baehaqi
IndoForum Senior E
- No. Urut
- 13414
- Sejak
- 29 Mar 2007
- Pesan
- 4.073
- Nilai reaksi
- 306
- Poin
- 83
terusan...
Sumatra Utara - Indonesia
Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia, dan beribukota Tarutung. Di daerah ini terdapat beberapa danau yang terkenal, yaitu Danau Toba, Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan. Namun, dua danau yang disebutkan terakhir ini, tidak sepopuler Danau Toba. Kedua danau ini berada di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta.
Oleh masyarakat setempat, keberadaan Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan dikaitkan dengan adanya peristiwa yang sangat luar biasa, yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang masih hidup dalam masyarakat Lintong Ni Huta, Tapanuli Utara. Konon, dahulu ada dua orang bersaudara, yang tua bernama Datu Dalu, sedangkan adiknya bernama Sangmaima. Orang tua mereka baru saja meninggal dunia, karena diterkam harimau saat mencari tumbuhan obat-obatan di hutan. Kedua orang itu hanya meninggalkan warisan berupa sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, jika orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh ke tangan anak yang tertua. Sesuai hukum adat itu, maka Datu Dalu-lah yang berhak memiliki tombak pusaka itu. Suatu ketika, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi hutan. Datu Dalu bersedia meminjamkan tombak pusakanya, dengan syarat Sangmaima harus menjaganya dengan baik agar tidak hilang. Sanggupkah Sangmaima memenuhi syarat yang diberikan abangnya itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.
Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau. Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak sulung.
Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk keperluan apa, Dik?”
“Aku ingin berburu babi hutan.”
“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”
Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.
Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.
“Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.
“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”
Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.
Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung Ernga.[1] Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang ke pestanya.
“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:
“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”
“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.
Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut. Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan rumahnya.
“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu. Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.
“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.
Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
* * *
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada dua pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, yaitu agar tidak bersifat curang dan egois.
Pertama, sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat Sangmaima yang telah menipu abangnya dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi dari rumah abangnya secara sembunyi-sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita burung Ernga itu hilang. Dengan demikian, abangnya akan merasa bersalah kepadanya. Dalam kehidupan orang-orang Melayu, sifat curang ini sangatlah dipantangkan, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan Melayu berikut ini:
kalau suka bersifat curang,
alamat kepala dimakan parang
Kedua, sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku Sangmaima yang tidak mau memaafkan abangnya dan tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dari abangnya. Bagi orang Melayu, sifat yang tidak suka memaafkan kesalahan orang lain sangat dipantangkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sifat suka memaafkan sangatlah dimuliakan, karena sifat ini dapat menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar sesama. Oleh karenanya, setiap terjadi perselisihan hendaklah diredam dengan cara saling memaafkan. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “bunga api jangan dibiarkan merebak membakar negeri.” Dalam ungkapan lain juga dikatakan seperti berikut:
apa tanda Melayu pilihan,
hidup mau bermaaf-maafan
hati pemurah dalam berkawan
dendam dan loba ia jauhkan
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Syamsuri, Maulana. t.t. Danau Toba dan Pulau Samosir dengan Beberapa Dongeng Sumatra Utara. Surabaya: Greisinda Press.
* Anonim. “Kabupaten Tapanuli Utara”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tapanuli_Utara, diakses tangal 12 Desember 2007).
* Anonim. “Kamus Batak E”, (http://jakro.multiply.com/journal/item/7/Kamus_Batak_E, diakses tanggal 19 Desember 2007).
* Anonim. “Kisah Dua Saudara”, (http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/KisahDuaSaudara.asp, diakses tangal 12 Desember 2007).
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
[1] Ernga adalah kubang hijau yang menyerupai burung, yang sangat nyaring suaranya ketika menjerit pada waktu magrib.
Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara, Indonesia, dan beribukota Tarutung. Di daerah ini terdapat beberapa danau yang terkenal, yaitu Danau Toba, Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan. Namun, dua danau yang disebutkan terakhir ini, tidak sepopuler Danau Toba. Kedua danau ini berada di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta.
Oleh masyarakat setempat, keberadaan Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan dikaitkan dengan adanya peristiwa yang sangat luar biasa, yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang masih hidup dalam masyarakat Lintong Ni Huta, Tapanuli Utara. Konon, dahulu ada dua orang bersaudara, yang tua bernama Datu Dalu, sedangkan adiknya bernama Sangmaima. Orang tua mereka baru saja meninggal dunia, karena diterkam harimau saat mencari tumbuhan obat-obatan di hutan. Kedua orang itu hanya meninggalkan warisan berupa sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, jika orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh ke tangan anak yang tertua. Sesuai hukum adat itu, maka Datu Dalu-lah yang berhak memiliki tombak pusaka itu. Suatu ketika, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi hutan. Datu Dalu bersedia meminjamkan tombak pusakanya, dengan syarat Sangmaima harus menjaganya dengan baik agar tidak hilang. Sanggupkah Sangmaima memenuhi syarat yang diberikan abangnya itu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan berikut ini!
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit.
Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau. Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara penguburan, ketika hendak membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, keduanya baru menyadari bahwa orang tua mereka tidak memiliki harta benda, kecuali sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, apabila orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh kepada anak sulung. Sesuai hukum adat tersebut, tombak pusaka itu diberikan kepada Datu Dalu, sebagai anak sulung.
Pada suatu hari, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi di hutan. Ia pun meminta ijin kepada abangnya.
“Bang, bolehkah aku pinjam tombak pusaka itu?”
“Untuk keperluan apa, Dik?”
“Aku ingin berburu babi hutan.”
“Aku bersedia meminjamkan tombak itu, asalkan kamu sanggup menjaganya jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Bang! Aku akan merawat dan menjaganya dengan baik.”
Setelah itu, berangkatlah Sangmaima ke hutan. Sesampainya di hutan, ia pun melihat seekor babi hutan yang sedang berjalan melintas di depannya. Tanpa berpikir panjang, dilemparkannya tombak pusaka itu ke arah binatang itu. “Duggg…!!!” Tombak pusaka itu tepat mengenai lambungnya. Sangmaima pun sangat senang, karena dikiranya babi hutan itu sudah roboh. Namun, apa yang terjadi? Ternyata babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
“Wah, celaka! Tombak itu terbawa lari, aku harus mengambilnya kembali,” gumam Sangmaima dengan perasaan cemas.
Ia pun segera mengejar babi hutan itu, namun pengejarannya sia-sia. Ia hanya menemukan gagang tombaknya di semak-semak. Sementara mata tombaknya masih melekat pada lambung babi hutan yang melarikan diri itu. Sangmaima mulai panik.
“Waduh, gawat! Abangku pasti akan marah kepadaku jika mengetahui hal ini,” gumam Sangmaima.
Namun, babi hutan itu sudah melarikan diri masuk ke dalam hutan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan memberitahukan hal itu kepada Abangnya.
“Maaf, Bang! Aku tidak berhasil menjaga tombak pusaka milik Abang. Tombak itu terbawa lari oleh babi hutan,” lapor Sangmaima.
“Aku tidak mau tahu itu! Yang jelas kamu harus mengembalikan tombok itu, apa pun caranya,” kata Datu Dalu kepada adiknya dengan nada kesal.
“Baiklah, Bang! Hari ini juga aku akan mencarinya,” jawab Sangmaima.
“Sudah, jangan banyak bicara! Cepat berangkat!” perintah Datu Dalu.
Saat itu pula Sangmaima kembali ke hutan untuk mencari babi hutan itu. Pencariannya kali ini ia lakukan dengan sangat hati-hati. Ia menelesuri jejak kaki babi hutan itu hingga ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan, ia menemukan sebuah lubang besar yang mirip seperti gua. Dengan hati-hati, ia menyurusi lubang itu sampai ke dalam. Alangkah terkejutnya Sangmaima, ternyata di dalam lubang itu ia menemukan sebuah istana yang sangat megah.
“Aduhai, indah sekali tempat ini,” ucap Sangmaima dengan takjub.
“Tapi, siapa pula pemilik istana ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Tak jauh di depannya, terlihat seorang wanita cantik sedang tergeletak merintih kesakitan di atas pembaringannya. Ia kemudian menghampirinya, dan tampaklah sebuah mata tombak menempel di perut wanita cantik itu. “Sepertinya mata tombak itu milik Abangku,” kata Sangmaima dalam hati. Setelah itu, ia pun menyapa wanita cantik itu.
“Hai, gadis cantik! Siapa kamu?” tanya Sangmaima.
“Aku seorang putri raja yang berkuasa di istana ini.”
“Kenapa mata tombak itu berada di perutmu?”
“Sebenarnya babi hutan yang kamu tombak itu adalah penjelmaanku.”
“Maafkan aku, Putri! Sungguh aku tidak tahu hal itu.”
“Tidak apalah, Tuan! Semuanya sudah terlanjur. Kini aku hanya berharap Tuan bisa menyembuhkan lukaku.”
Berbekal ilmu pengobatan yang diperoleh dari ayahnya ketika masih hidup, Sangmaima mampu mengobati luka wanita itu dengan mudahnya. Setelah wanita itu sembuh dari sakitnya, ia pun berpamitan untuk mengembalikan mata tombak itu kepada abangnya.
Abangnya sangat gembira, karena tombak pusaka kesayangannya telah kembali ke tangannya. Untuk mewujudkan kegembiraan itu, ia pun mengadakan selamatan, yaitu pesta adat secara besar-besaran. Namun sayangnya, ia tidak mengundang adiknya, Sangmaima, dalam pesta tersebut. Hal itu membuat adiknya merasa tersinggung, sehingga adiknya memutuskan untuk mengadakan pesta sendiri di rumahnya dalam waktu yang bersamaan. Untuk memeriahkan pestanya, ia mengadakan pertunjukan dengan mendatangkan seorang wanita yang dihiasi dengan berbagai bulu burung, sehingga menyerupai seekor burung Ernga.[1] Pada saat pesta dilangsungkan, banyak orang yang datang untuk melihat pertunjukkan itu.
