• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pura dan Candi di Indonesia

Bro Goesdoen, ada info tentang Candi Sukuh gak..... saya kok penasaran sekali. info yang gw kumpul di Education, belum menyentuh penjelasan spritualnya. Mungkin bertanya di sini yang tepat.
 
Terima kasih,

Ada yang kurang bro.... sisi spritual nya... sepertinya naskah itu ditulis oleh ornag yang bukan Hindu....
 
Terima kasih,

Ada yang kurang bro.... sisi spritual nya... sepertinya naskah itu ditulis oleh ornag yang bukan Hindu....

ok, akan saya edit dari sumber lain.

Candi Sukuh juga mengandung makna “ngruwat” yang tampak pada salah satu pragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala.

Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa.

Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya.

Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari di kayangan dengan nama bethari Uma.

Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.

Juga terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti, sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bangunan bentuk kura-kura menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.
 
Jejak Pura Puseh Penegil Dharma, Pusat Pengembangan Agama dan Pemerintahan

Pura Penegil Dharma (PPD), nama dari sembilan pura yang terdapat di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Kabupaten Buleleng. Pusat dari pusat pura itu adalah Pura Puseh Penegil Dharma atau dikenal dengan nama Pura Penyusuhan. Pura ini tidak pernah diketemukan tertulis pada prasasti-prasasti yang ada. Pura itu baru dikenal awal 1995, pada saat rombongan dosen Taknik Unud mengunjungi sebuah desa di kaki Gunung Raung, Banyuwangi. Di sebuah petilesan yang ada di sekitar Desa Alas Purwo itu, nama Pura Penegil Dharma yang terdapat di Gigir Manuk muncul sebagai sebuah pura yang harus dilestarikan. Apa dan bagaimana keistimewaan Pura Penegil Dharma itu, sehingga orang-orang spiritual banyak berkunjung ke sana? Apa filosofi pura dalam konteks kekinian? Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung keberadaan pura tersebut?


Menurut Klian Ulu Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Putu Armaya, apabila diperhatikan secara seksama, bentuk Pulau menyerupai bentuk seekor itik dengan posisi kepala menghadap ke Barat. Punggungnya menghadap ke utara, ekornya menghadap ke Timur. Perut bagian bawah serta dada menghadap Samudera Hindia di selatan.

Dari gambaran itu, di mana punggung menghadap ke utara, besar kemungkinan bahwa terjalin hubungan Pulau Bali dengan pusat-pusat budaya, baik yang bersifat lokal di nusantara, maupun yang hubungan internasional. Dicontohkan, hubungan dengan pusat budaya Cina, India, Mesir, Babilonia, Atena dan lain-lainnya dimulai dari Bali Utara.

Dikatakan, jika meneropongnya dari sisi spiritual, pada punggung (gigir manuk), ada satu jalur penghubung sepanjang sumsum tulang belakang yang dikenal dengan istilah kundalini. Penjelasan secara spiritual itu lebih meyakinkan lagi bahwa Bali bagian Utara yang menggambarkan gigir manuk terdapat tempat-tempat suci yang punya nilai magis yang sangat tinggi.

Di samping penjelasan itu, di Bali Utara juga dikenal dengan konsep Nyegara Gunung dengan ditemukan Pura Mutering Jagat di sepanjang pesisir utara Pulau Bali. Bila ditelusuri dari segi geografis, di daerah punggung yang menghadap ke utara Pulau Bali atau dikenal dengan istilah gigir manuk atau tulang geger yang nampak paling menonjol. Hal itu, tak ubahnya sebuah daerah yang menonjol ke laut yang merupakan Tanjung Utara Pulau Bali.

Di daerah yang menonjol ini diduga terdapat sebuah laguna. Lokasi laguna diperkirakan kurang lebih 400 meter dari batas daratan yang ada sekarang. Dapat dibuktikan dengan keberadaan Barier yang ada serta perbedaan jenis tanah yang ada di sebelah utara jalan raya dengan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya. Jenis tanah di sebelah utara jalan raya merupakan tanah endapan lumpur atau sidimentasi. Sedangkan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya merupakan jenis tanah batuan.

Uraian tentang jenis tanah membuktikan bahwa memang daerah tersebut merupakan danau yang sangat luas yang bermuara ke laut, sehingga disebut laguna. Tempat pertemuan laut dan danau itu sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di tempat itu dulu merupakan pelabuhan dagang yang bernama Kuta Baning yang berarti Benteng Perang.

Lebih lanjut dikatakan, Kuta Baning mempunyai arti sebagai berikut. Di atas merupakan sebuah tempat yang dikelilingi dengan benteng berfungsi sebagai pengamanan karena daerah tersebut merupakan pelabuhan dagang dan sebagai pusat perdagangan. Tempat ini sekarang sebagai salah satu pura pesanakan Padma Bhuana Kahyangan dengan nama Pura Negara Gambur Angelayang. Pura ini merupakan lambang di mana agama merupakan satu tujuan.

Dikatakannya, di Kawista inilah -- bila diruntut sejarah -- dibangun istana, pusat pemerintahan dan pusat agama yang didirikan oleh Sri Ugra Sena Warmadewa yang juga bergelar Sri Kesari Warmadewa (secara etimologi kata ''Ugra'' sama dengan kata ''Kesari'' artinya sama-sama Singa). Istana tersebut sekarang ini dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma.

Sri Ugra Sena Warmadewa dikenal sebagai Sri Kesari Warmadewa saat beliau memimpin penyerangan daerah Suwal, Gerung atau Gurun yang dikenal sekarang dengan Sumbawa dan Lombok. Setelah membangun Kauripan bersama Mpu Sendok, Tabanendra Warmadewa membantu Ugrasena Warmadewa membangun Kawista. Istana beliau di tepi selatan Kawista, yang keberadaannya sekarang merupakan Pura Bukit Sinunggal. Tabanendra Warmadewa bertugas mengembangkan wilayah Tajun ke arah selatan sebagai sentra pertanian. Nama Tabanan diambil dari nama Tabanendra Warmadewa.

Lebih lanjut dikatakan, pasca-Sri Kesari Warmadewa, daerah Kawista juga sempat dijadikan kembali sebagai istana. Di sana dipakai sebagai pusat pemerintahan dan pengembangan agama. Selain bernama Kawista, pusat pemerintahan tersebut juga dikenal dengan nama Banyu Buah dan Puseh Penegil Dharma, sebagi pusat dari Padma Bhuana Kahyangan.

Nama Banyu Buah mempunyai arti ''berbuah di air''. Buah yang dimaksud adalah padi. Pada zaman pemerintahan Nara Singa Murti, sudah ada sistem subak untuk mengairi tanah pertanian (sawah). Subak yang pertama adalah Subak Tukad Dalem (tukad yang dibangun oleh Raja atau Dalem-red) yang masih bisa dilihat peninggalannya di sekitar Pura Penegil Dharma sekarang.

Kembali ke kata Kawista. Menurut Armaya, kata Kawista mempunyai arti ''tanah yang suci''. Tanah sebelum campur tangan manusia memang sudah dititahkan oleh Tuhan, Sang Pencipta sebagai tempat yang suci. Di tempat tersebut akan dibangun tempat suci, sebagai perlambang bangkitnya jalan-jalan sinar yang menganugerahkan hari wisuda dari sebuah jiwa setelah melewati lahir kembali yang siklusnya berulang-ulang.

Armaya mengatakan, di tempat suci merupakan pertanda dari kembalinya putra-putri sang Sinar yang berbaur dengan kita dalam wujud manusia yang terlahir lewat sang Illahi. Di pura tersebut akan dibuka segel buku sang Sinar yang lembaran-lembarannya direkatkan oleh tiap kepercayaan sebagai bahasa cinta kasih universal. Pusat Kawista yang menjadi Istana, pusat pemerintahan dan pusat agama, keberadaannya sekarang dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma, berlokasi di Banyu Buah, Desa Kubutambahan. (sut)

Struktur dan Arsitektur Pura Penegil Dharma

PEMBANGUNAN tempat suci oleh Nara Singa Murti, mengikuti sistem ketatanegaraan pemerintahan di Kediri. Istana sebagai pusat pemerintahan juga pusat pengembangan agama. Raja sebagai kepala pemerintahan berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos. Menjalankan fungsi itu, Nara Singa Murti bergelar Parameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana.

Menurut Klian Ulun Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Armaya dan pengikut spiritual Suhandoyo dari Yogyakarta, Mahesa Cempaka atau Nara Singa Murti mempunyai banyak nama. Masing-masing gelar mempunyai arti. Maharaja Aji Jayapangus gelar yang diberikan di Jawa saat mengikuti pendidikan. Sedangkan Jaya Sakti, Jaya Raga, Jaya Den Jaya, gelar yang diberikan pada saat membebaskan Istana Kawista dari sarang perompak yang mengganggu alur perdagangan laut.

Gelar Nara Singa Murti, gugusan bintang Leo atau bintang utara, sebagai pertanda tempat pemerintahan raja. Singa Murti, Singa Raja, Singa yang mengabdi pada Tuhan. Batara Guru, Nara Singa Murti mengembangkan agama, sehingga terjadi kolaborasi Ciwa, Budhda, Polenesia. Agama Hindu Bali yang sekarang memiliki konsep tiga kepercayaan di atas. Upacara tersebut dikenal dengan Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Kelurut, Tumpek Kandang, Tumpek Wayang.

Dicontohkan Tumpek Landep. Makna tumpek ini terkait dengan hidup manusia. Manusia hidup menggunakan alat perjuang. Alat ini untuk mempermudah hidup seperti membuat alat teknik dan mengembangkan iptek. Umat makan untuk menjaga alat-alat tubuhnya berfungsi normal. Manusia pada saat itu tidak selalu tergantung pada benda. Berbeda dengan sekarang. Mereka lebih mengagung-agungkan benda dan berorientasi pada kekayaan materi.

Lebih lanjut dikatakan, Batara Maha Guru, gelar yang dipakai setelah menyelesaikan pembangunan Padma Bhuana Kahyangan. Batara Dana Diraja, beliau juga mengembangkan perekonomian dan pelabuhan bernama Kuta Baning. Sekarang berada di Pura Negara Gambur Angelayang. Batara Parameswara Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Nara Singa Murti mengemban tugas sebagai stabilisator dan dinamisator makrokosmos dan mengembangkan konsep Padma Bhuwana Kahyangan.

Armaya mengatakan, padma berarti bunga teratai berdaun delapan. Masing-masing daun bunga berisi kekuatan suci. Di tengah daun berstana kekuatan Siwa. Pada bunga padma merupakan sembilan kekuatan suci. Padma Bhuana Kahyangan yang dibangun Nara Singa Murti berpusat di Pura Puseh Penegil Dharma. Padma Bhuana Kahyangan terdiri atas Pura Puseh Penegil Dharma, Negara Gambur Angelayang, Pingit, Meduwe Karang, Patih, dan Pura Dalem Puri. Selain itu, terdapat Pura Pande, Pura Sang Cempaka, dan Pura Candra Manik.

