• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Legenda dan Cerita Rakyat [UPDATE]

arcala

IndoForum Beginner A
No. Urut
89881
Sejak
20 Jan 2010
Pesan
1.120
Nilai reaksi
71
Poin
48
Maaf Klo Ada Posting yang Re-post /hmm /gawi

------------------------------

DAFTAR ISI :

  1. DANAU KACO LEMPUR
  2. Legenda Batu Panjang
  3. Asal Mula Nama Irian
  4. Batu Menangis
  5. Asal Usul Danau Maninjau
  6. SI PAHIT LIDAH
  7. CINDELARAS
  8. Asal Usul Danau Lipan
  9. Kutukan Raja Pulau Mintin (Kalteng)
  10. ASAL MULA KERANG DI NIMBORAN
  11. Cerita rakyat bali : "Jayasuprana dan Layonsari"
  12. Mentiko Betuah
  13. Legenda Gunung Wurung, Kisah Putung Kempat, Untung Suropati
  14. Syekh Belabelu, Cerita layang
  15. Semangka Emas (sambas) dan Asal Mula Danau Si Losung Dan Si Pinggan (Sumut)
  16. Puteri Junjung Buih - Kalimantan Selatan
  17. Legenda Sungai Jodoh ( Cerita Rakyat Batam )
  18. Legenda Kebo Iwa, patriot Nusantara
  19. Si Lancang - Riau

---------------------------------------------------------
PERTAMAX

Danau Kaco lempur

Cerita ini dari berbagai sumber yang layak dipercaya.

Puti suluh makan adalah seorang wanita cantik dizamannya. Puti suluh makan berasal dari Tanjung Gagak, berdekatan dengan Muara air Dikit atau Ujung Buki Pematang Suo. Dusun Tanjung Gagak dikuasai raja gagak. Nama gagak diambil dari nama sejenis burung yaitu burung gagak.

Puti suluh makan menurut konon dilahirkan di dusun Tanjung Gagak dan dibesarkan disana. Menurut riwayat sebelumnya "Puti suluh makan" bernama putri letak melintang kenapa diberi nama demikian? Sebab diberi nama melintang karena ada keanehan pada (Maaf) kemaluan atau vagina-nya, adapun yang terdapat pada kemaluan adalah melintang. Dengan keanehan letak vagina itulah maka diberi nama letak melintang.

Wajah cantik, dimiliki oleh gadis letak melintang ini membuat para pemuda dan anak-anak remaja yang ada di desa Tanjung Banuang Dusun Tinggi dan Tanjung Kasri Kegirangan. Dalam wilayah pemuncak nan tigo kaum, punya keinginan atau jatuh cinta kepada puti letak melintang, sehingga namanya begitu populer seantero negeri itu. Karena kecantikan dan kemolekannya banyak anak-anak raja dan pemuda waktu itu berkeinginan melamarnya. Namun Puti Letak Melintang setiap lamaran diterima oleh Bapaknya sulit sekali raja gagak menolak lamaran. Sehingga lamaran sudah bertumpuk membuat raja gagak bingung siapa diantara mereka diterima lamarannya.

Titipan tanda ikatan janji seperti emas dan intan diberikan anak raja dan pemuda seantaro kawasan negeri itu kepada Puti letak Melintang telah memenuhi kendi kecil yang terbuat dari tanah. Keinginan anak raja dan pemuda terhadap puti ini membuat ayah Puti Letak Melintang juga jatuh cinta pada anaknya, hingga membuat niat durjana dan gilanya bangkit, bahkan ingin menikah dengan anaknya untuk dijadikan isteri.

Makin hari keinginan menikahi anaknya makin kuat, maka akhirnya niat jahat untuk mesum dengan anak sendiri diketahui oleh isterinya, rupanya terjadilah pertengkaran antara raja gagak dengan isteri, serta timbul niat jahat membunuh isterinya. Setelah isterinya meninggal raja gagak membawa anaknya Puti untuk pindah ke Gunung Kunyit bagian barat, dipinggiran Sungai Manjuto. Kemudian menetap disana dan mendirikan desa (sekarang masih ada bekas atau peninggalan didesa itu diberi nama Dusun Batong Limok Purot).

Kawasan yang dihuni oleh Raja gagak dan anaknya puti beserta rakyatnya tidak aman untuk di tempati sebagai sebuah pemukiman, karena sangat liar dan penuh dengan binatang buas, terutama ular. setiap hari mereka diganggu oleh ular yang banyak sekali, baik dalam maupun luar rumah. Merasa tidak aman tinggal di negeri itu, maka raja gagak membawa anaknya lari dari rakyatnya dengan membawa emas dan intan yang dipersembahkan sebagai tanda ikatan janji dari anak raja dan pemuda setempat yang tersimpan di kendi tanah.

Sewaktu dibawa lari, tidak beberapa lama kemudian, konon menurut kabar waktu itu anaknya hamil oleh bapak sendiri. Kemudian raja gagak punya rencana ingin pergi ke Tanjung Kasri. Setelah sampai di Muara Lambing Sungai Manjuto, raja gagak membatalkan niatnya. Kepergian raja gagak hendak menyembunyikan emas dan intan yang ada di dalam kendi ke dalam lubuk Muara Labing, namun sang raja gagal untuk menyembunyikannya. Karena membiaskan cahaya kemilau pada alam sekitarnya. Ia takut bila kelak di temukan dan diambil oleh orang yang akan lewat dekas sana "kalau saya simpan, karena kemilau pada alam sekitar, nanti diambil orang. Lebih baik saya simpan di tempat yang lebih aman", Kata Raja Gagak membathin.

Kemudian Raja Gagak mengambil kembali kendi Guci tadi dan berjalan mengikuti Arus Sungai Manjuto-Lempur, tidak beberapa jauh dari Sungai Manjuto Raja Gagak menyembunyikan emas dan intan didasar Danau Kaco. "Baiknya saya simpan didasar Danau Kaco saja. Inikan jauh dari pantauan orang", Kata Raja Gagak sambil membenamkan kendi berisi emas sembahan tersebut ke Dasar Danau Kaco.

(Menurut riwayat Kendi Emas dan Intan yang berkilau didasar Danau Kaco diyakini masyarakat setempat masih tersimpan didasar Danau Kaco Itu. Percobaan pengambilan emas ini telah membuat Lisyuar Yusuf warga Koto Payang meninggal dunia). Setelah Raja Gagak menyembunyikan atau menyimpan emas dan intan di dasar Danau Kaco, maka ia pun melanjutkan perjalanan menuju Bukit lintang. Bersama dengan anaknya "Puti Letak Melintang". Setelah sampai di puncak bukit lintang. Raja gagak berpikir panjang dan panik. Karena anaknya sudah hamil karena perbuatannya sendiri. Disisi lain memikirkan emas dan intan yang sudah diambinya sebagai tanda ikatan cinta dari anak-anak raja di wilayah kerinci lainnya.

Karena sudah hamil dan sangat malu, maka raja berpantun "Bukit Lintang, kena cahaya matahari pagi. Puti Letak Melintang bila membawa membikin intang (masalah), bila ditinggal membawa sedih hati". Aku malu pada diriku dan pinangan orang kutolak. Lebih baik aku membunuh Puti Letak Melintang", Katanya membathin dalam hati. Setelah Raja Gagak Berpantun, kemudian ia memotong dan membunuh anaknya dengan keris.

Puti Letak melintang dimakamkan di Puncak Bukit Lintang, tepatnya dipuncak Bukit Lintang kanan jalan Ipuh-Lempur. Sementara terdapat Buyang tapan yang selalu dibawanya dan berupa sebentuk jangki. Barang tersebut terbuat dari bambu kepunyaan bukit melintang bergulir dan jatuh kearah bukit giwo. Konon, Buyang ini menjelma menjadi ular sawo, ular besar.

Versi lain yang berkembang, Puli suluh Makan bila makan dalam gelap telunjuk jarinya bercahaya, bagaikan lampu (suluh). Cerita lain, buyang tapan yang menjelma jadi ular bisa diketemukan bila anda menempuh perjalanan ipuh lempur. (cerita ini diangkat dari cerita rakyat lempur - sumber terpilih )
 
bagus ceritanya.../gg

Lumayan bisa nambah pengetahuan soal legenda rakyat.../gg

apa bisa di Update yah.../?
 
bagus ceritanya.../gg

Lumayan bisa nambah pengetahuan soal legenda rakyat.../gg

apa bisa di Update yah.../?

InsyaAllah masih banyak persediaan..
cuma nunggu waktu bisa post lagi, baru di update..

Ceritanya :

Legenda Batu Panjang Desa Sungai Jernih-Pondok Tinggi,
Kecamatan Sungai Penuh-Kabupaten Kerinci

Batu panjang sebuah dusun yang terdapat di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi mempunyai legenda menarik tentang nama dusun tersebut.

Alkisah pada zaman dahulu kala, ada seorang putri kecil yang tersisih dari kasih sayang keluarganya.Tiap malam sang putri kecewa karena permintaannya tak pernah dikabulkan. Dia selalu minta sepotong ikan yang dibawa oleh kakeknya dari hasil memancing yang sudah di masak untuk santapan makan malam keluarga, apatah lagi diberi, yang ada dia setiap meminta ia selalu di ombang - ambing ke sana kemari (seperti birokrasi kompleks kalo zaman sekarang). Saat sang putri minta ikan itu ke kakek, namun kakek bilang minta ke nenek.Minta ke nenek, nenek bilang minta ke ayahmu. Minta ke ayah, ayah bilang minta ke ibumu. Minta ke ibu, ibu bilang minta ke abangmu. Minta ke abang, abang bilang minta ke kakakmu. Kemudian si putri kecil menangis tersedu sedu diatas batu didepan rumahnya sambil memandang bulan purnama dalam keadaan sangat lapar.

Sambil menangis dibawah cahaya bulan purnama dia menyanyikan sebuah lagu. Setiap selesai menyanyikan sebait lagu maka batu itu tambah tinggi, terus meninggi dan makin tinggi, maka dia menyanyi terus:

Tinggi … tinggilah engkau batu, biar kakek ku senang biar nenekku senang.
Tinggi… tinggilah engkau batu biar ayahku senang biar ibuku senang,
Tinggi… tinggilah engkau batu biar abangku senang biar kakakku senang.

Akhirnya, sampai tengah malam sang putri benyanyi, tanpa disadarinya ketinggian batu itu mencapai bulan purnama yang bersinar cerah kepadanya seperti memanggilnya pada malam itu dan sang putri menginjakkan kaki ke bulan purnama, sesampai di bulan sang putri menendang batu tersebut dan batu itu roboh memanjang di bukit, menghancurkan rumah dan kampung halamannya. Maka kemudian dinamakanlah batu itu batu panjang.

Sang putri mencapai kebahagiannya di bulan dan tersenyum manis dalam kedamaian, maka bagi orang kerinci masa lalu bila memandang bulan purnama, nampak gambar seorang putri yang sedang tersenyum ke bumi dengan cahayanya yang indah.Mengetahui sang putri berada di bulan, terpisah jauh dan tidak akan pernah bertemu lagi, keluarga menangis sedih dan menyesal karena tidak memberikan sang putri sepotong ikan di waktu makan malam itu.

(Di ceritakan dari mulut ke mulut hingga sampai ke saya melalui bibir nenek saat saya kecil)
 
Nice Post, nice info. keep posting. /no1
 
^
thanks atas pujiannya :D
selamat membaca ya bro..

Lanjutan Ceritanya :

Asal Mula Nama Irian

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Manana****makrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah darat*an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.

Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.

“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.

“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.

“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me*lepaskan Sampan.

Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke**mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.

“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.

“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.



(Sumber :
Buku 366 cerita rakyat nusantara
)
 
Begini ceritanya :

Batu Menangis

Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.

Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.

Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.

Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.

Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.

Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.

Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”

Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.

“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.

(SELESAI)
 
Masukin juga bro legenda tentang jagoan di Indo, kyk si pitung dll /gg
 
Masukin juga bro legenda tentang jagoan di Indo, kyk si pitung dll /gg

Insya Allah pada posting berikutnya.. /no1
----------------------------
Ceritanya Begini :
Asal Usul Danau Maninjau

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!

Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”

“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”


“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.

Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.

“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”

“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”


Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.

Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.

Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.

“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.

“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.

Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.

“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.

Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.

Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.

“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.

“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.

“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.

“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.

“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.

“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.

Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.

“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.

“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.

“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.

“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.

“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.

“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.

“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.

“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.

“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.

Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.

“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.

“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”

“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.

“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.

“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.

“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.

“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.

Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.

“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.

“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.

Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.

“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.

Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.

“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.

“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.

“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.

“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.

Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.

“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.

Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.

“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”

Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.

Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
 
updating

Lanjutttttttttttt...

SI PAHIT LIDAH

pahit-lidah-150x150.jpg

Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang Sumatera Selatan, bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.

Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi. Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.

Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, “jadilah batu.” Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi.
 
Begini Ceritanya :

CINDELARAS

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.

Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.

Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Sumber: www.e-smartschool.com
 
Keep update yah.../no1

Blom gw baca semua soalnya .../gg
 
Sebagian besar udah pernah denger :D, cerita yang jarang dong ;).
 
Sebagian besar udah pernah denger :D, cerita yang jarang dong ;).

iya sis..ni gi bongkar2 buku /hmm

@EMON32
Insya Allah /no1

---------------------------------------------------
Lanjut lagi..

Asal Usul Danau Lipan
(Kalimantan Timur)

Di kecamatan Muara Kaman kurang lebih 120 km di hulu Tenggarong ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur ada sebuah daerah yang terkenal dengan nama Danau Lipan. Meskipun bernama Danau, daerah tersebut bukanlah danau seperti Danau Jempang dan Semayang. Daerah itu merupakan padang luas yang ditumbuhi semak dan perdu.

Dahulu kala kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan. Tepi lautnya ketika itu ialah di Berubus, kampung Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan nama Benua Lawas. Pada masa itu ada sebuah kerajaan yang bandarnya sangat ramai dikunjungi karena terletak di tepi laut.

Terkenallah pada masa itu di kerajaan tersebut seorang putri yang cantik jelita. Sang putri bernama Putri Aji Bedarah Putih. Ia diberi nama demikian tak lain karena bila sang putri ini makan sirih dan menelan air sepahnya maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kejelitaan dan keanehan Putri Aji Bedarah Putih ini terdengar pula oleh seorang Raja Cina yang segera berangkat dengan Jung besar beserta bala tentaranya dan berlabuh di laut depan istana Aji Bedarah Putih. Raja Cina pun segera naik ke darat untuk melamar Putri jelita.

Sebelum Raja Cina menyampaikan pinangannya, oleh Sang Putri terlebih dahulu raja itu dijamu dengan santapan bersama. Tapi malang bagi Raja Cina, ia tidak mengetahui bahwa ia tengah diuji oleh Putri yang tidak saja cantik jelita tetapi juga pandai dan bijaksana. Tengah makan dalam jamuan itu, puteri merasa jijik melihat kejorokan bersantap dari si tamu. Raja Cina itu ternyata makan dengan cara menyesap, tidak mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing.

