Desa Kertasari, namun ditolak umat, karena merupakan daerah aliran lahar Gunung Semeru. Sampai akhirnya lokasi berdirinya pura sekarang ini dipilih, dengan luas awal cuma 25 x 60 meter, belakangan ditambah lagi menjadi 25 x 65 meter, seharga Rp 4,5 juta. Izin diajukan kembali, tiga tahun kemudian baru turun dari aparat berwenang.

Panitia Senduro-Bali

Pura dibangun bertahap. Setelah batu bata terbeli, padmasana mulai dibangun, menghadap ke timur. Tetapi tidak bisa dituntaskan. Dipindah agak ke utara (masih menghadap ke timur), tidak bisa diselesaikan juga. Ada pawisik (petunjuk gaib) agar dihadapkan ke selatan. Sejak itu pembangunan lancar dan punia (sumbangan) mengalir dari umat di Bali maupun di luar Bali.

Pendirian pura bertambah lancar setelah rombongan dari Bali, antara lain Jero Gede Alitan Batur, Tjok Gede Agung Suyasa, Mangku Sueca dari Besakih, tahun 1989 saat nuur tirta (memohon air suci) ke Semeru bertemu umat Hindu asli kawasan Semeru. Rombongan dari Bali ini pun bergabung dengan tim pembangunan pura setempat. Panitia gabungan Sendoro-Bali dibentuk terpadu. Rencana pun kian mengembang seiring dengan mengalirnya punia dari para bakta, umat penderma. Guna menjaga ketertiban dan pertanggungjawaban pengorganisasian, Parisada Kabupaten Lumajang lantas menunjuk sejumlah bakta (umat yang bersedia tulus berkorban) sebagai Panitia Penggalian Dana dan Pembangunan Pura Semeru, lewat Surat Penunjukan nomor 94/PHDI-LMJ/IV/1991.

Ketika awal diserahi tugas membangunan fisik pura, panitia cuma disodori dana Rp 40 juta. Dari penggalian dana sukarela kemudian terkumpul Rp 90 juta. Hingga kini total sudah dihabiskan dana sekitar Rp 1,8 milyar untuk pembangunan fisik pura dan sekitarnya. Arealnya pun meluas hingga kini hampir 2 hektar.

Kini bangunan fisik Pura Mandara Giri Semeru Agung sudah dilengkapi dengan candi bentar (apit surang) di jaba sisi, dan candi kurung (gelungkuri) di jaba tengah. Di areal ini dibangun bale patok, bale gong, gedong simpen, dan bale kulkul. Ada juga pendopo, suci sebagai dapur khusus dan bale patandingan. Di jeroan, areal utama, ada pangapit lawang, bale ongkara, bale pasanekan, bale gajah, bale agung, bale paselang, anglurah, tajuk, dan padmanabha sebagai bangunan suci utama dan sentral.

Di lokasi agak menurun, di sisi timur, dibangun pasraman sulinggih, bale simpen peralatan dan dua bale pagibungan selain dapur. Sedangkan di sisi selatan berdiri wantilan megah dan luas. Panitia juga menyiapkan pembangunan kantor Sekretariat Parisada, perpustakaan dan gerbang utama waringin lawang.

Hari Minggu Umanis, Wuku Menail, tanggal 8 Maret 1992, dipimpin delapan pendeta, digelarlah untuk pertama kalinya upacara Pamlaspas Alit dan Mapulang Dasar Sarwa Sekar. Dengan begitu status dan fungsi bangunan pun berubah menjadi tempat suci, pura. Selanjutnya pada bulan Juni - Juli 1992 diaturkan upacara besar berupa Pamungkah Agung, Ngenteg Linggih, dan Pujawali.

Lewat Surat Keputusan Nomor: 07/Kep/V/PHDI/1992, dengan memperhatikan hasil pertemuan pihak-pihak instansi, badan dan majelis yang terkait, di Wantilan Mandapa Kesari Warmadewa, Besakih, tanggal 11 Mei 1992, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat lantas menetapkan nama, status dan pengelola pura. Ditetapkan antara lain: nama pura adalah Pura Mandara Giri Semeru Agung dengan status Pura Kahyangan Jagat, tempat memuja Hyang Widhi Wasa. Sebagai panyungsung adalah seluruh umat Hindu di Indonesia.

Kini kehadiran pura malah dirasakan memberi rezeki bagi penduduk setempat. Warung-warung makanan hingga kios penjual kaos berlogo Semeru Agung dan beragam cenderamata lain pun berkembang. Begitu juga penduduk di sekitar pura mulai menyediakan kamar-kamar untuk menginap bagi umat Hindu yang datang bersembahyang ke pura. Bahkan, penginapan juga dibangun di sana oleh penduduk setempat. Saban hari memang ada saja umat yang bersembahyang ke Semeru Agung. Lebih-lebih lagi bila hari-hari suci seperti Purnama, Tilem, Galungan, Kuningan dan sejenisnya.

Kehadiran pura ini, nyatanya tidak sebatas hanya mengangkat nama Senduro, Lumajang dan sekitarnya menjadi tambah tenar di kalangan penganut Hindu di seluruh Indonesia. Lebih dari sekadar tenar, kehadiran Pura Mandara Giri Semeru Agung begitu nyata juga mampu memutar roda perekonomian masyarakat di sekitarnya. Di sini vibrasi atau getaran kesucian religius dan spiritualitas betapa nyata membuahkan peluang ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, sekaligus menciptakan kerukunan antarsesama manusia. (*)

Memuja Hyang Siwa Pasupati

PEMILIHAN lokasi pura di lambung Gunung Sumeru tidaklah sembarangan. Ada konsep kuat melatarinya, dan ini sangat terkait dengan sumber-sumber susastra-agama yang ada. Antara lain disuratkan, ketika tanah Jawa masih menggang-menggung, belum stabil, Batara Guru menitahkan para Dewa memenggal puncak Gunung Mahameru dari tanah Bharatawarsa (India) ke Jawa. Titah itu dilakonkan para Dewa. Puncak Gunung Mahameru dipenggal, diterbangkan ke tanah Jawa. Jatuh di sisi barat, tanah Jawa berguncang. Bagian timur berjungkat, sedangkan bagian barat justru tenggelam.

Potongan puncak Gunung Mahameru itu pun digotong lagi ke rah timur. Sepanjang perjalanan dari barat ke bagian timur tanah Jawa, bagian-bagian puncak Gunung Mahameru itu ada yang rempak. Bagian-bagian yang rempak itu kelak tumbuh menjadi enam gunung kecil masing-masing Gunung Katong (Gunung Lawu, 3.265 m di atas permukaan laut), Gunung Wilis (2.169 m), Gunung Kampud (Gunung Kelud, 1.713 m), Gunung Kawi (2.631 m), Gunung Arjuna (3.339 m), Gunung Kemukus (3.156 m).