Dikatakan, dari konsep Padma Bhuana Kahyangan itu, Penegil Dharma dikelilingi ke delapan pura pesanakan dikenal konsep Asta Dala (Siwa). Dalam mengembangkan konsep Padma Bhuana Kahyangan, ia dikenal dengan nama Asta Sura Sri Ratna Bumi Banten. Bila kedelapan pura yang mengelilingi Pura Penegil Dharma mengikuti konsep Asta Dala, lima pura yang berada di Puseh Penegil Dharma mengikuti konsep tapak dara (Buda).

Lima pura di Puseh Penegil Dharma yang posisinya mengikuti konsep tapak dara. Pura Pucaking Giri, situs Karang Harum diperkirakan akarnya mencapai kedalaman 118 meter. Lokasinya di sebelah delatan merupakan tempat pemujaan Batara Parameswara Cri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana. Tempat ini merupakan pusat pengembangan agama, beliau merupakan maharaja dan mahapandita.

Pura Kepatihan Petengen Agung berada di sebelah utara. Tempat ini merupakan sekretaris negara, kalau dibandingkan dengan susunan kabinet pemerintahan sekarang. Pelinggih Ratu Gede Petengen Agung merupakan tempat departemen kesehatan dengan adanya pelinggih Ratu Gede Balian Sakti di pura itu.

Konsep Nyegara Gunung

Pura Mutering Jagat salah satu konsep Nyegara Gunung. Arti dari jagat adalah daratan. Mutering Jagat adalah laut. Tanpa adanya laut tak mungkin ada daratan. Berlokasi di sebelah timur. Di tempat ini distanakan putri dari Nara Singa Murti, adik tiri dari Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih (dari ibu yang berbeda-red).

Pura Kertha Negara Mas berlokasi di sebelah barat, tempat istana Putra Nara Singa Murti yang bernama Ratu Bagus Mas Aji Sapelinggih, bergelar Asta Sura Cri Ratna Bumi Banten II yang merupakan Raja Bali terakhir sebelum Majapahit di Bali. Tempat ini dahulu berfungsi sebagai istana raja.

Pura Kertha Pura di Tengah, di mana pada masa pemerintahan merupakan tempat penerapan penegakan hukum. Di tempat ini terdapat bangunan ''Bale Mudra Manik''. Sebuah bangunan tempat pesamuhan para raja-raja Nusantara. Di tempat ini distanakan cucu laki-laki yang bernama Ratu Ngurah Kertha Pura dan cucu perempuan Ratu Ayu Mas Gemulung pada Bale Mudra Manik yang diapit oleh pelinggih Ibunda Ratu Ayu Manik Mekolem (Ratu Ayu Solo) di sebelah kiri dan pelinggih Ratu Patih Sebali di sebelah kanan.

Delapan pura pesanakan yang mengikuti konsep Asta Dala yakni Pura Pandita, di barat daya Pura Puseh Penegil Dharma, Desa Kubutambahan. Pura ini merupakan kompleks penasihat spiritual raja. Pura ini merupakan pesraman dari Resi Markandiya zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa. Pura Meduwe Karang, berada di Desa Kubutambahan dan dibangun oleh Wijaya Mahadewi.

Pura Candra Manik dikenal pula dengan nama Pura Yeh Lesung di Desa Bulian. Pura ini istana darurat dari Sri Wijaya Mahadewi, pada saat Istana Kawista diserang oleh Wong Bajo. Saat yang bersamaan Punggawa Udayana menyerang Tampaksiring berkaitan dengan penganut sekte Bhairawa. Batara Indra yang kita tahu dari cerita berdirinya Pura Tirta Empul adalah Udayana. Saat itu diberikan gelar Indra Warmadewa. Di pura ini (Candri Manik) oleh masyarakat dipercaya adanya nama Dewi Suleca yang berstana.

Suleca berasal dari kata ''Salu'' dan ''Ica''. Salu berarti sanggar agung berkaki pendek atau singgasana. Sedangkan Ica berarti anugerah. Dari kata raja yang berarti Kinasihaning Jawoto. Dengan kata lain Sri Wijaya Mahadewi merupakan kesayangan Tuhan. Atas anugerah beliaulah Sri Wijaya Mahadewi menjadi raja. Pura Negara Gambur Angelayang di Desa Kubutambahan merupakan pusat perdagangan yang dikelilingi oleh benteng yang disebut Kuta Baning. Dikatakan, tempat ini dipakai transaksi perdagangan dan terjadinya kolaborasi budaya dari pedagang Melayu, Cina, Babalonia, Pasundan, India, Atena, dan pedagang-pedagang dari belahan dunia lainnya. ''Namun, untuk membuktikan kebenaran sejarah itu, perlu ada pengkajian yang sangat mendalam,'' katanya.

Menurut Armaya, pusat perdagangan ini di bawah pengawasan Ratu Ngurah Kertha Pura dibantu penasihat administrasi pabean. Sekarang dikenal dengan nama Ratu Gede atau Ayu Subandar. Beliau adalah salah seorang panglima saat dinasti Sung berkuasa di daratan Tiongkok yang diperbantukan untuk membantu Raja Nara Singa Murti mengelola pelabuhan dan administrasi pabean.

Di pura ini terdapat pelinggih Ratu Agung Syah Bandar, Ratu Agung Melayu, Ratu Bagus Sundawan, Ratu Gede Dalem Mekah, Ratu Ayu Pasek, Ratu Gede Siwa, Batari Sri Dwijendra dan Ratu Ayu Mutering Jagat. Keberadaan pura ini sangat berjasa dalam pembinaan dan penerapan agama. Agama itulah merupakan satu tujuan. Tempat di mana agama dan penganut agama berkumpul dan bersatu.

Pura Pingit di Desa Bulian. Sesuai dengan nama Pura Pingit, pura ini merupakan tempat melaksanakan pertapaan oleh Raja Nara Singa Murti. Sekarang dikenal dengan tempat penyimpanan prasasti (prasasti Bulian-red). Prasasti ini baru sebagian kecil saja bisa dibaca salinannya yang dikenal dengan nama prasasti Bulian A dengan nomor 633 dan prasati Bulian B dengan nomor 706.

Masih dalam kompleks Pura Penegil Dharma. Di sana ada Pura Patih di Desa Kubutambahan merupakan istana tepi siring bagian barat. Pura Sang Cempaka di Desa Bulian merupakan benteng pemantau laut berlokasi pada dataran tinggi. Pura Penegil Dharma yang kini menjadi incaran orang-orang spiritual memang memiliki kekuatan dan pancaran Illahi. Menurut Jro Mangku Gde Made Astika, pura ini penuh dengan misteri. Pengalaman spiritual sejak menjadi pemangku sangat unik. Apa yang tidak pernah dibayangkan manusia, terjadi dan muncul di sekitar pura itu. (sut)

Pura Penegil Dharma, Dalam Konteks Spiritual Modern

DALAM konteks kekinian, Pura Puseh Penegil Dharma (PPPD) banyak menyedot perhatian banyak pihak. Mulai dari kalangan spiritual, sejarawan, arkeolog dan lain-lain. Salah seorang arkeolog itu adalah berkebangsaan Swis yakni Mr. Bruno Riek. Ia pernah mengunjungi Pura Puseh Penyusuhan Dharma dalam upaya mencari sebuah gugusan bintang. Tujuannya, membuktikan sebuah teori tentang makrokosmos dan mikrokosmos.

Gugusan bintang yang dimaksud adalah gugusan bintang utara. Teori itu menyebutkan, tempat di mana gugusan bintang utara dapat dilihat dengan jelas, tempat di mana makrokosmos dan mikrokosmos benar-benar menyatu di daerah tersebut. Pendapat tersebut dikuatkan tokoh spiritual dari Benua Amerika, Elan dan Carrol. Kedua orang ini merasakan getaran-getaran energi illahi di lintas batas Pura Penegil Dharma tersebut.

Elan dari Kanada beserta Carrol dari Amerika dalam bahasa spiritual mengandaikan, bahwa sebelum semua berawal, dan sesudah segalanya berakhir, tempat ini sudah terpilih sebagai temple. Pulau Bali menggambarkan inti dari cincin api dan temple ini sebagai titik tengah tempat di mana semua kepercayaan yang berbeda akan menyatu dan disucikan menuju suatu titik -- unsur Tuhan yang suci dan unsur murni dari yang satu yang membara dalam hati.

Pandangan Elan dan Carrel mengingatkan pada nama Kawista yang mempunyai arti tanah yang suci. Temuan lain tentang Pura Puseh Penegil Dharma, dapat ditemukan pada World Matrix With Energy Centres. Dalam World Matrix With Energy Centres disebutkan, ''Tempat ini (di Pura Puseh Penegil Dharma-red) merupakan titik atau poin timur dari bola dunia. Titik barat ada pada Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru''. Sebenarnya titik-titik tersebut, sesuai dengan isi bait-bait wargasari yang menyebutkan ...Betel Kangin, Betel Kauh. Maksudnya bahwa Bali merupakan Betel Kangin dan Danau Titicaka di Pucak Gunung Titicaka merupakan Betel Kauh.

Seperti disebutkan pada peta itu, tempat ini merupakan titik timur dari bola dunia. Di mana titik barat berada di sebuah Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru. Jika sekarang masih tersisa mata air yang ada di Permandian Air Sanih dan mata air yang berada di dalam Pura Penyusuhan, memang tempat ini dahulu kala merupakan danau atau laguna yang membentang dari Pura Dalem Puri Desa Kubutambahan sampai Permandian Air Sanih.

Keberadaan laguna atau Danau itu memang disebutkan dalam beberapa prasasti dengan nama Er Madatu, Banyu Plasa atau Er Angga. Er Angga berasal dari Er Rangga. Rangga sama dengan pohon tenggulun. Tenggulun berasal dari kata ''tanggu ulu'' yang berarti tanduk menjangan. Jika dilihat saat ini, memang di sekitar Pura Puseh Penegil Dharma banyak ditemukan pohon tenggulun yang dimaksud. Dahannya menyerupai tanduk menjangan.

Titik barat di mana danau tersebut berada di pucak Gunung Titicaka, maka titik timur berada di gunung keempat yang dimaksudkan adalah Pucaking Giri (Puncak Gunung). Sekarang merupakan nama salah satu pura yang berada di Pusat Pura Penyusuhan Penegil Dharma.

Pendapat lain yang memperkuat arti spiritual Pura Puseh Penegil Dharma diungkapkan Mr. Jhon Barry, seorang koreografer dari Colorado. Mr. Jhon Barry. Setelah melakukan perjalanan ke negara Mesir (negeri Egip) untuk meneliti keberadaan piramida yang sangat termasyur, ia melanjutkan perjalanannya ke Bali untuk mencari Puncak Piramida yang diperkirakan berada di Pulau Bali.

Dalam sebuah perayaan Natal 24 Desember 1998 lalu yang dilaksanakan oleh kelompok warga negara Italia yang ada di Pulau Bali, Jhon Barry mengikuti rombongan ikut merayakan Natal di Pura Puseh Penegil Dharma. Tanpa disadari, pura itulah yang dicari sebagai pucak piramida. Tempat itu dianggap sebagai pucak dari sebuah piramida. Menurut pandangan beberapa kelompok yang mendalami spiritual, tempat itu merupakan tempat yang universal.