Betapa jijiknya Putri Aji Bedarah Putih dan ia pun merasa tersinggung, seolah-olah Raja Cina itu tidak menghormati dirinya disamping jelas tidak dapat menyesuaikan diri. Ketika selesai santap dan lamaran Raja Cina diajukan, serta merta Sang Putri menolak dengan penuh murka sambil berkata, "Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya saja menyesap seperti anjing."

Penghinaan yang luar biasa itu tentu saja membangkitkan kemarahan luar biasa pula pada Raja Cina itu. Sudah lamarannya ditolak mentah-mentah, hinaan pula yang diterima. Karena sangat malu dan murkanya, tak ada jalan lain selain ditebus dengan segala kekerasaan untuk menundukkan Putri Aji Bedarah Putih. Ia pun segera menuju ke jungnya untuk kembali dengan segenap bala tentara yang kuat guna menghancurkan kerajaan dan menawan Putri.

Perang dahsyat pun terjadilah antara bala tentara Cina yang datang bagai gelombang pasang dari laut melawan bala tentara Aji Bedarah Putih.

Ternyata tentara Aji Bedarah Putih tidak dapat menangkis serbuan bala tentara Cina yang mengamuk dengan garangnya. Putri yang menyaksikan jalannya pertempuran yang tak seimbang itu merasa sedih bercampur geram. Ia telah membayangkan bahwa peperangan itu akan dimenangkan oleh tentara Cina. Karena itu timbullah kemurkaannya.

Putri pun segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini titisan raja sakti, maka jadilah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat memusnahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Dengan sekejap mata sepah sirih putri tadi berubah menjadi beribu-ribu ekor lipan yang besar-besar, lalu dengan bengisnya menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dibinasakan. Tentara yang mengetahui serangan lipan yang tak terlawan itu, segera lari lintang-pukang ke jungnya. Demikian pula sang Raja. Mereka bermaksud akan segera meninggalkan Muara Kaman dengan lipannya yang dahsyat itu, tetapi ternyata mereka tidak diberi kesempatan oleh lipan-lipan itu untuk meninggalkan Muara Kaman hidup-hidup. Karena lipan-lipan itu telah diucap untuk membinasakan Raja dan bala tentara Cina, maka dengan bergelombang mereka menyerbu terus sampai ke Jung Cina. Raja dan segenap bala tentara Cina tak dapat berkisar ke mana pun lagi dan akhirnya mereka musnah semuanya. Jung mereka ditenggelamkan juga.

Sementara itu Aji Bedarah Putih segera hilang dengan gaib, entah kemana dan bersamaan dengan gaibnya putri, maka gaib pulalah Sumur Air Berani, sebagai kekuatan tenaga sakti kerajaan itu. Tempat Jung Raja Cina yang tenggelam dan lautnya yang kemudian mendangkal menjadi suatu daratan dengan padang luas itulah yang kemudian disebut hingga sekarang dengan nama Danau Lipan.
 
Kutukan Raja Pulau Mintin

Ceritanya :

Kutukan Raja Pulau Mintin

Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir. Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan makmur.

Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.

Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan mendasar baru.

Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.

Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buayapun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.

Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,"kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan Bantilung."

Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.


(Diadaptasi secara bebas dari Lambertus Elbaar, "Kutukan Raja Pulau Mintin," Cerita Rakyat Kalimantan Tengah, Jakarta:Depdikbud, 1982, hal. 44-45).
 
Asal mula kerang di nimboran

Ceritanya :

ASAL MULA KERANG DI NIMBORAN

Cerita dari Kayu Injau, Teluk Nubai-Irian Jaya.

Di desa Congwei dekat Skou, Utara daerah Jayapura, pada waktu dulu hidup suatu mahluk bernama Wei. Oleh penduduk setempat Wei disebut pula dengan nama Tangi, yaitu seekor ular besar yang pandai berbicara seperti manusia.
Konon Wei bukanlah ular biasa, sebab meskipun pada siang hari ia berujud ular besar, tetapi paa waktu malam ia menjelma sebagai manusia biasa, bahkan ia makan dan minum seperti orang kebanyakan.
Semula ia datang dari langit, turun ke bumi lewat pohon Ganemu, sejenis pohon yang buahnya enak dimakan, kemduian bertempat tinggal di gua di dekat pohon tersebut. Letaknya menghadap ke laut, membelakangi bukit, supaya mudah mencari ikan, tetapi terlindung dari angin dingin.
Ketika ia turun dari langit itu, dibawanya bibit tanaman untuk dikembang-biakkan di bumi. Antara lain kelapa, pisang dan biji sagu. Selain itu ia pun membawa biji pohon ajaib namanya Rawa Tawa Pisoya. Pohon ajaib buahnya berujud kerang berharga, nilainya sama dengan uang.
Wei menanam pojon Rawa tawa Pisoya di tempat yang tersembunyi, di dalam gua tempat tinggalnya. Di atas pohon dibuatnya semacam pagar dan ditutupnya dengan tikar. Dengan demikian buahnyasukar diambil orang atau dimakan binatang hutan dan tidak tersebar di tempat lain.
Pada suatu hari Wei kembali pulang dari berburu. Ia mengenakan pakaian ular. Ketika sedang merayap di bawah pohon Ganemau dilihatnya beberapa buah yang masih muda berserakan.
Aneh pikirnya. Pasti ada orang yang mengambil buah itu. Sebab hari itu tiak ada angin besar melanda pantai. Ia pun melihat ke atas dan tampak dua orang perempuan berada di cabang, memilih buah yang masak dan makan sepuas-puasnya, yng masih muda mereka lemparkan ke bawah.
Wei tiak berkehenak untuk mengusiknya. ia tahu, mereka akan turun sendiri jika telah kenyang. Ia berhenti dan memperhatikan perempuan-perempuan tersebut. Agaknya mereka kakak dan adik.
Tiba-tiba salah seorang melihat ke bawah. Lalu katanya, "Hei, lihatlah kak! Di bawah ada yang menunggu. Siapakah gerangan yang di bawah pohon? Nenek kah, pak lik, ipar atau kah kakak? aku Lermoin dan Yarmoin dari Danau Sentani."
"Ular itu tidak bermaksud jahat"kata perempuan yang muda. "Ia mengajak kita ke tempat tinggalnya. Mari kita ikuti."
Kedua orang perempuan itu pun mengikuti ular dari belakang. Mereka melewati pintu gua dan masuk ke kediaman Wei. Kiranya di dalam cukup lebar dan teratur sangat rapi. Seperti keadaan rumah biasa, ada tempat untuk makan, untuk tidur dan untuk masak.
Wei berumah tangga seperti manusia. Ia makan makanannya setelah dipanggang atau dimasak dan menggunakan piring. Perlengkapan masaknya teratur baik. Seorang nenek tua tinggal bersama dia di alam gua. Tahulah perempuan-perempuan itu, bahwa yang diikuti bukan ular biasa. Mereka senang bertempat di sana untuk sementara waktu. yang muda menunjukkan sikap yang ramah dan baik. Si ular senang. Lain halnya dengan yang tua, ia selalu bersikap acuh tak acuh.
Pada waktu petang Lermon berjalan seorang diri ke luar gua. Wei belum kemali dari laut. Secara kebetulan dijumpainya kulit ular besar yang biasa dipakai oleh Wei, tersembunyi di balik semak-semak. ia tahu pasti, pakaian ular itu milik Wei. Ia mengambil kulit itu lalu menyembunyikannya ke tempat lain, tnpa setahu saudaranya.
Sejak kejadian itu Wei kembali berujud manusia biasa. Ia menjadi pendiam. Tamunya diajak meninggalkan gua dan membangun rumh dekat pohon Ganemu. Kegemarannya berubah. Tiap-tiap hari Wei sibuk mengumpulkan berbagai macam serangga. Ia pelihara serangga itu baik-baik di rumah karaweri, bangunan yang khusus untuk tempat menenangkan hatinya. Juga dikumpulkannya berbagai jenis kepala burung. Kadang-kadang ia sehari penuh berada di rumah karaweri, tidak menghiraukan tamunya.
Diduga Wei akan membuat sesuatu yang ajaib. Pada suatu hari Wei pergi mencari ikan di laut. Sebelum berangkat ia berpesan kepada nenek tua "Hari ini saya akan kembali agak terlambat. Jagalah kedua perempuan itu. Larang dia pergi kemana-mana dan jangan biarkan mereka mendekati rumah karaweri. Jika mereka ingin makan sirih, nenek berikan dulu kapur sirih nenek."
Sudah lama tamu perempuan yang tua ingin mengetahui pekerjaan Wei di dalam rumah karawei. Dimintanya adiknya agar menolong nenek di dapur. ia akan pergi ke luar sebentar mengambil sayuran di kebun, katanya. Demikianlah ia diam-diam mendekati rumah larangan itu.
Keadaan di dalam rumah karaweri sanat menakjubkan. Ia menyaksikan taman serangga beraneka warna. Kupu-kupu yang bentuk sayapnya berlain-lainan. Capung-capung besar-besar. Macam-macam serangga yang kulitnya warna-warni. Semuanya berada di dalam kurungan dan teratur sangat rapi. Perempuan itu tidak dapat mengenalkan rasa ingin tahunya.
Ia memegang pintu kurungan, ingin memegang kupu-kupu yang bersayap tiga warna. Dibukanya pintu itu dan ... beterbanganlah serangga di dalamnya. Ia menjadi bingung dan ketakutan karena tak sempat menutup pintu kembali. Keluar ia dari rumah karaweri sambil berteria-teriak.
Nenek dan adik perempuannya segera datang menolong tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Berpuluh-puluh serangga terbang keluar. Banyak di antaranya yang mati, bangkainya berserakan. Tak ada yang dapat dikerjakan oleh perempuan-perempuan itu, yang tua menangis menyesali perbuatannya, menunggu Wei kembali.
Peristiwa pelanggaran seiji (larangan) itu segera diketahui oleh pemiliknya. Perahunya sebentar saja penuh dengan bangkai serangga.
"Ah pasti perempuan itu telah masuk ke rumah larangan," pikirnya.
"Pekerjaanku selama ini sa-sia belaka."
Ia mengangkat joran kailnya. Ikan-ikan yang tertangkap dibuangnya. Berkayuh ia pulang dengan perasaan cemas dan langsung menuju rumah karaweri. Hatinya terasa bagai disayat-sayat ketika melihat piaraannya banyak yang mati sebelum waktunya. Usahanya hancur dan sia-sia. Dengan menitikkan airmata dikumpulkannya bankai serangga yang terserak, ditanamnya di samping rumah. Sebagian dibungkusnya dan dibawanya masuk ke rumah.
Sejak itu ia tidak kerasan lagi tinggal di rumah. Tanah terasa panas diinjaknya. ia memutuskan untuk pindah ke Barat. Pohon ajaib dicabut, diambilnya beberapa buah biji yang telah tua. berkata ia sebelum pergi "Tinggalah kalian menjaga rumah ini. Aku akan pergi ke Teluk Nubai. Kelak jika anak cucu kita mendapat kesulitan , anjurkan mereka pergi ke sana. Biar persahabatan selalu terjalin. Kita bangun Teluk Nubai bersama-sama."
Demikianlah Wei pergi seorang diri menuju ke pantai. ia mengenakan pakaia kulit ikan jenis hiu lalu terjun ke laut, berenang menuju ke Teluk Nubai ....................
Pada waktu itu nenek moyang keluarga Sibi dan Chai masih bertempat tinggal di pulau Kayu Injau. Konon mereka dahulunya pun turun dari langit, selanjutnya bermukim di bagian timur serta barat pulau Kayu Injau. Dua bersaudara yang tua bernama Sibi dan yang muda bernama Sademboro.
Yang tua mempunyai kegemaran berburu. ia biasa pergi ke hutan sampai berhari-hari, diikuti oleh anjingnya yang setia. ia jarang berada di rumah. yang muda, Sademboro mempunyai kegemaran lain. ia gemar tinggal di pantai an memelihara ikan. Peraian di antara Tanjung Bechai Sibi Sechomo danPangasechu dahulu adalah tempat memelihara ikan.
Hingga kini penduduk setempat banyak yang percaya bahwa sejak dulu daerah ini banyak sekali ikannya. Sademboro tiap waktu jika memanggil ikan piaraannya, penuhlah permukaan laut dengan ikan Tocha.
Wei berenang terus mencari tempat tinggal yang baru. ia melewati Hol-Thaikang Nafri dan tabati. Akhirnya ia memasuki perairan Teluk Nubai dekat pulau Kayu Injau. ia sangat lelah akibat terlalu lama berada di dalam air. Berulang-ulang apabila ia melepas lelah sebentar di atas air, orang-orang selalu memanahnya. Mereka tertarik kepada siripnya yang berkilau-kila dan mengira dia ikan jenis hiu yang besar.
Wei tiak kuat lagi melanjutkan berenang. Apalagi beberapa anak panah telah melukai tubuhnya, bahkan masih aa yang tertancap di punggungnya. Ia menyembulkan kepala di atas air.
Ketika itu Sademboro berada di atas perahu, mengawasi ikan-ikannya. Kepala ikan Wei segera dilihatnya. Maka diambilnya anak panah, siap dilepas... Untunglah Wei melihat juga. ia masih sempat berteriak "Jangan aku kau panah. Aku bukan ikan biasa..." Sademboro tidak jadi memanah. ia berkayuh mendekati ikan yang bicara itu, Wei melanjutkan bicara:"Tolonglah mencabut anak panah yang menancap di tubuhku ini".
Keduanya naik ke arat. Wei ditolong pelan-pela. Setelah itu Wei melepas tutup kepala ikannya. Tampak wajah laki-laki yang tampan. Sademboro membantu menabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Luka-lukanya diparami dengan ramuan akar-akar kayu yang dilumat dengan daun-daunan. Kekuatannyapun pulih. Atas pertolongan itu Wei berterimakasih, katanya "Ipar, ada padaku biji sagu. Kekuatanku kini telah pulih atas pertolonganmu. Aku sangat berterimakasih dan berhutang budi padamu. Aku akan membalas kebaikanmu. Untukmu dan anak cucumu kubuatkan sebidang kebun sagu di daerah ini."
Maka disebarlah biji sagu di tepi sungai Nubai.
"Kebun ini kusebut Yachmani, peliharalah sebaik-baiknya,"katanya lagi.
"Lagipula, guna mengenangkan persaudaraan kita seterusnya, maka kepada anak cucumu kelak aku ijinkan mengukir gambarku baik paa badan perahu maupun pada ujung kayu pendayung(hingga kini keluarga Sademboro mengukir badan perahu dan ujung pendayung dengan gambar ikan Chai, ikan yang tidak boleh dimakan oleh keluarga tersebut)
"Mereka kemudian hari kuperkenankan juga menyimpan barang-barang perhiasan di dalam tas anyaman seperti yang saya pakai sekarang, sochri-ai"
"Apabila anak cucumu kelak melahirkan anak, maka berilah nama Chai, apabila bayi yang dilahirkan itu laki-laki dan jika perempuan namailah Rechoi. Adalagi permintaanku, sebutlah babi jantan dengan Nao dan yang betina Biae (Nao diberikan juga sebagai nama ombak laki-laki, ombak laut dari angin barat, sedang ombak yang dibawa angin timur-ombak musim hujan, disebut Biae yang berarti ombak betina).
Segala pesan Wei diperhatikan dan ia berjanji akan melaksanakannya. Weipun mengenakan pakaian ikan kembali, bersiap-siap untuk terjun. Sademboro cepat-cepat berkata "Tunggu dulu, jangan terjun dulu. Aku mempunyai saran". Wei tidak jadi terjun ia mendengarkan Sademboro.
"Kukira kamu lebih baik tinggal di sini saja. Di sebelah barat Pulau Kayu Injau terdapat celah batu, sangat aman untuk berlindung. Aku khawatir orang-orang di Nubai akan membunuhmu."
"Akan kita lihat keadaannya," Jawab Wei. Bersama-sama mereka pergi ke barat. Benar juga di sana terdapat celah batu seperti yang diceritakan Sademboro. Wei pun seger terjun menuju celah itu. Tetapi celah itu kecil, tiak dapat memuat tubuh Wei. Sejak itu tempat itu disebut Sarbache Kechaiji.
Dari atas permukaan air Wei berkata "Aku terpaksa minta diri Sademboro. Terimakasih atas pertolonganmu, lebih-lebih atas usahamu mencarikan tempat bagiku, meskipun terlalu sempit. itu membawa kebaikan bagi kita, sebab Skou tempat asalku letaknya tak terlalu jauh dari sini, pasti keluargaku akan tahu jika aku menetap di tempat ini. Kita sudah mempererat persaudaraan. Pemberianku telah kau balas dengan memberikan sesuatu padaku, maka ijinkan aku berangkat..."
"Jangan... jangan pergi Wei. Tinggalah di sini aku akan melindungimu ... Apa jawabku jika keluargamu datang kemari?"
"Aku tahu kebaikanmu Sademboro. Jika kemudian hari anak cucumu berlebih memperoleh hasil sagu atau ikan, janganlah melupakan pada keluarga saya di Skou. Kuminta juga kepadamu agar sejak sekarang kamu dan anak cucumu tidak makan ikan Chai, udang bakau, ikanputra ware, ikan chrui, ikan cumeja serta kerang jenis timsane. Aku berdoa kamu an keluargamu dijauhkan dari segala penyakit."
"Jika waktunya datang anak cucumu meninggal, maka ruh-ruh keluargamu akan kami tunggu di bukit Surbarai di dekat Taria. Olehkarenanya mandikan dulu mayatnya dengan air sungai Nubai agar mereka dapat berkumpul di bukit bersama-sama. Dan ingatlah, sewaktu angin bertiup dari arah barat lewat sungai Nubai menuju kampung, itulah tandanya bahwa ada seseorang dari keluargamu yang kami pangil ke Tarfia."
Banyak sekali pesan Wei, Sademboro mencatatnya alam hati. Wei minta diri, menuju barat.
Pada keadaan itu penduduk menyebutnya Wei Tahaiti artinya Chai di laut.
Ikan hiu Chai berenang ke Wachaiba, ia diterima oleh keluarga Toto. Wei tiak ditolong naik ke darat karena ia tidak singgah lama. Seperti di Nubai, Wei juga membuatkan kebun sagu bagi keluarga Toto.
Wei berpesan "Saya tidak menetap, tujuan saya adalah Tarfia. Pesanku bagi anak-cucumua, jika memotong pohon sagu jangan dipotong habis semuanya. Tinggalkan satu-dua batang dan beralihlah memotong sagu ke tempat lain. Dengan demikian kamu an anak cucumu tidak kekurangan makan."
Setelah selesai Wei meneruskan perjalanan yang terakhir. Sore hari ia mendekati kampung Tarfi. Penduduk seempat belum naik ke rumah, mereka masih banyak yang berada di atas air mencari ikan. Wei menunggu dari jauh. Hari mulai gelap, perlahan-lahan ia mendekati kampung. Dilihatnya seorang laki-laki tua duduk sendiri di dekat tangga. Ia menganggukkan kepala mengajak berkenalan.
"Pak tua. aku datang untuk mintya pertolongan," kata Wei. Laki-laki tua itu terkejut, lalu memperhatikan mahluk di depannya. Lembing telah siap di tangannya.
"Bunuhlah aku dengan lembingmu. Bagikan dagingku kepada semua penduduk kampung. Hanya aa satu permintaanku, janganlah makan perut besarku. Tanamlah di kebun belakang rumahmu. Kelak di sana akan tumbuh pohon ajaib."
Pak tua masih ragu-ragu.
"Bunuhlah segera diriku. Lembingmu jangan kau pegang saja, kamu dan keluargamu tidak akan mendapat alangan suatu apa."
Pendeknya permintaan Wei dipenuhi. Ditusuknya ikan hiu itu sekuat-kuatnya sampai mati. Kemudian ia berteriak minta bantuan. Orang datang bersamai-ramai mengangkat ikan hiu itu. Dagingnya dibagi-bagi, tiak ada yang tidak kebagian dan perut besarnya ditanam di kebun sesuai permintaan Wei. Selang beberapa waktu tumbuhlah pohon ajaib di kebun Tarfia. Buahnya mengeluarkan bau busuk seperti bau bangkai. Kampung itu seakan penuh dengan bangkai ikan laut, baunya membuat pusing kepala. Orang-orang tua berkumpul membicarakan kejadian itu. Semua setuju agar pohon warisan ikan hiu itu dipindahkan ke tampat yang jauh. Tidak ada gunanya memelihara pohon ajaib jika seluruh penduduk menjadi sakitkepalanya.
Demikianlah pekerjaan memindahkan pohon dilaksanakan oleh orang-orang tua yang telah banyak pengalaman. Mereka mengunakan ilmu warisan nenek moyang. Maka terlemparlah batang pohon ajaib jauh-jauh oleh angin besar dan jauhd dari daerah Nimboran. Buah-buah yang berbau busuk pecah berhamburan isinya, berupa kerang kerang kauri, alat pembayar berhaga pada waktu itu. Itulah konon asal mulanya mengapa di daerah Nimboran di pedalaman terdapat banyak peninggalan kerang laut, sedang di daerah pantai jarang ditemukan.