Adapun puncak Mahameru itu kemudian menjadi Gunung Sumeru (3.876 m). Inilah puncak tertinggi Pegunungan Tengger sekarang -- bahkan menjadi gunung tertinggi seantero Indonesia -- yang membentuk poros dengan Gunung Bromo atau Gunung Brahma. Sejak itu tanah Jawa menjadi stabil, tak lagi goyang, menggang-menggung. Di lambung Gunung Semeru itulah sejak tahun 1992 resmi berdiri megah Pura Mandara Giri Semeru Agung.

Tentu saja panteon pemindahan Gunung Mahameru di tanah Hindu menjadi Gunung Semeru -- begitu nama otentik yang tersuratkan, namun orang-orang kini terbiasa menyebut Semeru -- di tanah Jawa (Nusantara) itu disuratkan jauh sebelum Pura Mandara Giri Semeru Agung dibangun. Kisah tua itu tersurat benderang dalam kitab Tantupanggelaran berbahasa Jawa Tengahan, digubah dalam bentuk prosa. Apa yang menarik dari kisah pemindahan gunung itu?

Panteon itu jelas menunjukkan persebaran Hindu paham Siwaistis dari tanah India ke negeri Nusantara yang berpusat di tanah Jawa. Dalam pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali hingga kini, Dewa tertinggi adalah Siwa. Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak Gunung Mahameru (Himalaya) dalam alam India, atau puncak Gunung Sumeru dalam alam Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda (penjelasan lebih lanjut atas Weda) memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru -- dikenal pula dengan nama Gunung Kailasa atau Gunung Himawan, yang bersalju abadi.

Di puncak gunung yang dikenal juga sebagai pusat padma raya itu Siwa, yang juga dikenal sebagai Parwataraja Dewa, menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Dewi Gunung. Ajaran-ajaran itu biasanya disuratkan dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan Dewi Parwati, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra, maupun kitab Tantra. Lebih lanjut, kitab-kitab yang menguraikan perihal ajaran yoga memberikan tuntunan sangat benderang bahwa bagi seorang sadhaka, dia yang teguh kukuh dan penuh disiplin menjadikan dirinya sebagai sarana dasar pelaksanaan yoga, puncak gunung itu ada di sahasrara padma, yakni di puncak ubun-ubun kepala manusia. Dengan begitu, puncak gunung tiada ubahnya dengan kepala manusia, tempat yang sangat penting sekaligus sangat patut dijaga kesuciannya.

Menghormati Gunung

Paham Siwaistis memang memberi posisi serta penghormatan penting dan tinggi terhadap gunung. Di mana daratan tertinggi dalam suatu kawasan atau wilayah, di sanalah dipandang sebagai pusat buana (madyanikang bhuwana) sekaligus hulu bagi kawasan atau wilayah sekitar. Di sana pula Tuhan sebagai Siwa Yang Mahasuci distanakan, lalu dipuja. Tak heran bila tempat-tempat suci untuk lingkup luas, umum (kahyangan jagat), lantas didirikan di gunung, entah di puncak, di lambung atau di kaki gunung, karena di sanalah dinilai secara spiritual sebagai kawasan tersuci.

Bila bukan di gunung maka pura akan diorientasikan ke arah gunung. Bentuk pemujaan (palinggih) pun mengerucut ke atas, menyerupai gunung, entah berupa candi seperti di Jawa, entah berwujud padmasana, atau pun meru layaknya di Bali. Atau bahkan berupa lingga, batu berdiri. Dari pemahaman inilah lantas gunung disebut pula sebagai lingga acala, lingga yang tidak bergerak sekaligus juga berarti lingga yang tidak diciptakan manusia. Dalam bahasa Jawa Kuna, acala memang juga diartikan gunung, karang. Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang Abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan. Karena itu, selain pada gunung, Hindu juga mengagungkan matahari sebagai mahasumber energi hidup yang abadi.

Dengan dasar pandangan berwawasan kemestaan demikian maka sangat tepatlah bila di Gunung Semeru dibangun pura, sebagai tempat umat Hindu se-Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati. Puncak Gunung Semeru lantas menjadi Gunung Agung (yang sama artinya dengan Mahameru, kini berketinggian 3,142 m) tempat berstana Hyang Putranjaya atau Mahadewa, bagiannya yang tercecer menjadi Gunung Batur (1.717 m) stana Dewi Danuh (Wisnu), dan Gunung Lempuyang sebagai stana Hyang Gnijaya (Iswara). Sejak itu jagat Bali disuratkan stabil kembali, dan ketiga gunung ini pun mendapat kedudukan penting, selain Gunung Watukaru (2,276 m), Pucak Mangu, Penulisan (1.475 m), Andakasa, bukit karang Uluwatu, dan Goa Lawah. Dari semuanya ini, Gunung Agung-lah dinilai sebagai pusat di Bali, karena tertinggi di Pulau Dewata. Karena itu pula, maka hingga kini bila di Pura Agung Besakih -- begitu juga pura-pura Sad Kahyangan lain di Bali -- ada upacara besar (karya agung) tetap mesti nuur tirta ke Semeru. Sebaliknya kini bila di Pura Semeru ada upacara, maka terlebih dahulu juga disertai dengan matur piuning ke Pura Sad Kahyangan di Bali, termasuk ke Gunung Rinjani (Lombok, 3.726 m).

Dari gunung yang lebat ditumbuhi pepohonanlah air mengalir menyuburkan tanah, bumi. Sebelumnya, air pegunungan ditampung danau, lalu mengalir lewat sungai-sungai. Setelah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan memenuhi hidup manusia, air lantas dialirkan lagi ke laut. Panas matahari menguapkan air laut, menjadi mendung, dan mendung turun, menjadi hujan, kembali diserap gunung dengan pepohonannya, ditampung danau, melesak ke tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir dan terus mengalir. Begitu seterusnya, berputar dan berputar, tiada henti.

Itu alasan gunung dalam kosmologi Hindu diposisikan sebagai hulu, danau di tengah, dan laut di hilir. Ketiganya membentuk alur siklus kesemestaan. Dari gunung sebagai hulu itulah kerahayuan mengalir bagi segenap makhluk. Manakala di tempat suci di gunung, seperti di Pura Besakih, di lambung Gunung Agung, maupun di Pura Mandara Giri Semeru Agung, di lambung Gunung Semeru, digelar upacara tawur, misalnya, maka itu akan dialirkan ke dataran di hilir atau di bagian bawah dataran tinggi itu lewat sungai-sungai, masuk sawah, tegalan, parit-parit, dan seterusnya. Dengan begitu pemilihan gunung tertinggi sebagai pusat buana memang didasarkan wawasan yang luas, mendalam, tidak saja secara spiritual, tetapi juga secara kosmologis, geografis, sosiologis, dengan kesadaran ekologis yang kuat. (*)


Source : Balipost
 
Pura Tanah Lot

Pura Tanah Lot ini terletak di Pantai Selatan Pulau Bali yaitu di wilayah kecamatan Kediri, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan, yang pembangunannya erat kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha di Pulau Bali. Di sini Danghyang Nirartha pernah menginap satu malam dalam perjalanannya menuju daerah Badung dan kemudian ditempat inilah oleh orang-orang yang pernah menghadap kepadaDanghyang Nirartha dibangun bangunan suci (Pura atau Kahyangan) sebagai tempat memuliakan dan memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa ) untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan.