Dikunjungi Orang Spritual

Tak heran, sejak awal 1996, Pura Puseh Penegil Dharma banyak dikunjungi oleh orang-orang yang senang melakukan perjalanan spiritual. Tak pelak lagi Presiden Megawati Soekarnoputri juga sempat ke sana. Jumlah pejabat di Bali juga banyak yang bermeditasi di pura itu. Para pendalam spiritual itu berasal dari Bali luar Bali, bahkan mancanegara. Banyak dari mereka yang memberikan pandangan pribadi mereka tentang keberadaan pura tersebut.

Pandangan dan bahasa spiritual Elan O'Brien Carrol dari Kanada tentang keberadaan Pura Puseh Penegil Dharma seperti ini: ''Sebelum semuanya ada, dan setelah semuanya tiada, pura ini telah ditentukan sejak dahulu kala. Di saat kita semua berada dalam haribaan Yang Esa. Awalnya kita satu, kita adalah cinta kasih, kita adalah Tuhan itu sendiri''.

Kita adalah bagian dari sang Roh Pencipta yang bersemayam di dalam diri kita semua. Kita sepakat untuk memainkan beragam peran. Kita sepakat melupakan intisari Tuhan yang bersemayam di dalam diri kita. Maksudnya, semua agar dapat berpencaran dan mewujudkan bentuk yang lebih agung dari intisari Tuhan yang bersemayam dalam segala yang ada.

Pura ini mengisyaratkan kesiapan kita mengingat atau bersujud pada pura baik yang ada di Bhuana Alit maupun di Bhuana Agung. Semua orang telah ambil bagian dalam membuka pintu perwujudan penciptaan yang lebih agung. Semua kepercayaan dan perwujudannya adalah bagian dari kunci universal ini. Kunci ini adalah cinta kasih. Bila semua agama dan umat manusia bersatu dalam satu titik fokus guna menyalakan ungkapan mereka yang unik lewat Mudra dan Suara, daya mahkota dari Yang Esa akan bangkit.

Merpati (cinta kasih) yang bersemayam di dalam diri kita semua akan mulai berkelana dari bintang di dalam inti bumi. Melewati jalanan sang Naga dan bumi ini akan mencuat menjadi sebuah bintang yang menyatukan sorga-sorga dan bertahta sebagai Kerajaan Tuhan.

Oleh sebab itu, semua orang akan mendapat kesempatan. Mereka yang datang hanya perlu mengenali Tuhan yang bersemayam di dalam dirinya. Memilih untuk melangkah ke depan dan mengingat masa lalunya sebagai bagian dari intisari Tuhan sebagai pencipta yang Esa. Tiap orang akan memegang kode-kode istimewa yang diwujudkan dalam kepercayaan-kepercayaan mereka yang unik sebagai bagian dari rencana Sang Pencipta.

Ini menjadi lambang dari lengkungan pelangi yang menyatu di atas maupun di bawah berlandaskan pemersatuan dua kutub yang berlawanan. Pura ini diciptakan untuk menjadi pintu masuk ke dalam mahkota yang hanya bisa dicapai dengan meniadakan waktu, ruang dan tidak mendua serta hati yang saling bertautan. *Ngurah Paramartha
source: Balipost
 
Sejumlah Bukti Sejarah Menguatkan Bekas Kerajaan Besar

MESKI banyak ditemukan situs dan bukti sejarah, riwayat kerajaan Blambangan tetap misterius. Situs dan petilasan Blambangan banyak ditemukan di Kecamatan Muncar. Yang masih terlihat jelas bentuknya adalah situs Umpak Songo dan Setinggil di Desa Tembokrejo, Muncar.

Umpak Songo adalah tumpukan batu berlubang mirip penyangga tiang bangunan yang berjumlah sembilan. Umpak artinya tangga, songo berarti sembilan. Situs ini ditemukan pertama kali tahun 1916 oleh Mbah Nadi Gde, warga dari Bantul, Yogyakarta.

Pertama ditemukan kondisinya sudah tertimbun tanah dan hutan belantara. Begitu digali, ternyata mirip sebuah candi. Diyakini, Umpak Songo dahulunya adalah balai pertemuan bagi raja Blambangan bersama bawahannya.

Tahun 1938, seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, mengunjungi tempat itu. Kemudian, tempat ini diberi nama Umpak Songo. Mangku Bumi sempat mengisahkan lokasi itu adalah bekas peninggalan kerajaan Blambangan dengan rajanya Minak Jinggo.

Di sekitar Umpak Songo banyak ditemukan saksi sejarah kebesaran Blambangan. Ada gumuk sepur, bukit yang memanjang. Konon ini adalah benteng raksasa kerajaan Blambangan. Akibat kurangnya pemahaman masyarakat, gumuk sepur dihancurkan dan lokasinya dijadikan lahan pertanian.

Tak jauh dari Umpak Songo, ada Umpak Lima. Konon, tempat ini adalah ruangan semadi raja-raja Blambangan. Bangunan ini kini sudah musnah. Warga meratakannya dengan tanah, lalu dibangun sebuah mushola. Warga yang bertempat tinggal di sekitar situs Umpak Songo adalah keluarga besar.

Jumlahnya 20 KK. Mereka keturunan Mbah Nadi Gde. Saat ini hanya tinggal Umpak Songo yang masih terlihat bentuknya. Itu pun kondisinya sudah memrihatinkan. Sejumlah batu dan benda-benda sejarah lainnya sudah hilang.

Meski sudah masuk cagar budaya, perhatian terhadap Umpak Songo, minim. Baru tahun ini, Pemkab Banyuwangi membuat tembok keliling di sekitar lokasi. Umpak Songo juga masih berstatus lahan milik pribadi.

“Ini adalah warisan nenek moyang, sesuai petuahnya, kami tidak boleh menjual,” kata Mbah Soimin (70), juru kunci Umpak Songo yang juga pemilik situs tersebut.

Bukti adanya bekas kerajaan cukup dirasakan warga di sekitar Umpak Songo. Zaman dahuu,banyak warga menemukan benda-benda sejarah ketika menggali tanah di sekitar lokasi, seperti genta kuningan dan berbagai perabot terbuat dari keramik Cina.

Juga pernah diemukan arca dan berbagai benda bertuah lainnya. “Tempat ini (sekitar Umpak Songo-red) adalah pusat kerajaan,” sambung Mbah Soimin. Satu lagi bukti sejarah yang masih terlihat adalah pohon pakis raksasa. Pohon ini tumbuh tepat di depan Umpak Songo. Umur pohon ini diyakini sudah ratusan tahun.

Meski berstatus milik pribadi, situs Umpak Songo tetap dibuka untuk umum. Kawasan ini menjadi jujukan warga untuk bersemadi sejak zaman dahulu. Biasanya mereka datang pada malam Sabtu Pahing. Kegiatannya, menggelar ritual tirakatan semalam suntuk.

Puncak keramaian Umpak Songo adalah hari raya Kuningan. Umat Hindu selalu antre bersembahyang di tempat ini. Hari biasa pun sejumlah pemedek dari Bali juga banyak mengalir. Situs Umpak Songo hanya berjarak satu kilometer arah timur Pura Agung Blambangan, pura terbesar di Banyuwangi.

Selain Umpak Songo, ada situs Setinggil di Dusun Kalimati, Muncar, sekitar 4 km arah timur Umpak Songo. Lokasinya persis menghadap pantai. Setinggil berasal dari dua kata, siti artinya tanah dan inggil berarti tinggi. Setinggil diartikan tanah yang menjulang tinggi mirip sebuah bukit.

Situs ini diyakini bekas menara pengintai kerajaan Blambangan. Lokasinya yang berdekatan laut cukup mudah mengawasi Selat Bali yang digunakan berlayar kapal-kapal perdagangan.

Kondisi Setinggil juga memrihatinkan. Di sekitar lokasi sudah diserbu perumahan warga yang penuh sesak. Yang tersisa hanya tanah seluas 200 m2 yang digunakan kantor Kepala Dusun Kalimati.

Di dekatnya dibangun balai kecil. Di tempat ini terdapat sebongkah batu besar. Batu ini diyakini bekas tempat duduk raja Blambangan, Minak Jinggo, ketika melakukan pengintaian kapal-kapal di Selat Bali yang akan mendarat.

Di atas batu besar ini terdapat bekas telapak kaki raja Minak Jinggo yang digambarkan bertubuh besar dan sakti. Sayangnya, batu ini sudah pecah dan bentuknya tidak beraturan lagi.

Setinggil juga dianggap sakral. Pada hari tertentu situs ini digunakan semadi para pengikut aliran kejawen. Saat hari raya Kuningan, umat Hindu juga banyak yang sembahyang di tempat ini. “Tetap terbuka untuk umum. Siapa pun boleh masuk,” kata Ahmad Slamet (60), juru kunci Setinggil yang juga Kepala Dusun Kalimati.

Di sekitar Setinggil banyak juga ditemukan bekas peninggalan sejarah Blambangan, seperti gumuk Klinting. Di tempat ini warga banyak menemukan genta terbuat dari tanah liat. Ada juga batu kereta yang berada di tengah laut. Batu berbentuk mirip kereta ini diyakini bekas tempat pelatihan perang tentara Blambangan.

Lokasinya sekitar 4 km dari bibir pantai.
Situs lainnya adalah Bale Kambang di Desa Blambangan, Muncar. Konon, tempat ini adalah tempat pertemuan rahasia raja Blambangan. Kini, Bale Kambang sudah tertimbun pepohonan.

Bentuknya menyerupai bukit yang menjulang tinggi. Di sekitarnya terlihat jelas tanah mendatar mirip bekas kolam. Bale kambang diartikan sebagai balai yang dibangun di atas air. Ada juga yang menyebut balai ini adalah kaputren permaisuri raja Blambangan.

Di sekitar Bale Kambang, terdapat sejumlah bukti sejarah yang menguatkan adanya bekas kerajaan besar. Tak jauh dari bale, ada sebuah tanah tinggi yang memanjang.

Bentuknya mirip bukit berbaris. Dipercaya, ini adalah tembok istana yang mengelilingi Bale Kambang. Tempat ini terbuat dari tumpukan batu cadas berukuran besar. Zaman dahulu kawasan ini banyak ditemukan tembok-tembok besar menjulang tinggi. Selanjutnya daerah ini dikenal dengan nama Tembokrejo.

Banyak lagi situs di sekitar Bale Kambang. Bentuknya menyerupai bukit dengan ditumpuki batu-batu alam. Kondisinya tak terawat. Di sekitar tempat ini hanyalah hamparan sawah yang luas.

Kendati tidak ada catatan sejarah, kebesaran Blambangan tetap diyakini masyarakat Jawa di sekitar lokasi.

Ini terlihat dari banyaknya nama-nama desa yang erat hubungannya dengan zaman keemasan Blambangan. Tak jauh dari situs Bale Kambang ada desa Blambangan.

Di sekitar situs Umpak Songo ada desa Tembokrejo. Ada pula daerah Palu Kuning yang diyakini bekas hilangnya senjata gada besi kuning milik Minak Jinggo. Juga ada Bukit Putri, Bukit Jadah, dan sejumlah situs lain yang tidak terawat. (-udi*T)

KERAJAAN Blambangan adalah cikal bakal munculnya Kabupaten Banyuwangi. Kebesaran daerah di ujung timur pulau Jawa ini identik dengan keemasan masa kerajaan Majapahit. Sayangnya, sejumlah petilasan yang membuktikan kebesaran Blambangan sudah musnah. Hanya beberapa yang tersisa. Itu pun dalam kondisi memrihatinkan.
 