(Disajikan kembali oleh Suyadi Pratomo, PN Balai Pustaka 1978)
 
Cerita rakyat bali : "Jayasuprana dan Layonsari"

ceritanya :

Cerita rakyat bali : "Jayasuprana dan Layonsari"

Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun kemudian.
Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.
I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.
Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.
Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.
Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.
 
Mentiko Betuah - Aceh

ceritanya :

Mentiko Betuah


Konon, pada zaman dahulu di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja yang kaya-raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena kedermawanannya. Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun menikah dengan permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin punya keturunan, Raja itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai yang airnya sangat dingin untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai seorang anak yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan.
Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk menuju ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai-sungai, serta mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat dengan membawa bekal secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana, mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka. Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana.
Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri diketahui telah mengandung satu bulan. Delapan bulan kemudian, Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan diberinya nama Rohib. Raja sangat gembira menyambut kelahiran putranya itu, yang selama ini diidam-idamkannya. Raja kemudian memukul beduk untuk memberitahukan kepada seluruh rakyatnya agar berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya, Raja menyampaikan bahwa ia hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas rahmat Tuhan yang telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya, selamatan pun dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.
Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat manja. Waktu terus berlalu, Rohib pun bertambah besar. Rohib kemudian dikirim oleh orang tuanya ke kota untuk belajar di sebuah perguruan. Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan dari ayahnya agar belajar dengan tekun. Setelah itu, ia pun berpamitan kepada orang tuanya. Sudah beberapa tahun Rohib belajar, Rohib belum juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena sudah terbiasa manja. Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin menghukumnya, ketika ia kembali ke istana.

“Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala! Sudah tidak mau mendengar nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai mati!” perintah sang Raja. Mendengar perintah suaminya kepada pengawal, Permaisuri pun segera bersujud di hadapan suaminya.
“Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon, Rohib jangan dihukum mati. Berilah ia hukuman lainnya!” pinta sang Permaisuri kepada suaminya.
“Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!” jawab sang Raja dengan geramnya.
“Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan syarat, Kakanda bersedia memberinya uang sebagai modal untuk berdagang,” usul sang Permaisuri.
“Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang yang aku berikan kepada Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk berdagang,” jawab sang Raja.
“Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.
“Baiklah, Bunda! Rohib bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!” jawab Rohib.
“Jika kamu melanggar lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!” tambah Raja menegaskan kepada putranya itu.
Setelah itu, Rohib berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi berdagang. Ia pergi dari satu kampung ke kampung dengan menyusuri hutan belantara. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan anak-anak kampung yang sedang menembak burung dengan ketapel.
“Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu, karena burung itu tidak berdosa.” tegur si Rohib kepada anak-anak itu.
“Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami,” bantah salah seorang dari anak-anak kampung itu.
“Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang,” tawar Rohib.

Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.
Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan perjalanannya. Belum jauh berjalan, ia menemukan lagi orang-orang kampung yang sedang memukuli seekor ular. Rohib tidak tega melihat perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian memberikan uang kepada orang-orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu. Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri hutan lebat menuju ke sebuah perkampungan. Demikian seterusnya, selama dalam perjalanannya, ia selalu memberi uang kepada orang-orang yang menganiaya binatang, sehingga tanpa disadarinya uang yang seharusnya dijadikan modal berdagang sudah habis.
Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika ia pulang ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya. Apalagi ia telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya tidak akan mengampuninya lagi. Oleh karena kelelahan seharian berjalan, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon itu sambil menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya. Rohib sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.

“Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu,” kata ular itu. Melihat ular itu dapat berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.
“Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?” tanya si Rohib mulai akrab.
“Aku adalah Raja Ular di hutan ini,” jawab ular itu.
“Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?” ular itu balik bertanya kepada si Rohib.
“Aku adalah si Rohib,” jawab Rohib, lalu menceritakan semua masalahnya dan semua kejadian yang telah dialami selama dalam perjalanannya.
“Kamu adalah anak yang baik, Hib,” kata Ular itu dengan akrabnya.
“Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang kampung yang menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima kasihku,” tambah ular itu lalu kemudian mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.
“Benda apa itu?” tanya si Rohib penasaran.
“Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta, pasti akan dikabulkan. Namanya Mentiko Betuah,” jelas Ular itu, lalu pergi meninggalkan si Rohib.

Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Mentiko Betuah itu. “Waw, hebat sekali benda ini. Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan ayah,” gumam Rohib dengan perasaan gembira. Berbekal Mentiko Betuah itu, Rohib memberanikan diri kembali ke istana untuk menghadap kepada ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana, terlebih dahulu ia memohon kepada Mentiko Betuah agar memberinya uang yang banyak untuk menggantikan modalnya yang telah dibagi-bagikan kepada orang-orang kampung, dan keuntungan dari hasil dagangannya. Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang telah membawa uang yang banyak dari hasil dagangannya. Akhirnya, Rohib diterima kembali oleh ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati. Semua itu berkat pertolongan Mentiko Betuah, pemberian ular itu.
Setelah itu, Rohib berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Mentiko Betuah itu agar tidak hilang. Suatu hari, ia menemukan sebuah cara, yaitu ia hendak menempanya menjadi sebuah cincin. Lalu dibawanya Mentiko Betuah itu kepada seorang tukang emas. Namun tanpa disangkanya, tukang emas itu menipunya dengan membawa lari benda itu. Oleh karena Rohib sudah bersahabat dengan hewan-hewan, ia pun meminta bantuan kepada mereka. Tikus, kucing dan anjing pun bersedia menolongnya. Anjing dengan indera penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran si Kucing dan si Tikus untuk mencari cara bagaimana cara mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas. Pada tengah malam, si Tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung si Tukang Emas yang sedang tertidur. Tak berapa lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Mentiko Betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus segera mengambil benda itu.
Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, si Tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya. Pada saat kedua temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia segera menghadap kepada si Rohib. Dengan demikian, si Tikuslah yang dianggap sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan si Anjing merasa sangat bersalah, karena tidak berhasil membawa Mentiko Betuah. Ketika diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Mentiko Betuahnya, yang dibawa oleh si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si Tikus telah melakukan kelicikan.
Menurut masyarakat setempat, bahwa berawal dari cerita inilah mengapa tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.
 