Sementara itu, pesta yang dilangsungkan di rumah Datu Dalu sangat sepi oleh pengunjung. Setelah mengetahui adiknya juga melaksanakan pesta dan sangat ramai pengunjungnya, ia pun bermaksud meminjam pertunjukan itu untuk memikat para tamu agar mau datang ke pestanya.
“Adikku! Bolehkah aku pinjam pertunjukanmu itu?”
“Aku tidak keberatan meminjamkan pertunjukan ini, asalkan Abang bisa menjaga wanita burung Ernga ini jangan sampai hilang.”
“Baiklah, Adikku! Aku akan menjaganya dengan baik.”
Setelah pestanya selesai, Sangmaima segera mengantar wanita burung Ernga itu ke rumah abangnya, lalu berpamitan pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan menyelinap dan bersembunyi di langit-langit rumah abangnya. Ia bermaksud menemui wanita burung Ernga itu secara sembunyi-sembunyi pada saat pesta abangnya selesai.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pada malam harinya, Sangmaima berhasil menemui wanita itu dan berkata:
“Hai, Wanita burung Ernga! Besok pagi-pagi sekali kau harus pergi dari sini tanpa sepengetahuan abangku, sehingga ia mengira kamu hilang.”
“Baiklah, Tuan!” jawab wanita itu.
Keesokan harinya, Datu Dalu sangat terkejut. Wanita burung Ernga sudah tidak di kamarnya. Ia pun mulai cemas, karena tidak berhasil menjaga wanita burung Ernga itu. “Aduh, Gawat! Adikku pasti akan marah jika mengetahui hal ini,” gumam Datu Dalu. Namun, belum ia mencarinya, tiba-tiba adiknya sudah berada di depan rumahnya.
“Bang! Aku datang ingin membawa pulang wanita burung Ernga itu. Di mana dia?” tanya Sangmaima pura-pura tidak tahu.
“Maaf Adikku! Aku telah lalai, tidak bisa menjaganya. Tiba-tiba saja dia menghilang dari kamarnya,” jawab Datu Dalu gugup.
“Abang harus menemukan burung itu,” seru Sangmaima.
“Dik! Bagaimana jika aku ganti dengan uang?” Datu Dalu menawarkan.
Sangmaima tidak bersedia menerima ganti rugi dengan bentuk apapun. Akhirnya pertengkaran pun terjadi, dan perkelahian antara adik dan abang itu tidak terelakkan lagi. Keduanya pun saling menyerang satu sama lain dengan jurus yang sama, sehingga perkelahian itu tampak seimbang, tidak ada yang kalah dan menang.
Datu Dalu kemudian mengambil lesung lalu dilemparkan ke arah adiknya. Namun sang Adik berhasil menghindar, sehingga lesung itu melayang tinggi dan jatuh di kampung Sangmaima. Tanpa diduga, tempat jatuhnya lesung itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah danau. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Si Losung.
Sementara itu, Sangmaima ingin membalas serangan abangnya. Ia pun mengambil piring lalu dilemparkan ke arah abangnya. Datu Dalu pun berhasil menghindar dari lemparan adiknya, sehingga piring itu jatuh di kampung Datu Dalu yang pada akhirnya juga menjadi sebuah danau yang disebut dengan Danau Si Pinggan.
Demikianlah cerita tentang asal-mula terjadinya Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan di daerah Silahan, Kecamatan Lintong Ni Huta, Kabupaten Tapanuli Utara.
* * *
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Ada dua pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran, yaitu agar tidak bersifat curang dan egois.
Pertama, sifat curang. Sifat ini tercermin pada sifat Sangmaima yang telah menipu abangnya dengan menyuruh wanita burung Ernga pergi dari rumah abangnya secara sembunyi-sembunyi, sehingga abangnya mengira wanita burung Ernga itu hilang. Dengan demikian, abangnya akan merasa bersalah kepadanya. Dalam kehidupan orang-orang Melayu, sifat curang ini sangatlah dipantangkan, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan Melayu berikut ini:
kalau suka bersifat curang,
alamat kepala dimakan parang
Kedua, sifat egois. Sifat ini tercermin pada perilaku Sangmaima yang tidak mau memaafkan abangnya dan tidak bersedia menerima ganti rugi dalam bentuk apapun dari abangnya. Bagi orang Melayu, sifat yang tidak suka memaafkan kesalahan orang lain sangat dipantangkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sifat suka memaafkan sangatlah dimuliakan, karena sifat ini dapat menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar sesama. Oleh karenanya, setiap terjadi perselisihan hendaklah diredam dengan cara saling memaafkan. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “bunga api jangan dibiarkan merebak membakar negeri.” Dalam ungkapan lain juga dikatakan seperti berikut:
apa tanda Melayu pilihan,
hidup mau bermaaf-maafan
hati pemurah dalam berkawan
dendam dan loba ia jauhkan
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Syamsuri, Maulana. t.t. Danau Toba dan Pulau Samosir dengan Beberapa Dongeng Sumatra Utara. Surabaya: Greisinda Press.