Wah menarik bro...

BTW kenapa bisa jadi lahan milik pribadi ya ? Harusnya pemerintah daerah membeli lahan itu untuk dipergunakan umum.

Nice info bro...:D
 
Wah menarik bro...

BTW kenapa bisa jadi lahan milik pribadi ya ? Harusnya pemerintah daerah membeli lahan itu untuk dipergunakan umum.

Nice info bro...:D

Umunya situs itu ditemukan tertimbun pada lahan-lahan milik pribadi, seperti halnya beberapa candi yang baru ditemukan.

Pada perkembangan selanjutnya biasanya pemerintah daerah akan mempertimbangkan untuk dipergunakan umum tentu dengan tukar guling atau pengantian biaya pembebasan.
 
Kawasan Borobudur dan Prambanan Dihijaukan

Yogyakarta - Kawasan komplek Candi Borobudur di Magelang,Jawa Tengah dan Candi Prambanan di perbatasan Jateng dan Daerah istimewa Yogyakarta (DIY), akan ditanami pohon penghijauan untuk menunjang pelestarian zona satu di kedua candi itu.

"Kawasan zona dua merupakan bagian tanggungjawab PT.Taman Wisata Candi Borobudur,Prambanan dan Ratu Boko (PT.TWCBPRB) untuk mengelola dan memanfaatkannya. Dalam penghijauan itu nantinya juga akan ditanam berbagai jenis plasma nutfah tanaman langka sekaligus melestarikan keberadaan tanaman itu," kata Dirjen Sejarah dan Purbakala Depbudpar, Hari Untoro Dradjat, di Yogyakarta, Kamis.

Seusai memberikan pembekalan tentang konservasi dan pemanfaatan warisan budaya dunia Candi Borobudur dan Prambanan, kepada wartawan di Yogyakarta, ia menambahkan pelstarian di kawasan zona dua kedua candi itu terutama dengan sisi penghijauan kawasan.

Candi Borobudur dan Prambanan sebagai karya adiluhung yang sifatnya karya besar maka visi pelstarian menjadi penting dan PT.TWCBPRB sebagai pengelola kawasan zona dua sepakat untuk mengubah paradigma dalam pelestarian dengan konteks maupun orientasinya tidak hanya pada bangunan monumen candi saja tapi lebih luas lagi pada area situs dan kawasan.

Pengembangan selanjutnya, pengemasan menjadi sangat penting untuk penyeimbang karena dalam pelestarian warisan budaya tidak terpancang pada bangunan saja tapi utama menggabungkan pelestarian budaya dan alam.

"Jadi, jika saat ini di kawasan candi Borobudur banyak dibangun menara seluler maka dikhawatirkan keaslian lingkungan menjadi sangat terganggu, apalagi pengembangan permukiman di kawasan itu juga makin pesat,"katanya.

Ia mengatajkan, Borobudur jangan dilihat sebagai destinasi wisata saja tetapi harus dilihat dari pemetaan lingkungan, sebab di kawasan Candi Borobudur juga memiliki potensi lainnya, misalnya masyarakat di sekitar candi memiliki kemampuan memproduksi kerajinan gerabah, tarian tradisional.

"Jadi, pelstarian tidak hanya dilihat dari bangunan candi saja tetapi perlu dilihat pula potensi budaya, seni dan spiritual,"katanya.

Sementara itu, Direktur Utama PT.TWCBRB, Purnomo mengatakan bahwa konsentrasi utama manajemen PT.TWCBPRB adalah bersama para pemangku keptingan pariwisata di Jawa Tengah dan DIY untuk mengembangkan kawasan candi Borobudur dan Prambanan sebagai objek wisata andalan.

"Kami tidak saja mengembangkan khususnya kawasan Candi Borobudur saja tapi juga mengembankan lingkungan di sekitar candi, sehingga sehingga menjadi aset wisata yang memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan,"katanya.

Menurut dia, Candi Borobudur danPrambanan yang sudahmasuk dalam kategori warisan budaya dunia maka konservasi dan pemanfaatn candi tersebut harus selalu dalan koridor yang tepat baik dari segipelstarian maupun pemanfaatannya.

Kareanyanya, acara pembekalan ini dimaksudkan memberikan tambahan wawasan bagi pejabat di lingkungan PT.TWCBPRB, sehingga diharapkan dapat mendukung terwujudnya Candi Borobudur,Prambanan dan Ratu Boko sebagai tempat tujuan pariwisata budaya kelas dunia, katanya. (*AN)
 
Situs Muarojambi Menyimpan Puluhan Candi

Gubernur Jambi H Zulkifli Nurdin mengatakan, di kawasan situs percandian Muarojambi, Kabupaten Muarojambi diperkirakan masih tersimpan puluhan candi yang terbenam di tanah.

Candi-candi itu perlu digali dan dilestarikan sebagai cagar budaya dan dijadikan salah satu obyek wisata dan obyek penelitian, kata Gubernur saat membuka Diskusi dan Komunikasi Museum di Jambi, Selasa.

Saat ini yang sudah digali dan diberi nama baru sembilan candi, padahal di situs tersebut masih tersimpan lebih dari 90 candi besar dan kecil serta peninggalan sejarah lainnya.

Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak yang tertarik dengan kebudayaan untuk menggali peninggalan sejarah di situs Candi Muarojambi yang luasnya mencapai 12 kilometer persegi.

Ke sembilan candi besar yang sudah ada saat ini meliputi Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Candi Kembar Batu dan Candi Astano. besar.

Untuk menggali cand-candi tersebut, Jambi membutuhkan dukungan dari pihak-pihak yang tertarik untuk mengembangkan dan melestarikannya.

Berdasarkan data-data yang ada di lokasi itu, Candi Muarojambi, kata Zulkifli, usianya lebih tua dari Candi Borobudur di Jawa Tengah.

Dalam upaya mempromosikan peninggalan sejarah di Jambi itu, Pemprov Jambi dalam waktu dekat akan menyelenggarakan "The World Heritage Conference".

Melalui kegiatan itu, diharapkan Candi Muarojambi yang diperkirakan merupakan menyimpan sejarah Jambi di masa lalu bisa marik minat sejumlah pihak untuk melakukan penelitian dan pengembangan, kata Gubernur.

Situs percandian Muaro Jambi terletak di Desa Muaro Jambi, Kecamatan Muaro Sebo, berjarak sekitar 40 Km Kota Jambi. Komplek percandian ini tak jauh dari daerah aliran Sungai Batanghari.

Untuk menuju lokasi bisa ditempuh dengan jalur darat atau pakai kapal cepat lewat sungai.

Pada bagian lain, Zulkifli juga menyatakan bahwa Pemprov Jambi bersama legislatif saat ini sedang menyusun peraturan daerah (Perda) tentang larangan jual-beli benda-benda budaya bersejarah.

"Kami prihatin, banyak benda-benda bersejarah di Jambi telah diperjualbelikan dan jatuh ke tangan-tangan yang tidak berhak, termasuk perseorangan," tambahnya.

Sebelumnya, Dirjen Sejarah dan Kepurbakalaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Utoro Drajat mengatakan, di era otonomi daerah muncul keinginan dari pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk mendirikan museum.

Gagasan itu juga didasari oleh upaya melestarikan banyaknya budaya dan peninggalan sejarah di daerah yang belum terkelola dengan baik.

"Museum sekarang ini selain sebagai sarana menyelamatkan budaya dan peninggalan sejarah juga menjadi obyek penelitian," katanya.

Namun, untuk mewujudkan hal itu, perlu dipersiapkan sumber daya manusia di bidang permuseuman, yang kini jalurnya sudah tersedia di beberapa perguruan tinggi negeri.

Diskusi dan Komunikasi yang diikuti 200 peserta dari pengelola museum negeri dan swasta dari seluruh Indonesia itu juga menyelenggarakan Musyawarah Nasional Asosiasi Museum Indonesia (AMI).

Hadir sebagai pembicara Direktur Museum, Depbudpar, Intan Mardiana, Noerhadi Magetsari dari Universitas Indonesia Edy Sedyawati, mantan Dirjen Pariwisata.
(*AN)
 
Pura Kahyangan Jagat Suniya Loka Gunung Srawet

Pura Kahyangan Jagat Suniya Loka Gunung Srawet dibangun di puncak Gunung Srawet, Desa Kebondalem, Kecamatan Bangorejo, sekitar 45 kilometer arah selatan Kota Banyuwangi. Selain pura, umat setempat membangun Candi Empu Baradah.

Lokasi Pura Gunung Srawet terasa cukup indah. Di sekelilingnya kita bisa melihat hamparan lahan persawahan yang menghijau. Untuk mencapainya, para pemedek bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke depan pura. Setelah itu, berjalan menaiki tangga menuju puncak pura. Selain pura, umat berencana membangun pasraman di sekitar pura.

Lokasi Pura Srawet ditemukan tahun 1968. Namun, karena terjadi pro-kontra, areal tersebut baru bisa dimiliki umat Hindu tahun 2003 lalu. Tanah seluas dua hektar di lereng gunung dihibahkan oleh pemerintah desa setempat kepada umat Hindu. Tahun 2005, umat Hindu membanguan sebuah Padmasana di puncak Gunung Pegat, salah satu puncak di samping Gunung Srawet.

Untuk memperluas bangunan pura, umat tahun ini mendirikan Candi Baradah. Letaknya ditempatkan di sisi kanan Padmasana. Diharapkan, candi dan Pura Srawet ini bisa menjadi salah satu tujuan wisata spiritual.
 
Petirtaan Abad VIII dalam Kondisi Nyaris Sempurna

3420747p.jpg

Kompas/Antony Lee

Semarang, Kompas - Petugas Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, Selasa (21/7), akhirnya ber-hasil memunculkan bentuk petirtaan di Derekan, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dalam keadaan nyaris sempurna. Ekskavasi selama tiga pekan terakhir juga menemukan jejak candi di sisi selatan petirtaan yang diduga berasal dari abad ke-8 tersebut.

Air hangat langsung memenuhi petirtaan itu, meski bagian dasarnya masih belum semuanya dikeruk. Masih tersisa tanah sekitar 1 meter dari dasar petirtaan. Di sisi selatan pagar petirtaan terdapat rongga khusus yang diperkirakan untuk meletakkan sesajian atau penerangan. Setelah diukur ulang petirtaan itu memiliki panjang 5,9 meter, lebar 5,1 meter, dan kedalaman 1,5 meter.

”Kami juga menemukan sekitar 10 batu yang diduga bagian dari sebuah candi. Termasuk ada potongan arca setinggi 40 sentimeter di luar petirtaan, di sisi selatan. Bisa jadi akibat longsor, candi itu sebagian terlempar ke petirtaan,” tutur Adriyanto, petugas penggambaran Subkelompok Pemugaran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Petugas juga menemukan arca Shiwa di bagian dalam petirtaan serta arca sepasang gajah mengapit undak-undakan batu menuju ke dalam petirtaan.

Tanah selebar 0,5 meter dari tepi petirtaan sudah dipotong untuk mencegah longsor.