Legenda Sipiso Somalim, Cerita Rakyat Sumut

Sumatera Utara

Legenda Sipiso Somalim

Dahulu kala hiduplah seorang raja di daerah Rura Silindung yang bernama Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan, Raja yang sangat makmur dan kaya raya. Raja ini mempunyai seorang saudara putri yang bernama siboru Sandebona yang kemudian kawin dengan raja Panuasa dari kampung Uluan.Suatu saat Siboru sandebona mengandung seorang anak laki-laki, akan tetapi setelah genap waktunya bayi ini tidak kunjung lahir, kemudian Siboru Sandebona kebingungan, lalu menemui seorang dukun sakti untuk menanyakan apa yang bakal terjadi dengan anak yang ada di dalam kandungannya. Dusun sakti kemudian memberikan jawaban bahwa bayi ini akan menjadi seorang laki-laki yang memiliki kharisma dan kelebihan tersendiri.
Begitulah setelah lahir, bayi ini diberi nama Sipiso Somalim. Setelah dewasa Sipiso Somalim sudah menunjukkan kelebihan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Pada suatu saat dia disuruh orangtuanya untuk membajak sawah dengan menggunakan tenaga kerbau, dia hanya duduk tenang, namun kerbau ini dapat disuruhnya bekerja sendiri untuk membajak sawah itu. Dalam sikapnya terhadap orang-orang sekitarnya, dia sangat sopan dan berbudi baik. Bahkan semua tindak tanduknya mencerminkan sikap seorang anak-raja.
Pada usia sudah matang, Sipiso Somalim tetap saja pada pendiriannya untuk meminang putri pamannya, ibunya tidak kuasa lagi menolak permintaan Sipiso Somalim. Lalu suatu ketika ibunya memberangkatkan Sipiso Somalim yang didampingi seorang pengawalnya yaitu Sipakpakhumal.
Dengan mengenakan pakaian kebesaran serta bekal secukupnya termasuk “Pungga Haomasan” (obat penangkal lapar dan haus), Sipiso Somalim berangkat menuju kampung pamannya Rura Silindungdn menelusuri hutan lebat, dengan jalan yang penuh resiko, seperti ancaman dari binatang buas mereka pun berjalan hingga suatu hari tiba pada sebuah pancuran yang sangat sejuk. Melihat sejuknya air pancuran ini, Sipiso Somalim meminta agar mereka berhenti dan mandi untuk melepas rasa letih. Kemudian dia menanggalkan pakaian kebesarannya dan selanjutnya meminta Sipakpakhumal untuk menjaganya.
Adapun Sipakpakhumal sejak keberangkatannya dengan Sipiso Somalim sudah memiliki niat jahat bagaimana agar dia dapat berperan sebagai Sipiso Somalim agar selanjutnya dapat memperistri putri Punsahang Mataniari. Maka dengan diam-diam dia mengenakan pakaian kebesaran Sipiso Somalim seperti layaknya seorang raja. Karena asiknya Sipiso Somalim mandi, dia tidak menghiraukan apa yang telah diperbuat Sipakpakhumal tadi. Setelah siap mandi betapa terkejutnya Sipiso Somalim menyaksikan Sipakpakhumal yang telah mengenakan pakainnya, dan sama sekali dia tidak dapat berbuat apa-apa, karena dengan pakaian ini kharisma Sipiso Somalim langsung pindah Sipakpakhumal.
Sipakpakhumal kemudian dengan menghunus pedang, dan suara lantang berkata, “sejak sekarang ini sayalah yang menjadi Sipiso Somalim dan kau menjadi Sipakpakhumal, kita akan terus menuju kampung Pusahang Mataniari dan jangan sekali-kali bicara pada siapapun bahwa aku telah menggantikanmu sebagai Sipiso Somalim, dan apabila hal ini kau ceritakan pada siapapun kau akan kubunuh, mengerti,” . Mendengar semua ini Sipiso Somalim tidak dapat bebuat apa-apa kecuali hanya tunduk serta menerima apa yang terjadi.
Perjalananpun dilanjutkan dan sejak itu, Sipiso Somalim dipanggil menjadi Sipakpakhumal dan demikian sebaliknya, Sipakpakhumal menjadi Sipiso Somalim. Selama dalam perjalanan, Sipakpakhumal yang sebelumnya adalah Sipiso Somalim tetapmenunjukkan sikap baik pada Sipiso Somalim, dan selama itu pula Sipakpakhumal tidak habis piker bagaimana perasaan ibu yang dia tinggalkan sebab sebelum berangkat dia berpesan kepada ibunya agar ibunya memperhatikan sebatang pohon yang dia tanam di dekat rumahnya, apabila pohon itu layu berarti dia mendapat kesulitan di tengah jalan, dan apabila mati maka dia telah mati diperjalanan.
Setelah berjalan beberapa hari akhirnya mereka tiba di Rura Silindung tempat Punsahang Mataniari-Punsahang Mata ni Bulan. Meilhat Sipiso Somalim datang Punsahang Mataniari terus tahu bahwa dia adalah anak saudarinya yaitu Siboru Sandebona. Lalu dengan langsung dia memeluk Sipiso Somalim meskipun sebenarnya dia memiliki firasat bahwa ada yang kurang beres dengan keponakannya itu, tetapi mereka tidak menunjukkan bahkan memperlakukannya Sipiso Somalim seperti keluarganya sendiri. Adapun Sipakpakhumal yang merupakan Sipiso Somalim yang sebenarnya tetap diam dan tidak berani berbuat apa-apa dan dia diperlakukan sebagai layaknya seorang pembantu.
Lama kelamaan Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim makin menunjukkan sikap yang kurang baik terhadap keluarga pamannya maupun kepada Sipakpakhumal. Sebagaimana tujuan keberangkatan Sipiso Somalim untuk meminang putri pamannya, suatu ketika dia menyampaikan hasrat tersebut kepada pamannya. Akan tetapi untuk sementara, pamannya menolak dengan cara halus dengan alasan agar jangan terburu-buru dulu. Semua ini tentu karena pamannya makin hari makin curiga terhadap Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim.
Rasa gelisah tetap menyelimuti hati ibu Sipiso Somalim, di kampung halaman, lalu kemudian dia kembali mengirimkan seekor kerbau yang bernama “Horbo Sisapang Naualu”. Ketika kerbau ini sampai Punsahang Mataniari memanggil Sipiso Somalim untuk mengiring kerbau ini kekandang. Akan tetapi saat dia mendekat kerbau ini mengamuk dan hampir menanduk Sipakpakhumal. Dengan kejadian ini, Punsahang Mataniari semakin menyadari bahwa ada yang tidak beres diantara Sipiso Somalim dan Sipakpakhumal. Kemudian Punsahang Mataniari memanggil Sipakpakhumal untuk mengiring kerbau tadi. Pada saat Sipakpakhumal mendekat, kerbau ini langsung mendekat seperti bersujud.
Kedatangan kerbau ini, bagi Sipakpakhumal mengetahui bahwa itu sengaja dikirim oleh ibunya dari kampung halaman. Sehingga pada saat dia menggembalakan kerbau ini di sawah dia membuka tanduk kerbau ini ternyata di dalamnya terdapat berbagai jenis alat musik dan perhiasan kerajaan sementara kerbau ini membajak sawah, dia memainkan alat-alat musik tadi sehingga karena merdunya segenap burung yang terbang diangkasa turut bernyanyi ria.
Pada siang hari, datanglah putri Punsahang Mataniari untuk mengantar makanan Sipakpakhumal. Setelah dekat, dia sangat terkejut mendengar musik yang sangat merdu yang diiringi oleh nyanyi ria yang banyak bertengger diatas dahan, ternyata yang memainkan musik ini adalah Sipapakhumal. Lebih terkejut lagi, pada saat dia memperhatikan bahwa kerbau tersebut membajak sawah tanpa digembalakan Sipakpakhumal.
Dengan rasa gugup dan ketakutan, Sipakpakhumal menerima makanan itu dari putri Punsahang Mataniari, dasar curiga, putri Punsahang Mataniari pamit seolah-olah pulang ke rumah akan tetapi dia bersembunyi dibalik sebuah pohon besar untuk mengamati dari dekat tindak tanduk Sipakpakhumal. Sipakpakhumal merasa bahwa putri Punsahang Mataniari sudah jauh lalu diambilnya nasi tersebut dan ditaburkannya untuk makanan burung yang semuanya mengelilingi Sipakpakhumal. Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengambil sebuah benda kecil yang disebut “pungga haomasan”.
Pungga haomasan ini kemudian dicium dan dijilat lalu seketika itu dia kenyang sebagaimana layaknya makan nasi. Pungga haomasan ini diberikan ibunya saat dia berangkat dahulu dan sampai saat itu tetap berada ditangannya. Sehingga selama ini pun Punsahang Mataniari sebenarnya juga curiga karena pengetahuannya Sipakpakhumal tidak pernah makan tetapi tetap mengaku kenyang. Menyaksikan semua apa yang terjadi putri Punsahang Mataniari cepat-cepat menemui dan memberitahukan apa yang dia saksikan kepada ayahnya Punsahang Mataniari, dan ayahnya pun semakin yakin bahwa Sipakpakhumal yang dijadikan pembantu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya.
Sementara itu, Sipakpakhumal yang mengaku Sipiso Somalim semakin mendesak pamannya agar dia dikawinkan dengan putri pamannya. Hingga pada suatu ketika, pamannya mempertanyakan kepada putrinya yang paling sulung agar berkenan menerima Sipakpakhumal yang mengaku sebagai Sipiso Somalim menjadi suaminya akan tetapi dia menolak permintaan itu. Kemudian Punsahang Mataniari menawarkan kepada anak perempuannya nomor dua dan ternyata putrinya itu mau. Lalu malalui upacara adat mereka dikawinkan.
Putri sulung Punsahang Mataniari meminta kepada ayahnya untuk menggelar upacara dengan membunyikan seperangkat musik dan mengundang semua pemuda yaitu anak raja-raja yang berada disekeliling kampungnya. Untuk menari dan dia ingin memilih salah satu dari antara mereka untuk menjadi suaminya. Acara sudah digelar akan tetapi tak satu orangpun dari pemuda itu berkenan di hati putrinya Punsahang Mataniari, namun diluar dugaan, tiba-tiba seorang pemuda menunggang kuda dan berpakaian kerajaan tiba-tiba muncul dipesta itu, semua orang tercengang dan seketika itu pula pemuda itu meninggalkan pesta itu.
Dengan kehadiran pemuda itu, sang putri mengatakan kepada ayahnya bahwa dia sangat tertarik kepada pemuda tersebut dan meminta kepada ayahnya agar dia menyuruh para pengawal untuk mencari asal pemuda tadi. Para pengawalnyapun mengikuti jejak pemuda tadi dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yaitu tempatnya Sipakpakhumal untuk mengembalakan ternak tuannya. Para pengawalmya heran sebab ada tanda-tanda bahwa Sipakpakhumal lah lelaki yang baru saja hadir di pesta itu, karena sesaat setelah Sipakpakhumal berada di gubuknya lalu ia menukar pakaiannya seperti semula dan pakaian kebesaran itu adalah pemberian ibunya yang dikirimkan melalui kerbau itu dan setelah dia sampai dipondoknya, pakaian kebesaran itupun ditanggalkan dan memakai pakaian biasa.
Para pengawal kemudian kembali dan melaporkan kepada Punsahang Mataniari bahwa mereka telah tidak menemukan jejak pemuda itu. Dengan hati tidak sabar, Punsahang Mataniari kemudian memangil si Piso Somalim serta bertanya apa yang pernah terjadi antara mereka berdua. Karena Punsahang Mataniari mengancam akan membunuh apabila dia bohong maka Si Piso Somalim mengaku dengan terus terang apa yang telah dia lakukan terhadap Sipakpakhumal sehingga Sipiso Somalim yang sebenarnya akhirnya dijadikan sebagai Sipakpakhumal dan demikian juga sebaliknya.
Dengan perasaan berang sebenarnya ingin menghukum Sipakpakhumal ini, akan tetapi karena Punsahanng Mataniari sadar bahwa Sipakpakhumal telah terlanjur menantunya sehingga dia tidak dapat berbuat apa-apa.Begitupun karena Sipakpakhumal menyadari kesalahannya dan merasa hidupnya akan terancam, besok harinya pada pagi-pagi buta dia melarikan diri beserta istrinya yang menurut cerita berangkat menuju Sumatera Timur.
Pada kedua kalinya, atas permintaan putri Punsahang Mataniari, kembali digelar acara adat dengan membunyikan seperangkat alat musik, dan pada saat acara berakhir tiba-tiba seorang pemuda dengan menunggang kuda “Siapas Puli” kembali hadir setelah menari-nari sejenak akhirnya menghilang. Baik Punsahang Mataniari maupun putri sulung menganggap bahwa yang datang itu adalah Sipiso Somalim yang sebenarnya dan yang selama 7 tahun telah terlanjur mereka jadikan sebagai pembantu dan semua ini adalah atas ulah dari kebohongan Sipakpakhumal yang selama ini mengaku sebagai Sipiso Somalim.
Maka pada saat itu juga, Punsahang Mataniari memerintahkan para pengawal untuk menjemput Sipakpakhumal dari tempatnya dan membawanya terhadap Punsahang Mataniari. Pakpakhumal sebenarnya apa yang terjadi dan sebelumnya dia menolak untuk menemui Punsahang Mataniari akan tetapi setelah dibujuk akhirnya diapun mau.
Pertemuan dengan Punsahang Mataniari beserta seluruh keluarganya sangat mengharukan. Pada saat itu akhirnya Sipakpakhumal yang sebenarnya adalah Sipiso Somalim menceritakan semua yang terjadi sejak diberangkatkan Ibunya 7 tahun yang lalu akhirnya mendapat malapetaka atas ulah licik Sipakpakhumal yang sebenarnya. Pada saat itu pamannya menyampaikan maaf yang sebenarnya atas apa yang terjadi selama 7 tahun ini.
Suasanapun berobah, suatu saat pamannya mengutarakan bahwa mereka memiliki hasrat untuk menjadikan Sipiso Somalim sebagai menantunya. Pada awalnya Sipiso Somalim menolak akan tetapi setelah dia pertimbangkan masak-masak akhirnya dia terima dan pesta perkawinanpun dilaksanakan dengan menggelar upacara adat.
Sipiso Somalim akhirnya menikah denngan putri pamannya sesuai dengan keberangkatannya untuk menemui pamannya Punsahang Mataniari 7 tahun yang silam dan pada suatu waktu dia beserta istrinya meninggalkan Rura Silindung dan kembali menemui Ibunya di kampung halamannya yaitu Kampung Uluan.
 
@TS
pake spoiler aja...biar yang baca ga tralu cape geser scrollnya...

wahh...

udah keburu dibikin threadnya yah...

yodah deh,,,

tambahin yah...


Jawa Tengah - Indonesia
image.gif

Gunung Wurung adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Bentuk gunung ini cukup unik, karena tingginya hanya berkisar 80 meter dan tidak memiliki puncak tertinggi. Menurut masyarakat setempat, gunung ini dibuat oleh para dewa dari Kahyangan. Namun, mereka telah menghentikan pekerjaannya sebelum gunung itu selesai dibuat. Mengapa para dewa tidak menyelesaikan pembuatan gunung itu hingga tuntas? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Gunung Wurung berikut ini.

* * *

Alkisah, di sebuah daerah (yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Karangsambung), terdapat sebuah perkampungan kecil yang wilayahnya terdiri dari hamparan tanah datar. Tak satu pun gundukan tanah atau perbukitan yang terlihat di sekitarnya.

Di suatu malam yang sunyi senyap, para sesepuh kampung tampak sedang berdoa kepada para dewa di Kahyangan. Dengan penuh khusyuk, mereka memohon agar dibuatkan sebuah gunung di dekat tempat tinggal mereka. Rupanya, doa mereka dikabulkan oleh para dewa. Pembuatan gunung itu akan dimulai besok harinya dan akan dikerjakan dalam waktu semalam. Tetapi dengan syarat, tak seorang pun warga yang boleh melihat pada saat gunung itu dibuat.

Para sesepuh kampung menyanggupi persyaratan itu. Keesokan paginya, mereka mengumpulkan para warga untuk menyampaikan berita gembira dan persyaratan tersebut.

“Wahai, seluruh wargaku! Kami menghimbau kepada kalian semua agar pada saat hari menjelang senja, masuklah ke dalam rumah kalian masing-masing dan tak seorang pun yang boleh keluar rumah hingga matahari terbit besok pagi!” ujar seorang sesepuh kampung.

“Maaf, Tuan! Bencana apa yang akan melanda kampung kita? Kenapa kami dilarang keluar rumah?” tanya seorang warga dengan bingung.