Pura atau Kahyangan ini diberi nama “Pura Pekendungan” yang sekarang lebih dikenal dengan “ Pura Tanah Lot” sebagai salah satu penyungsungan jagat,. Sekarang Pura atau Kahyangan ini sangat terkenal diseluruh Nusantara, malahan tidak mustahil diseluruh dunia, karena merupakan salah satu obyek wisata di pulau Bali yang sering memperoleh kunjungan. . Mereka yang berkunjung ke Pura atau Kahyanagn ini bukan saja wisatawan domestik, akan tetapi tidak jang juga wisatawan dari Luar Negeri.

Bagaimana ikwal perjalanan Danghyang Nirartha tatkala berkeliling di Pulau Bali dan sampai ditempat ini, dapat dijumpai didalam Dwijendra Tatwa yang menguraikan dan dapat disarikan sebagai berikut : Pada suatu waktu Danghyang Niratha datang kembali ke Pura Rambut Siwi di dalam perjalanan beliau kelilling pulau Bali, dimana dahulu tatkala beliau baru tiba di Bali dari Brambangan (Blambangan) pada sekitar tahun icaka 1411 atau tahun 1489 M beliau pernah singgah di tempat ini. Setelah berada di Pura Rambut Siwi untuk beberapa lama, kemudian beliau melanjutkan perjalanannya menunju arah Purwa (Timur) dan sebelum berangkat paginya Danghyang Niratha melakukan sembahyang “Surya Cewana” bersama orang-orang yang ada disana. Sesudah menyiratkan (memercikkan )tirtha terhadap orang orang yang ikut melakukan persembahyangan , lalu Danghyang Nirartha kelaur daridalam Pura Rambut Siwi berjalan menuju arah ke Timur. Perjalanan beliau ini menyusuri pantai Selatan pulau Bali dengan diiring oleh beberapa orang yang teraut cinta bhaktinya kepada Danghyang Nirartha.

Dalam perjalannya ini Danghyang Nirartha dapat menyaksikan bagaimana deburan ombak laut menerpa pantai menambah keindahan alam yang sangat mengasyikkan. Terbayang oleh beliau bagaimana kebesaran Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa ) yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya yang dapat membrikan kehidupan bagi manusia. Dalam hati beliau Dangyang Nirartha membisikkan bahwa menjadi bahwa menjadi kewajiban setiap makluk di dunia ini terutama manusia untuk menyampaikan parama sukmaning idep terhadap sanghyang Wudhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) karena beliau telah berkenan menciptakan segalanya itu. Karena asyik memperhatikan dan memandang keindahan alam dengan segala isinya, sampai –sampai Dangyang Nirartha tidak merasakan kelelahan didalam perjalanan beliau ini.

Sebagaimana biasanya di dalam perjalanan Danghyang Nirartha senantiasa membawa lontar dan pengrupak (pisau raut untuk menulis pada daun lontar ) sehingga apa-apa yang diangap penting baik yang dilihat maupun yang dirasakan kemudian disusun dalam bentuk kekawin atau gubahan lainnya. Demikian pula mengenai perjalanannya dari Pura Rambut Siwi ini, sehingga karena asyiknya beliau memperhatikan serta memandang dan memikirkan segala sesuatu yang dipandang penting dan akan digubah, tahu-tahu Danghyang Niratha sudah sampai pada suatu tempat di pantai Selatan dipantai Selatan pulau Bali. Di pantai ini terdapat sebuah pulau kecil yang terdiri dari tanah parangan ( tanah keras) dan disinilah Danghyang Nirartha berhennti dan beristirahat.

Tidak antara lama Dangyang Nirartha beristirahat disana,maka berdatanganlah kesana para nelayan untuk menghadap kepada Danghyang Nirartha sambil membawa berbagai persembahan untuk diaturkan kepada beliau. Kemudian setelah sore hari, paranelayan tersebut memohon kepada Danghyang Nirartha agar beliau berkenan bermalam dipondok mereka masing- masing, namun permohonannya ini semua ditolak oleh Danghyang Nirartha, karena beliau lebih senang bermalam di pulau kecil itu. Disamping hawanya segar, juga pemandangannya sangat indah dan dari sana belaiu dapat melepaskan pandangan secara bebas kesemua arah.

Pada malam harinya sebelum Danghyang Nirartha beristirahat, beliau memberikan ajaran-ajaran seperti agama,susila da ajaran kebajikan lainnya kepada orang-orang yang datang menghadap ke sana.. Tatkala itu Danghyang Nirartha menasehatkan kepada orang-orang itu untuk membangun Parhyangan ( Pura atau Kahyangan ) disana karena menurut getaran bhatin beliau yang suci serta petunjuk gaib bahwa tempat itu baik untuk tempat memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang maha Esa ) . dari tempat ini kemudian rakyat dapat memuja kebesaran sanghyang Widhi Wasa ( Tuhan YangMaha Esa ) untuk memohon wara nugrahaNya keselamatan dan kesejahteraan dunia.

Demikian antara lain nasehat Danghyang Nirartha kepada orang-orang yang mengahadap pada malam hari itu, yang akhirnya sesudah Danghyang Nirartha meninggalkan tenpat itu, kemudian oleh orang-orang tersebut dibangunlah sebiuah bangunan suci ( Pura atau Kahyangan ) yang diberi nama “Pura Pakendungan “ yang kini lebih dikenal dengan sebutan “Pura Tanah Lot “.



Source : Pemda Bali
 
Istana Terakhir Durga Kutri

Pura Bukit Dharma Durga Kutri kian ramai didatangi pemuja dari seantero Bali hingga luar Bali. Apa hubungannya dengan keberadaan Ratu Mahendradatta Gunapriyadharmapatni, permaisuri Raja Bali Sri Dharma Udayana?

Lelaki renta berbusana serba putih itu baru usai memanjatkan doa, menghaturkan sesaji kepada dewa-dewi di Pura Penataran Durga Kutri. Selepas memohon tirta, diiringi dua wanita setengah baya, dia mengayunkan kaki menuju satu tempat di puncak bukit. Tangga demi tangga direngkuh, sebelum akhirnya sampai pada tempat tujuan berupa bangunan suci (palinggih) Bukit Dharma.

“Ada saja warga datang ke pura. Terkadang para turis, banyak pula warga Bali dari luar daerah,” sebut pria bernama I Wayan Sadra Marga yang menjadi pamangku Pura Durga Kutri.