Langsung dimanfaatkan

Setelah diekskavasi, petirtaan tersebut bisa langsung dimanfaatkan warga karena kondisinya nyaris sempurna. Hanya tampak sedikit pergeseran batu. Gelembung air terlihat muncul di sisi selatan petirtaan. Air tersebut diperkirakan mengandung belerang.

”Sekarang tinggal menunggu datangnya mesin penyedot air supaya tanah yang tersisa bisa digali. Kami juga menunggu informasi dari arkeolog, apa petirtaan sudah boleh digunakan umum,” kata Wagiyo, Koordinator Lapangan Pemugaran Candi Ngempon, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.

Ditemukan Juni

Petirtaan tersebut ditemukan akhir Juni silam dan mulai diekskavasi awal Juli.

Lokasinya berada di tepi Sungai Banjaran, sekitar 200 meter dari Candi Ngempon yang dibangun pada abad ke-8, masa Mataram kuno. Petirtaan itu diperkirakan merupakan lokasi untuk bersuci sebelum memasuki kompleks candi.

Nurcholis (58), pemilik lahan temuan petirtaan, meminta tanah miliknya dengan dimensi 11 meter x 11 meter tak dibeli, tetapi disewa. Dia khawatir uangnya akan langsung habis jika tanahnya dibeli pemerintah. (GAL)

sumber: Kompas
 
Pura Taman Ayun

Taman-Ayun01.jpg


Taman Ayun terletak di Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Dari kota Denpasar jaraknya lebih kurang 18 km menuju arah barat laut mengikuti jalan jurusan Denpasar-Singaraja melalui Bedugul.
Sebuah lingkungan pura kerajaan yag dibangun tahun 1634, kemudian dipugar tahun 1937. Piodalan jatuh setiap 210 hari tepatnya setiap Selasa Kliwon Medangsia.

Lingkungan Pura tersebut dikelilingi oleh kolam berisi teratai, kira-kira 300 meter sebelah istana kerajaan Mengwi. Lingkungan pura dengan tiga halaman yang hijau oleh tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumputan yang terpelihara, dihiasi oleh barisan meru, paibon dan Padmasana Singgasana Sang Hyang Tri Murti. Dan di seberang lingkungan pura juga terdapat Museum Manusa Yadnya , yaitu Museum upacara kemanusiaan sejak manusia dalam kandungan sampai dengan pembongkaran mayat.
Di sebelah kiri dan kanan lingkungan Pura terdapat komplek perkampungan penduduk dengan rumah-rumah tradisonalnya, sementara di seberang jalan terdapat jeram-jeram dengan parit yang berliku-liku.

Pura ini memiliki nilai sejarah, budaya, religi, dan memiliki cita rasa seni yang tinggi.

Meskipun merupakan bagian dari warisan budaya, akan tetapi Pura Taman Ayun masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga kini.
Mengunjungi pura ini, wisatawan dapat menikmati indahnya bangunan pura yang telah berusia hampir 400 tahun. Selain itu, panorama alam di sekitar pura, seperti pepohonan, bunga, dan rerumputan terpelihara dengan baik, sehingga menambah kesan sejuk lingkungan pura.

Pengunjung juga dapat melihat-lihat peninggalan Kerajaan Mengwi yang berada sekitar 300 meter dari pura ini. Di seberang pura juga terdapat Museum Manusa Yadnya, yaitu museum yang memamerkan upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia mulai dari ketika berada di dalam kandungan sampai meninggal.

Pura Taman Ayun telah diusulkan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu situs warisan budaya dunia (world heritage). Pada 12 Maret 2008 lalu, Dirjen UNESCO Kokhiro Matsuura telah berkunjung ke Pura Taman Ayun untuk menilai kelayakannya.
 
Telusuri Kota Majapahit

Secara makro, bentuk kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi, berdenah segi empat dengan bangunan penampil yang menjorok di keempat sisinya. Pada keempat sisinya terdapat gapura masuk. Letak keraton terdapat pada bagian bidang segi empat yang pada keempat sudutnya terdapat bangunan suci agama Hindu dan Buddha. Letak keraton tapat pada pertemuan garis diagonal, seperti titik sakral dalam mandala bangunan suci. Di dalam bentuk denah keseluruhan tersebut terdapat bangunan-banguan kuna yang lokasi dan nama bangunan ditafsirkan dari isi kitab Nagarakertagama.

1. http://www.youtube.com/watch?v=8jwZRsI2wao

2. http://www.youtube.com/watch?v=reFpzRpmVgQ

3. http://www.youtube.com/watch?v=nO33hzJmEc4

4. http://www.youtube.com/watch?v=qaBqESsD-SA

5. http://www.youtube.com/watch?v=FVEJEC2slI8

6. http://www.youtube.com/watch?v=jKEuWcissjc

7. http://www.youtube.com/watch?v=o0Dh_buVA4Y

8. http://www.youtube.com/watch?v=BOgvmprR65M

9. http://www.youtube.com/watch?v=hIP_BMXcdDw

10. http://www.youtube.com/watch?v=ZF7TVTHs_wI

11. http://www.youtube.com/watch?v=X6bcHAlutGc

12. http://www.youtube.com/watch?v=P2b53to4Ukk

13. http://www.youtube.com/watch?v=g5jjjUQB6hg

14. http://www.youtube.com/watch?v=fW4tj3BtiQ0

15. http://www.youtube.com/watch?v=6cFo6Eup8Gc

16. http://www.youtube.com/watch?v=PxlzwwG1Gzo

17. http://www.youtube.com/watch?v=fwV2YUgXwjI

18. http://www.youtube.com/watch?v=jUYw-lZbl5o

19. http://www.youtube.com/watch?v=GqqJnxP3Sx0

20. http://www.youtube.com/watch?v=KuFdxVC9VG0


Ratusan Ribu Peninggalan Majapahit Ditemukan

Ekskavasi tahap ketiga situs Majapahit dalam proyek pembangunan Pusat Informasi Majapahit atau PIM yang sekarang berganti nama jadi Neo PIM di Situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jatim, yang berlangsung sejak 10 November berakhir pada Minggu (22/11).

Ketua tim evaluasi PIM, Prof. Mundardjito mengatakan, total ditemukan 150.000 fragmen dan tidak kurang 60.000 keping uang logam dari China selama ekskavasi yang dilakukan dalam tiga tahap itu.

Menurut Mundardjito, banyaknya temuan dengan jenis yang beragam itu semakin mensahihkan hipotesis awal ahwa kawasan yang saat ini sedang digali adalah pusat kota Majapahit. Adapun temuan uang kuno dari China membutktikan bahwa pada masa itu telah terjalin pula hubungan dagangan dan diplomatik antara kedua negara yang sangat serius.

Selain itu, membuktikan pula ada sistem moneter yang terbangun. Masyarakat gemar menambung, ujar Mundardjito sembari menunjukkan gambar temuan sejumlah bentuk celengan. INK


Pemetaan Ulang Kanal Majapahit Dilakukan Desember

Tim evaluasi Pusat Informasi Majapahit akan melakukan pemetaan ulang kawasan kanal kuno Kerajaan Majapahit di Situs Trowulan mulai 3 Desember mendatang. Salah seorang anggota tim evaluasi PIM Osrifoel Oesman, Senin (23/11) mengatakan kawasan seluas 4 kilometer x 5 kilometer yang termasuk kawas an meso akan dipetakan lagi.

Hal itu penting mengingat kondisi kanal-kanal kuno itu pada saat ini yang sudah hilang dan berganti dengan areal persawahan. Padahal, detail soal teknik mengagumkan soal manajemen air yang mengantarkan Majapahit jadi kerajaan paling digdaya se-Nusantara tersimpan dalam desain kanal-kanal kuno itu.

Ketua tim evaluasi PIM Prof. Mundardjito menambahkan, kana-kanal kuno itu merupakan bukti nyata betapa hebatnya sistem pengelolaan air yang dimiliki.

Sementara itu, sayembara rancang ulang Pusat Informasi Majapahit atau PIM di Situs Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jatim yang sebelumnya dinyatakan dibuka hingga 25 November, diperpanjang menjadi 2 Desember mendatang. "Ini dilakukan untuk lebih memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta sayembara," tutur Osrifoel.

Hingga saat ini, imbuh Osrifoel, sudah masuk hingga belasan karya yang akan disayembarakan. Sayembara tersebut dikhususkan bagi anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang sudah bersertifikat madya yang aktif dan telah melunasi iuran keanggotaan hingga 2009. *INK/Kompas

Mojokerto Art Festival Gali Tari Majapahit

Mojokerto Art Festival 2009 yang digelar 16-19 November di GOR Majapahit, Mojokerto, di antaranya ditujukan pula untuk menggali bentuk asli tarian Majapahit yang selama ini belum diketahui.

"Sekali pun begitu, utuk kali ini baru akan ditujukan untuk apresiasi tari dahulu, karena baru kali ini ada festival seni diadakan di Mojokerto yang waktunya lebih dari sehari," kata penggagas sekaligus ketua pelaksana festival itu, Heriyanto Subekti, Senin (16/11).

Dalam festival itu, sastrawan Putu Wijaya dijadwalkan tampil pada 18 November dengan aksi monolog Burung Merak yang akan diikuti pula dengan pentas Teater Mandiri. *INK

Ditemukan Tiga Arca Diperkirakan Sebelum Majapahit

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, memperkirakan tiga arca yang ditemukan di Desa Semen, Kecamatan Pagu itu peninggalan kerajaan sebelum Majapahit.

"Masa sebelum kerajaan Majapahit itu mempunyai ciri tersendiri, yaitu lokasi candi minimal 3 meter dari bawah tanah dan dekat dengan sumber air," kata Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Kediri, Ruddy Hari Santoso, Kamis.

Ruddy mengaku belum bisa memprediksi temuan tersebut berasal dari kebudayaa ataupun kerajaan apa. Pihaknya memperkirakan temuan itu sebelum kerajaan Majapahit, yang bisa berasal dari kerajaan Kediri maupun Singosari.

Ia mengungkapkan, pihaknya sudah meninjau ke lokasi temuan arca tersebut dan melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan sementara, pihaknya mengidentifikasi dua arca besar yang berukuran sekitar 1 meter itu sebagai arca Djala Dwara, yang mirip dengan naga. Sementara, satu arca kecil yang berukuran sekitar 50 centimeter itu merupakan arca Garuda Wisnu.

Arca Djala Dwara itu, kata Ruddy terdapat perbedaan fungsi, yaitu yang digunakan sebagai hiasan di lokasi pemandian atau sendang, maupun bersifat sakral sebagai media pemujaan.

"Kalau yang ditemukan itu, kami belum mengetahui dengan persis, dan saat ini, kami masih melakukan pendalaman," katanya menjelaskan.

Untuk lebih maksimal dalam melakukan penelitian, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan tim BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan, serta Balai Arkeologi Yogyakarta.

Rencananya, mereka akan datang Senin (23/11) pekan depan, mengingat saat ini tim sedang konsentrasi pada penemuan situs di Pasuruan, yang diperkirakan juga besar.

Tiga arca tersebut ditemukan oleh Juki, warga Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Ketiga arca tersebut ditemukan di lahan milik Imam Afad, warga setempat.