“Ketahuilah semua bahwa para dewa akan membuatkan sebuah gunung untuk kita dan tak seorang pun yang boleh melihat ketika mereka sedang bekerja,” jelas seorang sesepuh kampung yang lain.

Setelah mendengar penjelasan itu, barulah para warga mengerti mengapa mereka dilarang keluar rumah. Ketika hari menjelang senja, suasana kampung mulai sepi. Seluruh warga telah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Tak berapa lama kemudian, para dewa pun turun dari Kahyangan untuk mulai bekerja membangun sebuah gunung di daerah hulu kampung. Mula-mula mereka membangun tiang-tiang yang kokoh.

Setelah separuh malam bekerja, para dewa telah selesai membangun tiang-tiang tersebut. Tiang-tiang tersebut kemudian mereka timbuni dengan tanah hingga nantinya membentuk sebuah gunung. Para dewa bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka terus bekerja hingga larut malam tanpa mengenal lelah.

Ketika hari menjelang pagi, pembuatan gunung itu hampir selesai, tinggal menyelesaikan penimbunannya yang tersisa sedikit lagi. Pada saat para dewa masih sibuk bekerja, tiba-tiba dari arah kampung seorang gadis berjalan menuju ke luk ulo (sungai) yang berada di sekitar tempat pembuatan gunung itu. Rupanya, gadis itu tidak mengetahui pengumuman tentang larangan keluar rumah pada malam itu. Sebab, pada waktu pengumuman itu disampaikan oleh salah seorang sesepuh kampung, ia tidak hadir dan tak seorang pun warga yang memberitahu tentang hal itu.

Gadis itu datang ke sungai karena ingin mencuci beras untuk dimasak. Ia berjalan tanpa memperhatikan sekelilingnya karena suasana masih gelap. Pada saat akan turun ke sungai, gadis itu terperanjat karena tiba-tiba di hadapannya ada sebuah bukit.

“Hah, kenapa tiba-tiba ada bukit di tempat ini? Padahal, hari-hari sebelumnya tempat ini masih datar? Ya Tuhan, mimpikah aku ini?” gumam gadis itu seolah tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya.

Namun, begitu melihat beberapa sosok makhluk yang menyeramkan bergerak cepat sambil mengangkat batu besar tanpa sepatah kata pun, gadis itu langsung berlari meninggalkan sungai karena ketakutan.

“Tolooong… Tolooong… Tolong aku!” teriaknya dengan keras.

Gadis itu terus berlari tanpa mempedulikan lagi keadaan dirinya, sehingga beras yang hendak dicucinya dilemparkan begitu saja. Tak ayal lagi, beras tersebut pun berceceran di sekitar bukit. Konon, beras tersebut menjelma menjadi bebatuan yang bentuknya mirip dengan beras.

Para dewa yang mendengar suara teriakan gadis itu menjadi tersentak. Mereka pun menyadari bahwa ternyata pekerjaan mereka membuat gunung telah disaksikan oleh manusia.

“Penduduk kampung telah melanggar perjanjian kita. Ayo kita tinggalkan tempat ini!” seru salah satu dewa kepada dewa yang lainnya.

Akhirnya, para dewa tersebut menghentikan pekerjaannya. Mereka meninggalkan tempat itu dan bergegas kembali ke Kahyangan. Padahal, pembangunan gunung itu sudah hampir jadi. Akhirnya, batallah pembuatan gunung itu.

* * *

Demikianlah cerita Legenda Gunung Wurung dari daerah Kebumen, Jawa Tengah. Masyarakat setempat memberikan “Gunung Wurung” karena menganggap gunung ini belum jadi atau belum selesai. Kata wurung dalam bahasa Jawa berarti belum jadi atau batal. Secara geologis, Gunung Wurung terbentuk dari batuan intrusi, materi batuan yang sebelumnya berupa bahan cair, pijar, dan panas berasal dari magma di perut bumi yang hendak menerobos permukaan, namun terlanjur membeku sebelum muncul ke permukaan. Sedangkan batuan berwarna yang mirip dengan beras disebut dengan batu diabas.

Dengan membaca cerita ini, setidaknya kita telah mengetahui mengapa Gunung Wurung berbentuk demikian (hanya separuh), yaitu karena pembangunannya tidak diselesaikan oleh para dewa, sebagaimana yang diyakini oleh empunya cerita.


Kalimantan Barat - Indonesia


Putung Kempat adalah seorang gadis perempuan malang yang tinggal di daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Ia beberapa kali tertimpa penyakit akibat ulah kelima saudara laki-lakinya. Ulah apa yang dilakukan oleh kelima bersaudara itu terhadap Putung Kempat? Ikuti kisahnya dalam cerita Kisah Putung Kempat berikut ini!

* * *

Alkisah, di atas Gunung Kujau yang hijau dan sejuk di daerah Kalimantan Barat, hiduplah sepasang suami-istri dengan keenam anaknya. Sang suami bernama Sabung Mengulur, sedang istrinya bernama Pukat Mengawang. Keenam anaknya yaitu berturut-turut dari yang sulung ke yang paling bungsu adalah Belang Pinggang, Suluh Duik, Buku Labuk, Terentang Temanai, Putung keempat, dan Bui Nasi. Dari keenam bersaudara tersebut, hanya Putung Kempat yang perempuan. Sebenarnya, Sabung Mengulur dan istrinya mempunyai seorang lagi anak laki-laki yang bernama Pulung Gana, namun anak itu meninggal ketika masih kecil. Untuk menghidupi keenam putra-putrinya, Sabung Mengulur dan istrinya bercocok tanam di ladang.

Suatu ketika, Sabung Mengulur mendapat firasat buruk bahwa hidupnya di dunia akan lebih lama lagi. Namun, ia tidak memberitahukan hal itu kepada istri dan anak-anaknya. Suatu hari, ia hanya berpesan kepada keenam anaknya ketika akan masuk ke dalam kepok[1] agar keenam anaknya membuka lahan baru untuk bercocok tanam.

“Wahai, anak-anakku! Sebaiknya kalian membuat ladang baru agar kalian bisa hidup,” pesan Sabung Mengulur.

Keenam anak itu tidak terlalu menanggapi pesan itu karena menganggap ayah mereka hanya bergurau. Ayah mereka masih terlihat sehat dan tidak sedang mengidap penyakit apapun. Hari sudah menjelang sore, namun Sabung Mengulur belum juga keluar dari kepok. Ketika keenam anaknya menengok ke dalam kepok itu ternyata sang ayah menghilang entah ke mana, mereka hanya menemukan beraneka ragam bibit tanaman.. Barulah saat itu istri dan keenam anaknya menyadari bahwa pesan ayahnya itu tidak main-main. Betapa sedih istri Sabung Mengulur dan keenam anaknya.

Kini, keenam bersaudara itu telah menjadi yatim. Mereka harus bekerja untuk menghidupi diri mereka. Akhirnya, mereka pun melaksanakan pesan sang ayah dengan membuka ladang di hutan. Mereka bergotong-royong dan bergiliran mengolah, menanami dan menjaga ladang mereka.

Pada suatu malam, ketika giliran Bui Nasi menjaga ladang, tiba-tiba ia diserang oleh sesosok makhluk raksasa. Rupanya, raksasa itu adalah penjelmaan roh saudaranya, Puyung Gana, yang merasa berhak atas tanah itu. Bui Nasi tidak mengetahui hal itu, sehingga terjadilah perkelahian sengit antara kedua orang bersaudara itu. Perkelahian itu berlangsung hingga pagi, namun tak satu pun yang dapat dinyatakan kalah atau menang. Akhirnya keduanya berdamai setelah mengetahui bahwa mereka adalah bersaudara. Mereka bersepakat untuk mengolah lahan itu secara bersama-sama. Bahkan, raksasa itu bersedia mengajari Bui Nasi tentang cara bercocok tanam.

“Dengarlah, Dik! Jika kamu hendak mengolah lahan dengan baik, perhatikanlah gugusan bintang di langit! Bintang tiga menandakan waktu baik untuk mulai mengejarkan ladang. Bintang lima menandakan musim baik untuk menebang kayu, sedang bintang empat menandakan padi dan tanaman akan diserang oleh babi hutan atau hama,” ujar Payung Gana.

Bui Nasi memperhatikan ajaran Payung Gana dengan sungguh-sungguh, kemudian menyampaikannya kepada kelima suadaranya yang lain. Akhirnya keenam bersaudara itu mengolah ladang mereka berdasarkan ajaran Payung Gana, sehingga mendapat hasil panen yang melimpah. Untuk menyambut keberhasilan tersebut, mereka mengadakan pesta panen selama tujuh hari tujuh malam. Mereka mandi-mandi di sungai atau yang biasa disebut mandi simburan dengan penuh kegembiraan.

Pada acara mandi simburan tersebut, mereka harus saling memercikkan air antara satu dengan yang lain agar terhindar dari penyakit. Namun, mereka lupa memercikkan air kepada Putung Kempat, sehingga Putung Kempat ditimpa penyakit kusta. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh bercak putih kemerahan seperti panu dan di tepinya terdapat penebalan seperti kurap. Kelima saudara Putung Kempat menjadi panik karena takut tertular penyakit kusta yang sulit untuk disembuhkan itu. Akhirnya mereka pun bermusyawarah.

“Apa yang harus kita lakukan, Bang?” tanya Bui Nasi kepada Belang Pinggang.

“Kita semua tahu, penyakit kusta itu sangat sulit untuk disembuhkan. Bagaimana jika Putung Keempat kita asingkan saja?” usul Belang Pinggang.

Akhirnya, kelima putra Sabung Mangulur tersebut bersepakat mengasingkan Putung Kempat dengan cara menghanyutkannya di Sungai Sepauk. Betapa sedih hati Putung Kempat akan berpisah dengan saudara-saudaranya. Namun, ia tak kuasa untuk menolak keputusan itu. Putung Kempat didudukkan di atas piring pusaka di dalam rakit dan dibekali keperluan hidup. Kelima saudaranya berharap semoga saudara perempuan itu ditemukan oleh seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya.

Setelah sehari-semalam terombang-ambing di atas Sungai Sepauk, rakit yang ditumpangi Putung Kempat tersangkut pada bubu ikan milik Aji Melayu. Aji Melayu adalah seorang yang kaya dan sakti dan tinggal di sekitar aliran Sungai Sepauk. Seperti biasanya, pagi-pagi sekali Aji Melayu pergi ke sungai untuk memeriksa bubunya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis duduk termenung di atas rakit yang tersangkut pada bubunya.

“Hai, siapa gadis itu?” tanyanya dalam hati, seraya menghampiri gadis itu.

“Hai, gadis cantik! Engkau siapa dan kenapa berada di tempat ini?” tanya Aji Melayu kepada Putung Kempat.

Putung Kempat belum sempat menjawab namun Aji Melayu kembali bertanya setelah melihat penyakit yang diderita Putung Kempat.

“Apa yang terjadi pada tubuhmu? Bukankah itu penyakit kusta?”

“Benar, Tuan!” jawab Putung Kempat dengan perasaan malu.

Setelah itu, Putung Kempat memperkenalkan diri dan menjelaskan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya hingga ia berada di tempat itu. Mendengar cerita itu, Aji Melayu merasa iba kepada gadis malang itu dan membawanya pulang ke rumah untuk diobati. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Aji Melayu berhasil menyembuhkan penyakit Putung Kempat sehingga kembali cantik seperti semula. Aji Melayu pun berniat untuk melamar Putung Kempat karena terpesona melihat kecantikannya. Putung Kempat bersedia menerima lamaran tersebut tapi dengan syarat Aji Melayu harus melalui berbagai ujian. Aji Melayu lulus ujian dan menikahi Putung Kempat.

Kabar tentang pernikahan Putung Kempat dengan Aji Melayu didengar oleh saudara-saudaranya yang berada di atas Gunung Kujau. Akhirnya, kelima bersaudara tersebut datang ke tempat Aji Melayu untuk menemui Putung Keempat. Di hadapan Aji Melayu, mereka memperkenalkan diri terlebih dahulu lalu menyampaikan maksud kedatangan mereka.

“Maaf, Tuan! Kami berlima adalah saudara-saudara Putung Kempat dari Gunung Kujau. Bolehkah kami bertemu dengan saudara perempuan kami itu?” pinta Puyung Gana mewakili keempat adiknya.

“Jika kalian ingin bertemu dengan Putung Kempat, kalian harus melalui beberapa ujian,” ujar Aji Melayu.

“Apakah ujian itu, Tuan?” tanya Bui Nasi.

“Ujian pertama yang harus kalian lalui adalah kalian harus tidur di atas selembar daun pisang hingga besok pagi. Tapi daun itu tidak boleh meninggalkan bekas robek sedikit pun,” jelas Aji Melayu.

Meskipun ujian itu termasuk berat, namun mereka berhasil melaluinya berkat kesaktian mereka. Setelah memuji keberhasilan mereka, Aji Melayu kemudian menjelaskan tentang ujian yang akan mereka lalui berikutnya.

“Begini, wahai Anak Muda Sekalian! Saat ini saya sedang bermusuhan dengan Aji Kumbang dari daerah Batu Kantuk di hulu Sungai Kapuas. Jika kalian berhasil mengalahkannya, maka kalian boleh menemui Putung Kempat. Apakah kalian bersedia menerima ujian ini?” Aji Melayu menawarkan.

“Baiklah, kami menerima tawaran Tuan. Tapi, kami ada satu permintaan,” sahut Bui Nasi, “jika kami berhasil melalui ujian ini, kami tidak hanya diperbolehkan bertemu dengan Putung Kempat, tapi juga diperbolehkan mengajaknya kembali ke Gunung Kujau.”

Aji Melayu menerima permintaan tersebut. Kelima bersaudara itu pun berangkat ke hulu Sungai Kapuas untuk menyerang Aji Kumbang. Pernyerangan itu dipimpin oleh Bui Nasi. Berkat kesaktian dan berbagai strategi yang dilakukan, akhirnya mereka berhasil mengalahkan Aji Kumbang. Keberhasilan mereka pun disambut baik oleh Aji Melayu. Sesuai dengan janjinya, maka Aji Melayu memperbolehkan kelima bersaudara itu membawa Putung Kempat kembali ke Gunung Kujau meskipun dalam keadaan hamil tua.

Setibanya di Gunung Kujau, kelima bersaudara bersuka ria sambil memukul-mukul gong pusaka keluarga yang bernama Gong Tengkang untuk menyambut kedatangan Putung Kempat. Namun tanpa mereka sadari, ternyata bunyi gong itu membuat pening kepala Putung Kempat yang akhirnya jatuh sakit. Dalam keadaan sakit, Putung Kempat pun melahirkan putrinya yang pertama dan diberi nama Dayang Lengkong. Selang beberapa hari tinggal di Gunung Kujau, sakit Putung Kempat tak kunjung sembuh. Akhirnya, kelima bersaudara memutuskan untuk mengembalikan Putung Kempat dan anaknya kepada Aji Melayu. Setelah menyerahkan saudara perempuannya itu kepada Aji Melayu, mereka langsung berpamitan untuk kembali ke Gunung Kujau. Aji Melayu pun segera mengobati Putung Kempat dan berhasil menyembuhkannya.