Durga Kutri. Pura kahyangan jagat yang diyakini berkaitan erat dengan keberadaan tokoh Bali Kuno, Gunapriyadharmapatni ini, memang kerap didatangi pamedek. Terlebih buat menemukan lokasinya tak teramat sulit. Berjarak sekitar 26 km dari Kota Denpasar. Jika Anda hendak bepergian ke Kota Gianyar mengambil jalur Jalan Raya Gianyar-Blahbatuh, sekitar 200 meter sebelum tiba di pertigaan Jalan Raya Semebaung-Gianyar-Blahbatuh, di sebelah timur (kanan) akan ditemukan satu tempat suci cukup besar yang di depannya ada pohon beringin. Di sanalah tempat Pura Bukit Dharma atau arca yang disebut-sebut sebagai Gunapriyadharmapatni berdiri kokoh. Gunapriya adalah permaisuri Raja Bali Sri Dharma Udayana Warmadewa, yang memerintah sekitar tahun 989-1001 Masehi. Sang Ratu memiliki tiga putra, masing-masing Airlangga yang menjadi raja di Jawa Timur menggantikan Raja Dharmawangsa Teguh tahun 1019-1042 Masehi. Kemudian Marakata, menjadi raja di Bali menggantikan kedudukan ayahandanya, Dharma Udayana—kelak bergelar Raja Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanauttunggadewa. Si putra bungsu bernama Anak Wungsu, kelak menggantikan Marakata memerintah di Bali.

Berbagai cerita memang bisa tersiar dari tempat suci ini. Ada yang bernilai sejarah lewat peninggalan purbakala hingga kisah berbau mistis. Ada pula menghubung-hubungkan keberadaan sang Ratu dengan kisah Calon Arang yang hingga kini masih menjadi lakon populer seni pertunjukan drama tari di Bali. Sang Ratu juga dikait-kaitkan dengan ilmu hitam, black magic. Penulis sejarah Bali, I Wayan Badra, dalam tulisan “Sebuah Catatan tentang Arca Durga Mahishasuramardini di Kutri, Gianyar” mengisahkan, suatu ketika ada raksasa (asura) bernama Rektawijaya membuat kegaduhan di surga. Kesaktiannya tak tertandingi oleh siapa pun sehingga para dewa di surga menjadi bingung. Kalau toh kena senjata, maka darah yang keluar dari bagian tubuh raksasa yang terkena senjata ini justru berubah kembali menjadi raksasa. Dengan begitu setiap tetesan darahnya yang keluar menjadi raksasa semakin banyak.

Dalam kegundahan tersebut para dewa ingat hanya ada satu dewa yang sanggup menandingi kedigjayaan Rektawijaya, yakni Dewi Durga. Sang Dewi pun diutus memerangi asura, dan dalam peperangannya Durga berubah menjadi dewi bertangan delapan. Tiap tangannya memegang senjata khas sebagai Durgamahishasuramardini.

Bila dikaitkan dengan kepercayaan yang berkembang di kalangan warga Hindu Bali, maka Batara Siwa dalam fungsi sebagai Mahakala distanakan di Pura Dalem. Di pura ini juga dipuja sakti Dewa Siwa, yakni Dewi Durga sebagai Durga

Mahisasuramardini. Lantas, adakah kehadiran arca Durga Mahisasuramardini di Pura Bukit Dharma, Kutri, bertalian dengan kepercayaan yang berkembang di masyarakat Bali hingga kini? Belum benderang betul, memang. Mangku Sadra sendiri tak hendak menyalahkan maupun membenarkan berbagai penafsiran yang muncul di masyarakat. Hanya, berdasarkan cerita lisan yang diwariskan para tetua di Kutri, yang dimaksud dengan Durga Kutri tiada lain dari perwujudan atau simbol Ratu
Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatta. Karena keagungan dan wibawa sang Ratu pada masa itu, maka ketika mangkat simbolnya diidentikkan sebagai dewi yang mengambil bentuk fisik Durgamahisasuramardini. Pendapat Sadra tiada jauh beda dengan hasil penelitian arkeolog Dr R Goris yang memperkirakan kehadiran arca Durga Mahisasuramardini di Bukit Dharma sebagai bentuk perwujudan Mahendradatta atau Gunapriyadharmapatni. Pendapat Goris didasari atas hasil penyelidikan beberapa isi prasasti di Bali, terutama yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu, di antaranya prasasti Pandak Badung. Dalam prasasti dimaksud disebutkan: Ingcaka 993, Jyesta masa, tithi titiya Cuklapaksa Wa, Untuk, Wr, Wara gumrg, irika diwaca paduka Haji Anak Wungsu kalih Batari lumah I Burwan, Bhatara lumah I Banu Wka…..” Artinya: Pada tahun Isaka 993, bulan Jyesta (bulan ke-11 sesuai kalender Bali) tanggal 3 paroterang (purnama), Wa, Untuk, Wr, Wara Gumreg, pada saat itulah Raja Anak Wungsu, putra ibu yang telah dicandikan di Burwan, dan ayahnya yang dicandikan di Sungai (Tukad) Pakerisan....

Isi prasasti yang dikutip Goris itu mirip dengan prasasti Bebetin A II, yang disampaikan Tim Peneliti Inventarisasi Pura atau Tempat Suci Bersejarah Dalam Rangka Rerouting Pariwisata Daerah Bali, tahun 1980/1981. Prasasti ini menyebutkan: Punah icaka 911 wulan kosa kresna trayodacirgass pasar bwijayakrahta tat kalan; sang ratu luhur Cri Gunapriyadharmapatni, sang ratu maruhani Dharma Udayana Warmadewa Umanugrahen.... Dari penegasan prasasti Bebetin A II tadi dapat ditarik simpulan bahwa pada tahun Isaka 911 (989 Masehi), di Bali memerintah seorang raja Dharma Udayana Warmadewa didampingi sang ratu luhur Sri Gunapriyadharmapatni.

Jika pada pemerintahan Raja Anak Wungsu, pada abad XI, sudah ada prasasti yang menyebutkan ibunya didharmakan di Bukit Dharma, maka kemungkinan besar sekitar abad X Gunapriyadharmapatni sudah dibuatkan padharman di lokasi ini dalam wujud Durga Mahisasuramardini. Artinya, Durga yang membunuh raksasa Mahisasura dalam wujud menjadi kerbau. Secara struktur, pura yang di-empon warga Desa Kutri—kini 75 KK—ini terdiri atas dua bagian. Ada palinggih di puncak bukit. Masyarakat sekitar menyebut Bukit Dharma. Di dalamnya terdapat arca Batari Durga Mahisasuramardini sebagai palinggih pusat. Prabhamandala-nya berbentuk bulat telor, dengan lapik berupa padma bersusun dua (padma ganda) dan relief di antara kedua kaki sangat tipis.