* Anonim. “Kabupaten Tapanuli Utara”, (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tapanuli_Utara, diakses tangal 12 Desember 2007).
* Anonim. “Kamus Batak E”, (http://jakro.multiply.com/journal/item/7/Kamus_Batak_E, diakses tanggal 19 Desember 2007).
* Anonim. “Kisah Dua Saudara”, (http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/KisahDuaSaudara.asp, diakses tangal 12 Desember 2007).
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
[1] Ernga adalah kubang hijau yang menyerupai burung, yang sangat nyaring suaranya ketika menjerit pada waktu magrib.
Kalimantan Barat - Indonesia
“Rambut sama hitam, hati lain-lain,” (Sungguhpun manusia mempunyai persamaan pada zahirnya, namun sifat, kelakuan, perasaan dan hati masing-masing adalah berbeda). Makna peribahasa ini tergambar dalam sebuah cerita rakyat di daerah Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita ini mengisahkan tentang dua orang bersaudara yaitu Muzakir dan Dermawan. Keduanya adalah putra dari seorang saudagar kaya di daerah itu. Setelah orang tuanya meninggal, keduanya mendapat harta warisan yang sama banyaknya. Namun, kedua orang bersaudara ini memiliki sifat, kelakuan, perasaan dan hati yang berbeda. Muzakir memiliki sifat yang sangat kikir. Ia enggan untuk mengeluarkan uang atau hartanya untuk kepentingan apapun. Sebaliknya, Dermawan, sesuai dengan namanya, memiliki sifat yang sangat dermawan. Ia suka mengeluarkan uang atau hartanya untuk kepentingan yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain. Suatu ketika, si Dermawan jatuh miskin, karena sebagian besar hartanya disumbangkan kepada orang-orang miskin. Muzakir yang mendengar kabar itu tertawa terpingkal-pingkal, karena dikiranya saudaranya itu orang bodoh.
Berselang beberapa waktu, Muzakir mendengar kabar lagi tentang Dermawan, bahwa saudaranya itu sudah tidak miskin lagi. Ia tiba-tiba menjadi kaya-raya, rumahnya sangat besar dan kebunnya sangat luas. Hal ini membuat Muzakir penasaran untuk mengetahui rahasia keberhasilan saudaranya yang tiba-tiba kaya mendadak. Pembaca yang budiman, penasaran juga kan…? Bagaimana cara Dermawan bisa kaya mendadak? Mau tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Semangka Ema berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Sambas, Kalimantan Barat, hiduplah seorang saudagar yang kaya-raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Namun, keduanya memiliki sifat dan tingkah laku yang sangat berbeda. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang. Ia tidak pernah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Sebaliknya, Derwaman sangat peduli dan selalu bersedekah kepada fakir miskin. Ia tidak rakus dengan harta dan uang.
Sebelum meninggal dunia, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Ia bermaksud agar anak-anaknya tidak berbantahan dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak. Setelah harta tersebut dibagi, Muzakir dan Dermawan tinggal terpisah di rumahnya masing-masing. Muzakir tinggal di rumahnya yang mewah, demikian pula Dermawan.
Uang bagian Muzakir dimasukkan ke dalam peti, lalu ia kunci. Bila ada orang miskin datang ke rumahnya, ia bukannya memberinya sedekah, melainkan tertawa mengejeknya. Bahkan ia tidak segan-segan mengusirnya jika orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya. Suatu hari, seorang perempuan tua dengan pakaian compang-camping berjalan terseok-seok datang menuju rumah Muzakir. Di depan rumah Muzakir, nenek tua itu memohon belas kasihan, “Tuan, kasihanilah nenek. Berilah nenek sedekah!” Mendengar suara nenek itu, Muzakir keluar dari dalam rumahnya dan menertawakan perempuan tua itu, “Ha ha ha…. Hai nenek jelek, pergi kau dari sini! Aku muak melihat wajahmu yang keriput itu!” Meskipun dibentak, nenek tua itu tidak mau beranjak. Ia pun terus mengiba kepada Muzakir, “Tapi tuan, nenek sudah dua hari tidak makan, kasihanilah nenek.” Melihat nenek itu tidak mau pergi, Muzakir menyuruh orang gajiannya untuk mengusirnya. Akhirnya, perempuan tua yang malang itu pun pergi tanpa mendapat apa-apa, kecuali penghinaan.
Orang-orang miskin yang sudah mengetahui sifat Muzakir yang kikir itu, termasuk si nenek tua tadi, tidak mau lagi ke rumah Muzakir. Mereka kemudian berduyun-duyun ke rumah Dermawan. Berbeda dengan sifat Muzakir, Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin tersebut dengan senang hati dan ramah. Mereka dijamunya makan dan diberinya uang karena ia merasa iba melihat mereka hidup miskin dan melarat. Hampir setiap hari orang-orang miskin datang ke rumahnya. Lama-kelamaan harta dan uang Dermawan habis, sehingga ia tidak sanggup lagi menutupi biaya pemeliharaan rumahnya yang besar. Akhirnya, ia pindah ke rumah yang lebih kecil, dan mencari pekerjaan untuk membiayai hidupnya. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur dengan keadaan hidupnya.
Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. “Itulah akibatnya selalu melayani orang-orang miskin. Pasti kamu juga ikut miskin, dasar memang tolol si Dermawan itu,” gumam si Muzakir. Bahkan, Muzakir merasa bangga sekali karena bisa membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya itu.
Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan, "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalu diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan. Burung itu pun menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan akhirnya ia pun terbang.
Keesokan harinya burung pipit itu kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, lalu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tersenyum melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun hanya biji biasa, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanamnya di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Ternyata, yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya, karena banyak sekali bunganya. “Kalau bunganya ini semuanya menjadi buah, saya pasti kenyang makan semangka dan sebagiannya bisa saya sedekahkan kepada fakir miskin,” kata Dermawan dalam hati berharap. Tetapi aneh, setelah beberapa minggu semangka itu ia pelihara dengan baik, namun di antara bunganya yang banyak itu hanya satu yang menjadi buah. Meskipun hanya satu, semangka itu semakin hari semakin besar, jauh lebih besar dari semangka umumnya. Dermawan tergiur melihat semangka besar itu. “Kelihatannya sedap sekali semangka ini. Mmm….harum sekali baunya,” ucap Dermawan setelah mencium semangka itu.
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya semangka itu dipanen. Dermawan memetik buah semangka itu. “Wah…, bukan main beratnya semangka ini,” gumam Dermawan sambil terengah-engah mengangkat semangka itu. Kemudian ia membawa semangka itu masuk ke dalam rumahnya, dan diletakkannya di atas meja. Lalu dibelahnya dengan pisau. Setelah semangka terbelah, betapa terkejutnya Dermawan. “Wow, benda apa pula ini?” tanya Dermawan penasaran. Ia melihat semangka itu berisi pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Disangkanya hanya pasir biasa. Setelah diperhatikannya dengan sungguh-sungguh, ternyata pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia tidak sadar kalau dari luar rumahnya ada seekor burung memperhatikan tingkahnya. Setelah burung itu mencicit, baru ia tersadar. Ternyata, burung itu adalah burung pipit yang pernah ditolongnya. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan dengan senangnya. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya, Dermawan membeli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Meskipun setiap hari dan setiap saat orang-orang miskin tersebut datang ke rumahnya, Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu. Uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah-ruah. Tersiarlah kabar di seluruh kampung bahwa Dermawan sudah tidak miskin lagi.
Suatu hari, berita keberhasilan Dermawan terdengar oleh abangnya, Muzakir. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Ia pun ingin mengetahui rahasia keberhasilan adiknya, lalu ia pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepada Muzakir tentang kisahnya.
Mengetahui hal tersebut, Muzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kakinya atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, tak seekor burung pun yang mereka temukan dengan ciri-ciri demikian. Muzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Ia gelisah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan burung yang patah sayapnya. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan (sumpit). Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung itu. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Tak lama, burung itu kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira. Dalam hatinya, ia selalu berharap agar cepat menjadi kaya, “Ah, sebentar lagi saya akan menjadi kaya-raya dan melebihi kekayaan si Dermawan,” kata Muzakir dalam hati tak mau kalah.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tiga hari kemudian, tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Beberapa bulan kemudian, tibalah waktunya semangka itu dipanen. Dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir sudah tidak sabar lagi ingin melihat emas urai murni berhamburan dari dalam semangka itu. Ia pun segera mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil muntah-muntah, karena tidak tahan dengan bau lumpur itu. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya. Dermawan menjadi sangat malu ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya.
* * *
Dari cerita di atas, dapat dipetik hikmahnya bahwa sekecil apa pun pemberian orang, harus kita terima dengan senang hati. Karena kita mana tahu, kalau benda kecil itu sangatlah berharga. Hal ini tercermin pada sifat Dermawan ketika ia menerima biji kecil dari burung pipit. Ia menerimanya dengan senang hati, dan ia tidak menyangka kalau biji kecil itu akan menjadi emas urai murni.
Hikmah lain yang dapat diambil dari cerita di atas adalah menjadi orang dermawan memang membutuhkan suatu pengorbanan, baik materil maupun moril. Pengorbanan tersebut hanya Allah SWT saja yang dapat menggantinya, itu sangat cepat dan datang dari arah yang tidak pernah kita duga. Hal ini tercermin pada sifat Dermawan yang suka menolong fakir miskin meskipun ia sendiri ikut menjadi miskin. Namun, semua pengorbanan yang telah dilakukan Dermawan tersebut dibalas oleh Allah SWT, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari apa yang telah ia dermakan.
Sebaliknya, jika kita menjadi orang yang loba, kikir, tidak mau memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan, maka Allah SWT enggan untuk membalasnya dengan kebaikan. Seperti yang dialami oleh Muzakir, karena ia suka menumpuk-numpuk harta dan tidak mau bersedekah kepada fakir miskin, maka Allah membalasnya dengan kehinaan. Ia menjadi terkucilkan dari masyarakat di sekitarnya. Ketika ia berharap mendapat emas, lumpur berbau bangkai yang ia peroleh, dan orang-orang di sekitarnya pun menertawakannya.