Suatu hari, ketika sedang duduk menimang putrinya di pendopo istana, Aji Melayu bertanya kepada kepada istrinya, “Dinda, kalau boleh Kanda tahu, apa gerangan yang menyebabkan Dinda jatuh sakit saat berada di Gunung Kujau?”

Putung Kempat pun bercerita bahwa ia jatuh sakit akibat mendengar bunyi Gong Tengkang pada saat kelima saudaranya menyambut kedatangannya. Bagaikan disambar petir telinga Aji Melayu mendengar cerita itu. Ia langsung naik pitam dan sangat marah atas perbuatan kelima saudara istrinya itu yang dianggapnya tidak bertanggung jawab. Ia pun berniat untuk memberi pelajaran kepada mereka.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada istrinya, berangkatlah Aji Melayu ke Gunung Kujau dengan menggunakan perahu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia merasa sangat rindu kepada anak dan istrinya. Akhirnya, ia memutar balik perahunya dan membatalkan perjalanannya ke Gunung Kujau. Hal itu ia lakukan berulangkali hingga akhirnya suatu hari Putung Kempat memberinya nasehat.

“Kanda! Sekiranya Kanda tidak kuasa berpisah dengan Dinda dan bayi kita, alangkah baiknya jika Kanda membuat dua buah patung yang mirip dengan kami. Jika Kanda tiba-tiba merasa rindu kepada kami, Kanda cukup memandangi kedua patung itu,” saran Putung Kempat.

Rupanya, saran yang diberikan istrinya itu masuk di akal bagi Aji Melayu. Setelah membuat dua buah patung yang mirip istri dan putrinya, ia pun berangkat ke Gunung Kujau. Ketika kerinduan itu tiba-tiba muncul, ia segera memandangi kedua patung itu sehingga kerinduannya terobati. Akhirnya, Aji Melayu tiba di Gunung Kujau dan berhasil menemui Bui Nasi dan saudara-saudaranya. Ia pun kehilangan kesabaran hendak menghajar mereka. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menyerang Bui Nasi dengan senjata saktinya. Bui Nasi pun tidak tinggal diam. Ia segera mengambil meriam pusakanya bernama yang Gegar Sepetang. Hanya sekali tembakan, peluru meriam itu mengenai tubuh Aji Melayu hingga terlempar ke dalam Sungai Sepauk dan tewas seketika. Pada saat itu pula, air Sungai Sepauk tiba-tiba meluap sehingga terjadilah banjir besar. Konon, Gong Tengkang yang menyebabkan Putung Kempat sakit itu juga terjatuh ke dasar Sungai Sepuak. Hingga kini, jika air Sungai Sepauk surut pada saat musim kemarau, gong itu masih terlihat.

* * *

Demikian cerita Kisah Putung Kempat dari daerah Kaliman Barat. Menurut sejarah, Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Kerajaan Sintang, Kalimantan Barat. Bukti-bukti keberadaan Aji Melayu dan istrinya di daerah ini dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Batu Kelebut Aji Melayu.

Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sesama saudara akan terlihat sangat baik jika saling melindungi dan saling mengasihi, bukannya saling menyakiti seperti yang dilakukan kelima bersaudara terhadap Putung Kempat. Mereka hanya bisa menyebabkan saudara perempuannya tertimpa penyakit, tetapi tidak pandai untuk mengobatinya.



DKI Jakarta - Indonesia


Untung Suropati adalah seorang pejuang yang gagah berani dalam menentang Kompeni Belanda di Indonesia. Kisah perjuangan Untung Suropati yang legendaris itu banyak ditulis dalam bentuk sastra, seperti sastra sejarah, roman, novel, dan bahkan dalam bentuk cerita rakyat. Bagaimana kisah perjuangan Untung Suropati dalam menentang Kompeni Belanda di Indonesia? Ikuti kisahnya dalam cerita Untung Suropati berikut ini!

* * *

Pada zaman dahulu, ada seorang anak lelaki berusia tujuh tahun yang tidak diketahui nama aslinya. Anak itu seorang budak belian berasal dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber (perwira VOC) ketika bertugas di Makassar, Sulawesi Selatan). Sang Kapten kemudian menjual budak itu kepada Perwira Mur yang berada di Batavia (kini Jakarta) karena kekurangan uang. Sejak anak itu menjadi budaknya, karir dan kekayaan Perwira Mur meningkat pesat. Ia menganggap budak itu telah membawa keberuntungan dalam hidupnya, sehingga diberinya nama si Untung.

Perwira Mur adalah seorang duda dan mempunyai seorang putri yang seusia dengan Untung. Nama putri itu adalah Suzanne. Perwira Mur membeli Untung agar putrinya yang sudah piatu itu mempunyai teman bermain dan bersenda gurau setiap hari. Untung adalah anak yang pandai bergaul, sehingga dalam waktu singkat ia sangat akrab dengan Suzanne. Sejak itu, mereka selalu bersama, baik dalam suka maupun duka. Kedekatan itu rupanya menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka hingga akhirnya terjalin hubungan asmara tanpa sepengetahuan ayah Suzanne.

Ketika berusia dua puluh tahun, Untung menikahi Suzanne secara diam-diam. Namun, hubungan cinta terlarang mereka tidak berlangsung lama karena terlanjur diketahui oleh ayah Suzanne. Hal itulah membuat Perwira Mur menjadi murka. Suzanne pun dibuang ke sebuah pulau di dekat Betawi, sedangkan Untung dicebloskan ke dalam penjara. Sejak itulah, kebencian Untung terhadap Kompeni Belanda semakin menjadi-jadi. Di dalam penjara, ia berusaha menarik hati para tawanan lainnya.

Suatu ketika, Untung mempunyai ide untuk melarikan diri dari penjara. Ide itu kemudian ia sampaikan kepada tawanan lainnya.

”Wahai, saudara-saudara sebangsa dan setanah airku! Kompeni Belanda tidak bisa lagi dibiarkan terus menjajah kita. Kita harus keluar dari penjara ini dan segera mengusir mereka dari tanah air tercinta ini!” ajak Untung.

Para tawanan lainnya hanya terperangah mendengar ide Untung. Mereka menanggap bahwa ide itu hanyalah impian belaka.

”Hai, anak muda! Bagaimana mungkin kita bisa melarikan diri penjara ini? Bukankah penjara ini dijaga ketat oleh serdadu Belanda yang dilengkapi senjati api?” sahut seorang tawanan lainnya.

”Tenang saudara-saudaraku,” ujar Untung, ”aku akan melengkapi kalian dengan senjati api. Aku mempunyai uang tabungan yang dapat kita gunakan membeli senjata api.”

Mendengar penjelasan itu, para tawanan lainnya pun setuju. Dengan berbagai cara, mereka berhasil mendapatkan senjata api. Akhirnya, terjadilah pemberontakan dari dalam penjara. Dengan dilengkapi senjata api, Untung bersama tawanan lainnya mengamuk dan berhasil mendobrak pintu penjara. Sipir (penjaga penjara) yang tidak mampu memadamkan amukan mereka segera meminta bantuan dengan mendatangkan serdadu perang Belanda. Karena jumlah mereka sangat banyak, akhirnya Untung dan teman-temannya terdesak dan melarikan diri ke dalam hutan. Di dalam hutan, ia menghimpun kekuatan untuk mengganggu Kompeni Belanda.

Untung bersama pasukannya membuat onar ketika malam hari dari satu tempat ke tempat lain hingga akhirnya tiba di Keraton Banten. Untung segera menghadap Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, dan menceritakan sepak terjangnya dalam menentang Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menasehati agar Untung pergi menghadap Sultan Cirebon.

”Pergilah ke Cirebon dan mintalah perlindungan kepada Sultan Cirebon!” ujar Sultan Banten.

Akhirnya, Untung dan pasukannya berangkat ke Cirebon. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Raden Suropati, anak angkat Sultan Cirebon.

”Hai, siapa kalian dan apa maksud kedatangan kalian kemari?” tanya Raden Suropati.

Untung kemudian menceritakan keinginannya menghadap Sultan Cirebon. Raden Suropati bersama pengawalnya bersedia mengantar Untung menghadap ayahandanya.

”Baiklah! Kami akan mengantar kalian menghadap sultan, tapi dengan syarat kalian harus menyerahkan semua senjata kalian kepada kami!” ujar Raden Suropati.

Untung menyanggupi persyaratan itu, kecuali senjata miliknya yang berwujud patrem. Dia tidak mau menyerahkannya kepada Raden Suropati. Rupanya, Raden Suropati tidak menerima hal itu. Ia menginginkan agar Untung menyerahkan juga senjatanya. Karena Untung tetap bersikukuh mempertahankan senjatanya, akhirnya terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Untung dan pasukan Raden Suropati. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Untung, sedangkan Raden Suropati tewas terkena senjata Untung.

Setelah itu, Untung dan pasukannya melanjutkan perjalanan menuju Keraton Cirebon. Setibanya di Keraton, Untung menceritakan semua peristiwa yang telah menimpa Raden Suropati. Mendengar kabar itu, Sultan Cirebon tidak marah dan menerima Untung dengan baik. Bahkan, sang Sultan memberikan nama ”Suropati” itu kepada Untung. Sejak itulah, budak belian itu bernama Untung Suropati.

Setelah beberapa lama Untung tinggal di Cirebon, sang Sultan menasehatinya agar pergi ke Mataram untuk mengabdi kepada Kanjeng Sunan Mangkurat II di Kartasura. Setibanya di Kartasura, Untung menyampaikan keinginannya untuk mengabdi kepada Kanjeng Sunan Mangkurat.

”Aku akan menerimamu mengabdi kepadaku, tapi dengan syarat kamu harus memadamkan pemberontakan yang sedang berkobar di Banyumas,” ujar Kanjeng Sunan Mangkurat.

Tanpa berpikir panjang, Untung Suropati menerima persyaratan itu. Ia bersama pasukannya segera berangkat ke Banyumas. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan, Untung kembali ke Kartasura dan diangkat menjadi pemimpin pasukan. Sementara itu, Kompeni Belanda yang mendengar kabar tentang keberadaan Untung Suropati di Kartasura segera mengirim pasukannya untuk menangkap Untung Suropati.

Pada suatu hari, seorang mata-mata datang dengan tergopoh-gopoh menghadap Kanjeng Sunan Mangkurat II.
”Ampun Kanjeng Sultan! Pasukan Belanda sedang menuju kemari. Mereka datang dengan persenjataan lengkap,” lapor mata-mata itu.
Mendengar kabar itu, Sultan Kanjeng Sunan Mangkurat II segera memanggil Untung Suropati untuk menghadap.
”Hai, Untung Suropati! Pimpinlah pasukanmu untuk menghadang Kompeni Belanda!” seru Kanjeng Sultan.
”Baik, Kanjeng!” jawab Untung Suropati seraya memberi hormat.

Setelah menyiapakan seluruh pasukannya, Untung Suropati segera berangkat ke wilayah perbatasan Kartasura. Begitu pasukan Belanda memasuki wilayah Kartasura, Untung Suropati dan pasukannya segera menghadang mereka. Pertermpuran sengit pun tak terhindarkan lagi. Dalam pertempuran itu, pasukan Untung Suropati dibantu Pangeran Puger yang dikirim oleh Kanjeng Sultan Mangkurat II. Pangeran Puger dibekali keris pusaka keraton Kanjeng Kyai Plered dan mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian Untung Suropati. Dengan begitu, Kapiten Tak akan mengira bahwa yang dihadapinya adalah Untung Suropati. Dengan keris pusaka Kanjeng Kyai Plered, Pangeran Puger berhasil menghabisi nyawa Kapitan Tar. Sementara pasukan Kapitan Tar yang masih tersisa dihabisi oleh Untung Suropati dan pasukannya.

Setelah berhasil menghadang kedatangan Belanda, Untung Suropati kembali diperintahkan oleh Sultan Mangkurat II untuk merebut Pasuruan. Ia dan pasukannya pun berhasil mengalahkan Bupati Pasuruan yang bernama Anggajaya. Akhirnya, Untung Suropati diangkat menjadi Adipati Pasuruan dengan gelar Adipati Wiranegara. Selama menjadi adipati, Untung Suropati senantiasa membangkitkan semangat juang rakyatnya dalam menentang Kompeni Belanda. Sudah beberapa kali pemerintah Belanda berusaha menumpas perjuangannya, namun beberapa kali pula mereka mengalami kegagalan.

Sementara itu di Kartasura, Sultan Amangkurat II telah wafat, sehingga terjadilah perebutan tahta antara Pangeran Puger dengan Amangkurat III. Untuk merebut tahta tersebut, Pangeran Puger pun berkhianat dan memihak kepada Kompeni Belanda. Akhirnya, dengan bantuan Kompeni Belanda, ia berhasil mengalahkan Amangkurat III. Ia pun dinobatkan menjadi susuhunan dengan nama Pakubuwana I Kartasura atas dukungan Kompeni Belanda. Sementara Amangkurat III yang diusir dari Kartasura segera mencari perlindungan kepada Untung Suropati di Pasuruan.

Setahun kemudian, gabungan pasukan Belanda, Kartasura, Madura, dan Surabaya di bawah pimpinan Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran sengit pun terjadi di benteng Bangil. Dalam pertempuran itu, pasukan Pasuruan terdesak, sedangkan Untung Suropati mengalami luka berat hingga akhirnya wafat.

Demikianlah perjuangan Untung Suropati dalam menentang penjajah Belanda, dimulai dari seorang budak belian hingga menjadi adipati. Perjuangannya menentang Kompeni Belanda kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya dengan gagah berani yang dilandasi semangat pantang menyerah.

* * *

Demikian cerita Untung Suropati dari DKI Jakarta. Menurut cerita, sebelum wafat, Untung Suropati pernah berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Hingga kini, letak makamnya belum diketahui secara pasti. Namun, dapat ditemukan sebuah petilasan berupa gua di Pendukuhan Mancilan, Kota Pasuruan, Jawa Timur, yang dipercaya sebagai tempat persembunyiannya ketika dikejar oleh Kompeni Belanda.

Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa Untung Suropati adalah seorang pejuang sejati dan kesatria pemberani. Ia rela berkorban demi membela bangsa dan negaranya dari penjajah. Atas jasa-jasa dan perjuangannya menentang Kompeni Belanda, Untung Suropati dianugerahi gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dari Pemerintah Indonesia pada tahun 1975. Sifat kesatria sebagaimana yang ditunjukkan oleh Untung Suropati tersebut sangatlah diperlukan dalam kehidupan manusia. Dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan bahwa berani membela kebenaran dan menegakkan keadilan merupakan sifat terpuji dan terhormat.

wahai ananda bunda berwasiat,
elok berani dikandung adat
membela kebenaran sampai ke lahat
semoga hidupmu beroleh berkat
@TS
pake spoiler aja...biar yang baca ga tralu cape geser scrollnya...
 
oks lanjut lagi


Kabupaten Bantul - D.I. Yogyakarta - Indonesia

Syekh Belabelu atau yang bernama asli Jaka Bandem adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dari istana ke sebuah bukit di wilayah pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, karena enggan memeluk agama Islam. Dalam pelariannya, ia bertemu dengan seorang ulama bernama Syekh Maulana Magribi dan tertarik berguru kepadanya. Syekh Belabelu memiliki suatu kebiasaan buruk yang tidak disukai oleh gurunya, yaitu gemar makan nasi. Beberapa kali sang Guru mengingatkannya agar tidak makan nasi secara berlebihan, namun Syekh Belabelu tetap tidak menghiraukannya. Akhirnya, sang Guru menantangnya untuk beradu kesaktian dan adu cepat sampai ke Mekah, Arab Saudi. Bersediakah Syekh Belabelu menerima tantangan itu? Lalu, mampukah ia mengalahkan sang Guru? Ingin tahu kisah selanjutnya? Ikuti cerita Syekh Belabelu berikut ini!

* * *

Alkisah, di daerah Jawa Timur, tersebutlah seorang raja bernama Raja Hayam Wuruk yang bertahta di Kerajaan Majapahit, dengan gelar Maharaja Sri Rajasangara. Sang Raja mempunyai seorang putri yang lahir dari permaisurinya, bernama Kusumawardani. Ia juga mempunyai seorang putra yang lahir dari selirnya, bernama Wirabhumi. Ketika Raja Hayam Wuruk wafat (1389 M), kedudukannya digantikan oleh menantunya yang bernama Wikramawardhana (suami Kusumawardhani). Sementara itu Pangeran Wirabhumi diberi kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa yang bernama daerah Blambangan, sehingga lahirlah Kerajaan Blambangan yang terletak di sebelah selatan Banyuwangi atau yang lebih dikenal Alas Purwo.

Pada mulanya, hubungan antara Wikramawardhana dengan Wirabhumi berjalan harmonis. Wirabhumi tetap mengakui kekuasaan pemerintahan pusat, Kerajaan Majapahit. Namun, ketika Prabu Stri Suhita menjadi raja menggantikan ayahnya Wikramawardhana, Raden Wirabhumi merasa tidak puas dengan penggantian tersebut. Sejak itulah, hubungan kedua kerajaan tersebut menjadi retak, sehingga mengakibatkan terjadinya perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401-1406 M).

Menurut cerita, Perang Paregreg tersebut menjadi salah satu penyebab kemunduran Kerajaan Majapahit, sebelum akhirnya runtuh setelah diserang oleh Raden Patah dan pasukannya dari Kerajaan Islam Demak, Jawa Tengah pada 1478 Masehi atau 1400 saka.[1] Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan masuknya pengaruh Islam, seluruh rakyat Majapahit yang beragama Hindu menjadi terdesak. Para kerabat dan keluarga Keraton Majapahit yang enggan memeluk agama Islam meninggalkan istana. Sebagian besar dari mereka menyeberang ke Pulau Bali, dan sebagian yang lain melarikan diri ke Pulau Kalimantan, serta ke pulau-pulau lainnya.

Salah seorang kerabat Keraton Majapahit yang enggan memeluk agama Islam adalah Raden Jaka Bandem, putra Prabu Brawijaya terkahir. Hanya saja, ia dan para pengikutnya tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Akhirnya, mereka berjalan menyusuri pantai selatan menuju ke arah barat. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka pun tiba di sebuah pantai yang bernama Parangtritis, yaitu sebuah pantai yang landai, berpasir putih, dan deburan ombaknya yang besar. Di sebelah utara pantai itu terdapat dua bukit kapur yang berdekatan, yaitu Bukit Pemancingan dan Bukit Sentana.

“Wahai, pengikutku! Pengembaraan ini kita akhiri sampai di sini. Saya kira tempat ini sangat bagus dan aman untuk tempat tinggal. Raden Patah dan para pengikutnya tidak akan mungkin menemukan kita di sini!” ujar Raden Jaka Bandem kepada pengikutnya.

Setelah memeriksa keadaan kedua bukit tersebut, akhirnya Raden Jaka Bandem bersama pengikutnya memilih Bukit Pemancingan untuk tempat tinggal. Di atas bukit itu, mereka mendirikan padepokan, dan Raden Jaka Bandem diangkat menjadi ketua padepokan. Mereka kemudian membuka lahan pertanian di sekitar bukit dan memperoleh hasil padi dan pangan lainnya yang melimpah. Keberhasilan Raden Jaka Bandem tersebut mengundang simpati penduduk sekitar yang sering lewat ketika sedang berburu atau hendak menangkap ikan di pesisir Pantai Selatan. Banyak di antara mereka yang datang ke padepokannya untuk belajar cara bercocok tanam yang baik. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tertarik ingin belajar baca tulis dan ilmu bela diri kepadanya. Raden Jaka Bandem pun menerima mereka sebagai murid dengan senang hati.

Selang beberapa tahun kemudian, datanglah seorang ulama bernama Syekh Maulana Mahgribi. Ia adalah utusan Raden Patah yang diperintahkan untuk menyiarkan agama Islam di wilayah itu. Setelah menyaksikan keindahan alam Pantai Parangtritis dan mengetahui bahwa banyak orang yang tinggal di puncak Bukit Pemancingan, ia dan para pengikutnya memutuskan untuk menetap dan mendirikan pondok di atas Bukit Sentana. Setelah pembangunan pondok itu selesai, Syekh Maulana Maghribi mulai mengajak dan menarik sempati penduduk sekitar, terutama kepada Raden Jaka Bandem untuk datang belajar agama Islam di pondoknya.

“Jika aku berhasil mengajak Raden Jaka Bandem masuk Islam, tentu para pengikut dan murid-muridnya akan mengikutinya,” pikir Syekh Maulana Maghribi.

Alhasil, Syekh Maulana Maghribi berhasil menarik simpati Raden Jaka Bandem dan mengangkatnya menjadi murid. Raden Jaka Bandem seorang murid yang cerdas dan tekun, sehingga ia dapat menguasai pelajaran yang didapatkan dari gurunya dengan cepat. Setelah beberapa lama mendalami ajaran Islam, Raden Jaka Bandem memutuskan untuk masuk agama Islam. Dengan demikian, para pengikut dan murid-muridnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam. Syekh Maghribi kemudian mengganti nama Raden Jaka Bandem menjadi Syekh Belabelu dan memperkenankannya mengajarkan agama Islam di padepokannya. Syekh Belabelu pun merubah fungsi padepokannya menjadi pondok. Dalam waktu tak berapa lama, orang-orang pun berdatangan berguru kepadanya.

Di sela-sela kesibukannya mengajar di pondoknya, Syekh Belabelu mengisi waktunya dengan bertapa. Namun, cara bertapanya berbeda dari yang biasa dilakukan orang-orang pada umumnya. Ia bukannya menjauhkan diri dari kesenangan dunia dengan cara berpuasa, melainkan lebih mementingkan kepuasan dirinya, terutama pada masalah makan. Sebenarnya, kebiasaan tersebut sudah dilakoni sejak ia masih muda. Tak heran jika seluruh atap dan dinding pondoknya dipenuhi oleh kerak nasi. Semakin hari, ia pun bertambah gemuk.

Syekh Maulana Maghribi yang mengetahui hal itu masih memakluminya, karena Syekh Belabelu masih menjalankan kewajibannya, seperti shalat lima waktu. Namun, lama-kelamaan, ia merasa jengkel karena kebiasaan buruk muridnya itu semakin menjadi-jadi. Semakin hari porsi makannya semakin berlebihan. Suatu hari, sang Guru mendatangi pondoknya untuk menasehatinya.

“Hai, Belabelu! Hentikan kebiasaanmu makan berlebihan itu!” seru Syekh Maulana Maghribi dengan nada marah.

“Begitu pula cara bertapamu berbeda dengan cara yang pernah kuajarkan kepadamu!” tambah Sykeh Maulana Maghribi.

Syekh Belabelu menjawab bahwa setiap orang mempunyai cara sendiri-sendiri bertapa untuk mencapai tujuannya. Rupanya, ia tetap ingin bertapa dengan caranya sendiri dan tidak mau meninggalkan kegemarannya makan nasi.

“Maaf, Tuan Guru! Aku akan tetap bertapa dengan caraku sendiri,” jawab Syekh Belabelu.

Mendengar jawaban itu, Syekh Maulana Maghribi bertambah jengkel dan menantang muridnya itu untuk saling adu kesaktian.

“Baiklah kalau begitu, Belabelu! Bagaimana kalau kita saling adu kesaktian untuk membuktikan siapakah di antara kita yang paling sakti?” tantang Syekh Maulana Maghribi.

Syekh Belabelu tidak bersedia menerima tantangan gurunya.

“Maaf, Tuan Guru! Jika bertanding hanya untuk mengetahui siapa di antar kita yang terkuat, saya kira tidak ada gunanya, Guru! Bukankah sudah ada yang terkuat, yaitu Allah SWT?” jawab Syekh Belabelu.

Syekh Maulana Maghribi tidak puas dengan jawaban itu. Akhirnya, ia kembali menantang muridnya itu dengan cara yang lain.

“Bagaimana kalau aku tantang kamu berlomba adu cepat?” ajak Syekh Maulana Maghribi.

Syekh Belabelu menerima tantangan itu. Kemudian guru dan murid itu pun bersepakat akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk mengikuti shalat Jum’at. Perlombaan itu baru akan dilaksanakan pada pekan keempat bulan depan, karena keduanya harus mengasah kekuatan mereka dengan cara bertapa selama satu bulan. Guru dan murid itu pun mulai bertapa dengan cara mereka masing-masing. Syekh Maulana Maghribi bertapa dengan cara meninggalkan segala kesenangan dunia, tidak makan dan minum. Sementara Syekh Belabelu melaksanakan tapanya seperti biasanya, yaitu menanak nasi dan makan. Bahkan, ia masih terlihat sibuk menanak nasi hingga hari yang telah ditentukan telah tiba.

“Hai, Belabelu! Apakah engkau sudah lupa bahwa sekarang sudah hari Jum’at? Bukankah pagi ini kita akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk melaksanakan shalat Jum’at di sana?” tanya Syekh Maulana.

Syekh Belabelu hanya tersenyum. Ia kemudian menjawab dengan nada santai.

“Saya tidak lupa ketentuan itu, Guru! Tapi saya harus menunggu sampai nasiku matang dan makan dulu. Jika Guru tidak keberatan, silahkan berangkat terlebih dahulu, saya akan segera menyusul, dan saya pasti terlebih dahulu tiba di sana!” ujar Syekh Belabelu sambil meneruskan menanak nasi.

Tanpa menghiraukan lagi perkataan sang Murid, Syekh Maulana Mahgribi pun berangkat ke Mekah dengan membawa bekal seperlunya. Ia merasa yakin bahwa dia pasti akan sampai terlebih dahulu di Mekah. Sementara Syekh Belabelu masih asyik menikmati nasinya yang sudah matang. Di wajahnya sama sekali tidak terlihat perasaan cemas atau khawatir akan dikalahkan oleh gurunya.

Sementara itu, Syekh Maulana Maghribi telah tiba di Mekah. Ia melihat sudah banyak orang yang datang ke Masjidil Haram hendak menunaikan shalat Jum’at. Ia pun segera masuk ke dalam masjid. Alangkah terkejutnya ia ketika menoleh ke kanan dan ke kiri mencari tempat duduk, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada seorang jamaah yang sangat dikenalnya.

“Hai, bukankah itu Syekh Belabelu? Bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini terlebih dahulu? Bukankah tadi dia masih sibuk memasak nasi ketika aku meninggalkannya?” gumam Syekh Maulana Maghribi dengan heran.

Syekh Belabelu yang melihat gurunya sedang berdiri di antara jamaah segera melambaikan tangan dan memberi isyarat agar sang Guru duduk di sampingnya. Dengan perasaan malu, Syekh Maulana Maghribi pun segera duduk di samping Syekh Belabelu.

“Hai, Belabelu! Bagaimana kamu bisa mendahuluiku tiba di sini?” bisik Syekh Maulana Maghribi.

“Maaf, Tuan Guru! Tuan Guru berangkat ke sini dengan kekuatan sendiri, sedangkan saya hanya dengan menyandarkan diri kepada kekuatan Allah SWT, karena kekuatan Allah SWT berada di atas segala-galanya,” jawab Syekh Belabelu sambil tersenyum.

Akhirnya, Syekh Maulana Maghribi menyadari bahwa dirinya mempunyai batas kemampuan dan mengakui keunggulan Syekh Belabelu, meskipun dia bekas muridnya.

* * *

Demikian cerita Syekh Belabelu dari daerah Bantul, Yogyakarta, Indonesia. Hingga kini, makam Syekh Maulana Maghribi dan Syekh Belabelu yang berada di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Bantul, menjadi salah satu obyek wisata sejarah dan religi yang ramai dikunjungi. Para peziarah tidak hanya berasal dari wilayah Yogyakarta, tetapi juga dari luar Yogyakarta dan bahkan dari luar Jawa. Mereka datang ke petilasan tersebut dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda untuk ngalap (mencari) berkah, seperti memohon kenaikan pangkat, mendapat pekerjaan, dagangannya laris, hasil panennya meningkat, dan bahkan ada yang memohon agar pengetahuan agama Islamnya bertambah. Permohonan tersebut mereka sampaikan melalui para juru kunci, yaitu abdi dalem Kraton Yogyakarta yang ditugaskan secara bergantian. Biasanya, petilasan kedua syekh tersebut ramai dikunjungi oleh peziarah pada malam Selasa Kliwon dan Juma’at Kliwon, serta malam 1 Syuro (1 Muharram).

Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya kita tidak merendahkan orang lain dengan hanya melihat kedudukannya lebih dari pada kita, karena boleh jadi orang yang direndahkan itu lebih baik dari kita. Hal ini terlihat pada sikap dan perilaku Syekh Maulana Maghribi yang merasa lebih hebat dari pada muridnya sendiri, Syekh Belabelu. Akhirnya, ia pun menjadi malu sendiri, karena ternyata sang Murid lebih hebat dari dirinya. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:

kalau suka merendahkan orang,

kalau tidak menjadi abu, menjadi arang

Kabupaten Belitung - Bangka Belitung - Indonesia

Cerita Layang adalah adik kandung penguasa Negeri Tanjung Pandan, Ratu Tunggak Rantau Sawangan Ramas. Saat berumur sepuluh tahun, Cerita Layang pergi berkelana tanpa meninggalkan pesan. Bahkan, hingga puluhan tahun dalam pengelanaannya tidak pernah memberi kabar kepada kakak kandungnya. Dapatkah Cerita Layang berkumpul kembali bersama kakak kandungnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Cerita Layang berikut ini!