Seperti lumrahnya Dewi Durga yang dilukiskan di Bali, maka arca Durga Mahisasuramardini yang merupakan sakti Dewa Siwa digambarkan sebagai dewi cantik dengan delapan tangan. Dewi ini berdiri sambil menginjak seekor kerbau yang tertelungkup. Tangan kiri memegang perisai, busur panah, rambut raksasa, dan sangka. Tangan kanan memegang ujung ekor mahisa, anak panah, lembing (pedang), dan cakra.

Selain di puncak bukit, lazimnya pura yang ada di daerah pegunungan, maka masyarakat juga membuat Pura Panataran yang berlokasi pada tempat lebih rendah. Gambaran serupa juga tampak di Pura Bukit Dharma, dengan dibangunnya Pura Panataran Bukit Dharma di bawah palinggih pucak.

Palinggih di Panataran relatif lebih lengkap. Pada sisi utara dari urutan paling barat terdapat gedong sari sebagai stana Ida Batari Sri yang diyakini sebagai tempat memohon kemakmuran, terutama oleh para petani huma. Di timurnya ada gedong sinapa sebagai stana Ida Batari Rambut Sadana, kemudian gedong tempat menstanakan Ratu di Gunung Lebah atau pasimpangan Ida Batara di Pura Ulun Danu Batur. Kemudian leret paling timur ada gedong pasimpangan Ida Batara yang
berstana di Pura Pucak Manik.

Di sisi timur ada gedong Siwa sebagai palinggih pasimpangan Batara di Gunung Agung, kemudian gedong Trimurti. Di sebelah selatan ada gedong pasaren yang dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan arca. Dalam gedong pasaren terdapat arca Dewi Durga di tengah-tengah, di sebelah kirinya patung Ganesha, sepasang terompah (sandal), serta arca penjaga. Pada sisi kanan ada arca perwujudan dan sepasang lingga sebagai lambang kemakmuran.

Di selatan gedong pasaren terdapat palinggih Ratu Deha, yang diyakini sebagai pangabih atau patih Gunapriyadharmapatni. “Saat berlangsung upacara pada Purnama Kasa,” kata Mangku Sadra, “maka Durga Mahisasuramardini yang distanakan dalam wujud tapakan Ida Batara, akan dituntun menuju Pura Panataran kemudian distanakan selama tiga hari. Dari sinilah warga akan menghaturkan bakti kehadapan Hyang Dewi.”

Selain memiliki Pura Panataran, Pura Durga Kutri juga memiliki pertalian erat dengan beberapa pura, terutama yang ada di daerah Gianyar. Ni Made Sokaningsih, dalam tesis berjudul “Upacara Pemujaan Durgamahisasuramardini di Pura Bukit Dharma, Kutri, Buruan, Blahbatuh, Gianyar” menyebutkan, Pura Durga Kutri memiliki hubungan dengan Pura Gunung Kawi di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring. Hubungan terjalin karena di Gunung Kawi ada dua leretan candi yang diperkirakan sebagai candi pemakaman Raja Anak Wungsu dan selir-selirnya. Berikutnya dengan Pura Tirta Mangening, masih dalam wilayah Desa Tampaksiring, yang diyakini sebagai tempat pralina-nya Raja Dharma Udayana.

Khusus dengan Pura Tirta Empul, Tampaksiring, ada cerita yang sampai sekarang masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat Buruan. Bahwa bila berlangsung upacara di Tirta Empul, maka keesokan harinya bekas sesaji (canang, sampian), akan muncul di Kutri, tepatnya pada Pura Pasiraman Tirta Empul Kutri yang terletak di seberang Pura Durga Kutri. Warga Buruan memperkirakan ada saluran air yang menghubungkan antara Pura Tirta Empul di Tampaksiring dengan Pura Tirta Empul di Kutri.

Bukan hanya Durga Kutri dengan Tirta Empul memiliki hubungan demikian. Antara Pura Goa Lawah di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, dengan Pura Goa Raja di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, juga diyakini memiliki pertalian erat. Di sebut-sebut gua yang ada di Pura Goa Raja, Besakih, tembus sampai ke mulut gua di Pura Goa Lawah. Selain dengan tempat suci yang ada di wilayah Tampaksiring, pura yang sudah dimasukkan ke dalam cagar budaya dan dilindungi oleh Monumenten Ordonatie No 238 tahun 1931 ini, juga memiliki pertalian dengan beberapa pura di wilayah Blahbatuh, seperti Pura Pucak Manik di Banjar Margasengkala.

Bukti hubungan Durga Kutri dengan Pucak Manik ini masih terlihat hingga sekarang, dengan adanya jalan setapak yang menghubungkan Pura Pucak Manik dengan Pura Durga Kutri. Berikutnya dengan Pura Beji Kutri yang dijadikan tempat pasucian sekaligus lokasi pengambilan air sebagai sarana upacara.

Praktik nyata yang diperlihatkan para pangempon dari pertalian dengan pura ini, kata Jero Mangku Sadra, sebelum berlangsung pujawali, warga akan ngaturang pakeling ke tempat suci dimaksud. Setelah itu barulah upacara di Pura Bukit Dharma Durga Kutri dilaksanakan pujawali atau odalan.

Air Murni Sumur Tua


Jika Anda sempat tangkil ke Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri, sempatkanlah memohon air suci di mandala utama Pura Panataran. Air yang keluar dari bebatuan di tebing sebelah timur tersebut, oleh banyak orang diyakini berkhasiat tinggi untuk kesehatan rohani. “Kami di sini menyebutnya Tirta Kamandalu,” papar Jero Mangku Wayan Sadra Marga, Pamangku Pura Durga Kutri.

Sekalipun kemarau berkepanjangan, ketika sumber mata air lain di seputaran Blahbatuh, Gianyar, mulai mengering, toh Tirta Kamandalu di sumur tua ini tak pernah surut. Begitupun saat musim hujan tiba, air yang keluar tak bakalan melebihi takaran yang ada. “Pertama kali keluar,” ingat Mangku Sadra, “airnya berwarna keputihan. Namun lamat-lamat menjadi bening bagaikan minyak gas.”