Harta datangnya dari Allah SWT Yang Maha Pemberi Rezeki dan Mahakaya. Harta itu dititipkan kepada manusia agar mereka bisa beramal dan bersedekah dengan ikhlas semata-mata karena mengharap keridaan-Nya. Dengan demikian, manusia akan mendapatkan balasan pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat daripada-Nya. Oleh karena itu, marilah memperbanyak sedekah dan membantu orang lain, terutama orang-orang yang tidak seberuntung kita. Senang jadi dermawan, kejutan akan datang tiap saat, hidup menjadi semakin indah dan dunia akan tersenyum melihat kita.
“Rambut sama hitam, hati lain-lain,” (Sungguhpun manusia mempunyai persamaan pada zahirnya, namun sifat, kelakuan, perasaan dan hati masing-masing adalah berbeda). Makna peribahasa ini tergambar dalam sebuah cerita rakyat di daerah Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita ini mengisahkan tentang dua orang bersaudara yaitu Muzakir dan Dermawan. Keduanya adalah putra dari seorang saudagar kaya di daerah itu. Setelah orang tuanya meninggal, keduanya mendapat harta warisan yang sama banyaknya. Namun, kedua orang bersaudara ini memiliki sifat, kelakuan, perasaan dan hati yang berbeda. Muzakir memiliki sifat yang sangat kikir. Ia enggan untuk mengeluarkan uang atau hartanya untuk kepentingan apapun. Sebaliknya, Dermawan, sesuai dengan namanya, memiliki sifat yang sangat dermawan. Ia suka mengeluarkan uang atau hartanya untuk kepentingan yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain. Suatu ketika, si Dermawan jatuh miskin, karena sebagian besar hartanya disumbangkan kepada orang-orang miskin. Muzakir yang mendengar kabar itu tertawa terpingkal-pingkal, karena dikiranya saudaranya itu orang bodoh.
Berselang beberapa waktu, Muzakir mendengar kabar lagi tentang Dermawan, bahwa saudaranya itu sudah tidak miskin lagi. Ia tiba-tiba menjadi kaya-raya, rumahnya sangat besar dan kebunnya sangat luas. Hal ini membuat Muzakir penasaran untuk mengetahui rahasia keberhasilan saudaranya yang tiba-tiba kaya mendadak. Pembaca yang budiman, penasaran juga kan…? Bagaimana cara Dermawan bisa kaya mendadak? Mau tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Semangka Ema berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Sambas, Kalimantan Barat, hiduplah seorang saudagar yang kaya-raya. Saudagar tersebut mempunyai dua orang anak laki-laki. Anaknya yang sulung bernama Muzakir, dan yang bungsu bernama Dermawan. Namun, keduanya memiliki sifat dan tingkah laku yang sangat berbeda. Muzakir sangat loba dan kikir. Setiap hari kerjanya hanya mengumpulkan uang. Ia tidak pernah memberikan sedekah kepada fakir miskin. Sebaliknya, Derwaman sangat peduli dan selalu bersedekah kepada fakir miskin. Ia tidak rakus dengan harta dan uang.
Sebelum meninggal dunia, saudagar tersebut membagi hartanya sama rata kepada kedua anaknya. Ia bermaksud agar anak-anaknya tidak berbantahan dan saling iri, terutama bila ia telah meninggal kelak. Setelah harta tersebut dibagi, Muzakir dan Dermawan tinggal terpisah di rumahnya masing-masing. Muzakir tinggal di rumahnya yang mewah, demikian pula Dermawan.
Uang bagian Muzakir dimasukkan ke dalam peti, lalu ia kunci. Bila ada orang miskin datang ke rumahnya, ia bukannya memberinya sedekah, melainkan tertawa mengejeknya. Bahkan ia tidak segan-segan mengusirnya jika orang miskin itu tidak mau pergi dari rumahnya. Suatu hari, seorang perempuan tua dengan pakaian compang-camping berjalan terseok-seok datang menuju rumah Muzakir. Di depan rumah Muzakir, nenek tua itu memohon belas kasihan, “Tuan, kasihanilah nenek. Berilah nenek sedekah!” Mendengar suara nenek itu, Muzakir keluar dari dalam rumahnya dan menertawakan perempuan tua itu, “Ha ha ha…. Hai nenek jelek, pergi kau dari sini! Aku muak melihat wajahmu yang keriput itu!” Meskipun dibentak, nenek tua itu tidak mau beranjak. Ia pun terus mengiba kepada Muzakir, “Tapi tuan, nenek sudah dua hari tidak makan, kasihanilah nenek.” Melihat nenek itu tidak mau pergi, Muzakir menyuruh orang gajiannya untuk mengusirnya. Akhirnya, perempuan tua yang malang itu pun pergi tanpa mendapat apa-apa, kecuali penghinaan.