* * *

Alkisah, di Negeri Tanjung Pandan, Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia, hiduplah dua orang hulubalang kakak beradik. Sang Kakak bernama Ratu Tunggak Rantau Sawangan Ramas, penguasa Negeri Tanjung Pandan. Sementara sang Adik bernama Cerita Layang yang masih berumur sepuluh tahun, mahir bermain silat dan gemar menolong.

Pada suatu hari, entah alasan apa, Cerita Layang pergi berkelana tanpa memberitahukan kakaknya, Ratu Tunggak. Setelah bertahun-tahun di perantauan, ia pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Suatu sore, ia sedang duduk bersandar pada pohon nyiur sambil menikmati semilir angin senja Pantai Ujung Tanjung di Pulau Rencong. Di wajahnya terpancar sejuta kerinduan ingin pulang ke kampung halamannya. Di saat sedang tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah kapal yang akan menuju ke arah hulu Ketahun.

“Hai, bukankah itu kapal milik Pangeran Cilibumi Aceh?” gumamnya. “Wah, orang serakah itu pasti mau pergi menagih hutang lagi.”

Setelah yakin bahwa kapal itu milik Pangeran Cili Aceh, Cerita Layang langsung beranjak dari duduknya hendak mencegat laju kapal itu. Ia sangat mengenal watak Pangeran Cili. Konon, Pangeran dari Aceh itu memiliki sifat licik, yaitu suka menghabisi nyawa orang-orang yang tidak sanggup membayar hutang kepadanya dengan cara menaburi racun dalam makanan mereka. Mengetahui gelagat Pangeran itu, Cerita Layang pun segera mengayuh perahunya yang ditambatkan di tepi laut untuk mencegat kapal itu.

“Hai, Pangeran Cili! Sebaiknya engkau urungkan niat jahatmu itu!” seru Cerita Layang. “Engkau adalah Pangeran yang tamak terhadap harta benda. Sebaiknya engkau serahkan saja sebagian hartamu kepadaku!”

Mendengar seruan itu, Pangeran Cili langsung naik pitam. Ia tidak terima disebut sebagai orang tamak. Dengan lantangnya, ia berteriak menantang Cerita Layang untuk bertarung.

“Hai, Cerita Layang! Selama aku masih bisa menghembuskan nafas, semua harta bendaku akan kupertahankan. Tapi, jika kamu berhasil mengalahkanku dan seluruh anak buahku, kamu boleh mengambil sebagian harta bendaku,” tantang Pangeran Cili.

Tanpa berpikir panjang, Cerita Layang langsung menerima tantangan itu. Ia pun segera merapat dan naik ke atas kapal Pangeran Cili. Melihat Cerita Layang berada di atas kapal, Pangeran Cili segera memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengepung sang Pengelana itu.

“Pengawal! Ayo kepung pemuda tolol itu!” seru Pangeran Cili. “Jangan biarkan dia lolos dari tempat ini!”

Mendengar perintah tuannya, puluhan anak buah kapal segera mengepung Cerita Layang. Pertempuran sengit pun tak terelakkan lagi. Mereka menyerang Cerita Layang dengan pukulan dan tendangan secara bergantian. Pemuda gagah dari Tanjung Pandan itu harus berkelit ke sana kemari untuk menghindari serangan musuh yang datang secara bertubi-tubi. Dengan kesaktiannya, ia dapat mengalahkan seluruh anak buah Pangeran Cili. Satu per satu mereka terlempar ke laut dan tewas tenggelam. Kini, hanya Pengeran Cili yang tersisa.

“Hai, Pangeran tamak! Kembalilah ke negerimu!” seru Cerita Layang.

“Aku akui kamu hebat, Cerita Layang! Meskipun kamu telah mengalahkan semua anak buahku yang tidak becus itu, tapi kamu takkan mungkin mengalahkanku. Majulah kalau berani!” tantang Pangeran Cili.

Pertarungan sengit pun terjadi. Pertarungan itu tampak seimbang. Rupanya, Pangeran Cili juga sangat mahir bermain silat. Keduanya silih berganti saling menyerang. Sudah empat belas hari empat belas malam pertempuran itu berlangsung, namun belum satu pun yang terkalahkan. Pada hari kelima belas, Pangeran Cili sudah mulai kelelahan, sedangkan Cerita Layang masih tampak segar bugar. Pada saat yang tepat, Cerita Layang melayangkan sebuah tendangan keras dan tepat mengenai rahang kanan Pangeran Cili. Tak ayal lagi, sang Pangeran pun jatuh tersungkur mencium lantai kapal dan tak mampu lagi melanjutkan pertarungan.

“Engkau memang sakti, Cerita Layang! Aku mengaku kalah,” kata Pangeran Cili.

Setelah itu, Pangeran Cili pun menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada Cerita Layang berupa tujuh buah gedung yang berada di Kolam Hulu dan Kolam Hilir, bermacam-macam mata uang ringgit, seperiuk intan, serta dua puluh satu karung emas kepada Cerita Layang. Namun, Cerita Layang tidak mengambil sepersen pun dari harta benda tersebut, melainkan mengembalikannya kepada Pangeran Cili.

“Hai, Pangeran Cili! Ambillah kembali harta bendamu itu sebagai tebusan atas seluruh hutang orang-orang yang berhutang kepadamu. Tapi, ingat! Kamu tidak boleh lagi kembali menagih hutang, apalagi menghabisi nyawa mereka!” ujar Cerita Layang.

“Baiklah, Cerita Layang! Aku berjanji tidak akan menagih hutang kepada mereka?” ucap Pangeran Cili.

Setelah itu, Cerita Layang kembali melanjutkan perjalanan untuk mengelana dari satu pulau ke pulau yang lain. Ketika ia sampai di sebuah ujung pulau, tampak dua buah rejung (kapal) yang hendak menepi. Rupanya, pemilik kedua rejung tersebut adalah rentenir juga. Mereka adalah Malim Kumat dan Malim Pantap. Alangkah terkejutnya Cerita Layang setelah menyelidiki isi kedua kapal itu. Ia melihat banyak benda-benda berharga milik Kerajaan Tanjung Pandan yang sangat dikenalinya. Ia yakin bahwa kedua rentenir tersebut baru pulang dari menagih hutang di Negeri Tanjung Pandan. Selain itu, Cerita Layang juga melihat dua remaja yang sedang di tawan di atas kapal itu. Namun, ia tidak mengetahui bahwa mereka adalah keponakannya sendiri, yaitu Sindiran Dewa dan Dewa Pasindiran, putra Ratu Tunggak atau kakak kandungnya. Sebab, kedua anak tersebut belum lahir ketika ia meninggalkan Negeri Tanjung Pandan.

“Wahai, Para Rentenir! Sebaiknya, kembalikan semua harta tersebut ke Kerajaan Tanjung Pandan, dan lepaskan kedua anak itu!” seru Cerita Layang.

Kedua rentenir tersebut tidak menghiraukan seruan Cerita Layang. Mereka justru menantang Cerita Layang untuk mengadu kekuatan. Akhirnya, pertarungan sengit pun terjadi antara Cerita Layang dengan kedua rentenir itu beserta anak buahnya. Pertarungan itu berlangsung selama berhari-hari dan pada akhirnya dimenangkan oleh Cerita Layang.

Sementara itu, Sindiran Dewa dan Dewa Pasindiran dapat meloloskan diri dan lari masuk ke dalam hutan pada saat pertempuran itu berlangsung. Di tengah hutan, mereka bersepakat berpisah untuk mengadu nasib sendiri-sendiri. Sindiran Dewa berlari menuju ke arah Muara Bengkulu dan menetap di sana. Menurut cerita, ia diangkat menjadi anak dan diajari ilmu bela diri oleh seorang hulubang yang bernama Hulubalang Anak Dalam Wirodiwongso.

Pada suatu hari, Sindiran Dewa mendengar kabar bahwa negerinya, Tanjung Pandan, hancur diserang oleh Pangeran Cili. Rupanya, pengaren dari Aceh itu belum juga jera setelah dikalahkan oleh Cerita Layang. Ia menawan ayah dan kakak perempuan Sindiran Dewa yang bernama Item Manis. Mendengar kabar tersebut, Sindiran Dewa memohon izin kepada ayah angkat sekaligus gurunya untuk pergi menyelamatkan ayahanda dan kakaknya yang di tawan oleh Pangeran Cili di Negeri Aceh.

Sindiran Dewa berlayar ke Negeri Aceh dengan menggunakan rejung. Setibanya di sana, ia menyelinap masuk ke kediaman Pangeran Cili untuk melepaskan ayahanda dan kakaknya, dan kemudian membawa mereka ke rejung yang ditambatkan di tepi laut. Begitu ia hendak mengayuh rejungnya meninggalkan Negeri Aceh, tiba-tiba Pangeran Cili muncul dari balik semak-semak bersama dua anak buahnya.

“Hai, Anak Muda! Siapa kamu? Berani sekali kamu membawa lari tawananku. Ayo, kembalikan mereka kepadaku!” seru Pangeran Cili.

“Ketahuilah, hai pangeran licik! Aku ini putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan! Jika kamu ingin mengambil tawananmu ini, langkahi dulu mayatku!” tantang Sindiran Dewa seraya melompat turun dari rejungnya.

“Dasar anak ingusan! Berani sekali kamu mengantarkan nyawamu kemari! Ayo majulah kalau berani!” seru Pangeran Cili.

Pertarungan sengit pun terjadi. Sindiran Dewa dikeroyok oleh Pangeran Cili bersama dua orang anak buanya. Baru saja pertarungan itu dimulai, tiba-tiba Dewa Pesindiran muncul membantu kakaknya. Tak berapa lama kemudian, Cerita Layang yang kebetulan lewat di tempat kejadian itu ikut membantu kedua putra Ratu Tanjung Pandan tersebut. Akhirnya pertarungan semakin seru, satu melawan satu. Sindiran Dewa dan adiknya melawan kedua anak buah Pangera Cili, sedangkan Cerita Layang berhadapan langsung dengan Pangeran Cili.

“Oh kamu lagi, hai Pangeran Cili! Rupanya kamu telah lupa pada janjimu dulu untuk tidak menjadi rentenir lagi!” seru Cerita Layang.

“Ketahuilah, hai Cerita Layang! Gara-gara kamu, aku menjadi bangkrut. Jadi, aku terpaksa kembali menjadi rentenir,” kata Pangeran Cili.

Cerita Layang merasa bahwa Pangeran Cili tidak bisa diberi ampun lagi.

“Dasar orang serakah! Terimalah pukulanku ini!” seru Cerita Layang seraya melepaskan sebuah pukulan keras dan cepat ke dada Pangeran Cili.

Pangeran Cili pun tidak mampu lagi menghindar. Ia terpelanting jauh dan jatuh tersungkur di tanah dan tewas seketika. Melihat pangeran dari Aceh tidak bergerak lagi, Cerita Layang segera membantu Sindiran Dewa dan Dewa Pesindiran. Dalam waktu singkat, mereka pun berhasil mengalahkan kedua anak buah Pangeran Cili tersebut. Setelah itu, suasana menjadi hening. Cerita Layang dan kedua pangeran dari Tanjung Pandan itu saling berpandangan. Meskipun belum saling mengenal, hati mereka terasa sangat dekat.

“Hai, anak muda! Siapa kalian dan berasal dari mana?” tanya Cerita Layang.

“Kami adalah putra Ratu Tunggak dari Kerajaan Tanjung Pandan,” jawab Sindiran Dewa.

Cerita Layang langsung tersentak kaget. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sindiran Dewa.

“Apa katamu? Kalian putra Ratu Tunggak?” Cerita Layang kembali bertanya.

“Benar, Tuan! Apakah Tuan mengenal ayahanda kami?” sahut Dewa Pesindiran.

Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, Cerita Layang langsung merangkul Sindiran Dewa dan Dewa Pesindiran. Tak terasa air matanya mengalir karena terharu dapat bertemu dengan keponakannya. Sindiran Dewa dan adiknya pun terheran-heran melihat sikap Cerita Layang.

“Maaf, Tuan! Kenapa Tuan menangis dan memeluk kami seperti ini?” tanya Sindiran Dewa heran.

Mendengar pertanyaan itu, Cerita Layang perlahan-lahan melepaskan pelukannya.

“Ketahuilah, wahai anak-anakku! Aku ini paman kalian. Aku Cerita Layang, adik kandung ayah kalian,” ungkap Cerita Layang.

Mendengar keterangan itu, Sindiran Dewa dan adiknya pun tak kuasa membendung air matanya. Mereka ikut terharu dan gembira karena telah bertemu dengan paman mereka yang telah menghilang selama puluhan tahun.

“Maafkan kami, Paman! Kami tidak mengerti sama sekali bahwa orang yang selama ini menyelamatkan kami dari perbuatan jahat Pangeran Cili adalah Paman,” ucap Sindiran Dewa.

“Tidak apa-apa, anak-anakku! Lupakanlah semua kejadian itu. Mana ayahanda kalian?” tanya Cerita Layang.

“Ayahanda ada di atas rejung bersama Kak Itam Manis, Paman!” jawab Dewa Pesindiran.

Sindiran Dewa dan adiknya pun mengajak sang Paman menemui ayahanda dan kakak mereka. Betapa senangnya hati Ratu Tunggak bertemu kembali dengan adik kandungnya, Cerita Layang. Mereka pun saling berpelukan dalam suasana penuh haru.

Akhirnya, Cerita Layang bersama kakak dan ketiga ponakannya kembali ke Negeri Tanjung Pandan. Sejak itu, Cerita Layang memutuskan tinggal di Negeri Tanjung Pandan untuk membantu kakaknya menata kembali kerajaan yang telah diporak-porandakan oleh Pangeran Cili. Setelah suasana kembali normal, Pangeran Sindiran Dewa dinobatkan menjadi raja dan Cerita Layang diangkat menjadi penasehat kerajaan. Cerita Layang pun hidup berbahagia bersama kakak dan ketiga keponakannya di istana Tanjung Pandan.

* * *

Demikian cerita Cerita Layang dari Provinsi Bangka-Belitung, Indonesia. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa gemar menolong orang lain, pada hakikatnya menolong diri kita sendiri. Semakin banyak menolong orang lain, maka Tuhan pun akan semakin sering menolong kita dengan cara yang tak terduga. Hal ini terlihat pada perilaku Cerita Layang. Berkat kegemarannya menolong lain, akhirnya Tuhan mempertemukan kembali dengan kakak kandungnya, Ratu Tunggak. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:
wahai ananda dengarlah manat,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.