Sangat mungkin tirta itu adalah air murni yang menyembul dari celah-celah tanah perbukitan sehingga memberikan getaran tenang damai bagi penggunanya. Wajar bila Tirta Kamandalu ini lazim dimanfaatkan sebagai sarana penyucian. Tak hanya oleh orang Bali, tapi juga non-Bali, dari luar Bali. Kalangan paranormal mengira-ngirakan lokasi Tirta Kamandalu ini awalnya adalah taman, tempat pasiraman (permandian) Dewi Durgamahisasuramardini. “Ada orang Bali yang lahir dan besar di Lombok, tiap kali datang dari Jawa pasti singgah ke sini, mohon Tirta Kamandalu buat dibawa ke Lombok. Ini sudah dilakukan berulang kali,” kenang Jero Mangku. Orang Bali Hindu sendiri lazim mohon Tirta Kamandalu ini sebagai sarana penyucian (panglukatan) baik untuk upacara di tingkat pamerajan, pura desa, pura dadia, hingga pura kahyangan jagat, termasuk untuk diri sendiri. “Kalau ada yang ingin malukat kami berikan tirta buat dibawa pulang. Ini sudah mentradisi, lama,” tandas Mangku Sadra. *I Wayan Sucipta
 
Pura Goa Giri Putri

Pemujaan Dalam Goa Terbesar di Bali

Keunikan Pura Goa Giri Putri
DI Bali, banyak terdapat goa yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Dalam salah satu goa di Nusa Penida, ada Pura Goa Giri Putri. Keunikan apa saja yang bisa disimak dari keberadaan pura Kahyangan Jagat yang terletak di Dusun Karangsari, Desa Pakraman Suana, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung ini?
-----------------

Konon, di zaman Neolithikum dulu manusia hidup tanpa norma, tanpa kaidah, hingga berlaku suatu pola normatif homo-homini lupus -- manusia satu menjadi "serigala" bagi manusia yang lain, lantas berlaku hukum rimba, siapa kuat dia menang. Tiap orang berusaha mempertahankan hidup dari keganasan alam, seperti amukan binatang buas, hujan lebat, terjangan angin, dan sengatan sinar mentari. Lalu mereka perlu tempat perlindungan dan reproduksi keturunan demi keberlangsungan hidup. Selain penggunaan goa seperti itu, goa juga konon dijadikan tempat bertapa untuk memohon anugerah langsung dari para dewata.

Dalam goa umumnya terdapat aliran sungai, kelelawar, ular, dan stalagnit (endapan menyerupai batu tumbuh dari bawah goa mengarah ke langit-langit goa) maupun stalagtit (endapan yang menyerupai bebatuan, muncul dari dinding/langit-langit goa mengarah ke lantai goa). Dalam perkembangannya, manusia memikirkan pola kehidupan baru dengan pola permukiman tetap serta dukungan teknologi yang kian canggih agar mampu mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Meski kehidupan kian modern, namun kenyataan menunjukkan bahwa tradisi prasejarah atau kebudayaan di dalam goa tetap eksis dengan fungsi yang terus berkembang atau berubah.

Kata "giri" itu sendiri artinya gunung, pegunungan atau bukit, sementara "putri" berarti wanita. Dalam konsep ajaran Hindu, "putri" yang dimaksud adalah nama simbolis bagi kekuatan Tuhan, memiliki sifat keibuan atau kewanitaan. Jadi Goa Giri Putri adalah sebuah ruang atau rongga dengan ukuran tertentu sebagai tempat bersemayam kekuatan Tuhan dalam manifestasinya berupa wanita (disebut Hyang Giri Putri), tiada lain adalah salah satu sakti dari kekuatan Tuhan dalam wujud-Nya sebagai Siwa. Di sini, Giri Putri adalah nama yang diberikan pada salah satu goa terbesar yang berada di Pulau Nusa Penida.

Tiga Pura

Pada Purnama Kalima Wraspati Kliwon Klawu, 25 Oktober 2007, merupakan puncak Karya Agung Mamungkah Ngenteg Linggih, Mapeselang Prayungan, lan Pedanan-danan. Piodalan di pura yang di-empon oleh 210 KK Krama Desa Pakraman Karangsari ini dilakukan tiap tahun, yakni pada Purnama Kadasa. Jika masyarakat Bali ingin bertirtayatra ke sana, maka tiga pura utama yang menjadi tujuan adalah Pura Giri Putri, Pucak Mundi, dan Dalem Ped. Biasanya mereka bermalam di Dalem Ped lantaran tempatnya lebih luas, fasilitas mandi dan buang hajat memadai. Pedagang pun banyak, dan suhu udara relatif tak terlalu dingin.

Berdasarkan hasil pengukuran Tim Pengabdian Dosen FT Universitas Warmadewa, Agustus 2007, Goa Giri Putri berada pada ketinggian 150 meter di atas permukaan laut, dengan panjang total lebih kurang 262 meter. Ia memiliki empat bagian besar tempat persembahyangan yakni sebuah di luar goa atau pintu masuk dan tiga di dalam goa (depan, tengah, dan belakang). Sebelum 1990, Goa Giri Putri hanyalah sebuah goa yang dijadikan objek wisata lokal, terutama pada hari Raya Galungan dan Kuningan. Air yang berada di dalam goa dijadikan tirta oleh masyarakat Karangsari dalam rangka upacara Panca Yadnya.

Hingga saat ini belum ditemukan prasasti maupun sumber resmi yang memuat tentang Goa Giri Putri, sehingga belum diketahui kapan dan oleh siapa Goa Giri Putri dibangun. Yang jelas goa ini adalah peninggalan Zaman Prasejarah (Hindu), terus hidup dan dipelihara sampai sekarang. Pada 1990, Gubernur Bali saat itu (Prof. Dr. Ida Bagus Mantra) pernah mengadakan kunjungan ke Nusa Penida dan singgah di Goa Giri Putri, memberikan motivasi kepada masyarakat di situ untuk menjaga keberadaan Goa Giri Putri, baik sebagai objek wisata spiritual maupun sebagai tempat persembahyangan. Sejak itulah didirikan sejumlah palinggih tempat pemujaan. Goa itu kemudian diberi nama Goa Giri Putri.

Kondisi fisik Goa Giri Putri pada 1990-an dibanding kondisi sekarang, tampak beda. Dulu goa sangat "mengerikan", gelap, lantai dasar licin, tirta melimpah, dan belum banyak pengunjung. Kini, sebaliknya, terang benderang, lantai dasar tak begitu licin lantaran beberapa bagian sudah dipelester, pun telah tersedia beberapa tangki air. Pintu masuk goa tetap relatif sempit -- hanya dapat dimasuki satu orang saja.

Petunjuk "Niskala"

Sebagaimana ditulis dalam buku "Selayang Pandang Pura Giri Putri" dan diceriterakan oleh I Nyoman Dunia selaku Bendesa Adat serta mangku gede Pura Giri Putri, secara keseluruhan ada 13 buah palinggih di situ dengan berbagai wujud arsitektur dan bahan bangunan. Jika hendak bersembahyang ke Pura Giri Putri, begitu turun di pelataran parkir lantas menyeberang jalan, orang sudah berhadapan dengan jalan berundak-undak. Setelah tiba di atas atau di halaman luar goa, orang akan menjumpai palinggih pertama berbentuk Padmasari, tepat berada di samping kanan depan mulut goa.

Berdasarkan petunjuk niskala yang diterima oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa dari Padukuhan Samiaga, Penatih, Denpasar menyebutkan, di palinggih pertama yang dipuja adalah kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Hyang Tri Purusa menurut ajaran Siwa Sidhanta. Terdiri atas Paramasiwa (Nirguna-Brahman), Sadasiwa (Saguna-Brahman), dan Siwatma (Jiwatman). Lalu di sebelah kiri pintu masuk goa ada Hyang Ganapati berwujud Lingga Cala dari bahan batu karang sebagai penjaga pintu masuk goa. Di halaman depan goa juga dilengkapi dengan bangunan penunjang sebagai tempat pesandekan atau menerima tamu.