Karena belum ada tindak lanjut tentang penemuan itu, warga berinisiatif untuk melakukan penjagaan, mencegah terjadinya kerusakan temuan itu, hingga tim dari BP3 Trowulan dan Pemkab Kediri melakukan penelitian. *JY
Sumber : Antara

Wisata Situs, Mereka-reka Masa Keemasan Majapahit

Inginkah Anda merasakan sensasi yang membangkitkan rekaan tentang kehidupan ratusan tahun silam ketika Kerajaan Majapahit (abad XIII- abad XV) mencapai masa kejayaannya? Jejak masa keemasan itu ada di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Mungkin inilah satu-satunya situs kota di Indonesia yang luasnya sekitar 11 km x 9 km (99 km persegi) dan menyimpan ratusan ribu peninggalan arkeologis, baik yang sudah ditemukan maupun yang masih terkubur.

Mampirlah ke kolam kuno Majapahit, Segaran, yang memiliki panjang 375 m dan lebar 125 meter, dengan ketinggian dinding 3,16 meter. Kolam yang sampai saat ini masih dialiri air tersebut tak ubahnya telaga di tengah kota. Pada zaman Majapahit, Segaran merupakan tempat rekreasi sekaligus tempat untuk menjamu tetamu dari luar negeri.

Konon, saking makmurnya kerajaan ini, setelah perjamuan usai, peralatan makan, seperti sendok dan piring yang terbuat dari emas, dibuang ke kolam (Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan, I Made Kusumajaya, Aris Soviyani, Wicaksono Dwi Nugroho).

Sempatkan juga mengunjungi situs Wringin Lawang dan duduk di pelatarannya yang asri. Gapura berbentuk simetris dan dibangun dari batu merah ini diduga merupakan bagian dari tembok keliling kota. Temuan-temuan arkeologis yang ditemukan di sekitar situs berupa sumur-sumur kuno menguatkan dugaan bahwa wilayah ini dulunya merupakan kawasan permukiman. Suasana di sekitar situs yang relatif sepi, hamparan rumput yang luas dengan semilir angin yang tak henti, membuat tempat ini menjadi tetirah yang menenangkan.

Menikmati

Begitu banyak situs penting di Trowulan sehingga untuk menikmatinya mungkin membutuhkan waktu lebih dari sehari. Di antaranya, ”ikon” Trowulan: Candi Brahu dan Candi Tikus. Candi Tikus merupakan bangunan petirtaan yang memiliki puluhan pancuran. Juga sejumlah makam (yang kerap dikeramatkan), seperti makam Putri Campa (permaisuri Raja Majapahit terakhir, Brawijaya), pekuburan Islam kuno Troloyo yang membuktikan adanya komunitas Muslim di dalam kota kerajaan Majapahit, dan makam Panjang yang menunjukkan adanya penghuni Trowulan sebelum era Majapahit.

Untuk ”menyatukan” mozaik pemahaman yang didapatkan lewat situs-situs yang tersebar di Kecamatan Trowulan, ada baiknya kita meluangkan waktu ke Museum Trowulan yang jaraknya tak jauh dari situs Segaran. Di sini gambaran kejayaan Majapahit tersajikan secara lebih utuh dan sistematis.

Kebetulan, kunjungan pada pertengahan November itu bertepatan dengan Pameran Majapahit yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia yang bekerja sama, antara lain, dengan Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Pameran ini memperkaya pemahaman pengunjung tentang tingkat peradaban di Trowulan pada era Majapahit, mulai dari sistem pemerintahan, perdagangan, hubungan luar negeri, teknologi, arsitektur, pertanian, hingga seni kerajinan.

Situs yang berada di sebelah selatan halaman Museum Trowulan, misalnya, memperlihatkan sisa-sisa bangunan permukiman pada era Majapahit. ”Hasil penggalian ini sangat penting karena menunjukkan struktur lengkap sebuah rumah zaman Majapahit, termasuk selokan dan saluran airnya,” kata guru besar luar biasa Departemen Arkeologi FIPB Universitas Indonesia, Prof Dr Moendardjito, sambil menunjuk ke arah situs permukiman BPA (balai penyelamatan arkeologi). Moendardjito saat ini merupakan Ketua Tim Evaluasi, Rehabilitasi, Relokasi, dan Rancang Ulang Pusat Informasi Majapahit di Trowulan.

Kekaguman makin bertambah ketika saya diizinkan menengok ruang penyimpanan benda-benda purbakala berupa koleksi benda-benda terakota, keramik, logam, dan batu yang masing-masing memiliki ”gudang” sendiri. Koleksi yang jumlahnya ribuan ini tidak dipamerkan untuk umum. ”Kami masih memiliki puluhan ribu koleksi lainnya yang disimpan di tempat rahasia, demi alasan keamanan,” kata Fatoni dari Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Mojokerto.

Mungkin ini hari keberuntungan saya, bisa mengamati koleksi langka nan indah yang menggambarkan peradaban maju pada masa silam. Kemampuan para perajin logam (emas, perak, kuningan, perunggu, tembaga, besi) pada era itu telah mencapai tingkatan empu. Bahkan, lonceng dari logam untuk gantungan di leher sapi pun ditatah dengan cita rasa tinggi. ”Coba lihat lampu minyak ini. Indah sekali kan,” kata arkeolog Ni Ketut Wardhani dari BP3 Jatim yang bertanggung jawab terhadap ruang penyimpanan benda-benda logam.

Di ruangan ini pun yang tersimpan hanya sebagian koleksi museum, kebanyakan berupa benda-benda keseharian, seperti sanggurdi (pijakan untuk kaki pada pelana kuda), gong, aneka perhiasan, peralatan sesaji, dan kelat bahu.

Dari patung sampai batik

Saat ini, talenta masyarakat Trowulan dalam seni kerajinan logam, batu, maupun terakota tetap terpelihara. Perajin logam, khususnya kuningan, dapat ditemui di sepanjang Dusun Kedungwulun, Desa Bejijong. Aneka cendera mata, dari tingkat kesulitan yang mudah sampai sangat rumit, tersedia di sini dengan harga yang terjangkau.

Pengunjung pun bisa meninjau langsung proses pembuatannya yang meliputi pembuatan model dari lilin, pencetakan, pembakaran, pengecoran, penuangan, penghalusan, dan pewarnaan. Sebuah proses yang panjang dan rumit, yang butuh ketelitian, kesabaran, dan cita rasa.

Demikian juga dengan seni pahat batu. Kami sempat menemui salah satu pemahat batu terbaik di sini, Sutikno, yang karyanya dikoleksi sejumlah hotel dan bar di dalam dan luar negeri. Di bengkel kerjanya terdapat patung Buddha raksasa, pesanan kolektor dari luar negeri, dan beragam patung batu lain yang terinspirasi benda-benda purbakala peninggalan masa Majapahit.

Bahkan, batik pun ada di sini. Namun, perlu kesabaran bertanya untuk bisa menemukan lokasinya. Warga setempat umumnya mengernyitkan dahi mendapat pertanyaan tentang ”batik Mojokerto”. Adalah Erna, perempuan setengah baya yang keluarganya secara turun temurun meneruskan tradisi membatik dengan canting (tulis) di kediamannya di kawasan Surodinawan. Bisa jadi, dia kini tinggal satu-satunya pembatik yang masih produktif di Mojokerto.

”Kekhasan batik Mojokerto itu ya pada simbol Surya Majapahit. Itu patennya,” kata Erna yang biasanya menyelesaikan sepotong kain batik sekitar satu bulan. ”Karena membatik itu harus pakai hati. Kalau lagi gelo (susah hati), lebih baik tidak usah meneruskan membatik,” kata perempuan yang sehari-hari menjadi guru sekolah dasar ini. Batik tulis halus buatan Erna selain bermotif khas Surya Majapahit (lingkaran yang melambangkan sinar matahari) juga dicampur dengan motif ” merica bolong”, ”beras tumpah”, dan motif-motif primitif.

Kini, di mana tempat paling pas untuk menutup rangkaian wisata situs ini? Di salah satu rumah makan yang berjejer di depan Kolam Segaran. Menunya, tentu saja khas Mojokerto, ikan wader, nasi panas, lalapan, sambal tomat, dan sebutir kelapa muda penghapus dahaga….
 
Maaf bos,...... saya mo tanya apakah mungkin ada maksud terselubung dengan "hilangnya" berbagai candi Hindu maupun Buddha di Indonesia padahal umurnya baru beberapa ratus tahun aja yang coba dibandingkan dengan negara tetangga yang walaupun udah ribuan tahun kok masih tetap kokoh berdiri,

sebagai contoh yaitu kenapa bunga kenanga (Jepun) yang biasanya akan tumbuh di tempat ibadah Hindu (Pura) bisa ada di kuburan klo di Jawa?????
saya memiliki informasi yang saya ambil dari sebuah artikel:

Beberapa fakta menarik dimana komplek candi yang saat ini menjadi komplek kuburan antara lain adalah Candi Bojongmenje yang ditemukan kembali pada tanggal 18 Agustus 2002 oleh bapak Ahmad Muhammad ketika sedang meratakan tanah gundukan yang ada di areal makam Kampung Bojongmenje, Jawa Barat. Berdasarkan hasil peninjauan dapat diketahui bahwa lokasi situs Bojongmenje di sebelah selatan jalan raya Rancaekek, pada komplek kuburan yang terletak di antara pabrik-pabrik, secara administratif berada di wilayah Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Secara geografis berada pada 48’02” BT (berdasarkan peta topografi daerah°50’47” LS dan 107°posisi 6 Sumedang lembar 4522-II). Bangunan candi berada pada bagian barat laut lahan. Tanah di mana terdapat struktur bangunan candi sedikit menggunduk dengan ketinggian sekitar 1,5 m dari permukaan tanah sekitar.

Hal serupa juga ditemukan oleh warga Sukoharjo ketika menggali kuburan di pemakaman umum Turi Loyo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Mereka menemukan sebuah arca yang diduga peninggalan zaman Kerajaan Majapahit. “Tempat penemuan arca diduga merupakan kawasan pemandian dan pemujaan, tetapi sekarang berubah menjadi tempat pemakaman umum,” kata Agus Riyanto warga yang tinggal dekat pemakaman tersebut.

Menurut keterangan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur I Made Kusumajawa di sekitar situs Trowulan yang merupakan peninggalan Majapahit juga ditemukan candi yang posisinya sudah dijadikan kuburan warga. Berjejer di antara lokasi candi ditumbuhi pohon kamboja tua dan berjejer empat kuburan.

Di daerah Cangkuang juga ditemukan komplek candi yang juga dijadikan pemakaman leluhur Arif Muhammad. Candi Cangkuang ditemukan pertama kali pada bulan Desember 1966 oleh Uka Tjandrasasmita (anggota Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat) berdasarkan laporan Vorderman (1893) tentang sisa-sisa arca Dewa Siwa serta makam leluhur Arif Muhammad di daerah Cangkuang. Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya arca Siwa, melainkan juga batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur Islam yang berserakan di beberapa tempat. Dan, setelah Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bersama para dosen dan mahasiswa dari Jakarta dan Bandung melakukan ekskavasi (penggalian), mengumpulkan batu-batu, penggambaran, penyusunan percobaan dan serangkaian diskusi, maka kesimpulannya bahwa batu-batu itu jelas sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu itu terletak di bawah pohon besar dekat timbunan batu yang dikenal oleh masyarakat sebagai makam Dalam Arief Mohammad.