Orang-orang miskin yang sudah mengetahui sifat Muzakir yang kikir itu, termasuk si nenek tua tadi, tidak mau lagi ke rumah Muzakir. Mereka kemudian berduyun-duyun ke rumah Dermawan. Berbeda dengan sifat Muzakir, Dermawan selalu menyambut orang-orang miskin tersebut dengan senang hati dan ramah. Mereka dijamunya makan dan diberinya uang karena ia merasa iba melihat mereka hidup miskin dan melarat. Hampir setiap hari orang-orang miskin datang ke rumahnya. Lama-kelamaan harta dan uang Dermawan habis, sehingga ia tidak sanggup lagi menutupi biaya pemeliharaan rumahnya yang besar. Akhirnya, ia pindah ke rumah yang lebih kecil, dan mencari pekerjaan untuk membiayai hidupnya. Gajinya tidak seberapa, sekedar cukup makan saja. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur dengan keadaan hidupnya.
Muzakir tertawa terbahak-bahak mendengar berita Dermawan yang dianggapnya bodoh itu. “Itulah akibatnya selalu melayani orang-orang miskin. Pasti kamu juga ikut miskin, dasar memang tolol si Dermawan itu,” gumam si Muzakir. Bahkan, Muzakir merasa bangga sekali karena bisa membeli rumah yang lebih bagus dan kebun kelapa yang luas. Tetapi Dermawan tidak menghiraukan tingkah laku abangnya itu.
Suatu hari Dermawan duduk-duduk melepaskan lelah di pekarangan rumahnya. Tiba-tiba jatuhlah seekor burung pipit di hadapannya. Burung itu mencicit-cicit kesakitan, "Kasihan," kata Dermawan. "Sayapmu patah, ya?" lanjut Dermawan berbicara dengan burung pipit itu. Ditangkapnya burung tersebut, lalu diperiksanya sayapnya. Benar saja, sayap burung itu patah. "Biar kucoba mengobatimu," katanya. Setelah diobatinya lalu sayap burung itu dibalutnya perlahan-lahan. Kemudian diambilnya beras. Burung pipit itu diberinya makan. Burung itu pun menjadi jinak dan tidak takut kepadanya. Beberapa hari kemudian, burung itu telah dapat mengibas-ngibaskan sayapnya, dan akhirnya ia pun terbang.
Keesokan harinya burung pipit itu kembali mengunjungi Dermawan. Di paruhnya ada sebutir biji, lalu diletakkannya di depan Dermawan. Dermawan tersenyum melihatnya. Biji itu biji biasa saja. Meskipun hanya biji biasa, senang juga hatinya menerima pemberian burung itu. Biji itu ditanamnya di belakang rumahnya.
Tiga hari kemudian tumbuhlah biji itu. Ternyata, yang tumbuh adalah pohon semangka. Tumbuhan itu dipeliharanya baik-baik sehingga tumbuh dengan subur. Pada mulanya Dermawan menyangka akan banyak buahnya, karena banyak sekali bunganya. “Kalau bunganya ini semuanya menjadi buah, saya pasti kenyang makan semangka dan sebagiannya bisa saya sedekahkan kepada fakir miskin,” kata Dermawan dalam hati berharap. Tetapi aneh, setelah beberapa minggu semangka itu ia pelihara dengan baik, namun di antara bunganya yang banyak itu hanya satu yang menjadi buah. Meskipun hanya satu, semangka itu semakin hari semakin besar, jauh lebih besar dari semangka umumnya. Dermawan tergiur melihat semangka besar itu. “Kelihatannya sedap sekali semangka ini. Mmm….harum sekali baunya,” ucap Dermawan setelah mencium semangka itu.
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya semangka itu dipanen. Dermawan memetik buah semangka itu. “Wah…, bukan main beratnya semangka ini,” gumam Dermawan sambil terengah-engah mengangkat semangka itu. Kemudian ia membawa semangka itu masuk ke dalam rumahnya, dan diletakkannya di atas meja. Lalu dibelahnya dengan pisau. Setelah semangka terbelah, betapa terkejutnya Dermawan. “Wow, benda apa pula ini?” tanya Dermawan penasaran. Ia melihat semangka itu berisi pasir kuning yang bertumpuk di atas meja. Disangkanya hanya pasir biasa. Setelah diperhatikannya dengan sungguh-sungguh, ternyata pasir itu adalah emas urai murni. Dermawan pun menari-nari karena girangnya. Ia tidak sadar kalau dari luar rumahnya ada seekor burung memperhatikan tingkahnya. Setelah burung itu mencicit, baru ia tersadar. Ternyata, burung itu adalah burung pipit yang pernah ditolongnya. "Terima kasih! Terima kasih!" seru Dermawan dengan senangnya. Burung itu pun kemudian terbang tanpa kembali lagi.
Keesokan harinya, Dermawan membeli rumah yang bagus dengan pekarangan yang luas sekali. Semua orang miskin yang datang ke rumahnya diberinya makan. Meskipun setiap hari dan setiap saat orang-orang miskin tersebut datang ke rumahnya, Dermawan tidak akan jatuh miskin seperti dahulu. Uangnya amat banyak dan hasil kebunnya melimpah-ruah. Tersiarlah kabar di seluruh kampung bahwa Dermawan sudah tidak miskin lagi.