Bila usai bersembahyangan di palinggih Tri Purusa, orang segera dapat memasuki Goa Giri Putri. Biasanya orang yang baru datang pertama kali ke tempat ini akan merasa takut atau waswas mengingat mulut goa sangat kecil, hanya bisa dilalui satu orang saja. Namun itu hanya berjarak sekitar tiga meter, setelah melewati itu, orang-orang akan tercengang dan takjub, karena tidak menyangka sebelumnya bahwa rongga goa sangat lebar dan tinggi serta bisa menampung sekitar 5.000 orang. Tatkala terowongan kecil dilewati, orang akan dapat melihat dua palinggih di dalam bagian depan goa.

Palinggih ketiga, Hyang Sapta Patala, berupa Padmasari dengan perwujudan Naga Basuki di bagian ulon. Hyang Naga Basuki adalah salah satu manifestasi Hyang Widhi Wasa dengan sifat penolong, penyelamat dan pemberkah kemakmuran, diwujudkan dalam bentuk naga bersisik emas berkilauan, penuh pernik mutiara, serta senantiasa berupaya tetap menjaga keseimbangan alam bawah (pertiwi) demi kesejahteraan umat manusia beserta makhluk lainnya. Di samping kanan Hyang Naga Basuki ada palinggih keempat, Pengayengan Ratu Gede berwujud Lingga Cala. Dengan demikian goa ini berfungsi sebagai tempat memohon keselamatan dan ketenteraman umat manusia.

Selanjutnya di bagian tengah-tengah goa dijumpai lima palinggih -- tiga di bawah dan dua di atas. Palinggih di bagian bawah sebelah utara berwujud Padmasari, stana Hyang Giri Pati/Siwa. Di sebelah kiri Padmasari ada panyineban Ida Bhatara berwujud Gedongsari. Lalu di bagian bawah selatan ada tempat palukatan dari Hyang Dewi Gangga, dan palinggih Hyang Tangkeb Langit di sebelah barat tangga yang berwujud gedong masif. Sebelum melakukan persembahyangan, di tempat ini wajib melakukan palukatan dasa mala dengan memohon kepada Hyang Giri Putri, Dewi Gangga, dan Hyang Giri Pati agar secara lahir dan batin terlepas dari hal-hal negatif.

Di bagian tengah atas agak ke pinggir ada palinggih Hyang Giri Putri berwujud Padmasari dengan palinggih Pengaruman di samping kiri sebagai tempat men-sthana-kan simbol Dewa-dewi berupa arca dan rambut sedana, serta di sisi kanan ada sumber air suci. Yang unik, keberadaan palinggih ini di tengah-tengah atas dinding goa, agar bisa tangkil orang mesti menaiki tangga baja yang terbuat dari bahan plat mobil. Di bagian dalam dengan jarak sekitar tujuh meter, ada Payogan (peraduan) Hyang Giri Putri - Hyang Giri Pati yang berwujud Padmasari.

Di tempat ini masyarakat biasanya melakukan tapa, yoga dan semadi. Bagian inti goa ini dikelilingi ornamen-ornamen alam yang unik seperti ada taman tirta, warna-warni dinding goa (stalagnit dan stalagtit) diselingi dentingan percikan air dari langit-langit goa dan suara kelelawar. Tempat ini merupakan sthana Hyang Giri Putri sebagai pengendali kekuatan-kekuatan yang ada di dalam goa. Di sinilah orang dapat memohon penyembuhan penyakit melalui percikan tirta suci oleh pemangku atau pangelingsir.

Kemudian pada bagian ujung barat goa ada empat palinggih. Satu berwujud Padmasari sebagai sthana Hyang Siwa Amerta/Mahadewa, sebuah Gedongsari sthana Hyang Sri Sedana/Ratu Syahbandar, sebuah patung Dewi Kwam Im, serta altar Dewa Langit. Semua itu merupakan Dewa Pemurah, Pengasih dan Penyayang serta Dewa-dewi Kemakmuran. Di bagian ini para pamedek dapat melihat dengan jelas pancaran sinar matahari dan indahnya alam sekitar khususnya Gunung Kila (Pura Semuhu) di kejauhan.

Sekarang di bagian ini sudah ada bangunan pendukung (toilet), dilengkapi tangga sebagai sarana keluar goa. Bagian ini jelas memperlihatkan terjadi perpaduan konsep Siwa-Buda di Pura Goa Giri Putri sebagaimana halnya yang biasa terjadi di pura-pura besar lainnya di Bali. Sebenarnya, di dalam Goa Giri Putri ini masih banyak terdapat onggokan (Lingga Cala) batu karang besar dan kecil serta goa-goa kecil di kiri-kanan dinding goa, sehingga kemungkinan besar jumlah palinggih juga akan terus bertambah.

* n.g. suardana, dan tim dosen FT Unwar, Denpasar

Source : HDNet
 
Pura Gambur Anglayang

Demokrasi dan Toleransi dari Pura Gambur Anglayang

Daerah Pantai Utara (Pantura) Bali, terutama di bagian timur, terdapat banyak situs yang bisa dijadikan semacam cermin untuk melihat wajah manusia Indonesia di masa lalu. Wajah manusia yang beragam--berbeda suku, agama dan ras -- namun mereka tetap hidup dalam satu ruang yang damai, rukun dan aktif. Dari situs-situs itu bangsa Indonesia bisa belajar tentang interaksi sosial, budaya dan kerukunan antarmanusia. Salah satu di antaranya adalah Pura Negara Gambur Anglayang yang berlokasi di Desa Kubutambahan, Buleleng. Seperti apa kearifan peradaban masa lalu yang bisa dipetik dari pura ini, khususnya dalam konteks menciptakan kedamaian dan keutuhan bangsa?

SETELAH
bom meledak di Legian, Kuta, 12 Oktober lalu, banyak kalangan cemas: jangan-jangan konflik horisontal juga turut meledak di Bali, seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Palu dan lain-lainnya, yang akhirnya bisa meluluhlantakkan, tanpa sisa, seluruh tatanan kehidupan ekonomi dan sosial. Namun apa yang dicemaskan tak pernah terjadi. Masyarakat Bali--masyarakat yang hidup di Bali-- dari suku, agama dan ras mana pun mereka berasal, malah bahu-membahu menanggulangi bencana dahsyat itu.