Di sepanjang pantura, dari ujung barat (Karawang), Tegal, Brebes dan juga Pemalang sangat banyak ditemukan peninggalan-peninggalan candi. Lebih lanjut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, Sartono sebagaimana yang disampaikan oleh harian Merdeka (22 Juli 2006) mengatakan bahwa di daerah pemakaman Jatiwangi dan Pagerbarang juga ditemukan banyak reruntuhan candi. Namun sayangnya saat dilakukan evakuasi dan pemugaran, mendapat perlawanan dari sekelompok orang yang memiliki motif-motif tertentu.


Nah jika melihat beberapa bukti arkeologi dimana candi dialihfungsikan sebagai kuburan, sebetulnya apa yang terjadi??????
Kemana hilangnya keraton kerajaan Majapahit yang besar itu, dan juga banyak tempat-tempat pemujaan yang ada di nusantara ini??????
Hancur karena usia ataukah sengaja di hancurkan????????
karena jika melihat pada candi-candi dan bekas kerajaan di India, kamboja dan Thailand yang sudah umurnya ratusan bahkan ribuan tahun saja masih ada sampai sekarang meskipun tidak terawat dengan baik.
Jadi apakah ini adalah sebuah usaha terselubung dan juga suatu bukti usaha pemberhangusan sejarah dan juga pemutarbalikan fakta??????

Bagaimana penjelasannya akan ini Bos???????
 
Maaf bos,...... saya mo tanya apakah mungkin ada maksud terselubung dengan "hilangnya" berbagai candi Hindu maupun Buddha di Indonesia padahal umurnya baru beberapa ratus tahun aja yang coba dibandingkan dengan negara tetangga yang walaupun udah ribuan tahun kok masih tetap kokoh berdiri,

sebagai contoh yaitu kenapa bunga kenanga (Jepun) yang biasanya akan tumbuh di tempat ibadah Hindu (Pura) bisa ada di kuburan klo di Jawa?????
saya memiliki informasi yang saya ambil dari sebuah artikel:

Beberapa fakta menarik dimana komplek candi yang saat ini menjadi komplek kuburan antara lain adalah Candi Bojongmenje yang ditemukan kembali pada tanggal 18 Agustus 2002 oleh bapak Ahmad Muhammad ketika sedang meratakan tanah gundukan yang ada di areal makam Kampung Bojongmenje, Jawa Barat. Berdasarkan hasil peninjauan dapat diketahui bahwa lokasi situs Bojongmenje di sebelah selatan jalan raya Rancaekek, pada komplek kuburan yang terletak di antara pabrik-pabrik, secara administratif berada di wilayah Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Secara geografis berada pada 48’02” BT (berdasarkan peta topografi daerah°50’47” LS dan 107°posisi 6 Sumedang lembar 4522-II). Bangunan candi berada pada bagian barat laut lahan. Tanah di mana terdapat struktur bangunan candi sedikit menggunduk dengan ketinggian sekitar 1,5 m dari permukaan tanah sekitar.

Hal serupa juga ditemukan oleh warga Sukoharjo ketika menggali kuburan di pemakaman umum Turi Loyo, Kecamatan Grogol, Sukoharjo. Mereka menemukan sebuah arca yang diduga peninggalan zaman Kerajaan Majapahit. “Tempat penemuan arca diduga merupakan kawasan pemandian dan pemujaan, tetapi sekarang berubah menjadi tempat pemakaman umum,” kata Agus Riyanto warga yang tinggal dekat pemakaman tersebut.

Menurut keterangan Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur I Made Kusumajawa di sekitar situs Trowulan yang merupakan peninggalan Majapahit juga ditemukan candi yang posisinya sudah dijadikan kuburan warga. Berjejer di antara lokasi candi ditumbuhi pohon kamboja tua dan berjejer empat kuburan.

Di daerah Cangkuang juga ditemukan komplek candi yang juga dijadikan pemakaman leluhur Arif Muhammad. Candi Cangkuang ditemukan pertama kali pada bulan Desember 1966 oleh Uka Tjandrasasmita (anggota Tim Penulisan Sejarah Jawa Barat) berdasarkan laporan Vorderman (1893) tentang sisa-sisa arca Dewa Siwa serta makam leluhur Arif Muhammad di daerah Cangkuang. Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya arca Siwa, melainkan juga batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur Islam yang berserakan di beberapa tempat. Dan, setelah Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) bersama para dosen dan mahasiswa dari Jakarta dan Bandung melakukan ekskavasi (penggalian), mengumpulkan batu-batu, penggambaran, penyusunan percobaan dan serangkaian diskusi, maka kesimpulannya bahwa batu-batu itu jelas sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu itu terletak di bawah pohon besar dekat timbunan batu yang dikenal oleh masyarakat sebagai makam Dalam Arief Mohammad.

Di sepanjang pantura, dari ujung barat (Karawang), Tegal, Brebes dan juga Pemalang sangat banyak ditemukan peninggalan-peninggalan candi. Lebih lanjut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, Sartono sebagaimana yang disampaikan oleh harian Merdeka (22 Juli 2006) mengatakan bahwa di daerah pemakaman Jatiwangi dan Pagerbarang juga ditemukan banyak reruntuhan candi. Namun sayangnya saat dilakukan evakuasi dan pemugaran, mendapat perlawanan dari sekelompok orang yang memiliki motif-motif tertentu.


Nah jika melihat beberapa bukti arkeologi dimana candi dialihfungsikan sebagai kuburan, sebetulnya apa yang terjadi??????
Kemana hilangnya keraton kerajaan Majapahit yang besar itu, dan juga banyak tempat-tempat pemujaan yang ada di nusantara ini??????
Hancur karena usia ataukah sengaja di hancurkan????????
karena jika melihat pada candi-candi dan bekas kerajaan di India, kamboja dan Thailand yang sudah umurnya ratusan bahkan ribuan tahun saja masih ada sampai sekarang meskipun tidak terawat dengan baik.
Jadi apakah ini adalah sebuah usaha terselubung dan juga suatu bukti usaha pemberhangusan sejarah dan juga pemutarbalikan fakta??????

Bagaimana penjelasannya akan ini Bos???????

penghancuran terselubung ....
seperti di sumatra "men len asane jeg benyahne be ..."
makane ade "inul" ditu

Om Santih Santih Santih Om
 
Nah jika melihat beberapa bukti arkeologi dimana candi dialihfungsikan sebagai kuburan, sebetulnya apa yang terjadi??????
Kemana hilangnya keraton kerajaan Majapahit yang besar itu, dan juga banyak tempat-tempat pemujaan yang ada di nusantara ini??????
Hancur karena usia ataukah sengaja di hancurkan????????
karena jika melihat pada candi-candi dan bekas kerajaan di India, kamboja dan Thailand yang sudah umurnya ratusan bahkan ribuan tahun saja masih ada sampai sekarang meskipun tidak terawat dengan baik.
Jadi apakah ini adalah sebuah usaha terselubung dan juga suatu bukti usaha pemberhangusan sejarah dan juga pemutarbalikan fakta??????

Bagaimana penjelasannya akan ini Bos???????

Kehancuran bangunan masa lalu banyak disebabkan oleh alam, disamping itu sudah ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya.

Untuk negara India, Kamboja, Thailand masih dapat dipertahankan tentu karena maryarakat pendukungnya masih mayoritas.

Ambil saja contoh di Aceh, karena masyarakat sekitar candi sudah tidak ada pendukung lagi maka candi berubah/ditambal sulam menjadi tempat ibadah baru sesuai masyarakat disekitarnya.
Bahkan pernah di Aceh ada sebuah Pura yang harus dipralina oleh Parisada karena tidak ada lagi yang penyungsungnya.

Jadi kahancuran bisa terjadi karena bencana alam atau alih pungsi yang terjadi tidak lain karena alam lingkungan atau masyarakat pendukungnya sudah tidak ada lagi.

Kompleks Candi Abad X Dijadikan Makam
Sebuah candi yang diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya abad X-XIII ditemukan di Desa Sumay Tuo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, telah menjadi areal pemakaman modern. Akibatnya, kalangan arkeolog kesulitan melakukan pemugaran untuk menyelamatkan peninggalan sejarah tersebut.

Tim survei arkeologi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi menemukan sebuah kawasan candi yang telah tertumpuk makam-makam modern. Menurut ketua tim survei, Kristanto Januardi, Candi Sumay berukuran sekitar 10 x 10 m2 berada dalam kawasan percandian seluas hampir 1 hektar.

Tanah itu lebih tinggi dibandingkan dengan dataran di sekitarnya, berjarak 150 meter dari tepi salah satu anak Sungai Batanghari, Batang Sumay. Kondisi lahan di dataran tinggi menarik masyarakat membangun makam di sana.

"Masyarakat diperkirakan sebelumnya tidak mengetahui bahwa terdapat candi di sana," katanya, Selasa (19/2). Temuan ini adalah
bagian dari hasil penelusuran tim BP3 Jambi di sepanjang daerah aliran Sungai Batanghari, 21-30 Januari 2008. Jarak melalui jalur air
mencapai 400 km dari Kota Jambi hingga mencapai Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Menurut Kris, kondisi candi yang terbuat dari batu bata ini sudah rusak. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan pemugarannya akan makin sulit.

Tak jauh dari candi terdapat makam kuno dari kayu sungkay, atau kayu yang telah menjadi fosil atau membatu. Kris memperkirakan
terdapat sejumlah desa tua peninggalan Kerajaan Melayu Kuno atau Sriwijaya.

Di Desa Kandang, Tebo Tengah, tim menemukan Arca Patmapani dalam posisi bersila. Keunikan arca ini adalah bergaya Syailendra, dengan tinggi 6,5 cm dan lebar 4 cm.

Selain arca, terdapat juga sabuk rantai berkepala Kala, dari bahan kuningan sepanjang 67 cm.Arca Kala biasanya dipasang di depan pintu-pintu masuk candi sebagai penolak bala.

Diperjualbelikan

Dua arca Awalokitaswara yang ditemukan warga Desa Kandang belum lama ini telah jatuh ke tangan kolektor dengan harga Rp 7 juta. Padahal, arca Awalokitaswara merupakan arca penting, menggambarkan perwujudan Buddha pada masa awal sebelum pencariannya akan kehidupan. Lewat arca ini, tampak Buddha sebagai anak raja yang masih berpakaian
mewah.

Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Jambi Rusmeijeni Setyorini menyayangkan adanya jual beli peninggalan purbakala di
sana. "Benda purbakala adalah milik negara, mestinya tak boleh diperjualbelikan," ujarnya.

Setyorini mengimbau masyarakat supaya tidak melakukan penggalian liar di sepanjang DAS Sungai Batanghari demi mendapatkan temuan-temuan arkeologis untuk kepentingan diperjualbelikan. (ITA)

Sumber : Kompas

Tapi ada juga beberapa kesadaran pemerintah daerah dimana lahan disekitar situs dibebaskan untuk nantinya dapat ditempati oleh umat yang terkait dengan situs sebagai pengembangan adat dan budaya, hal ini bertujuan agar tempat suci yang ditemukan dapat terpelihara sesuai fungsinya kembali. Hal ini sangat mengembirakan dimana Pura dan Candi dapat dibangun kembali dan difungsinya sebagaimana mestinya.