Suatu hari, berita keberhasilan Dermawan terdengar oleh abangnya, Muzakir. Rupanya hal ini membuat Muzakir iri hati. Ia pun ingin mengetahui rahasia keberhasilan adiknya, lalu ia pergi ke rumah Dermawan. Di sana Dermawan menceritakan secara jujur kepada Muzakir tentang kisahnya.
Mengetahui hal tersebut, Muzakir langsung memerintahkan orang-orang gajiannya mencari burung yang patah kakinya atau patah sayapnya di mana-mana. Namun sampai satu minggu lamanya, tak seekor burung pun yang mereka temukan dengan ciri-ciri demikian. Muzakir sungguh marah dan tidak dapat tidur. Ia gelisah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan burung yang patah sayapnya. Keesokan paginya, Muzakir mendapat akal. Diperintahkannya seorang gajiannya untuk menangkap burung dengan apitan (sumpit). Tentu saja sayap burung itu menjadi patah. Muzakir kemudian berpura-pura kasihan melihatnya dan membalut luka pada sayap burung itu. Setelah beberapa hari, burung itu pun sembuh dan dilepaskan terbang. Tak lama, burung itu kembali kepada Muzakir untuk memberikan sebutir biji. Muzakir sungguh gembira. Dalam hatinya, ia selalu berharap agar cepat menjadi kaya, “Ah, sebentar lagi saya akan menjadi kaya-raya dan melebihi kekayaan si Dermawan,” kata Muzakir dalam hati tak mau kalah.
Biji pemberian burung ditanam Muzakir di tempat yang terbaik di kebunnya. Tiga hari kemudian, tumbuh pula pohon semangka yang subur dan berdaun rimbun. Buahnya pun hanya satu, ukurannya lebih besar dari semangka Dermawan. Beberapa bulan kemudian, tibalah waktunya semangka itu dipanen. Dua orang gajian Muzakir dengan susah payah membawanya ke dalam rumah karena beratnya. Muzakir sudah tidak sabar lagi ingin melihat emas urai murni berhamburan dari dalam semangka itu. Ia pun segera mengambil parang. Ia sendiri yang akan membelah semangka itu. Baru saja semangka itu terpotong, menyemburlah dari dalam buah itu lumpur hitam bercampur kotoran ke muka Muzakir. Baunya busuk seperti bangkai. Pakaian Muzakir serta permadani di ruangan itu tidak luput dari siraman lumpur dan kotoran yang seperti bubur itu. Muzakir berlari ke jalan raya sambil muntah-muntah, karena tidak tahan dengan bau lumpur itu. Orang yang melihatnya dan mencium bau yang busuk itu tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan riuhnya. Dermawan menjadi sangat malu ditertawakan oleh orang-orang di sekitarnya.
* * *
Dari cerita di atas, dapat dipetik hikmahnya bahwa sekecil apa pun pemberian orang, harus kita terima dengan senang hati. Karena kita mana tahu, kalau benda kecil itu sangatlah berharga. Hal ini tercermin pada sifat Dermawan ketika ia menerima biji kecil dari burung pipit. Ia menerimanya dengan senang hati, dan ia tidak menyangka kalau biji kecil itu akan menjadi emas urai murni.
Hikmah lain yang dapat diambil dari cerita di atas adalah menjadi orang dermawan memang membutuhkan suatu pengorbanan, baik materil maupun moril. Pengorbanan tersebut hanya Allah SWT saja yang dapat menggantinya, itu sangat cepat dan datang dari arah yang tidak pernah kita duga. Hal ini tercermin pada sifat Dermawan yang suka menolong fakir miskin meskipun ia sendiri ikut menjadi miskin. Namun, semua pengorbanan yang telah dilakukan Dermawan tersebut dibalas oleh Allah SWT, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari apa yang telah ia dermakan.
Sebaliknya, jika kita menjadi orang yang loba, kikir, tidak mau memberi sedekah kepada orang yang membutuhkan, maka Allah SWT enggan untuk membalasnya dengan kebaikan. Seperti yang dialami oleh Muzakir, karena ia suka menumpuk-numpuk harta dan tidak mau bersedekah kepada fakir miskin, maka Allah membalasnya dengan kehinaan. Ia menjadi terkucilkan dari masyarakat di sekitarnya. Ketika ia berharap mendapat emas, lumpur berbau bangkai yang ia peroleh, dan orang-orang di sekitarnya pun menertawakannya.
Harta datangnya dari Allah SWT Yang Maha Pemberi Rezeki dan Mahakaya. Harta itu dititipkan kepada manusia agar mereka bisa beramal dan bersedekah dengan ikhlas semata-mata karena mengharap keridaan-Nya. Dengan demikian, manusia akan mendapatkan balasan pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat daripada-Nya. Oleh karena itu, marilah memperbanyak sedekah dan membantu orang lain, terutama orang-orang yang tidak seberuntung kita. Senang jadi dermawan, kejutan akan datang tiap saat, hidup menjadi semakin indah dan dunia akan tersenyum melihat kita.