Pura-3.gif


Tentu saja, masyarakat Bali sesungguhnya telah belajar banyak dari kearifan masa silam, misalnya bagaimana hidup bersama dalam keberagaman, seperti yang tertera dalam situs-situs purbakala. Salah satunya adalah situs yang terukir pada Pura Negara Gambur Anglayang di Desa Kubutambahan, Buleleng. Di pura itu terdapat delapan pelinggih unik yang mencerminkan unsur keberagaman dalam sebuah ruang damai. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan dari unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu dari unsur ras Melayu, Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas yang menunjukkan unsur Cina atau Buddha, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu serta yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Belakangan dalam pura itu juga dibangun sebuah padmasana.


Pura itu terletak di tepi Pantai Tabaning, Kubutambahan. Tabaning berasal dari kata Kuta dan Baneng. Kuta berarti benteng dan baning berarti batu-bata. Dulu, sekitar abad ke-13 Kubutambahan merupakan sebuah benteng di sebuah laguna atau danau yang luas.

Informasi yang dikumpulkan dari tokoh masyarakat setempat, seperti Drs. Putu Armaya, Bendesa Adat Jero Warkandia dan Ngurah Paramartha -- budayawan yang sejak tahun 1990-an aktif meneliti keberadaan pura-pura di Kubutambahan, menyebutkan Pura Negara Gambur Anglayang didirikan pada tahun 1260 (abad ke-13). Saat itu, Kubutambahan merupakan tempat di mana laut bertemu dengan sebuah danau. Tepat di titik pertemuan laut dan danau itulah sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di lokasi itu, dahulu merupakan pelabuhan dagang yang dinamakan Kuta Baning. Pelabuhan dagang itu dikelilingi benteng untuk pengamanan karena merupakan pusat perdagangan seluruh Nusantara. Sebagai pusat perdagangan, daerah ini didatangi berbagai jenis manusia dari suku, agama dan ras yang berbeda-beda.

Karena tempat itu dipercaya bisa memberi mereka kehidupan, berbagai manusia berlainan keyakinan dan kepercayaan itu membangun sebuah pura. Pura ini merupakan lambang dimana agama dipercaya sebagai satu tujuan manusia, dari mana pun ia berasal.

Pura Negara Gambur Anglayang hanyalah salah satu dari situs yang tersebar di wilayah Buleleng Timur. Ada delapan pura lagi yang tak bisa dilepaskan dari keberadaan pura Gambur Anglayang, yakni Pura Puseh Penegil Dharma, Pura Pingit, Pura Meduwe Karang, Pura Patih, Pura Dalem Puri, Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik. Semua pura ini memiliki kaitan yang tak bisa dicerai-beraikan. Berdirinya pusat spiritual ini bisa dilacak mulai dari abad ke-9 ketika rombongan Sri Kesari Warmadewa melakukan perjalanan dari Prambanan-Kahuripan terus ke ujung Pulau Jawa atau Prawali yang kemudian dikenal dengan nama Bali. Perjalanan itu dilakukan karena ia sangat meyakini adanya nur (sinar) Tuhan di ujung timur Pulau Jawa itu. Sampailah Warmadewa di sebuah laguna atau danau yang sangat luas yang mempunyai muara ke laut, tempat di mana nur Tuhan itu diyakini berada. Tempat itu disebut kawista atau kawi prayascita. Lokasi itu tak lain di Buleleng Timur.

Di tempat itulah Raja Sri Kesari Warmadewa, membangun istana sebagai pusat pemerintahan dan pusat agama. Sri Kesari Warmadewa kemudian mengangkat Resi Markendiya menjadi Kuturan atau Senapati Kuturan, sebagai penasihat spiritual raja.

Sebagai pusat dagang, pemerintahan dan spiritual, kerajaan itu banyak didatangi orang dari berbagai daerah lain, bukan hanya di Nusantara, juga dari Melayu, Cina, Babilonia dan lain-lainnya. Jejak-jejak sejarahnya tersebar dalam situs-situs pura di Kubutambahan, serta masih banyak lainnya yang belum bisa diungkapkan.

Seperti apa pun perjalanan sejarahnya, situs Pura Gambur Anglayang bisa memberi pelajaran penting tentang kerukunan yang terjadi di masa lalu. Tak ada konflik ras, agama atau suku. Segalanya disatukan dalam ruang damai. Bahkan budayawan kondang Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang sempat mengunjungi pura itu baru-baru ini tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Ketika menyaksikan delapan pelinggih penting itu, ia lantas berujar lantang: "Pemimpin-pemimpin Indonesia harus belajar dari Pura Gambur Anglayang di Kubutambahan ini".


Di pura itu Cak Nun mengaku melihat adanya kearifan nenek moyang yang harus ditiru. Nenek moyang kita, katanya, jauh sebelum mengenal istilah demokrasi dan toleransi ternyata telah menciptakan suatu masyarakat demokratis dengan toleransi yang tinggi. Tanpa tujuan muluk-muluk mereka telah menyatukan keberagaman dalam sebuah ruang kehidupan sosial dan spiritual yang tinggi.

Emha bahkan berani mengatakan, Pura Gambur Anglayang ini merupakan perwujudan masa depan Indonesia. Masa depan Indonesia, katanya, telah tergambar dalam pura tersebut. Untuk itu Cak Nun mengundang para pemimpin Indonesia untuk datang ke Kubutambahan, belajar tentang kerukunan dan masyarakat madani.

Dari Daratan Cina

Dilihat dari luar, Pura Gambur Anglayang tidak memiliki keunikan yang berbeda ketimbang pura lain di Bali. Ia juga memiliki penyengker dan bangunan-bangunan pelinggih yang motifnya juga tak jauh berbeda dengan ukiran pura lain di Bali. Yang unik hanya nama-nama pelinggih-nya yang mencerminkan berbagai suku dan agama di dunia.
Ngurah Paramartha menjelaskan, pura itu telah mengalami perbaikan berkali-kali. Setiap kali terjadi perbaikan, pura itu juga mengalami perubahan arsitektur sesuai dengan zamannya. Saat ini, bentuk dan pembagian ruang pura itu disesuaikan dengan arsitektur Bali umumnya. Hanya saja, beberapa simbol dari agama-agama tertentu tetap dibiarkan menjadi ciri khas pura itu. Misalnya, pada pelinggih Ratu Ayu Syahbandar dan Ratu Manik Mas tetap terdapat simbol-simbol Cina. Bahkan pada bangunan piasan khusus untuk Ratu Syahbandar terdapat lukisan perahu yang sedang bergerak di tengah laut. Lukisan itu menunjukkan perjalanan Ratu Syahbandar dari daratan Cina ke Kubutambahan. Selain itu, pada pelinggih Ratu Bagus Melayu masih terdapat ukiran-ukiran khas Melayu yang kini banyak ditemui di daerah Jambi dan Riau.

Menurut Paramartha, seluruh pelinggih itu dipuja oleh seluruh warga Kubutambahan, tanpa membeda-bedakannya. Selain itu, beberapa warga keturunan juga banyak melakukan pemujaan ke pura tersebut.
* Adnyana Ole
Source : BaliPost
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.