Saat ini memang ada ditemukan proses kerusakan pada situs yang sudah berlangsung terus-menerus kurang mendapat tanggapan dari pemerintah.

Semestinya sepanjang candi itu jelas asal-usulnya dan ada bukti otentik kesejarahannya, maka candi itu berhak kembali difungsikan sebagai tempat peribadatan.
 
Situs Dinoyo Merupakan Pusat Kerajaan Kanjuruhan

BP3 Trowulan Siap Gali Situs Kanjuruhan

Balai Pelestarian Perlindungan Purbakala (BP3) Trowulan, Jawa Timur, yang melakukan peninjauan keberadaan situs Kerajaan Kanjuruhan di Jalan Dinoyo Kota Malang, Rabu, siap melakukan penggalian.

Seusai melakukan tinjauan, Rabu (28/10), Kepala Tim Eskavasi BP3 Trowulan, Kuswanto, mengatakan, keberadaan Situs Kerajaan Kanjuruhan memang ada. Indikasinya terlihat dari batu bata yang berserakan di permukaaan tanah.

"Berdasarkan tinjauan serta pengamatan oleh tim BP3 Trowulan, terlihat adanya situs Kerajaan Kanjuruhan," ujarnya.

Untuk itu, tim Trowulan yang terdiri dari empat orang akan melakukan penggalian, Kamis (29/10) besok. "Kami siap membongkar keberadaan situs besok. Sebab hari ini, kami hanya melakukan pengukuran," katanya.

Ia menjelaskan, tinjauan yang dilakukan hari ini terdiri dari pemetaan, pengukuran dan pencatatan keberadaan situs.

Situs Kerajaan Kanjuruhan yang terletak di kawasan Jalan Dinoyo, Malang atau 500 meter di sisi barat Universitas Islam Malang (Unisma). Situs ini ditemukan ketika salah seorang pekerja secara tak sengaja menemukan deretan batu bata berukuran besar di lokasi pembangunan.

Penemuan ini semakin membuat ahli sejarah yakin bahwa kawasan Dinoyo dan Tlogomas merupakan bekas pusat peradaban penting di masa Kerajaan Kanjuruhan.

Sumber : Antara


Ditemukan, Fondasi Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan di Malang

Struktur fondasi bangunan terbuat dari bata kuno dan serpihan gerabah ditemukan oleh pengembang perumahan baru di Jalan Tata Surya Dinoyo, Kota Malang. Hasil penelitian sementara, gerabah dan struktur bata kuno tersebut diduga sebagai peninggalan Kerajaan Kanjuruhan.

Temuan tersebut sudah terjadi sejak tiga bulan lalu saat pengembang perumahan Planet Regency tersebut mulai membuka lahan di 30 meter tepi selatan Sungai Brantas. Bata-bata kuno berukuran 22 x 12 x 9 cm ditemukan masih tersusun atau intake membentuk semacam fondasi. Di bawahnya juga terdapat bebatuan yang tersusun rapi layaknya sebuah penguat fondasi bangunan.

"Sementara ini dari hasil penelitian awal, ditemukan serpihan gerabah dan bata-bata kuno. Dari susunan bata yang masih intake ini, dimungkinkan, struktur ini adalah fondasi bangunan elite era Kerajaan Kanjuruhan. Sebab, pada zaman itu rumah orang biasa biasanya tidak memakai lantai," ujar arkeolog Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, Kamis (15/10), saat meninjau lokasi temuan.

Dugaan struktur bangunan tersebut merupakan bagian dari permukiman elite era Kerajaan Kanjuruhan sebab, dari sejarahnya, daerah Dinoyo dan Tlogomas (dua daerah ini berbatasan) merupakan permukiman masa prasejarah (sebelum Masehi).

Sesuai prasasti Kanjuruhan atau Prasasti Dinoyo 1 yang ditemukan di daerah Karangbesuki Kota Malang (sekitar Candi Badut), menurut Cahyono, disebutkan bahwa abad ke-8 Masehi di tepi Sungai Metro berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Namun kemudian, pada abad ke-9, seusai ekspansi Mataram Kuno (dari Jawa Tengah) ke Jawa Timur, ada dugaan bahwa pusat Kanjuruhan ini pun bergeser ke utara ke arah Dinoyo dan Tlogomas, mendekati Sungai Brantas. Kanjuruhan saat itu sudah berubah menjadi kerajaan bawahan Mataram.

"Sejarah itu menjelaskan mengenai peran penting Dinoyo dan Tlogomas. Ditambah lagi, pada tahun 1980-an di sekitar STAIN Dinoyo ditemukan prasasti Dinoyo II, ditemukan umpak-umpak besar yang kini masih ada di Universitas Gajayana. Di sebelah kanan pom bensin Dinoyo juga ditemukan arung (saluran drainase) dan sebagainya. Ini menjelaskan bahwa peran daerah Tlogomas-Dinoyo cukup penting dalam sejarahnya," ujar Cahyono.

Dengan temuan tersebut, Cahyono berharap, pemerintah daerah minimal responsif untuk setidaknya meneliti (sendiri atau melibatkan BP3 Trowulan) struktur bersejarah tersebut. Dahlia Irawati / Kompas
 
Candi di Kampus UII Lengkapi Peradaban Bangsa

Para pekerja tidak pernah menduga ketika menggali tanah untuk fondasi gedung perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada Jumat (10/12) mereka menemukan batu berukir yang diperkirakan merupakan bagian dari struktur candi.

Mereka kemudian melaporkan kepada pimpinan UII yang kemudian menghentikan sementara proyek pembanguan gedung perpustakaan untuk memberikan kesempatan kepada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta untuk meneliti keberadaan struktur candi tersebut.

Menurut pengamat budaya dari Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta Prof Ki Supriyoko, jika struktur candi yang ditemukan di kampus UII Jalan Kaliurang Km 14 itu benar-benar candi kuno tentu akan menjadi bagian dari benda cagar budaya yang keberadaannya dilindungi oleh undang-undang (UU).

"Jika candi kuno yang ditemukan di kampus UII benar-benar merupakan benda cagar budaya tentu kita gembira karena akan melengkapi peradaban bangsa. Selama ini bangsa kita telah memiliki ratusan candi kuno yang menjadi benda cagar budaya," katanya.

Saat ini pihak BP3 Yogyakarta bekerja sama dengan UII sedang meneliti lebih lanjut tentang temuan struktur candi kuno tersebut dan dalam waktu dekat segera diperoleh kepastian "kecandian" dan "kekunoan" atas temuan yang relatif mengejutkan itu.

Atas penemuan tersebut UII sebagai institusi pendidikan tinggi yang peduli pada kepentingan bangsa mendukung sepenuhnya upaya perlindungan terhadap artefak budaya, termasuk bangunan yang diyakini merupakan candi di lokasi pembangunan perpustakaan pusat universitas itu.

"UII sebagai lembaga pendidikan tinggi sangat menghargai heritage, dan berharap agar tidak terjadi kerusakan pada bangunan peninggalan sejarah," kata Rektor UII Prof Edy Suandi Hamid.

Untuk itu, proses pembangunan sementara dihentikan dan UII mempersilakan tim arkeolog dari BP3 Yogyakarta untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Selain itu, sejak penemuan bagian candi tersebut UII telah memperketat keamanan di sekitar lokasi sebagai upaya mengantisipasi banyaknya masyarakat yang ingin melihat ke lokasi.

"Pengamanan kami maksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Masyarakat tetap diberi kesempatan untuk melihat ke lokasi," katanya.

Rektor mengharapkan agar proses penelitian, identifikasi, dan ekskavasi lokasi penemuan candi dapat dilangsungkan tidak dalam waktu yang lama.

"Semakin cepat proses penelitian oleh BP3 Yogyakarta, maka semakin cepat pula kami menentukan keputusan terkait bangunan perpustakaan pusat," katanya.

Mataram Kuno
Menindaklanjuti penemuan itu BP3 Yogyakarta menurunkan tim untuk meneliti lebih lanjut dan melakukan ekskavasi. Sampai saat ini dari hasil ekskavasi baru ditemukan 16 potongan batu bagian candi.

Ekskavasi juga menemukan arca Ganesha berukuran 52 cm dengan tinggi dari timbunan tanah sekitar 42 cm dan lingga-yoni berukuran atas 67x67 cm. Lingga berdiameter 16 cm dan panjang 30 cm.

Selain itu, juga ditemukan relief bunga padma di dinding pintu masuk bagian dalam persis di pojok yang menempel dengan tanah yang belum digali.

"Penemuan arca Ganesha menunjukkan candi itu merupakan candi Hindu. Namun, kami tetap belum bisa membandingkan usianya dengan Candi Prambanan karena banyak hal yang berbeda seperti dari sisi ornamen," kata Ketua Tim Ekskavasi BP3 Yogyakarta Indung Panca Putra.

Menurut dia, bangunan candi itu lebih sederhana dilihat dari ornamennya. Kesederhanaan itu tidak lepas dari fungsinya di masa lalu, status ekonomi masyarakat sekitar, dan sumber daya manusia yang membuat kawasan tersebut.

Meskipun memiliki ornamen lebih sederhana BP3 Yogyakarta tidak bisa memastikan candi yang ditemukan di kampus UII lebih tua daripada Candi Prambanan. Apalagi, di kawasan tersebut belum ditemukan prasasti yang bisa menunjukkan hal itu.

Ia mengatakan, dari sisi ornamen, rambut yang tampak pada arca Ganesha di Candi Prambanan bergelung tingkat tiga dan bermahkota, sedangkan candi di kampus UII memakai satu gelung dengan dua ikatan.

"Berhubung prasasti belum ditemukan untuk sementara lebih aman menyebut candi itu sebagai peninggalan Mataram Kuno. Dengan prasasti bisa saja terungkap detil waktu pembuatan candi dan mungkin juga siapa raja yang memerintah," katanya.

Jika nanti prasasti tidak ditemukan, penentuan usia candi akan dilakukan dengan "carbon dating". Namun, BP3 Yogyakarta berharap prasasti dapat ditemukan dalam proses ekskavasi selanjutnya.

Saat ini proses ekskavasi dihentikan sementara karena cuti bersama dan libur Natal pada 24-27 Desember 2009. Proses ekskavasi akan dilanjutkan kembali pada 28 Desember 2009.

"Ekskavasi nanti juga memfokuskan untuk menemukan arca pendamping yakni Durga dan Agastya. Ekskavasi akan berakhir pada 4 Januari 2010, dan diharapkan semua misteri yang menyelimuti candi tersebut sudah dapat diungkap sebelum waktu tersebut," katanya.

Edy mengatakan, jika nanti memang candi tersebut merupakan warisan budaya bangsa, maka UII siap memindahkan lokasi pembangunan gedung perpustakaan dari rencana sebelumnya.

UII juga akan berkomunikasi dengan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional atau Direktorat Pendidikan Tinggi terkait pemindahan lokasi tersebut.

Secara material, UII memang akan mengalami kerugian akibat penemuan itu, yakni keterlambatan pembangunan gedung. "Namun demikian, mengingat bangunan candi merupakan aset budaya bangsa, UII akan mendukung upaya perlindungannya," katanya.
sumber : Antara
 
Beh beh beh .... candi Hindu nyembul di sekolah Islam,kayaknya sabda palon naya genggong semakin mendekati kenyataan..
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.